• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT SCABIES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT SCABIES"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

54

ANALISIS FAKTOR–FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT SCABIES PADA TARUNA DAN TARUNI DI POLITEKNIK KELAUTAN DAN PERIKANAN BITUNG

Sunik Cahyawati*, Rizal M. Rompas*, Wulan P. J. Kaunang**

*Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi

**Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

ABSTRAK

Scabies adalah kondisi kulit yang terasa sangat gatal akibat tungau kecil yang disebut Sarcoptes scabiei (Maharani, 2015). Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi scabies di negara berkembang terkait dengan kemiskinan yang diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kebersihan diri dan lingkungan, akses air yang sulit, dan kepadatan hunian. Indonesia pada tahun 2008, angka kejadian scabies adalah 5,6%-12,95%. Manado periode Januari–Desember mendapatkan insiden 41 penderita scabies dari 1.096 orang (3,74%), Data yang diperoleh dari Poliklinik Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung terdapat 42 penderita pada tahun 2015, sedangkan pada periode Januari–November tahun 2016 terdapat 90 penderita. Tujuan: Mengetahui faktor–

faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit scabies pada taruna dan taruni di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung Tahun 2016. Penelitian ini menggunakan metode survey yang bersifat observasional analitik dengan rancangan kasus kontrol. Populasi yang diambil adalah taruna dan taruni yang memeriksakan diri pada Poliklinik Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung. Sampel penelitian terdiri dari sampel kasus 90 responden dan sampel control 90 responden. Pengambilan data dilakukan melalui data primer, sekunder. Analisis yang digunakan analisis univariat, bivariat (chy square), dan multivariat menggunakan regresi logistik ganda dengan confidence interval 95%. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pencahayaan dan personal hygiene dengan kejadian penyakit scabies, serta tidak ada hubungan antara pengetahuan dan kepadatan hunian kamar dengan kejaian penyakit scabies. Terjadinya penyakit scabies lebih banyak dipengaruhi oleh pencahayaan yang kurang baik 5,582 kali, dibandingkan dengan pencahayaan yang baik, serta dipengaruhi oleh personal hygiene yang kurang baik 2,737 kali dibandingkan dengan personal hygiene yang baik.

Kata Kunci: Pengetahuan, Kelembaban, Pencahayaan, Sanitasi Dasar Lingkungan, Kepadatan

Hunian Kamar, Personal Hygiene, Penyakit Scabies

ABSTRACT

Scabies is a skin condition that feels very itchy due to a small mite called Sarcoptes scabiei (Maharani, 2015). Factors contributing to the high prevalence of scabies in developing countries are associated with poverty associated with low levels of personal hygiene and the environment, difficult access to water, and occupancy density. Indonesia in 2008, the incidence of scabies was 5.6% -12.95%. Manado for January - December period received 41 cases of scabies from 1,096 people (3,74%). Data obtained from Polytechnic of Polytechnic of Marine and Fishery of Bitung there are 42 sufferer in 2015, while in period of january - November 2016 there are 90 sufferer.

Objective: To identify factors related to the incidence of scabies disease in cadets and taruni at Polytechnic of Marine and Fishery of Bitung Year 2016. This research uses survey method that is analytic observational with case control approach. The population taken are cadets and taruni who checked themselves at Polytechnic of Polytechnic of Marine and Fishery of Bitung. The sample consisted of 90 respondents and 90 control samples. Data collection is done through primary, secondary data. The analysis used univariate, bivariate (chy square), and multivariate analysis using logistic regression with 95% confidence interval. This study concludes that there is a relationship between lighting and personal hygiene with the incidence of scabies disease, and there is no relationship between knowledge and density of residential rooms with severity of scabies disease. The occurrence of scabies disease is more influenced by poor lighting 5,582 times, compared with good lighting, and influenced by poor personal hygiene 2,737 times compared with good personal hygiene.

Key Words: Knowledge, Humidity, Lighting, Basic Sanitation, Density Of Room, Personal

Hygiene, Scabies Disease

(2)

55 PENDAHULUAN

Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi scabies di negara berkembang terkait dengan kemiskinan yang diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kebersihan, akses air yang sulit, dan kepadatan hunian. Tingginya kepadatan hunian dan interaksi atau kontak fisik antar individu memudahkan perpindahan tungau scabies. Oleh karena itu, prevalensi scabies yang tinggi umumnya ditemukan di lingkungan dengan kepadatan penghuni dan kontak interpersonal tinggi seperti penjara, panti asuhan, dan pondok pesantren (Ratnasari dan Sungkar, 2014).

Negera industri seperti Jerman, scabies terjadi secara sporadik atau dalam bentuk endemik yang panjang (Ariza et al. 2013). Prevalanesi scabies di India dilaporkan 20,4% (Baur et, al 2013). Scabies merupakan salah satu penyakit kulit yang terabaikan di negara Papua New Guinea (PNG), Fiji, Vanuatu, SolomoIslands Australia, New Zealand, Melanesia, Polynesian dan pulau Micronesian di Pacific (Kline et al. 2013). Di Afrika seperti Ethiophia, Nigeria, cenderung mengabaikan penyakit kulit scabies, karena menurut pendapat masyarakat penyakit ini tidak membahayakan jiwa (Onayemi et al.

2012), sedangkan di Quennsland barat laut, scabies merupakan beban

kesehatan utama yang memerlukan pencegahan berbasis komunitas (Whitehall et al. 2013).

Insiden scabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Insidennya di Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat. Menurut Depkes RI, berdasarkan data dari puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008, angka kejadian scabies adalah 5,6%-12,95%. Scabies di Indonesia menduduki urutan ke tiga dari dua belas penyakit kulit tersering (Aminah, Dkk, 2015 )

Syailindra dan Mutiara (2016),

dalam penelitiannya tentang prevalensi

scabies yang tinggi umumnya

ditemukan di lingkungan dengan

kepadatan penghuni dan kontak

interpersonal yang tinggi seperti asrama,

panti asuhan, dan penjara. Data yang

diperoleh dari Poliklinik Politeknik

Kelautan dan Perikanan Bitung terdapat

42 penderita pada tahun 2015,

sedangkan pada periode januari –

November tahun 2016 terdapat 90

penderita. Berdasarkan latar belakang

diatas dipandang penting untuk

dilakukan penelitian yang bertujuan

menganalisis faktor – faktor yang

(3)

56 berhubungan dengan kejadian penyakit scabies pada taruna dan taruni di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung, selain itu penelitian serupa belum pernah dilakukan sehingga diharapakan hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan tentang prilaku sehat dalam pencegahan scabies.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian dalam bentuk survey yang bersifat observasional analitik dengan pendekatan case-control. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung Provinsi Sulawesi Utara dari bulan November 2016 sampai dengan bulan Mei 2017. Populasi dalam penelitian ini terdapat dua jenis populasi, yaitu populasi kasus dan polulasi kontrol. Kelompok populasi kasus dalam penelitian ini adalah taruna/taruni yang menderita penyakit scabies serta memeriksakan diri pada Poliklinik Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung pada Tahun Akademik 2016/2017 sebanyak 90 orang, sedangkan kelompok populasi kontrol dalam penelitian ini adalah taruna/taruni yang tidak menderita peyakit scabies serta memeriksakan diri pada Poliklinik Politeknik Kelauatan dan Perikanan Bitung pada Tahun Akademik 2016/2017 sebanyak 215 orang. Besar sampel dalam penelitian ini

menggunakan total sampling. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariats, analisis bivariat, dan analisis multivariat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden

a. Umur

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden kasus yang berumur 17–20 tahun sebanyak 65 responden (72,2%), dibandingkan dengan responden kasus yang berumur 21-23 tahun sebanyak 25 responden (27,8%).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden kasus berjenis kelamin laki- laki sebanyak 61 responden (67,8%), dibandingkan dengan responden kasus berjenis kelamin perempuan sebanyak 29 responden (32,2%).

c. Tingkat atau kelas

Tingkat atau kelas pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden kasus berada pada tingkat dua sebanyak 41 responden (45,6%), dibandingkan dengan responden kasus tingkat satu 30 responden (33,3%), dan tingkat tiga 19 responden (21,1%).

d. Lama Tinggal

Lama tinggal pada penelitian ini

menunjukkan bahwa sebagian besar

responden kasus berada pada tingkat dua

sebanyak 41 responden (45,6%),

(4)

57 dibandingkan dengan responden kasus tingkat satu 30 responden (33,3%), dan tingkat tiga 19 responden (21,1%).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2013), tentang hubungan antara kebersihan diri dan lama tinggal dengan kejadian penyakit scabies di Pon-Pes Al- Hamdullah Rembang, dengan hasil menyatakan bahwa ada hubungan antara lama tinggal dengan kejadian scabies.

Kebanyakan santri yang terkena penyakit scabies adalah santri baru yang belum beradaptasi dengan lingkungan, sebagai santri baru yang belum dapat beradaptasi dengan lingkungan, sebagai santri baru yang belum tahu kehidupan di pesantren, membuat mereka luput dari kesehatan.

Gambaran Pengetahuan, Kelembaban, Pencahayaan, Sanitasi Dasar Lingkungan, Kepadatan Hunian Kamar dan Personal Hygiene di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung.

a. Pengetahuan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, yang yang memiliki pengetahuan kurang baik sebanyak 14 responden (15,6%), sedangkan yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 76 responden (84,4%).

Responden pada kelompok kontrol yang memiliki pengetahuan kurang baik 17

responden (18,9%), sedangkan responden kontrol yang memilki pengetahuan baik 73 responden (81,1%).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa taruna dan taruni yang menderita scabies lebih banyak memiliki pengetahuan baik dibandingkan dengan taruna dan taruni yang tidak menderita scabies.

b. Kelembaban

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, yang memiliki kelembaban kamar kurang baik yakni 90 responden (100%), sedangkan pada kelompok kontrol memiliki kelembaban kamar kurang baik yakni 90 responden (100%), ini berarti bahwa responden kasus dan kontrol sama–sama memiliki kelembaban ruangan kamar yang kurang baik.

Kelembaban yang dapat

menyebabkan kejadian scabies dalam

penelitian ini dari analisis univariat

diperoleh hasil bahwa dari 180

responden memiliki kelembaban

ruangan kamar kurang baik yakni

berkisar antara 61,9%-69,6% Rh dengan

suhu 32,2

0

C – 34,3

0

C, dari hasil analisis

dapat dilihat bahwa kelembaban ruangan

kamar taruna dan taruni Politeknik

Kelautan dan Perikanan Bitung baik

yang menderita scabies dan yang tidak

menderita scabies memiliki kelembaban

kamar yang tinggi atau kurang baik.

(5)

58 karena kelembaban kamar yang baik adalah 40%-60% Rh.

c. Pencahayan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, yang memiliki pencahayaan ruangan kamar kurang baik yakni 55 responden (61,1%), dan memiliki pencahayaan ruangan kamar baik yakni 35 responden (38,9%), sedangkan responden kontrol memiliki pencahayaan ruangan kamar kurang baik yakni 27 responden (30,0%) dan memiliki pencahayaan ruangan kamar baik yakni 63 responden (70,0%). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa responden yang menderita scabies memiliki pencahayaan kamar kurang baik lebih banyak yaitu 55 responden (61,1%), dibandingkan dengan yang tidak menderita scabies yaitu 27 responden (30,0%).

d. Sanitasi Dasar Lingkungan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, yang memiliki sanitasi dasar lingkungan kurang sehat yakni 90 responden (100%) dan responden kontrol memiliki sanitasi dasar lingkungan kurang sehat yakni 90 responden (100%). Hasil ini dapat dilihat bahwa responden yang menderita scabies dan tidak menderita scabies sama–sama memiliki sanitasi dasar lingkungan yang kurang sehat.

Observasi yang sudah dilakukan dengan melihat kriteria dan menghitung

nilai maka diperoleh hasil kurang sehat (skor=275 (nilai X bobot), dimana untuk sanitasi dasar lingkungan dinyatakan sehat bila memiliki skor=≥334, sedangkan sanitasi dasar lingkungan dinyatakan kurang sehat memiliki skor =

< 334. Hasil observasi menyatakan bahwa, untuk air bersih sudah memenuhi syarat (tidak berbau, berasa dan berwarna), jamban (bukan leher angsa dan memiliki septik tank) keadanya sangat kotor dan jarang dibersihkan, sarana pembuangan air limbah (dialirkan keselokan terbuka), serta sarana pembuangan sampah (kedap air dan tidak tertutup) yang berada di masing- masing asrama, dan pengolahan sampah terakhir hanya di kumpulkan di TPA sementara, sebelum diangkut ke TPA.

Kondisi sanitasi lingkungan yang kurang sehat seperti jamban yang kotor dan jarang dibersihkan ini dapat menjadi media perkembang biakan atau sarang penyakit, selain kondisi jamban dan kamar mandi yang kurang sehat, kondisi sanitasi asrama juga kurang bersih dimana kondisi lantai yang berdebu dan lembab khususnya asrama taruna tingkat 2.

e. Kepadatan Hunian Kamar

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa pada kelompok kasus, yang

memiliki kepadatan hunian kamar

kurang baik yakni 23 responden

(6)

59 (25,6%), dan pada kelompok kontrol yakni 22 responden (24,4%), sedangkan responden kasus memiliki hunian kamar baik yakni 67 responden (74,4%) dan responden kontrol yakni 68 responden (75,6%). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa responden kontrol memiliki kepadatan hunian kamar baik lebih banyak yaitu 68 responden (75,6%), dibandingkan dengan responden kasus yaitu 67 responden (74,4%).

f. Personal Hygiene

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden kasus memiliki personal hygiene kurang baik yakni 52 responden (67,8%), dan respoden kontrol memiliki personal hygiene kurang baik yakni 30 responden (33,3%), sedangkan responden kasus memiliki personal hygiene baik yakni 38 responden (42,2%) dan responden kontrol memiliki personal hygiene yakni 60 responden (66,7%). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa responden kasus memiliki personal hygiene kurang baik lebih banyak yaitu 52 responden (57,8%), dibandingkan dengan responden kontrol yaitu 30 responden (33,3%).

Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kejadian Scabies Pada Taruna Dan Taruni Di Politeknik Kelautan Dan Perikanan Bitung Tahun Akademik 2016/2017

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian scabies (nilai p = 0,693;

p>0,005), Dalam penelitian ini pengetahuan bukan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian scabies, dilihat dari hasil penelitian bahwa responden yang menderita scabies memiliki pengetahuan baik 76 (84,4%) dan yang responden tidak menderita scabies memiliki pengetahuan baik 73 (81,1%), dari hasil ini dapat dikatakan bahwa responden yang menderita scabies banyak yang memiliki pengetahuan baik, jadi walaupun taruna dan taruni mengetahui banyak hal tentang bahaya, cara penularan, cara pencegahan dan pengobatan penyakit scabies tetapi taruna dan taruni tetap menderita scabies.

Hasil ini tidak sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Aminah

(2015) tentang hubungan tingkat

pengetahuan dengan kejadian scabies,

yang hasil penelitiannya ada hubungan

antara pengetahuan dengan kejadian

scabies p = 0,001. Penelitian Akmal, dkk

(2013), tentang hubungan personal

hygiene dengan kejadian scabies di

Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum,

Palarik Air Pacah, Kecamatan Kota

Tengah Padang dengan hasil santri yang

mengalami scabies sebagian besar

berpendidikan kelas 1 Wustha. Tingkat

pendidikan seseorang dapat

(7)

60 meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Eko (2014) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit scabies pada santri di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi, menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan santri dengan perilaku pencegahan scabies. Demikian juga dengan penelitian Ratnasari dan Sungkar (2014) terdapat hubungan antara pengetahuan dengan prevalensi scabies.

Pengetahuan merupaan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yakni: tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (aplication), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) (Notoadmodjo, 2012).

Dalam penelitian ini pengetahuan taruna dan taruni tentang penyakit scabies, kalau diukur dari tingkatan pengetahuan atau ranah kognitif, pengetahuan taruna dan taruni tentang scabies dari enam tingkatan hanya masuk pada tingkatan pertama dan

kedua yaitu, tahu (knou) dan memahami (comprehension).

Tahu (know) diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar (Notoadmodjo, 2012).

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus maka prilaku taruna dan taruni masuk pada prilaku tertutup (covert behavior), respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan/

kesadaran, dan sikap terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain (Notoadmodjo, 2012).

Hubungan antara Pencahayaan dan

Kejadian Scabies pada Taruna dan

Taruni di Politeknik Kelautan dan

Perikanan Bitung Tahun Akademik

2016/2017

(8)

61 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian penyakit scabies dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05) OR = 3,667. Dalam penelitian ini pencahayaan ruangan kamar taruna dan taruni yang kurang baik berpotensi memengaruhi kejadian scabies sebanyak 3,667 dengan nilai kisaran paling rendah 1,975 kali dan paling tinggi 6,808 kali, dikarenakan taruna dan taruni yang menderita panyakit scabies memiliki pencahayaan ruangan kamar yang kurang baik yakni 55 (61,1%) responden dan taruna dan taruni yang tidak menderita penyakit scabies memiliki pencahayaan ruangan kamar yang kurang baik yakni 27 (30,0%). Hasil ini dapat dilihat bahwa taruna dan taruni yang menderita penyakit scabies lebih banyak memiliki pencahayaan ruangan kamar yang kurang baik dibandingkan dengan taruna dan taruni yang tidak menderita penyakit scabies, hal ini disebabkan karena cahaya khususnya cahaya matahari sangat berpengaruh perkembangbiakan tungau.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hapsari (2014) tentang hubungan karakteristik faktor lingkungan dan prilaku dengan kejadian scabies di Pondok Pesantren Darul Amanah Desa Kabunan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal, yang hasilnya ada hubungan antara

pencahayaan dengan kejadian penyakit scabies, dengan nilai p = 0,009 OR = 4,857. Demikian juga, Putri dan Kurniawan (2016), yang meneliti tentang penatalaksanaan scabies pada anak usia 1 tahun diperoleh hasil bahwa pada kasus anak dengan scabies, salah satu faktor yang memengaruhi anak dengan penyakit scabies adalah pencahayaan di dalam rumah yang kurang baik.

Penelitian Hapsari (2014), tentang hungan karakteristik, faktor lingkungan dan prilaku dengan kejadian scabies di Pondok Pesantren Darul Amanah Desa Kabunan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal, menyatakan terdapat hubungan antara pencahayaan dengan kejadian scabies, dikarenakan sebagian besar responden berada dalam ruang yang pencahayaannya tidak baik, karena semakin baik ataupun semakin buruk pencahayaan ruangan akan berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan kejadian scabies pada santri.

Penelitian Desmawati, dkk (2015)

tentang hubungan personal hygiene dan

sanitasi lingkungan dengan kejadian

scabies di Pondok Pesantren Al-Kautsar

Pekanbaru menyatakan kondisi

kurangnya penyinaran matahari di dalam

ruangan mengakibatkan lembab

sehingga faktor penyebab timbulnya

kejadian scabies.

(9)

62 Cahaya dapat menerangi seluruh ruangan, intensitasnya <60 lux dan tidak menyilaukan, dapat digunakan untuk membaca dengan normal. Hasil observasi pencahayaan pada kamar penghuni asrama diperoleh hasil bahwa pencahayaannya dapat digunakan untuk membaca dengan normal. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga akan menjadi berkembangbiaknya bakteri patogen.

Sebaliknya terlalu banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan akan menyebabkan silau, sehingga dapat merusak mata (Notoatmodjo, 2003).

Hubungan Antara Kepadatan Hunian Kamar Dengan Kejadian Scabies Pada Taruna Dan Taruni Di Politeknik Kelautan Dan Perikanan Bitung Tahun Akademik 2016/2017 Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian penyakit scabies dengan nilai p = 1,000 (p >

0,05). Hasil analisis penelitian tidak adanya hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian scabies dikarenakan bahwa kepadatan hunian kamar taruna dan taruni yang menderita scabies dan yang tidak menderita scabies, kebanyakan memiliki hunian kamar yang baik yakni 67 (74,4%) dan 68 (75,6%), dimana Politeknik Kelautan

dan Perikanan Bitung menyediakan 1 barak / asrama Putri tingkat satu dan dua, barak putra sebanyak 3 ruangan untuk tingkat satu, asrama putra tingkat dua sebanyak 25 kamar, dan asrama putra tingkat tiga sebanya 24 Kamar.

Hasil ini mirip dengan Hilma dan Ghazali (2014) yang meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi kejadian scabies di Pondok Pesantren Mlangi Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta. Sampel diambil dengan teknik total sampling dengan jumlah 53 responden. Hasil penelitian kepadatan hunian tidak memiliki hubungan dengan kejadian scabies.

Penelitian Ratnasari dan Sungkar (2014) tentang Prevalensi Scabies dan Faktor-faktor yang Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur, menyatakan kepadatan hunian yang tinggi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kejadian scabies, kepadatan yang dialami oleh santri di asrama dikarenakn satu kamar di isi oleh 30 santri yang melebihi kapasitas, dengan kepadatan hunian yang tinggi, kontak langsung antara santri menjadi tinggi sehingga memudahkan penularan scabies.

Kepadatan hunian kamar tidur sangat berpengaruh terhadap jumlah kuman penyebab penyakit scabies.

Selain itu kepadatan hunian kamar tidur

dapat memengaruhi kualitas udara di

(10)

63 dalam kamar tidur. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam kamar tidur mengalami pencemaran oleh karena CO

2

dalam rumah akan cepat meningkat dan akan menurunkan kadar O

2

di udara.

Kepadatan dapat dilihat dari kepadatan hunian ruang tidur yaitu luas ruangan tidur minimal 8 m

2

dan tidak dianjurkan lebih dari dua orang dalam satu ruangan tidur, kecuali anak di bawah usia 5 tahun (Anonim, 2011).

Hubungan Antara Personal Hygiene Dengan Kejadian Scabies Pada Taruna Dan Taruni Di Politeknik Kelautan Dan Perikanan Bitung Tahun Akademik 2016/2017

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara Hygiene Personal dengan kejadian penyakit scabies dengan nilai p = 0,002 (p < 0,05) OR = 2,737. Dalam penelitian ini personal hygiene taruna dan taruni yang kurang baik berpotensi hampir 3 kali terjadinya penyakit scabies dengan kisaran nilai terendah 1,493 kali dan tertinggi 5,016 kali, ini dikarenakan taruna dan taruni yang menderita scabies memiliki personal hygiene kurang baik lebih banyak yakni 52 (57,8%) orang dibandingkan dengan taruna dan taruni yang tidak menderita scabies yakni 30 (33,3%) orang. Dari analisis peneliti adanya hubungan antara personal

hygiene dengan kejadian penyakit scabies pada taruna dan taruni ini dikarenakan personal hygiene yang kurang baik di antaranya, kurangnya frekuesi mandi, mengganti baju, membersihkan tempat tidur, mengganti spray, mengganti kaus kaki dan mencuci serta membersihkan sepatu.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rinawati, dkk (2015) tentang hubungan tingkat pengetahuan dan prilaku personal hygiene dengan kejadian scabies pada santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Piq Kecamatan Duo Koto Kabupaten Pasaman, dikarenakan sedikit dari santri yang mandi sampai 2 kali sehari, sabun mandi sering dipakai bergantian begitu juga handuk, sandalpun sering bertukar dengan teman, selain itu sebagian besar responden malas menjemur kasur.

Demikian juga Fitriawati (2014)

meneliti tentang hubungan faktor

personal hygiene, sanitasi lingkungan,

dan status nutrisi dengan kejadian

scabies pada santriwati di Pondok

Pesantren Nurul Ummah Kotagede

Yogyakarta. Hasil korelasi antara

variabel yaitu r personal hygiene= 0,521,

dengan tingkat signifikan 0,000,

menunjukkan ada hubungan faktor

personal hygiene, dengan kejadian

penyakit scabies di Pondok Pesantren

Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta.

(11)

64 Hapsari (2014) meneliti tentang hubungan karakteristik, faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian scabies di Pondok Pesantren Darul Amanah Desa Kabunan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal.

Jenis penelitian ini adalah survey dengan pendekatan case control. Sampel dalam penilitian ini berjumlah 48 santri terdiri dari 24 responden kasus dan 24 responden kontrol. Hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku kebersihan tangan dan kuku buruk pada responden kasus 58,3%. Berdasarkan hasil uji statistik, ada hubungan antara kebersihan tangan dan kuku (p-value 0,042). Dari penghitungan Odds Ratio menunjukkan bahwa responden dengan kebersihan tangan dan kuku buruk 3.4 kali beresiko terkena scabies daripada responden dengan perilaku kebersihan tangan dan kuku baik. Hasil juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebersihan genital dengan kejadian scabies (p-value 0,035). Dari penghitungan Odds Ratio diperoleh nilai OR sebesar 3,800, hal ini menunjukkan bahwa responden dengan kebersihan genital buruk hampir 4 kali lebih beresiko terkena scabies daripada responden dengan kebersihan genital baik.

Penelitian Purwanto (2016) tentang hubungan antara penyakit scabies dengan tingkat kualitas hidup santri di

Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, menyatakan bahwa terdapat hubungan antara personal hygiene dengan kejadian scabies dikarenakan, santri laki-laki tidak terlalu memperhatikan kebersihan diri. Pada penelitian Akmal, dkk (2013), tentang hubungan personal hygiene dengan kejadian scabies di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum, menyatakan bahwa terdapat hubungan antara personal hygiene dengan kejadian scabies, dimana dari 34 orang yang menderita scabies didapatkan 30 orang dengan personal hygiene yang tidak baik.

Demikian juga pada penelitian Lathifa (2014), tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan suspect scabies pada santriwati Pondok Pesantren Modern Diniyyah Pasia terdapat hubungan antara personal hygiene dengan suspect scabies.

Berbeda dengan penelitian

Fatmasari, dkk (2013), tentang hubungan

antara hygiene perorangan dengan

kejadian scabies di Pondok Pesantren

Roudlotul Muttaqin Mijen, menyatakan

tidak terdapat hubungan antara personal

hygiene dengan kejadian scabies, ini

disebabkan karena tidak adanya

kesesuaian hasil peneliti dengan teori

dapat disebabkan karena beberapa

faktor. Pertama karena terdapat santri

yang menggunakan sarung, pakaian atau

kain laian sebagai handuk. Kedua juga

(12)

65 terjadi bias dalam kuesioner, pencatatan ataupun pengolahan data. Demikian juga Hilma dan Ghazali (2014) yang meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi kejadian scabies di Pondok Pesantren Mlangi Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta. Sampel diambil dengan teknik total sampling dengan jumlah 53 responden. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan antara personal hygiene dengan kejadian scabies.

Hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan.

Pemeliharaan Hygiene perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan, dan kesehatan (Poter dan Peri 2006 dalam Rinawati, dkk, 2015).

Pembentukan sikap pada seseorang merupakan proses yang dapat dipengaruhi oleh aspek emosional serta kondisi lingkungan dimana orang tersebut berada. Sesuai konsep prilaku kesehatan yang dikembangkan ilmu kesehatan masyarakat, bahwa sikap merupakan bentuk respon terhadap suatu stimulus yang dapat dikategorikan sebagai tindakan tersembunyi (belum nyata). Sikap yang terbentuk akan menunjukkan bagaimana tingkat kemampuan seseorang dalam menanggapi atau merespon stimulus yang terjadi. Sikap sangat penting perannya dalam pencegahan scabies di lingkungan yang membutuhkan

kebersihan perorangan serta prilaku yang sehat. Sikap positif seseorang, terhadap kesehatan kemungkinan tidak otomatis berdampak pada perilaku seseorang menjadi positif, tetapi sikap yang negativ terhadap kesehatan hamper pasti berdampak negative terhadap kesehatan (Jasmine, dkk, 2016).

Dampak fisik, yaitu gangguan fisik yang terjadi karena adanya gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan yang sering terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan gangguan fisik pada kuku. Dampak psikososial, yaitu masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene seperti gangguan rasa nyaman, interaksi social dan aktualisasi diri.

Faktor Dominan Yang Berhubungan Dengan Kejadian Scabies Pada Taruna Dan Taruni Di Politeknik Kelautan Dan Perikanan Bitung Tahun Akademik 2016/2017

Berdasarkan hasil analisis regresi

logistik berganda menunjukan bahwa

pencahayaan merupakan variabel yang

paling dominan berhubungan dengan

kejadian scabies, dari kedua variabel

(pencahayaan dan personal hygiene),

dimana pencahayaan merupakan faktor

yang berisiko terjadinya penyakit

(13)

66 scabies, 5,582 kali, hal ini dipengaruhi oleh responden yang menderita scabies memiliki pencahayaan ruangan kamar yang kurang baik lebih banyak dibandingkan dengan pencahayaan ruangan kamar yang baik.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hapsari (2014) tentang hungan karakteristik, faktor lingkungan dan prilaku dengan kejadian scabies di Pondok Pesantren Darul Amanah Desa Kabunan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal.

Jenis penelitian ini adalah survey dengan pendekatan case control. Sampel dalam penilitian ini berjumlah 48 santri terdiri dari 24 responden kasus dan 24 responden kontrol. Hasil analisis menunjukkan bahwa pencahayaan tidak baik di kamar tidur responden kasus 70,8%. Berdasarkan hasil uji statistik, ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian scabies (p-value 0,009 dan OR 4,857). Peneliti menemukan bahwa pencahayaan ruangan yang buruk merupakan faktor yang memiliki risiko terhadap kejadian scabies, hal tersebut ditunjukkan dengan (OR=4,857) yang artinya responden dengan pencahayaan ruangan yang tidak baik memiliki risiko menderita scabies sebesar 5 kali lebih besar dibanding yang pencahayaannya baik.

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang mengelilingi dan juga

kondisi luar manusia atau hewan yang menyebabkan atau memungkinkan penularan penyakit. Sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembangbiakan bakteri patogen. Dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan didalam ruangan rumah terutama ruangan tidur (Anonim, 2011)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian scabies pada taruna dan taruni di Politeknik Kelauatan dan Perikanan Bitung Tahun Akademik 2016/2017 maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian scabies pada taruna dan taruni di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung, dengan nilai p= 0,693

2. Kelembaban ruangan kamar responden kasus dan kontrol 100%

kurang baik

3. Terdapat hubungan antara

pencahayaan dengan kejadian scabies

pada taruna dan taruni di Politeknik

Kelautan dan Perikanan Bitung,

dengan nilai p= 0,000 OR= 3,66 (CI

1,975 – 8,808).

(14)

67 4. Sanitasi dasar lingkungan asrama 100

% kurang sehat.

5. Tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian scabies pada taruna dan taruni di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung, dengan nilai p=

1,000.

6. Terdapat hubungan antara personal hygiene dengan kejadian scabies pada taruna dan taruni di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung, dengan nilai p= 0,002 OR= 2,737 (CI 1,493 – 5,016).

7. Pencahayaan merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian scabies, pada taruna dan taruni di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung.

SARAN

Mengingat hasil penelitian ini sangat bermakna antara pencahayaan, personal hygiene dengan kejadian penyakit scabies pada taruna dan taruni, sehingga peneliti ingin menyampaikan beberapa saran kepada:

1. Bagi Politeknik Kelautan Dan Perikanan Bitung

a. Diharapkan dapat lebih

memperhatiakan atau

memperbaiki ventilasi dan penerangan pencahayaan ruangan kamar, memberikan penyuluhan

kesehatan secara rutin untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap dan prktek tentang personal hygiene dari taruna dan taruni b. Memperhatikan atau memperbaiki

sanitasi dasar lingkungan asrama menyangkut kebersihan kamar mandi dan kebersihan jamban.

2. Bagi Taruna dan Taruni Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung a. Taruna dan taruni diharapakan

dapat rutin memeriksakan kesehatan apabila mengalami gangguan kesehatan

b. Taruna dan taruni diharapkan dapat lebih memperhatikan lagi tentang personal hygiene

3. Bagi Peneliti lain

Disarankan peneliti selanjutnya dapat meneliti faktor-faktor lain yang memengaruhi penyakit scabies dan bisa menggunakan metode penelitian yang berbeda serta meneliti secara mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya penyakit scabies dan penyebaranya.

DAFTAR PUSTAKA

Akmal, S.C., Semiarty, R., Gayatri.

2013. Hubungan Personal

Hygiene Dengan Kejadian

Skabies Di Pondok Pendidikan

Islam Darul Ulum Palarik Air

Pacah Kecamatan Koto Tangah

Padang Tahun 2013. Jurnal

(15)

68 Kesehatan Andalas tahun 2013 Hal 164-167.

Aminah, P., H. T, Sibero, M. G. Ratna.

2015. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian Scabies, Jurnal Majority, Vol 4 No 5.

Anonimous. 2015. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Tahun 2015. Edisi Ke 7. F.K.U.I

_________. 2011. Peraturan Mentri Kesehatan Repoblik Indonesia.

Nomor. 1077/MENKES/PER/V.

Tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruangan Rumah Ariza, L., B, Walter., C, Worth.,

Brockmann., M. L. Weber and H. Feldmeier. 2013.

Investigation of Scabies Outbreak in Kindergarten in Costance Germany. Eur J. Clin Microbial Infect Dis (DOI). 10:

1007-96.

Azizah, N. N. 2013. Hubungan Antara Kebersihan Diri dan Lama Tinggal dengan Kejadian Penyakit Skabies di Pon-Pes Al- Hamdullah Rembang

Baur, B., Sarkar, J., N. Manna., dan L.

Bandyopadhyay. 2013. The Pattern of Dermatological Disorders among Patients Attending the Skin O. P. D of A Tertiary Care Hospital in

Kolkata, India. Journal of Dental and Medical Sciences. 3: 1-6.

Desmawati, A. Pristiana, dan O.

Hasanah. 2015. Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Scabies Di Pondok Pesantren Al-Kautsar Pekanbaru, JOM, Vol 2 No 1.

Djuanda. A. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam, cetakan kedua. Jakarta : FKUI.

Eko dan Marta. 2014. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan Penyakit scabies pada santri di pondok pesantren as’ad olak Kemang seberang kota jambi. Scientia Journal, Vol.3, No.2.

Fatmasari, A., S. Asfawi, dan E. Hartini.

2013. Hubungan antara Hygiene Perorangan dengan Kejadian Scabies di Pondok Pesantren Roudlotul Muttaqin Mijen Semarang tahun. Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro. Semarang

Fitriawati. 2014. Hubungan Faktor Personal Hygien, Sanitasi Lingkungan, Dan Status Nutrisi Dengan Kejadian Scabies Pada Santriwati Di Pondok Pesantren

Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta. Program

Studi Ilmu Keperawatan

(16)

69 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

‘Aisyiyah Yogyakarta

Handoko, R.P., A. Djuanda, S. A.

Sularsito. 2013. Skabies Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: FKUI, pp 122-5.

Hapsari, N.I.W. 2014. Hungan Karakteristik, Faktor Lingkungan dan Prilaku dengan Kejadian Scabies di Pondok Pesantren Darul Amanah Desa Kabunan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal, Fakultas Kesehatan, Universitas Dian Nuswantoro Semarang

Hilma, U.D., dan L. Ghazali. 2014.

Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Kejadian Skabies Di Pondok Pesantren Mlangi Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta. JKKI, Vol.6, No.3, September- Desember

Husein, A. 2010. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Kulit Scabies Pada Santri Di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo, Vol 2. No 1.

James, W. D., T. Berger, and D. Elston.

2016. Andrews' Diseases of the Skin: Clinical Dermatology, 12

th

Edition

Jasmine, I.A., L, Rosida., L. Marlinae.

2016. Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Tentang Personal Hygiene Dengan Perilaku Pencegahan Penularan Skabies. Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol 3, No 1.

Kline, K., S, James., P, Mark., L, Alex., J, Peter., Hotes. 2013. Neglected Tropical Diseases Of Oceania:

Review Of Their Prevalensi, Distribution, And Opportunities For Control, America.

Lathifa, M. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Suspect Skabies Pada Santriwati Pondok Pesantren Modern Diniyyah Pasia, Kec. Ampek Angkek, Kab. Agam, Sumatera Barat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

Maharani, A. 2015. Penyakit Kulit Perawatan, Pencegahan, Pengobatan. Yogyakarta:

Pustaka Baru Press.

Mundiatun, dan Daryanto. 2015.

Pengelolaan Kesehatan Lingkungan. Cetakan Pertama.

Yogyakarta: Gava Media.

Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan

Lingkungan. Jakarta : Rineka

Cipta.

(17)

70 ____________. 2012. Promosi

Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Onayemi A., O.A, Oyelami., Oyedeji O.A., Adeyemi L.A. 2012.

Preliminary study of effectiveness of aloe vera in scabies treatment. Phytotherapy Research 23: 1482-1484.

Purwanto, N.F. 2016. Hubungan Antara Penyakit Skabies Dengan Tingkat Kualitas Hidup Santri Di Pondok Pesantren Al- Muayyad Surakarta. Naskah Publikasi.

Putri, A dan B, Kurniawan.2016.

Penatalaksanaan Skabies pada Anak Usia 1 Tahun. Jurnal Medula Unila, Vol. 5, No. 1.

Prabu. 2009. Sistem dan Standar Pencahayaan Ruang. Diakses:

23 oktober 2016

http://putraprabu.wordpress.com /2009/01/06/sistem-dan-standar pencahayaan-ruang.

Ratnasari, A. F. dan S. Sungkar. 2014.

Prevalensi Skabies Dan Faktor-

Faktor Yang Berhubungan Di Pesantren X, Jakarta Timur.

eJKI [internet]. [diakses tanggal 30 November 2016]; 2(1):7-12.

Tersedia dari:

http://journal.ui.ac.id/index.php/

eJKI/arti

cle/viewFile/3177/3401.

Rinawati, K, Rahmi, K.G, Ira, S. 2015.

Hubungan Pengetahuan Dan Perilaku Personal Hygiene Dengan Kejadian Scabies Pada Santri Di Pondok Pesantren Darul Ulum Piq Kecamatan Duo Kota Kabupaten Pasaman, Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, vol. 7 No. 2

Syailindra, F dan H, Mutiara. 2016.

Skabies, Vol. 5, No.2.

Whitehall J, Kuzulugil D, Sheldrick K,

Wood A. 2013. Burden of

paediatric pyoderma and scabies

in North West Queensland,

Journal of paediatric and child

health.

Referensi

Dokumen terkait

terlebih pada pelanggan setia online shop seperti Lazada, Zalora, Salestock, Shopee dan lainnya. Website belanja online di Indonesia mayoritas menggunakan jasa kurir PT

Gagne dalam Mariana, (1999:25) menyatakan untuk terjadinya belajar pada siswa diperlukan kondisi belajar, bak kondisi internal maupun kondisi eksternal. Yang

Seperti dikemukakan, Ibn Hazm dalam hal membaca, menyentuh al-Qur’an, sujud tilawah dan zikir diperbolehkan atas orang dalam keadaan junub dan haid , karena secara eksplisit tidak

“Citra” menggambarkan ciri khas serta identitas kabupaten Lumajang, yang nantinya akan berfungsi atau bertujuan untuk memperkenalkan “Sebenarnya kota Lumajang itu

Contoh perhitungan dosis ekstrak etanol daun Afrika yang akan diberikan pada tikus secara per oral (p.o.). - Dosis suspensi ekstrak etanol daun Afrika yang akan dibuat adalah 25

1861 M Ditemukannya alat yang bernama Kinematoskop untuk memutar slide 1876 M Thomas Alva Edison menemukan mesin fotocopi pertama, Alexander. Graham Bell

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol Buah Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dapat di formulasikan sebagai sediaan krim dan pada

Dengan demikian di Korea Selatan keberhasilan pemberantasan korupsi tidak bisa lepas dari fungsi masyarakat yang umumnya tergabung dalam NGO (non- governmental organization),