54
ANALISIS FAKTOR–FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT SCABIES PADA TARUNA DAN TARUNI DI POLITEKNIK KELAUTAN DAN PERIKANAN BITUNG
Sunik Cahyawati*, Rizal M. Rompas*, Wulan P. J. Kaunang**
*Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi
**Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
ABSTRAK
Scabies adalah kondisi kulit yang terasa sangat gatal akibat tungau kecil yang disebut Sarcoptes scabiei (Maharani, 2015). Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi scabies di negara berkembang terkait dengan kemiskinan yang diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kebersihan diri dan lingkungan, akses air yang sulit, dan kepadatan hunian. Indonesia pada tahun 2008, angka kejadian scabies adalah 5,6%-12,95%. Manado periode Januari–Desember mendapatkan insiden 41 penderita scabies dari 1.096 orang (3,74%), Data yang diperoleh dari Poliklinik Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung terdapat 42 penderita pada tahun 2015, sedangkan pada periode Januari–November tahun 2016 terdapat 90 penderita. Tujuan: Mengetahui faktor–
faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit scabies pada taruna dan taruni di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung Tahun 2016. Penelitian ini menggunakan metode survey yang bersifat observasional analitik dengan rancangan kasus kontrol. Populasi yang diambil adalah taruna dan taruni yang memeriksakan diri pada Poliklinik Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung. Sampel penelitian terdiri dari sampel kasus 90 responden dan sampel control 90 responden. Pengambilan data dilakukan melalui data primer, sekunder. Analisis yang digunakan analisis univariat, bivariat (chy square), dan multivariat menggunakan regresi logistik ganda dengan confidence interval 95%. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pencahayaan dan personal hygiene dengan kejadian penyakit scabies, serta tidak ada hubungan antara pengetahuan dan kepadatan hunian kamar dengan kejaian penyakit scabies. Terjadinya penyakit scabies lebih banyak dipengaruhi oleh pencahayaan yang kurang baik 5,582 kali, dibandingkan dengan pencahayaan yang baik, serta dipengaruhi oleh personal hygiene yang kurang baik 2,737 kali dibandingkan dengan personal hygiene yang baik.
Kata Kunci: Pengetahuan, Kelembaban, Pencahayaan, Sanitasi Dasar Lingkungan, Kepadatan
Hunian Kamar, Personal Hygiene, Penyakit Scabies
ABSTRACT
Scabies is a skin condition that feels very itchy due to a small mite called Sarcoptes scabiei (Maharani, 2015). Factors contributing to the high prevalence of scabies in developing countries are associated with poverty associated with low levels of personal hygiene and the environment, difficult access to water, and occupancy density. Indonesia in 2008, the incidence of scabies was 5.6% -12.95%. Manado for January - December period received 41 cases of scabies from 1,096 people (3,74%). Data obtained from Polytechnic of Polytechnic of Marine and Fishery of Bitung there are 42 sufferer in 2015, while in period of january - November 2016 there are 90 sufferer.
Objective: To identify factors related to the incidence of scabies disease in cadets and taruni at Polytechnic of Marine and Fishery of Bitung Year 2016. This research uses survey method that is analytic observational with case control approach. The population taken are cadets and taruni who checked themselves at Polytechnic of Polytechnic of Marine and Fishery of Bitung. The sample consisted of 90 respondents and 90 control samples. Data collection is done through primary, secondary data. The analysis used univariate, bivariate (chy square), and multivariate analysis using logistic regression with 95% confidence interval. This study concludes that there is a relationship between lighting and personal hygiene with the incidence of scabies disease, and there is no relationship between knowledge and density of residential rooms with severity of scabies disease. The occurrence of scabies disease is more influenced by poor lighting 5,582 times, compared with good lighting, and influenced by poor personal hygiene 2,737 times compared with good personal hygiene.
Key Words: Knowledge, Humidity, Lighting, Basic Sanitation, Density Of Room, Personal
Hygiene, Scabies Disease
55 PENDAHULUAN
Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi scabies di negara berkembang terkait dengan kemiskinan yang diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kebersihan, akses air yang sulit, dan kepadatan hunian. Tingginya kepadatan hunian dan interaksi atau kontak fisik antar individu memudahkan perpindahan tungau scabies. Oleh karena itu, prevalensi scabies yang tinggi umumnya ditemukan di lingkungan dengan kepadatan penghuni dan kontak interpersonal tinggi seperti penjara, panti asuhan, dan pondok pesantren (Ratnasari dan Sungkar, 2014).
Negera industri seperti Jerman, scabies terjadi secara sporadik atau dalam bentuk endemik yang panjang (Ariza et al. 2013). Prevalanesi scabies di India dilaporkan 20,4% (Baur et, al 2013). Scabies merupakan salah satu penyakit kulit yang terabaikan di negara Papua New Guinea (PNG), Fiji, Vanuatu, SolomoIslands Australia, New Zealand, Melanesia, Polynesian dan pulau Micronesian di Pacific (Kline et al. 2013). Di Afrika seperti Ethiophia, Nigeria, cenderung mengabaikan penyakit kulit scabies, karena menurut pendapat masyarakat penyakit ini tidak membahayakan jiwa (Onayemi et al.
2012), sedangkan di Quennsland barat laut, scabies merupakan beban
kesehatan utama yang memerlukan pencegahan berbasis komunitas (Whitehall et al. 2013).
Insiden scabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Insidennya di Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat. Menurut Depkes RI, berdasarkan data dari puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008, angka kejadian scabies adalah 5,6%-12,95%. Scabies di Indonesia menduduki urutan ke tiga dari dua belas penyakit kulit tersering (Aminah, Dkk, 2015 )
Syailindra dan Mutiara (2016),
dalam penelitiannya tentang prevalensi
scabies yang tinggi umumnya
ditemukan di lingkungan dengan
kepadatan penghuni dan kontak
interpersonal yang tinggi seperti asrama,
panti asuhan, dan penjara. Data yang
diperoleh dari Poliklinik Politeknik
Kelautan dan Perikanan Bitung terdapat
42 penderita pada tahun 2015,
sedangkan pada periode januari –
November tahun 2016 terdapat 90
penderita. Berdasarkan latar belakang
diatas dipandang penting untuk
dilakukan penelitian yang bertujuan
menganalisis faktor – faktor yang
56 berhubungan dengan kejadian penyakit scabies pada taruna dan taruni di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung, selain itu penelitian serupa belum pernah dilakukan sehingga diharapakan hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan tentang prilaku sehat dalam pencegahan scabies.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian dalam bentuk survey yang bersifat observasional analitik dengan pendekatan case-control. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung Provinsi Sulawesi Utara dari bulan November 2016 sampai dengan bulan Mei 2017. Populasi dalam penelitian ini terdapat dua jenis populasi, yaitu populasi kasus dan polulasi kontrol. Kelompok populasi kasus dalam penelitian ini adalah taruna/taruni yang menderita penyakit scabies serta memeriksakan diri pada Poliklinik Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung pada Tahun Akademik 2016/2017 sebanyak 90 orang, sedangkan kelompok populasi kontrol dalam penelitian ini adalah taruna/taruni yang tidak menderita peyakit scabies serta memeriksakan diri pada Poliklinik Politeknik Kelauatan dan Perikanan Bitung pada Tahun Akademik 2016/2017 sebanyak 215 orang. Besar sampel dalam penelitian ini
menggunakan total sampling. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariats, analisis bivariat, dan analisis multivariat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
a. Umur
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden kasus yang berumur 17–20 tahun sebanyak 65 responden (72,2%), dibandingkan dengan responden kasus yang berumur 21-23 tahun sebanyak 25 responden (27,8%).
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden kasus berjenis kelamin laki- laki sebanyak 61 responden (67,8%), dibandingkan dengan responden kasus berjenis kelamin perempuan sebanyak 29 responden (32,2%).
c. Tingkat atau kelas
Tingkat atau kelas pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden kasus berada pada tingkat dua sebanyak 41 responden (45,6%), dibandingkan dengan responden kasus tingkat satu 30 responden (33,3%), dan tingkat tiga 19 responden (21,1%).
d. Lama Tinggal
Lama tinggal pada penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagian besar
responden kasus berada pada tingkat dua
sebanyak 41 responden (45,6%),
57 dibandingkan dengan responden kasus tingkat satu 30 responden (33,3%), dan tingkat tiga 19 responden (21,1%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2013), tentang hubungan antara kebersihan diri dan lama tinggal dengan kejadian penyakit scabies di Pon-Pes Al- Hamdullah Rembang, dengan hasil menyatakan bahwa ada hubungan antara lama tinggal dengan kejadian scabies.
Kebanyakan santri yang terkena penyakit scabies adalah santri baru yang belum beradaptasi dengan lingkungan, sebagai santri baru yang belum dapat beradaptasi dengan lingkungan, sebagai santri baru yang belum tahu kehidupan di pesantren, membuat mereka luput dari kesehatan.
Gambaran Pengetahuan, Kelembaban, Pencahayaan, Sanitasi Dasar Lingkungan, Kepadatan Hunian Kamar dan Personal Hygiene di Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung.
a. Pengetahuan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, yang yang memiliki pengetahuan kurang baik sebanyak 14 responden (15,6%), sedangkan yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 76 responden (84,4%).
Responden pada kelompok kontrol yang memiliki pengetahuan kurang baik 17
responden (18,9%), sedangkan responden kontrol yang memilki pengetahuan baik 73 responden (81,1%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa taruna dan taruni yang menderita scabies lebih banyak memiliki pengetahuan baik dibandingkan dengan taruna dan taruni yang tidak menderita scabies.
b. Kelembaban
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, yang memiliki kelembaban kamar kurang baik yakni 90 responden (100%), sedangkan pada kelompok kontrol memiliki kelembaban kamar kurang baik yakni 90 responden (100%), ini berarti bahwa responden kasus dan kontrol sama–sama memiliki kelembaban ruangan kamar yang kurang baik.
Kelembaban yang dapat
menyebabkan kejadian scabies dalam
penelitian ini dari analisis univariat
diperoleh hasil bahwa dari 180
responden memiliki kelembaban
ruangan kamar kurang baik yakni
berkisar antara 61,9%-69,6% Rh dengan
suhu 32,2
0C – 34,3
0C, dari hasil analisis
dapat dilihat bahwa kelembaban ruangan
kamar taruna dan taruni Politeknik
Kelautan dan Perikanan Bitung baik
yang menderita scabies dan yang tidak
menderita scabies memiliki kelembaban
kamar yang tinggi atau kurang baik.
58 karena kelembaban kamar yang baik adalah 40%-60% Rh.
c. Pencahayan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, yang memiliki pencahayaan ruangan kamar kurang baik yakni 55 responden (61,1%), dan memiliki pencahayaan ruangan kamar baik yakni 35 responden (38,9%), sedangkan responden kontrol memiliki pencahayaan ruangan kamar kurang baik yakni 27 responden (30,0%) dan memiliki pencahayaan ruangan kamar baik yakni 63 responden (70,0%). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa responden yang menderita scabies memiliki pencahayaan kamar kurang baik lebih banyak yaitu 55 responden (61,1%), dibandingkan dengan yang tidak menderita scabies yaitu 27 responden (30,0%).
d. Sanitasi Dasar Lingkungan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, yang memiliki sanitasi dasar lingkungan kurang sehat yakni 90 responden (100%) dan responden kontrol memiliki sanitasi dasar lingkungan kurang sehat yakni 90 responden (100%). Hasil ini dapat dilihat bahwa responden yang menderita scabies dan tidak menderita scabies sama–sama memiliki sanitasi dasar lingkungan yang kurang sehat.
Observasi yang sudah dilakukan dengan melihat kriteria dan menghitung
nilai maka diperoleh hasil kurang sehat (skor=275 (nilai X bobot), dimana untuk sanitasi dasar lingkungan dinyatakan sehat bila memiliki skor=≥334, sedangkan sanitasi dasar lingkungan dinyatakan kurang sehat memiliki skor =
< 334. Hasil observasi menyatakan bahwa, untuk air bersih sudah memenuhi syarat (tidak berbau, berasa dan berwarna), jamban (bukan leher angsa dan memiliki septik tank) keadanya sangat kotor dan jarang dibersihkan, sarana pembuangan air limbah (dialirkan keselokan terbuka), serta sarana pembuangan sampah (kedap air dan tidak tertutup) yang berada di masing- masing asrama, dan pengolahan sampah terakhir hanya di kumpulkan di TPA sementara, sebelum diangkut ke TPA.
Kondisi sanitasi lingkungan yang kurang sehat seperti jamban yang kotor dan jarang dibersihkan ini dapat menjadi media perkembang biakan atau sarang penyakit, selain kondisi jamban dan kamar mandi yang kurang sehat, kondisi sanitasi asrama juga kurang bersih dimana kondisi lantai yang berdebu dan lembab khususnya asrama taruna tingkat 2.
e. Kepadatan Hunian Kamar
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada kelompok kasus, yang
memiliki kepadatan hunian kamar
kurang baik yakni 23 responden
59 (25,6%), dan pada kelompok kontrol yakni 22 responden (24,4%), sedangkan responden kasus memiliki hunian kamar baik yakni 67 responden (74,4%) dan responden kontrol yakni 68 responden (75,6%). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa responden kontrol memiliki kepadatan hunian kamar baik lebih banyak yaitu 68 responden (75,6%), dibandingkan dengan responden kasus yaitu 67 responden (74,4%).
f. Personal Hygiene
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden kasus memiliki personal hygiene kurang baik yakni 52 responden (67,8%), dan respoden kontrol memiliki personal hygiene kurang baik yakni 30 responden (33,3%), sedangkan responden kasus memiliki personal hygiene baik yakni 38 responden (42,2%) dan responden kontrol memiliki personal hygiene yakni 60 responden (66,7%). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa responden kasus memiliki personal hygiene kurang baik lebih banyak yaitu 52 responden (57,8%), dibandingkan dengan responden kontrol yaitu 30 responden (33,3%).
Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kejadian Scabies Pada Taruna Dan Taruni Di Politeknik Kelautan Dan Perikanan Bitung Tahun Akademik 2016/2017
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian scabies (nilai p = 0,693;
p>0,005), Dalam penelitian ini pengetahuan bukan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian scabies, dilihat dari hasil penelitian bahwa responden yang menderita scabies memiliki pengetahuan baik 76 (84,4%) dan yang responden tidak menderita scabies memiliki pengetahuan baik 73 (81,1%), dari hasil ini dapat dikatakan bahwa responden yang menderita scabies banyak yang memiliki pengetahuan baik, jadi walaupun taruna dan taruni mengetahui banyak hal tentang bahaya, cara penularan, cara pencegahan dan pengobatan penyakit scabies tetapi taruna dan taruni tetap menderita scabies.
Hasil ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Aminah
(2015) tentang hubungan tingkat
pengetahuan dengan kejadian scabies,
yang hasil penelitiannya ada hubungan
antara pengetahuan dengan kejadian
scabies p = 0,001. Penelitian Akmal, dkk
(2013), tentang hubungan personal
hygiene dengan kejadian scabies di
Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum,
Palarik Air Pacah, Kecamatan Kota
Tengah Padang dengan hasil santri yang
mengalami scabies sebagian besar
berpendidikan kelas 1 Wustha. Tingkat
pendidikan seseorang dapat
60 meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Eko (2014) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit scabies pada santri di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi, menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan santri dengan perilaku pencegahan scabies. Demikian juga dengan penelitian Ratnasari dan Sungkar (2014) terdapat hubungan antara pengetahuan dengan prevalensi scabies.
Pengetahuan merupaan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yakni: tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (aplication), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) (Notoadmodjo, 2012).
Dalam penelitian ini pengetahuan taruna dan taruni tentang penyakit scabies, kalau diukur dari tingkatan pengetahuan atau ranah kognitif, pengetahuan taruna dan taruni tentang scabies dari enam tingkatan hanya masuk pada tingkatan pertama dan
kedua yaitu, tahu (knou) dan memahami (comprehension).
Tahu (know) diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar (Notoadmodjo, 2012).
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus maka prilaku taruna dan taruni masuk pada prilaku tertutup (covert behavior), respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan/
kesadaran, dan sikap terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain (Notoadmodjo, 2012).
Hubungan antara Pencahayaan dan
Kejadian Scabies pada Taruna dan
Taruni di Politeknik Kelautan dan
Perikanan Bitung Tahun Akademik
2016/2017
61 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian penyakit scabies dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05) OR = 3,667. Dalam penelitian ini pencahayaan ruangan kamar taruna dan taruni yang kurang baik berpotensi memengaruhi kejadian scabies sebanyak 3,667 dengan nilai kisaran paling rendah 1,975 kali dan paling tinggi 6,808 kali, dikarenakan taruna dan taruni yang menderita panyakit scabies memiliki pencahayaan ruangan kamar yang kurang baik yakni 55 (61,1%) responden dan taruna dan taruni yang tidak menderita penyakit scabies memiliki pencahayaan ruangan kamar yang kurang baik yakni 27 (30,0%). Hasil ini dapat dilihat bahwa taruna dan taruni yang menderita penyakit scabies lebih banyak memiliki pencahayaan ruangan kamar yang kurang baik dibandingkan dengan taruna dan taruni yang tidak menderita penyakit scabies, hal ini disebabkan karena cahaya khususnya cahaya matahari sangat berpengaruh perkembangbiakan tungau.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hapsari (2014) tentang hubungan karakteristik faktor lingkungan dan prilaku dengan kejadian scabies di Pondok Pesantren Darul Amanah Desa Kabunan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal, yang hasilnya ada hubungan antara
pencahayaan dengan kejadian penyakit scabies, dengan nilai p = 0,009 OR = 4,857. Demikian juga, Putri dan Kurniawan (2016), yang meneliti tentang penatalaksanaan scabies pada anak usia 1 tahun diperoleh hasil bahwa pada kasus anak dengan scabies, salah satu faktor yang memengaruhi anak dengan penyakit scabies adalah pencahayaan di dalam rumah yang kurang baik.
Penelitian Hapsari (2014), tentang hungan karakteristik, faktor lingkungan dan prilaku dengan kejadian scabies di Pondok Pesantren Darul Amanah Desa Kabunan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal, menyatakan terdapat hubungan antara pencahayaan dengan kejadian scabies, dikarenakan sebagian besar responden berada dalam ruang yang pencahayaannya tidak baik, karena semakin baik ataupun semakin buruk pencahayaan ruangan akan berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan kejadian scabies pada santri.
Penelitian Desmawati, dkk (2015)
tentang hubungan personal hygiene dan
sanitasi lingkungan dengan kejadian
scabies di Pondok Pesantren Al-Kautsar
Pekanbaru menyatakan kondisi
kurangnya penyinaran matahari di dalam
ruangan mengakibatkan lembab
sehingga faktor penyebab timbulnya
kejadian scabies.
62 Cahaya dapat menerangi seluruh ruangan, intensitasnya <60 lux dan tidak menyilaukan, dapat digunakan untuk membaca dengan normal. Hasil observasi pencahayaan pada kamar penghuni asrama diperoleh hasil bahwa pencahayaannya dapat digunakan untuk membaca dengan normal. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga akan menjadi berkembangbiaknya bakteri patogen.
Sebaliknya terlalu banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan akan menyebabkan silau, sehingga dapat merusak mata (Notoatmodjo, 2003).
Hubungan Antara Kepadatan Hunian Kamar Dengan Kejadian Scabies Pada Taruna Dan Taruni Di Politeknik Kelautan Dan Perikanan Bitung Tahun Akademik 2016/2017 Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian penyakit scabies dengan nilai p = 1,000 (p >
0,05). Hasil analisis penelitian tidak adanya hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian scabies dikarenakan bahwa kepadatan hunian kamar taruna dan taruni yang menderita scabies dan yang tidak menderita scabies, kebanyakan memiliki hunian kamar yang baik yakni 67 (74,4%) dan 68 (75,6%), dimana Politeknik Kelautan
dan Perikanan Bitung menyediakan 1 barak / asrama Putri tingkat satu dan dua, barak putra sebanyak 3 ruangan untuk tingkat satu, asrama putra tingkat dua sebanyak 25 kamar, dan asrama putra tingkat tiga sebanya 24 Kamar.
Hasil ini mirip dengan Hilma dan Ghazali (2014) yang meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi kejadian scabies di Pondok Pesantren Mlangi Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta. Sampel diambil dengan teknik total sampling dengan jumlah 53 responden. Hasil penelitian kepadatan hunian tidak memiliki hubungan dengan kejadian scabies.
Penelitian Ratnasari dan Sungkar (2014) tentang Prevalensi Scabies dan Faktor-faktor yang Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur, menyatakan kepadatan hunian yang tinggi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kejadian scabies, kepadatan yang dialami oleh santri di asrama dikarenakn satu kamar di isi oleh 30 santri yang melebihi kapasitas, dengan kepadatan hunian yang tinggi, kontak langsung antara santri menjadi tinggi sehingga memudahkan penularan scabies.
Kepadatan hunian kamar tidur sangat berpengaruh terhadap jumlah kuman penyebab penyakit scabies.
Selain itu kepadatan hunian kamar tidur
dapat memengaruhi kualitas udara di
63 dalam kamar tidur. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam kamar tidur mengalami pencemaran oleh karena CO
2
dalam rumah akan cepat meningkat dan akan menurunkan kadar O
2