• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Cakalang Ikan Cakalang Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) atau skipjack tuna termasuk salah satu sumberdaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Cakalang Ikan Cakalang Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) atau skipjack tuna termasuk salah satu sumberdaya"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Cakalang

2.1.1 Ikan Cakalang

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) atau skipjack tuna termasuk salah satu sumberdaya perikanan pelagis yang banyak dijadikan objek dalam usaha perikanan tangkap baik di Negara Indonesia maupun di negara-negara lainnya, sehingga termasuk ikan ekonomis penting di perairan Indonesia (Gigentika, Wisudo, & Mustaruddin, 2014). Ikan cakalang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia karena tekstur dagingnya yang baik dengan cita rasa yang tinggi (Alamsyah, Musbir, & Amir, 2014). Ikan cakalang menjadi salah satu sumber protein hewani yang bermanfaat bagi masyarakat. Ikan cakalang memiliki ciri memiliki dua sirip punggung yang terletak terpisah. Sirip punggung pertama terdapat 14-16 jari keras, dan sirip bagian punggung diikuti dengan 7-9 finlet.

Terdapat sebuah rigi – rigi yang sangat kuat diantara dua rigi yang lebih kecil dibandingkan sisi dan sirip ekornya (Suryanti et al., 2018).

Kandungan gizi yang tinggi serta dagingnya yang lembut dan lebih gurih dibandingkan dengan jenis ikan yang lain, sehingga menyebabkan ikan ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat Kota Probolinggo. Peningkatan konsumsi terhadap ikan cakalang ini menyebabkan para penjual di pasar tradisional melakukan berbagai macam cara untuk tetap menyediakan ikan cakalang tiap harinya dengan jumlah banyak. Salah satu cara yang dilakukan yaitu memberikan pengawet terhadap ikan agar dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama.

Teknik pengasapan ialah salah satu kemampuan khas warga dalam mengolah makanan ikan yang berada di sekitar Jalan Pantura Probolinggo.

Keberadaan penjual ikan asap ini tepatnya berada di Dusun Parsean, Desa Taman Sari, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo yang telah dikenal dengan olahan ikan asap. Aroma dan asap yang mengepul menjadi pemandangan sehari-hari di kawasan tersebut, bau yang keluar dari ikan yang diasap mengundang selera wisatawan dan pengguna jalan ditempat tersebut.

(2)

Aneka ikan asap yang dijual yaitu olahan jenis ikan asap, mulai pari asap, cakalang asap, tongkol asap, ikan kembung asap dan aneka ikan laut lainnya.

Menurut media Radar Bromo harga ikan asap yang dijual cukup bervariasi mulai dari harga Rp 5.000, sampai harga Rp 50.000 per tusuknya tergantung jenis dan berat ikannya. Ikan asap laut yang laris manis dibeli dan paling diminati ikan asap laut cakalang yang selalu terjual habis hampir setiap harinya. Jalur pantura yang berada di Dusun Parsean ini merupakan salah satu jalur pemudik arah Bali- Surabaya atau sebaliknya dan juga dekat dengan objek wisata Pantai Bentar, sehingga memberi keuntungan bagi para pedagang ikan asap yang menjajakan dagangannya.

2.1.2 Proses Pengolahan Ikan Asap

Pengasapan merupakan cara pengawetan/pengolahan ikan yang berasal dari hasil pembakaran arang kayu atau tempurung kelapa, sabut, serbuk gergaji atau sekam padi yang di asap. Di dalam pengasapan terkandung senyawa-senyawa yang mempunyai sifat mengawetkan, seperti senyawa phenol, formaldehyde dan lain-lain (Mareta & Awami, 2011). Tahapan proses produksi ikan asap dimulai dengan memotong dan membersihkan ikan terlebih dahulu, bagian dari tubuh ikan yang tidak akan diproses menjadi ikan asap dipisahkan seperti jeroan. Proses selanjutnya adalah pengasapan, dengan menyiapkan batang pohon kelapa sebagai bahan bakar yang akan menghasilkan asap disediakan dibawah rak pengasapan. Selanjutnya ikan diatur di atas rak pengasapan yang berjarak 1 meter dari lantai dasar rumah asap. Ikan disusun secara vertikal yaitu bagian kepala ikan menghadap ke bawah. Proses pengasapan terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama pengasapan berlangsung selama ± 6 jam dengan kisaran suhu pengasapan 40o C - 80º C, kemudian pengasapan tahap ke dua dilakukan selama ± 4 jam dengan kisaran suhu 40o C - 60º C. Pada tahap kedua, posisi ikan dibalik yaitu bagian kepala menghadap ke atas. Pengasapan dilakukan hingga warna daging ikan berubah menjadi kuning keemasan. Selanjutnya ikan dipindahkan ke rak kedua yang letaknya ± 1 m di atas rak pertama dan ikan asap siap untuk di jual.

(3)

2.2 Higiene 2.2.1 Higiene

Higiene lebih diutamakan menjaga kesehatan dari penyakit yang menitik beratkan kepada “objek” itu sendiri (manusia). Sanitasi makanan lebih diutamakan kegiatan menjaga kesehatan dari penyakit yang menitik beratkan kepada „lingkungan” yang ada di sekitar objek (manusia). Higiene sanitasi merupakan salah satu unsur yang saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Misalnya higiene sudah baik karena mau mencuci tangan tapi sanitasinya tidak mendukung karena tidak cukup tersediannya air bersih, maka mencuci tangan tidak bersih. Sehingga higiene sanitasi merupakan usaha kesehatan yang dilakukan untuk mengendalikan suatu faktor-faktor resiko yang dapat mengakibatkan kontaminasi pada suatu makanan, baik yang berasal dari bahan makanan, orang, tempat dan tempat agar aman dikonsumsi tubuh (KEPMENKES RI, 2011).

Menurut (Hutauruk, 2016), tujuan dari menjaga kehigenisan makanan yaitu : 1) Menjaga keamanan dan kemurnian makanan dari kontaminasi bakteri

2) Menghindarkan konsumen dari penyakit yang ditimbulkan oleh makanan 3) Menghindarkan penjamah makanan yang dapat merugikan pembeli 4) Menjaga makanan agar tidak mudah rusak

Depkes (2004) menyatakan bahwa ada 4 bagian aspek sanitasi makanan yaitu:

1) Kontaminasi

Kontaminasi atau pencemaran merupakan masuknya zat asing kedalam makanan yang tidak dikehendaki atau diinginkan. Kontaminasi dikelompokkan menjadi 4 macam yaitu pencemaran mikroba seperti bakteri, jamur, cendawan; pencemaran fisik seperti rambut, debu tanah, serangga dan kotoran lainnya; pencemaran kimia seperti pupuk, pestisida, mercuri, cadmium, arsen; serta pencemaran radioaktif seperti radiasi, sinar alfa, sinar gamma dan sebagainya.

(4)

2) Keracunan

Keracunan makanan merupakan timbulnya gejala klinis suatu penyakit atau gangguan kesehatan lain akibat mengonsumsi makanan yang tidak higienis. Terjadinya keracunan pada makanan disebabkan karena makanan tersebut telah mengandung unsur-unsur seperti fisik, kimia dan biologi yang sangat membahayakan kesehatan.

3) Pembusukan

Pembusukan merupakan proses perubahan komposisi makanan baik sebagian atau seluruhnya pada makanan dari keadaan yang normal menjadi keadaan yang tidak normal. Pembusukan dapat terjadi karena pengaruh fisik, enzim dan mikroba. Pembusukan karena mikroba disebabkan oleh bakteri atau cendawan yang tumbuh dan berkembang biak di dalam makanan sehingga merusak komposisi makanan yang menyebabkan makanan menjadi basi, berubah rasa, bau serta warnanya.

4) Pemalsuan

Pemalsuan merupakan upaya perubahan tampilan makanan yang secara sengaja dilakukan dengan cara menambah atau mengganti bahan makanan dengan tujuan meningkatkan tampilan makanan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga hal tersebut memberikan dampak buruk pada konsumen.

2.2.2 Persyaratan Kesehatan Makanan Jajanan 1) Penjamah Makanan

Penjamah makanan jajanan merupakan orang yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan makanan dan peralatannya sejak dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan sampai dengan penyajian. Berdasarkan Kepmenkes (2003) penjamah makanan jajanan dalam melakukan kegiatan pelayanan penanganan makanan jajanan harus memenuhi persyaratan antara lain :

a. Tidak menderita penyakit mudah menular misal : batuk, pilek, influenza, diare, penyakit perut sejenisnya;

b. Menutup luka (pada luka terbuka/ bisul atau luka lainnya);

c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku, dan pakaian;

(5)

d. Memakai celemek, dan tutup kepala;

e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan.

f. Menjamah makanan harus memakai alat/ perlengkapan, atau dengan alas tangan;

g. Tidak sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut atau bagian lainnya);

h. Tidak batuk atau bersin di hadapan makanan jajanan yang disajikan dan atau tanpa menutup mulut atau hidung.

2) Peralatan

Berdasarkan Kepmenkes (2003) peralatan yang digunakan untuk mengolah dan menyajikan makanan jajanan harus sesuai dengan peruntukannya dan memenuhi persyaratan higiene sanitasi. Menjaga peralatan adalah dengan cara:

a. Peralatan yang sudah dipakai dicuci dengan air bersih dan dengan sabun;

b. lalu dikeringkan dengan alat pengering/lap yang bersih

c. kemudian peralatan yang sudah bersih tersebut disimpan di tempat yang bebas pencemaran.

d. Dilarang menggunakan kembali peralatan yang dirancang hanya untuk sekali pakai.

3) Air, Bahan Makanan, Bahan Tambahan, dan Penyajian

a. Air yang digunakan dalam penanganan makanan jajanan harus air yang memenuhi standar dan Persyaratan Higiene Sanitasi yang berlaku bagi air bersih atau air minum.

b. Air bersih yang digunakan untuk membuat minuman harus dimasak sampai mendidih.

c. Semua bahan yang diolah menjadi makanan jajanan harus dalam keadaan baik mutunya, segar dan tidak busuk.

d. Semua bahan olahan dalam kemasan yang diolah menjadi makanan jajanan harus bahan olahan yang terdaftar di Departemen Kesehatan, tidak kadaluwarsa, tidak cacat atau tidak rusak.

(6)

e. Penggunaan bahan tambahan makanan dan bahan penolong yang digunakan dalam mengolah makanan jajanan harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

f. Bahan makanan, serta bahan tambahan makanan dan bahan penolong makanan jajanan siap saji harus disimpan secara terpisah

g. Bahan makanan yang cepat rusak atau cepat membusuk harus disimpan dalam wadah terpisah.

h. Makanan jajanan yang disajikan harus dengan tempat/alat perlengkapan yang bersih, dan aman bagi kesehatan.

i. Makanan jajanan yang dijajakan harus dalam keadaan terbungkus dan atau tertutup.

j. Pembungkus yang digunakan dan atau tutup makanan jajanan harus dalam keadaan bersih dan tidak mencemari makanan.

k. Pembungkus sebagaimana dimaksud dilarang ditiup.

l. Makanan jajanan yang diangkut, harus dalam keadaan tertutup atau terbungkus dan dalam wadah yang bersih.

m. Makanan jajanan yang diangkut harus dalam wadah yang terpisah dengan bahan mentah sehinggga terlindung dari pencemaran.

n. Makanan jajanan yang siap disajikan dan telah lebih dari 6 (enam) jam apabila masih dalam keadaan baik, harus diolah kembali sebelum disajikan.

4) Sarana Penjaja

Sarana penjaja merupakan fasilitas yang digunakan untuk penanganan makanan jajanan baik menetap maupun berpindah-pindah.

Menurut Kepmenkes (2003) sarana penjaja harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Makanan jajanan yang dijajakan dengan sarana penjaja konstruksinya harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi makanan dari pencemaran.

b. Konstruksi sarana penjaja sebagaimana dimaksud harus memenuhi persyaratan yaitu antara lain :

(7)

1. Mudah dibersihkan;

2. Tersedia tempat untuk : a) Air bersih;

b) Penyimpanan bahan makanan;

c) Penyimpanan makanan jadi/siap disajikan;

d) Penyimpanan peralatan;

e) Tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan);

f) Tempat sampah.

c. Pada waktu menjajakan makanan persyaratan diatas harus dipenuhi, dan harus terlindungi dari debu, dan pencemaran.

5) Sentra Pedagang

Sentra pedagang makanan jajanan merupakan tempat sekelompok pedagang yang melakukan penanganan makanan jajanan. Berdasarkan Kepmenkes (2003), sentra pedagang harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Untuk meningkatkan mutu dan higiene sanitasi makanan jajanan, dapat ditetapkan lokasi tertentu sebagai sentra pedagang makanan jajanan.

b. Sentra pedagang makanan jajanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lokasinya harus cukup jauh dari sumber pencemaran atau dapat menimbulkan pencemaran makanan jajanan seperti pembuangan sampah terbuka, tempat pengolahan limbah, rumah potong hewan, jalan yang ramai dengan arus kecepatan tinggi.

c. Sentra pedagang makanan jajanan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi meliputi :

1. Air bersih;

2. Tempat penampungan sampah;

3. Saluran pembuangan air limbah;

4. Jamban dan peturasan;

5. Fasilitas pengendalian lalat dan tikus;

4. Penentuan lokasi sentra pedagang makanan jajanan ditetapkan oleh pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

(8)

5. Sentra pedagang makanan jajanan dapat diselengggarakan oleh pemerintah atau masyarakat.

6. Sentra pedagang makanan jajanan sebagaimana dimaksud harus mempunyai pengelola sentra sebagai penanggung jawab.

7. Pengelola sentra pedagang makanan jajanan berkewajiban :

a) Mendaftarkan kelompok pedagang yang melakukan kegiatan di sentra tersebut pada Dinas Kesehatan Kabupaten/kota.

b) Memelihara fasilitas sanitasi dan kebersihan umum.

c) Melaporkan adanya keracunan atau akibat keracunan secepatnya dan atau selambat-lambatnya dalam 24 (duapuluh empat) jam setelah menerima atau mengetahui kejadian tersebut kepada Puskesmas/Dinas Kesehatan Kabupaten/kota.

2.3 Cemaran Mikroba 2.3.1 Cemaran Mikroba

Menurut BPOM (2005) Cemaran mikroba adalah cemaran dalam makanan yang berasal dari mikroba yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Bahan atau bahaya (hazards) yang dapat mencemari atau mengkontaminasi pangan terdiri dari : (Malina, 2018)

1) Bahaya biologis berupa cacing, parasit, bakteri (mikroba), cendawan/fungi, virus, riketsia.

2) Bahaya kimia berupa toksin bakteri, mitotoksin, cemaran logam berat, residu antimikroba,

3) Bahaya fisik berupa serpihan kaca, potongan kayu, logam, batu, rumput, benang, dll.

2.3.2 Cemaran Mikroba Pada Pangan

Sumber-sumber kontaminasi bahan makanan oleh bakteri ada bermacam-macam, antara lain manusia, udara, makanan mentah, hewan, serangga, buangan, debu dan kotoran, dan air yang tidak untuk diminum.

Manusia membawa bakteri dirambut, telinga, hidung, tenggorokan, usus dan kulit, terutama tangan. Batuk, bersin dan meludah akan memindahkan bakteri.

Menggaruk bintik-bintik pada kulit akan menyebarkan mikroba yang

(9)

berbahaya. Makanan mentah yang mungkin mengandung bakteri yaitu daging, unggas, buah dan sayuran (terutama sayuran dari dalam tanah), ikan, kerang.Bakteri dari berbagai sumber dapat dipindahkan pada makanan melalui kontak langsung. Permukaan tempat kerja, pisau, pakaian dan tangan yang tidak dicuci merupakan pembawa untuk memindahkan bakteri ke makanan (kontak tidak langsung). Benda-benda dapat mengkontaminasi makanan selama tahap- tahap proses produksi. Bahan kimia, termasuk pestisida, pemutih dan bahan pembersih lainnya dapat mengkontaminasi makanan apabila tidak digunakan dengan hati-hati (Malina, 2018).

Bahaya Biologis adalah bahaya berupa cemaran mikroba penyebab penyakit (pathogen), virus, dan parasit yang dapat menyebabkan keracunan atau penyakit jika termakan oleh manusia. Cemaran mikroba ini dapat berasal dari udara, tanah,, air dan tempat- tempat lainnya yang kotor (Malina, 2018).

Menurut Jurnal BPOM (2005) banyak faktor yang mempengaruhi jumlah serta jenis mikroba yang terdapat dalam makanan, diantaranya adalah sifat makanan itu sendiri (pH, kelembaban, nilai gizi), keadaan lingkungan dari mana makanan tersebut diperoleh, serta kondisi pengolahan ataupun penyimpanan. Jumlah mikroba yang terlalu tinggi dapat mengubah karakter organoleptik, mengakibatkan perubahan nutrisi / nilai gizi atau bahkan merusak makanan tersebut.

2.3.3 Jenis dan Batas Maksimum Cemaran mikroba dalam Makanan

Makanan yang diproduksi, diimpor dan diedarkan di wilayah Indonesia harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan. Batas maksimum adalah konsentrasi maksimum cemaran yang diizinkan terdapat dalam makanan. Persyaratan keamanan makanan harus dipenuhi untuk mencegah makanan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

Menurut BSNI (2008) Angka Lempeng Total (ALT) menunjukan jumlah mikroba dalam suatu produk.di beberapa negara dinyatakan sebagai Aerobic Plate Count (APC) atau Standard Plate Count (SPC) atau Aerobic Microbial Count (AMC). ALT secara umum tidak terkait dengan bahaya

(10)

kemanan pangan namun kadang bermanfaat untuk menunjukan kualitas, masa simpan,/waktu paruh, kontaminasi dan status higienis pada saat proses produksi.

Angka Lempeng Total (ALT) di sebut juga Total Plate Count (TPC) jenis cemaran mikroba makanan dengan menghitung jumlah mikroba aerob mesofilik per gram atau per mililiter contoh yang ditentukan melalui metode stndar. Analisa pangan dengan media plating (sumber energi) yang digunakan dalam pengujian ALT dapat mempengaruhi jumlah dan jenis bakteri yang di isolasi karena perbedaan dalam persyaratan nutrisi dan garam pada tiap mikroba.

Ikan asap hasil produksi harus memenuhi beberapa persyaratan mutu, sehingga ikan aman untuk dikonsumsi. Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap berdasarkan SNI 2725.1:2009 disajikan pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Asap

Jenis uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik Angka 1-9 Minimal 7

b. Cemaran mikroba - ALT

- Escherichia coli - Salmonella - Vibrio cholera*

- Staphylococcus aureus *

Koloni/g APM/g per 25 g per 25 g Koloni/g

Maksimal 1,0×105 Maksimall < 3 Negatif Negatif

Maksimal 1,0×103 c. Kimia

- Kadar air - Kadar histamin - Kadar garam

% fraksi massa mg/kg

% fraksi massa

Maksimal 60 Maksimal 100 Maksimal 4

Catatan *) Bila diperlukan (Kepmenkes RI, 2003)

2.3.4 Dampak Cemaran Mikroba pada Pangan Terhadap Kesehatan Manusia

Penyakit yang timbul bila seseorang mengkonsumsi makanan atau minuman dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu pertama makanan atau minuman tersebut mengandung mikroba/bakteri dalam jumlah yang cukup untuk menimbulkan gejala sakit, kedua makanan atau minuman tersebut mungkin mengandung komponen beracun (Malina, 2018).

Infeksi makanan yaitu penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minumnan yang mengandung mikroba pathogen, kemudian

(11)

mikroba tersebut dapat menembus sistem pertahanan tubuh, dan hidup secara berkembang biak didalam tubuh. Mikroba yang dapat menginfeksi dan menimbulkan penyakit adalah mikroba yang mempunyai data patogenitas tinggi dan daya virulensi kuat, sehingga dapat berkembang biak dan menyebar kedalam tubuh induk semang yang peka. Masa inkubasi yaitu waktu yang dibutuhkan dari mulai masuknya bibit penyakit kedalam tubuh sampai timbulnya gejala sakit, karena infeksi makanan biasanya lebih lama dari intoksikasi makanan. Mikroba mikroba potensial penyebab infeksi makanan antara lain Salmonella, Bacillus antracis, Campylobacter, Shigella, Vibrio, Yersinia, Escherichia coli tipe enteric (Malina, 2018).

2.4 Hubungan Jumlah Koloni Bakteri dengan Praktik Higiene Pedagang Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara perilaku penjamah dan pengolahan makanan dengan angka kuman pada makanan, adapun penelitiannya ialah ikan bawal bakar di kawasan wisata Pantai Depok Yogyakarta (Suryani, 2014). Adapun penelitian yang dilakukan di Potekkes Kemenkes Pontianak juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan enam prinsip higiene sanitasi makanan dan sarana sanitasi dengan angka kuman pada peralatan makan dan minum di sekitar Poltekkes Kemenkes Pontianak (Yulia, 2016). Ditegaskan dalam analisis penelitian tentang hubungan antara higiene dan sanitasi dengan jumlah angka kuman pada sambal di warung tenda Kota Pontianak tahun 2016 menunjukkan hasil bahwa ada hubungan personal hygiene penjamah makanan dengan jumlah angka kuman pada sambal (Kepriana, 2016).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kontaminasi bakteri pada makanan dapat berasal dari sanitasi tempat, peralatan dan bahan makanan atau faktor perilaku hygiene sanitasi penjamah makanan yang menangani makanan. Dampak kesehatan yang akan terjadi di masyarakat ialah penyakit bawaan makanan.

Karena media yang tidak diperhatikan kebersihannya menjadi transmisi kuman untuk memajan manusia pada saluran pencernaan kemudian bisa menimbulkan resiko yang lebih besar seperti kejadian keracunan makanan (Maharani, 2016).

(12)

2.5 Metode TPC (Total Plate Count) 2.5.1 Motode TPC (Total Plate Count)

Metode TPC digunakan untuk menghitung atau menentukan banyak mikroba dalam suatu bahan (makanan dan minuman) dilakukan untuk mengetahui seberapa besar masalah bahan makanan itu tercemar oleh mikroba (Anggraini, 2019). Semakin sedikit total mikroba yang tercemar menurut jumlah angka total standart yang di tentukan suatu lembaga maka makanan tersebut masih bisa terbilang baik dan memenuhi syarat. Namun apabila jumlah total mikroba yang tercemar lebih dari angka total standart maka makanan itu dianggap tidak baik dan tidak layak untuk di konsumsi. Kandungan mikroba pada suatu makanan dapat digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan pada makanan, serta dapat ditentukan oleh tingkat kelayakan untuk dikonsumsi.

Metode Total Plate Count (TPC) merupakan metode yang digunakan untuk menghitung jumlah mikroba yang terdapat dalam satu sample atau sediaan, metode ini biasanya juga disebut degan metode ALT (Angka Lempeng Total). TPC memberikan gambaran tentang kualitas dan higiene suatu bahan secara keseluruan, akan tetapi metode ini memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengidentifikasi sumber kontaminasi bakteri. Prinsip dari metode ini adalah menumbuhkan sel mikroorganisme yang masih hidup pada medium, kemudian mikroorganisme akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung, selanjutnya akan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Anggraini, 2019).

Metode TPC merupakan metode yang paling sensitif dalam menentukan jumlah mikroorganisme karena memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut: (Waluyo, 2011).

1) Hanya sel yang masih hidup yang dihitung 2) Beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus

3) Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena koloni yang terbentuk berasal dari satu sel mikroba dengan penampakan mikroba yang spesifik.

(13)

Selain kelebihan-kelebihan tersebut, metode TPC juga mempunyai kekurangan- kekurangan seperti :

1) Hasil perhitungan percobaan tidak menunjukkan jumlah sel mikroba yang sebenarnya karena beberapa sel yang terdekat kemungkinan membentuk satu sel koloni

2) Faktor persiapan medium dan inkubasi yang tidak sama dapat menghasilkan jumlah mikroba yang berbeda.

3) Mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni yang kompak, jelas dantidak menyebar

4) Diperlukan waktu untuk beberapa tahap persiapan dan inkubasi yang lama sehingga koloni mikroba dapat tumbuh dan dihitung.

Metode ini, sample yang diperkirakan mengandung 300 sel mikroba per ml atau per gram (apabila teknik pengambilan pada permukaan), mengharuskan dilakukannya teknik pengenceran sebelumnya. Tujuan dari teknik pengenceran untuk mengurangi jumlah kandungan mikroba dalam sample sehingga nantinya dapat diamati dan dihitung jumlah mikroorganisme secara spesifik dan didapatkan perhitungan yang tepat. jumlah yang didapat yang terbaiknya adalah di antara 30 sampai 300 koloni. Tahap-tahap pengenceran biasanya dilakukan secara desimal yaitu 1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya. Larutan yang digunakan dalam pengenceran dapat berupalarutan buffer, 0,85% NaCl atau larutan Ringer ( Waluyo, 2011).

Metode TPC (hitung cawan) dibedakan menjadi dua cara, yakni metode tuang (pour plate) dan metode permukaan (surface/spread plate). Menurut (Waluyo, 2011) menyebutkan bahwa kedua metode tersebut dapat dibedakan dari tahap awal penggunaan media agar dan tidak menggunakan media agar , yaitu pada metode tuang sample tahapan awal yang dilakukan adalah pengenceran sample yang kemudian dimasukkan kedalam cawan petri.

Sedangkan metode permukaan terlebih dahulu harus membuat medium, kemudian menuang sample pada cawan petri dan membiarkan membeku.

(14)

2.5.2 Perhitungan Koloni Bakteri

Perhitungan koloni bakteri biasanya digunakan suatu standart yang disebut

“Standart Plate Count” yang menjelaskan cara menghitung koloni pada cawan serta cara memilih data yang ada untuk menghitung jumlah koloni dalam satu sample. Cara hitungan cawan menggunakan SPC sebagai berikut:

1) Setiap cawan akan dihitung apabila mengandung jumlah koloni antara 30 sampai 300 atau berjumlah sekitar 300.

2) Beberapa jumlah koloni yang tidak jelas atau tidak terlihat dapat dihitung menjadi satu koloni.

3) Satu kumpulan rantai koloni yang terlihat seperti suatu garis tebal dapat dihitung sebagai satu koloni.

4) Perbandingan jumlah bakteri dilihat dari hasil pengenceran yang lebih besar dan pengenceran lebih sebelumnya; apabila hasilnya menunjukkan sama atau <2 hasilnya harus dirata-rata. sebaliknya apabila hasilnya menunjukkan >2 yang digunakan adalah jumlah mikroba dari hasil pengenceran sebelumnya.

5) Apabila dalam pengenceran menggunakan ulangan dan hasilnya sesuai dengan standart maka harus dirata-rata (Waluyo, 2008).

Rumus untuk menghitung jumlah koloni yaitu :

Koloni per ml atau per gram = jumlah koloni per cawan x

Cara pelaporan dan perhitungan koloni menurut Standart Plate Count (SPC) sebagai berikut:

1) Hasil yang dilaporakn hanya terdiri dari angka pertama (satuan) dan angka kedua (desimal), jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari 5, maka dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua, contohnya didapatkan 1,7 x 104 unit koloni/ml atau 2,0 x 106 unit koloni/gram.

2) Apabila pada semua hasil pengenceran dihasilkan kurang dari 30 koloni per cawan petri dapat disimpulkan bahwa pengenceran yang dilakukan terlalu tinggi maka jumlah koloni pada pengenceran terendah yang dihitung.

Hasilnya dapat dilaporkan kurang dari 30 dikalikan dengan besarnya

(15)

pengenceran dan jumlah yang sebenarnya harus tetap dicantumkan dalam tanda kurung.

3) Apabila pada semua pengenceran dihasilkan lebih dari 300 koloni pada cawan petri dapat disimpulkan bahwa pengenceran yang dilakukan terlalu rendah maka jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung.

Hasil yang dapat dilaporkan adalah lebih dari 300 dikalikan dengan faktor pengenceran dan jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan dalam tanda kurung.

4) Apabila jumlah cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan jumlah koloni antara 30 dan 300 dan perbandingan pengenceran hasil tertinggi dan terendah tersebut lebih kecil atau sama dengan dua dapat dilaporkan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan menghitung faktor pengencernya. Jika perbandingan kedua pengenceran tersebut menghasilkan lebih besar dari dua yang dilaporkan hanya hasil yang terkecil.

5) Apabila digunakan dua cawan petri (duplo) per pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut dan tidak boleh hanya dari 1 cawan petri, sehingga harus memilih tingkat pengenceran yang dapat menghasilkan jumlah koloni 30 dan 300 dari kedua cawan petri tersebut.

2.6 Sumber Belajar Biologi

Sumber belajar merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi, pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan dalam proses belajar mengajar yang memudahkan guru dan siswa dalam memahami pembelajaran (Purnomo, 2012). Salah satu komponen dari pendidikan nasional yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional adalah kurikulum, pergantian kurikulum KTSP menjadi kurikulum 2013 di indonesia saat ini menuntut guru agar memberikan sumber belajar yang menarik dan tepat dalam rangka membantu peserta didik untuk mencapai kompetensi dasar. Penggunaan sumber belajar diharapkan dapat memberikan informasi dalam rangka mempermudah guru mengajar dan

(16)

siswa dalam belajar, apabila dapat dicapai kualitas pembelajaran yang baik maka akan dicapai pula hasil belajar yang baik.

2.6.1 Kriteria Pemilihan Sumber Belajar

Adapun kriteria dalam pemilihan sumber belajar antara lain yaitu:

(Supriadi, 2015).

1) Sumber belajar yang dipilih sesuai dengan tujuan pembelajaran

2) Pemilihan sumber belajar yang ekonomis, artinya tidak harus terpatok pada harga yang mahal

3) Sumber belajar yang bersifat praktis dan sederhana

4) Pemilihan sumber belajar yang mudah diperoleh, artinya sumber belajar dapat berasal dari lingkungan sekitar.

5) Fleksibel, artinya dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan interaksional

2.6.2 Klasifikasi Sumber Belajar

Adapun klasifikasi sumber belajar sebagai berikut : (Abdullah, 2012)

1) Pesan (message) merupakan informasi yang disampaikan dalam bentuk ide, makna, dan fakta.

2) Bahan media softwear (materials) merupakan perangkat lunak yang biasanya berisi pesan.

3) Peralatan hardwear (device) merupakan perangkat keras yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat di dalam bahan.

4) Teknik (technique) merupakan prosedur atau langkah-langkah tertentu dalam menggunakan bahan, peralatan, lingkungan dan orang dalam menyampaikan pesan.

5) Latar (setting) merupakan lingkungan dimana pesan itu disimpan oleh pembelajar.

Beberapa jenis klasifikasi pada sumber belajar adalah sebagai berikut : 1) Cetak dapat berupa; buku, majalah, brosur, koran, poster, denah, ensiklopedia,

kamus, booklet, dan sebagainya.

2) Non cetak dapat berupa; file, slide, model, transparasi, reali dan sebagainya.

(17)

3) Fasilitas sarana prasarana dapat berupa; perpustakaan, ruangan belajar, carrel, studio, lapangan olag raga dan sebagainya.

4) Kegiatan dapat berupa; wawancara, kerja kelompok, observasi, simulasi, permainan dan sebagainya.

5) Sumber belajar sejenis dari lingkungan dapat berupa; taman, terminal, pasar, toko, pabrik, museum dan sebagainya.

2.6.3 Fungsi Sumber Belajar

Sumber belajar memiliki fungsi sangat penting biasanya digunakan dalam mendukung pembelajaran peserta didik. Fungsi utama dari sumber belajar ialah untuk memperbaiki, memelihara, dan meningkatkan kualitas pembelajaran yang sedang dilaksanakan. Beberapa fungsi sumber belajar yaitu:

(Supriadi, 2015)

1) Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan : (a) mempercepat laju belajar dan memebantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan (b) mengurangi beban guru dalam menyampaikan informasi.

2) Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual kepada peserta didik dengan cara: (a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional; dan (b) memebrikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya.

3) Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pemeblajaran dengan cara:

(a) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis; dan (b) pengembangkan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.

4) Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan: (a) meningkatkan kemampuan sumber belajar; (b) penyajian informasi dan bahan secara lebih konkrit. Fungsi-fungsi di atas sekaligus menggambarkan tentang alasan dan arti penting sumber belajar untuk kepentingan proses dan pencapaian hasil belajar siswa

2.6.4 Pemanfaatan Hasil Penelitian sebagai Sumber Belajar

Sumber belajar dapat disusun melalui kajian dari hasil penelitian menjadi sumber informasi yang berkaitan dengan pengembangan ketrampilan yang dibutuhkan oleh siswa yang berupa fakta dan konsep. Kriteria

(18)

sumber belajar yang ideal yang harus terpenuhi dari hasil penelitian sebagai berikut : (Munajah & Susilo, 2015)

1) Terdapat potensi yang jelas : fakta-fakta yang berupa permasalah yang terdapat pada hasil penelitian yang sesuai dengan kurikulum.

2) Kesesuaian dengan tujuan : fakta hasil penelitian sesuai dengan tujuan pada kompetensi dasar (KD) pembelajaran yang sesuai dengan sumber belajar.

3) Kejelasan sasaran : terdiri dari objek dan subjek penelitian

4) Kejelasan informasi : informasi yang didapat dapat di golongkan menjadi 2 aspek yaitu proses dan produk penelitian yang telah disesuaikan dengan kurikulum

5) Terdapat kejelasan eksplorasi : tahap-tahap cara kerja dalam penelitian

6) Perolehan yang jelas : hal ini dapat berupa proses dan produk penelitian yang berdasarkanpada tujuan belajar biologi. Beberapa aspek dalam pembelajaran biologi melitupi: Perolehan kognitif, Perolehan afektif dan Perolehan psikomotorik

(19)

2.7 Kerangka Konseptual

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

2.8 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan jumlah koloni bakteri dengan praktik higiene pedagang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L.) asap yang diberada di Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo.

Gambar

Tabel 2.1 Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Asap
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait