EROSI LEKSIKON BIDANG PERSAWAHAN DI BALI:
SUATU KAJIAN EKOLINGUISTIK
Oleh
Ni Ketut Ratna Erawati
PS Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Universitas Udayana e-mail: [email protected] / [email protected]
ABSTRACT
Balinese language is a communication tool used by ethnic Bali. Balinese language is the language of the heterogeneous environments that tend to influence other languages. If it is historically observed, Balinese language showed signs of scouring the lexicons. It will be observed in the realm of rice field. In Bali, the rice fields there are many swicthes of land function. This land uses change leading to use of lexicons that refer to this environment of diminishing returns. Therefore, these issues are relevant to be discussed based on ecolinguistic theory. This theory is seen as life science, the science and living language, culture, people, and environment. Based on the results of field research, there were some lexicons related to rice fields case in which erosion occured.
EROSI LEKSIKON BIDANG PERSAWAHAN DI BALI: SUATU KAJIAN EKOLINGUISTIK
1. Pendahuluan
Bahasa Bali merupakan bahasa yang memiliki penutur yang cukup
banyak, yaitu diperkirakan di atas 2,5 juta dan merupakan bahasa yang tergolong
besar. Bahasa Bali berkembang pesat di Pulau Bali dan daerah-daerah transmigran
yang berasal dari Bali, seperti di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, dan
daerah-daerah lain. Hal ini menandakan bahasa Bali telah tersebar ke seluruh
tanah air yang notabeneakan berimplikasi pada penutur bahasa Bali semakin
bertambah. Di Bali bahasa Bali tidak berkembang secara homogen tetapi
berkembang secara heterogen. Hal ini disebabkan banyak penutur non-Bali yang
masuk pada ranah lingkungan penutur bahasa Bali sehingga interaksi di
sekitarnya tidak terelakkan.Lambat laun bahasa Bali cenderung terpengaruh
bahasa sekitarnya. Di sisi lain, Bali merupakan daerah tujuan pariwisata baik
bertaraf nasional maupun internasional memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan bahasa Bali. Demikian pula,perkembangan teknologi dan taraf
perekonomian masyarakat semakin meningkat.
Secara historis dan sinkronis bahasa Bali diprediksi mengalami pergeseran
sehingga bahasa Bali yang dikenal dewasa ini lebih bervariatif. Apabila
diteropong dari dimensi ruang dan waktu, bahasa Bali tampak telah berevolusi
sesuai dengan ranah lingkungannya.Dimensi ruang dan waktu merupakan
parameter yang paling andal untuk melihat terjadinya perubahan bahasa yang
berakibat pada terevolusi atau tererosinya sebuah bahasa.Di dalam tulisan ini akan
dibahas salah satu ranah lingkungan yang diprediksi terdapat pengurangan
penguasaan/pengetahuan masyarakat terhadap leksikon-leksikon yang berkaitan
dengan bidang persawahan di Bali. Ranah ini cukup menarik untuk ditelaah
karena banyak lahan persawahantelah dialihfungsikan ke manfaat lain.
Pengalihfungsian lahan ini cenderung membawa akibat tererosinya
2. Ekologi Sosial dan Ekolinguistik 2.1 Ekologi Sosial
Terkait dengan prediksi penguasaan masyarakat terhadap
leksikon-leksikon pada lingkunan persawahan di atas, dalam hal ini, perlu diungkap hal-hal
yang melatari terjadinya peristiwa tersebut.Ekologi sosial merupakan titik awal
dari perkembangan atau tergerusnya suatu bahasa.Kata ekologi berasal dari bahasa
Yunani oikos berarti “rumah” atau “tempat untuk hidup”.Secara harfiah, ekologi
adalah pengkajian organisme-organisme “di rumah”.Selanjutnya,ekologi
didefinisikan sebagai pengkajian organisme-organisme atau kelompok organisme
terhadap lingkungannya atau hubungan timbal balik antara organisme-organisme
hidup dan lingkungannya (Odum, 1996). Lingkungan yang mendampingi
lingkungan tertentu akan selalu berinteraksi sehingga menimbulkan suatu
ekosistem, misalnya sosiologi lingkungan secara umum mengkaji hubungan
antarmanusia atau mengkaji tentang kehidupan manusia (social life). Di satu sisi,
telah berkembang tentang hukum lingkungan, persoalan ekonomi lingkungan
yang muncul pada manusia dan berasal dari metabolisme fisik masyarakat
modern, seperti produksi dan konsumsi fisik, usaha-usaha untuk memperoleh
sumber daya alam dan pertumbuhannya (Susilo, 2012: 3-4). Dengan demikian,
lingkungan sosial akan berpengaruh terhadap perkembangan karakter lingkungan
sekitarnya tempat mereka hidup. Manusia dalam interaksinya bersifat
determinisme, serba kemungkinan maupun dialektis antara manusia-lingkungan
tidaklah bersifat kekal.Oleh karena sifatnya tidak kekal, lingkungan itu cenderung
berubah dimotori oleh manusia.Sejalan dengan hal tersebut,manusialah yang
dapat mengatur perkembangan alam ini secara bertahap sehingga alam
bebar-benar bisa ditaklukkan.
Seorang guru besar ekologi dari Universitas Parma, Itali bernama Antonio
Maroni menyatakan bahwa, episode hubungan manusia dengan lingkungan
pararel dengan latar belakang sejarah hubungan manusia dengan alam semesta
itu.Menurutnya, tahapan-tahapan yang terpenting dan krusial ini dibagi menjadi
tiga tahap, yakni; masa keseimbangan alam, masa ketidakseimbangan alam, dan
2.2 Ekolinguistik
Bahasa merupakan simbol kompleks yang dilatarbelakangi oleh pengaruh
lingkungan fisik dan sosial kelompok masyarakat.Lingkungan fisik ituseperti;
geografi/topografi iklim, pantai, lembah, dan lain-lain yang dianggap sebagai
dasar dari perekonomiannya.Pengaruh lingkungan sosial merupakan pengaruh
yang dimulai dari pemikiran yang bersifat individu, kelompok, dan organisasi
politik.Perkembangan bahasa dapat dipengaruhi oleh sistem pembelajaran yang
menyangkut kosa kata, sistem fonetik, sistem gramatikalnya yang menyangkut
morfologi dan sintaksis.Kosa kata merupakan cermin paling jelas dalam
lingkungan fisik dan sosial penuturnya. Faktor fisik dan sosial masyarakat sangat
potensial untuk menghasilkan leksikon-leksikon baru sehingga karakteristik kosa
kata dari sekelompok sosial masyarakat akan tercermin.Misalnya,
leksikon-leksikon di daerah perbukitan akan berbeda dengan leksikon-leksikon-leksikon-leksikon yang
terdapat di daerah pantai/nelayan, demikian pula leksikon-leksikon dalam bidang
politik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, bahasa/leksikon-leksikon memiliki
makna yang kompleks yang dapat dianalisis lebih jauh/lengkap bukan sekadar
analisis deskripsi yang transparan.Oleh karena itu, karakteristik lingkungan akan
tercermin dalam bahasanya dan pada tingkat yang lebih besar terjadi dalam
lingkugan sosialnya sehingga keuniversalan dapat dideskripsikan secara lengkap.
Dengan demikian, kosa kata sebagai cermin lingkungan sosial harus diberikan
tempat dan ruang untuk diperkaya secara terus menerus dengan peningkatan
kompleksitas budaya dan kompleksitas linguistik. Kedua komplesitas ini
digunakan untuk merujuk pada tingkat perkembangan morfologi dan sintaksis
(Sapir, dalam Fill, Alwin dan Peter Muhlhausler , 2001: 13-23).
Terkait dengan lingkungan sosial di atas bahasapun dapat dipengaruhi
oleh lingkungan tertentu, misalnya bahasa di lingkungan kelautan/nelayan, bahasa
di lingkungan perbukitan (perladangan, persawahan), bahasa di lingkungan
politik, bahasa lingkungan ekonomi, dan lain-lainnya. Setiap lingkungan tersebut
memiliki sejumlah leksikon yang erat dengan lingkungan mereka berada.Ciri khas
masihmudausia, yaitu teori ekolinguistik.Ekolinguistk mulai gencar dibicarakan
pada tahun 1990. Konsep-konsep ekolinguistik sudah berkembang sejak tahun
1921 dengan rintisan Edwar Sapir (1884-1939), dilanjutkan oleh Haugen (1972),
dan sangat gencar dibicarakan oleh Fill dan Muhlhauslerpada tahun 2001.
Di dalam perspektif ekolinguistik, ekolinguistik dipandang sebagai
lifescience; ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan (bahasa, budaya,
manusia, dan lingkungannya).Bahasa dalam perspektif ekolinguistik dipahami
sebagai realitas alam dan manusia.Bahasa hidup dan berkembang dalam manusia
niscaya dimensi biologis yang insani selalu terkait dengan dimensi sosiologisnya.
Bahasa harus dipelajari dan diajarkan pada generasi baru, sekaligus memungsikan
bahasa sebagai wahana komunikasi dengan orang lain. Manusia sebagai daya
ciptabahasa dapat memahami, menata kehidupan manusia, maka bahasa dapat
dipandang seabagi sesuatu yang hidup.Bahasa hidup dalam jiwa raga manusia
berdasarkan pada alat-alat ucap (organsofspeech).Bahasa yang dituturkan itu
berlandaskan dimensi sosio-kultural.Interaksi antara lingkungan sosial dan budaya
yang harmonis dapat melindungi hak hidup bahasa dalam guyub tuturnya.
Selanjutnya, asumsi dasar teori ini adalah merekonstruksi bahasa-bahasa lokal
sehingga dapat dilestarikannya.
Untuk mengkaji fenomena kebahasaan, ada tiga parameter ekologi, yakni;
(1) lingkungan (invironment), (2) keberagaman (diversity), dan (3) interaksi,
interelasi, dan interdependensi. Ketiga parameter itu merupakan sendi dasar kajian
ekolinguistik (Haugen, 1972:, 325-339; lihat juga Mbete, 2011). Lebih lanjut
dikatakannya, kajian ekolinguistik memiliki ruang kajian yang sangat luas yang
saling berhubungan, yaitu: linguistik historis komparatif (LHK), demografi,
sosiolinguistik, dialinguistik, dialektologi, filologi, linguistik, preskriptif
glotopolitik, etnolinguistik, tipologi (Haugen, 1972: 336-337).
Konsep dan teori di atasmanandakan bahasa dan lingkungan memiliki
hubungan timbal balik.Lebih luas lagi, perubahan-perubahan ekologis turut
memengaruhi nilai, idiologi, dan budaya sebagai bagian dari identitas keetnikan
sebuah masyarakat sebaliknya bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan
negatif.Dampak positif, yaitu dapat berimplikasi terhadap lingkungan fisik,
ekonomi, dan sosial.Misalnya, terpeliharanya lingkungan itu dan
keseimbangan,serta terwarisnya lingkungan yang ada pada generasi berikutnya.
Dampak negatif,yaitu terjadinya pelbagai perubahan, ketidakseimbangan, dan
kerusakan ekosistem. Dengan demikian, bahasa dapat mengarahkan untuk hal-hal
yang berisifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif terkait lingkungan
(al-Gayoni, 2010: 36).
Terkait dengan deskripsi di atas, bahwa bahasa tercipta berdasarkan
lingkungannya.Lingkungan rusak berimplikasi pada bahasa, masyarakat, dan
budayanya.Selanjutnya, pada tulisan ini akan dibahas perihalleksikon dalam
lingkungan persawahan di Bali. Sebagai dasar pemikiran, kajian ini akan
diteropong dari dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang
adalah lingkungan yang mendukung terciptanya dan tererosinya leksikon-leksikon
itu sedangkan dimensi waktu adalah periode atau umur para pemakai
leksikon-leksikon tersebut.Adapun masalah yang hendak dijawab adalah “Bagaimanakah
keberadaan leksikon-leksikon bahasa Bali di bidang persawahan di Bali?”
Masalah itu akan dibedah berdasarkan perspektif ekolinguistik. Teori ini cukup
relevan karena ekolinguistik menyelidiki tentang bahasa dikaitkan dengan
lingkungannya.
3. Pembahasan
Sawah sebagai suatu ekosistem memiliki ciri khas yang paling menarik,
yaitu sawah itu sangat stabil dan tahan lama, Sawah itu secara berkesinambungan
menghasilkan panen yang boleh dikatakan tak berkurang dari tahun ke tahun,
bahkan bisa dua kali dalam setahun. Areal persawahan mesti memiliki tata kelola
yang baik untuk mendapatkan padi tumbuh subur dan hasil yang baik. Misalnya,
sistem irigasi yang baik, debit air yang memadai, dan sebagainya. .Eric R. Wolf
(1966) menjelaskan bahwa, sistem sawah memberikan landasan yang kokoh bagi
masyarakat petani, tempat lahan-lahan ini memerlukan banyak air untuk
yang besar berkaitan dengan kekuasaan politik (Fahmi, 2010: 25). Situasi politik
seperti itu, dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat yang dapat merubah
prilaku masyarakat itu sendiri. Di Bali,misalnya telah banyak terjadi perubahan
perilaku masyarakat dalam bertani dan beralih pekerjaan.
Masyarakat Bali di era sekarang terdiri atas berbagai etnik. Oleh karena
itu, bahasa Bali berkembang cukup pesat sehingga lambat laun bahasa Bali bisa
terkontaminasi oleh bahasa lain. Multietnik dan kemajuan ekonomi dapat
membawa implikasi langsung terhadap perubahan perilaku masyarakat. Misalnya,
pengalihan lahan sawah menjadi perumahan, perkebunan menjadi vila, dan lain
sebagainya. Perubahan alih fungsi itu dapat menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinya perubahan terhadap bahasa Bali. Hal ini menyebabkan sejumlah
leksikon yang terkait dengan faktor lingkungan dapat mengalami perubahan
pula. Khusus dalam bidang persawahan di Bali ada sejumlah leksikon yang
penggunaannya tidak umum lagi bahkan cenderung dilupakan terutama oleh
generasi muda. Beberapa tahun ke depan leksikon/istilah itudiprediksi akan
menjadi kenangan sejarah bahasa semata dan hanya tertera dalam kamus sehingga
terasa asing bagi generasi berikutnya. Beberapa leksikon dalam bidang
persawahan di Bali akan diklasifikasi menjadi dua, yaitu kelompok nominal dan
kelompok verbal. Di samping itu, akan dilengkapi dengan beberapa leksikon yang
berkaitan dengan bidang persawahan sebagai metafora.Penelaah tulisan kecil ini
dengan menggunakan 30 orang responden berdasarkan kriteria umur.
3.1 Leksikon-Leksikon bidang Persawahan
Pengelompokan leksikon bidang persawahan ini akan dikelompokkan
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok nominal (nomina kongkret,nomina yang
bersifat magis, dan nomina bilangan) dan kelompok verbal.Masing-masing
kelompok tersebut dideskripsikan seperti berikut ini.
3.1.1 Nomina kongkret :
1. lampit„alat penghancur‟,
2. pemlasahan„alat meratakan‟,
4. sorok„alat pembersih pematang dengan cara dari atas ke bawah‟,
5. seser„alat penjaring binatang sawah‟,
6. singkal„mata bajak‟,
7. tenggala„bajak‟,
8. kroso ‟alat penutup mulut sapi pada saat membajak‟, juga sebagai wadah belut,
9. capil/capilcukup‟terbuat dari daun kelapa/pelapah pinang‟,
10. anggapan‟anai-anai‟,
11. bulih„bibit padi yg siap ditanam‟,
12. empelan„bendungan‟
11. temuku„alat/sarana pembagian air lebih banyak(besar)‟,
12. sekundan„pembagian air dalam sekup yang lebih kecil‟,
13. kekalen„kolam kecil di pinggir sawah‟,
14. cakar 'alat pembersih gulma di sawah'
15. lelakut/petakut „orang-orangan‟ (yang dibuat untuk menakut-nakuti
19. gelanggang „alat pengangkut padi‟ (padi yang diikat seperti pada kata
bilangan)
Leksikon-leksikon di atas hanya dipergunakan dalam lingkungan
persawahan.Leksikon ditemukan sebanyak sembilan belas buah.Leksikon tersebut
diprediksi terancam mengalami erosi. Hal itu disebabkan, lahan tempat leksikon
itu digunakan semakin berkurang bahkan banyak tergantikan oleh lahan lain.
Berdasarkan penyebaran kuisioner dan wawancara dengan beberapa petani,
leksikon medangpadi „bulupadi‟ leksikon tersebut tidak pernah lagi digunakan
untuk merujuk pada padi. Hal itu dikarenakan, di Bali sistem tanam padi telah
berkurang dan jenis padinya pun berganti dari padi Bali yang banyak bulunya
yang tidak mudah rontokmenjadi jenis PB 5 yang tidak berbulu dan mudah
rontok. Berdasarkan daftar koesioner yang diedarkan, bahwa anak-anak yang
berumur di bawah 30 tahun menjawab 70 % dengan tidak pernah melihat
medangpadi. Responden yang berumur 30 – 50 tahun menjawab 40 % pernah
mendengar saja, dan responden yang berumur di atas 50 tahun mengetahui dan
pernah melihat. Jadi leksikonmedangpadi „bulu padi‟ ini telah menghilang.Kata
lagi bendanya. Penggunaannya alat ini telah digantikan dengan alat pemotong
padi yang lain sehingga penggunaan leksikon ini telah tererosi. Di Bali
penggunaan alat ini hanya digunakan pada lingkungan sawah saja.
Kata tenggala „bajak‟ dan singkal „mata bajak‟ adalah alat ini digunakan
secara bersamaan dalam membajak sebagai alat penggembur tanah. Saat ini
penggunaan alat itu telah tergantikan oleh alat yang berbasiskan teknologi,
yaitutraktor. Berdasarkan jawban responden, bahwa responden yang berumur di
bawah 30 tahun 90 % mengatakan tidak pernah mengetahui leksikon itu,
responden yang berumur 30-50 tahun menjawab 70% tidak mengetahui,
sedangkan responden yang berumur di atas 50 tahun menjawab pernah melihat
dan pernah memakai. Kalau dibandingkan prosentase yang diperoleh bahwa telah
terjadi proses ketidaktahuan telah menunjukkan peningkatan. Jadi dapat dikatakan
erosi penggunaan leksikon ini semakin meningkat dan cenderung
tererosi.Selanjutnya, kata jubel, blauk, klipes, cucutan, lelintah „sejenis binatang hanya hidup di sawah‟. Kata jubel dan cucutan berdasarkan jawaban responden dapat dikatakan, bahwa responden yang berumur di bawah 30 tahun dan
responden yang berumur 30-50 tahun menjawab 60% tidak pernah/sama sekali
tidak mengetahui, sedangkan responden yang berumur di atas 50 tahun masih
mengenali leksikon-leksikon tersebut dan masih bisa membayangkan wujudnya.
Namun, binatangnya tidak dapat dijumpai lagi (punah). Sementara generasi muda
30 tahun ke bawah bahkan tidak pernah tahu sama sekali istilah itu apalagi
melihatnya. Berdasarkan hasil pengamatan itu, leksikon seperti itu telahtererosi
oleh karena lahan mereka untuk hidup telah hilang akhirnya orang-orang tidak
pernah melihat binatang seperti itu. Kalau lahan itu telah digantikan dengan lahan
lain berarti telah terjadi perubahan terhadap lingkungan lahan itu dari lahan sawah
menjadi perumahan. Oleh karena lingkungan sawah tidak ada lagi, secara
otomatis leksikon-leksikon yang pernah ada, tidak akan pernah digunakan dan
lama-lama menjadi tererosi. Kata singkal dantenggala, kemajuan teknologi
menyebabkan alat ini tergantikan oleh alat mesin, yaitu traktor. Kata traktor itu
akan membentuk leksikon baru dalam Bahasa Bali, seperti yang terjadi pada
3,1,2 Nomina yg bersifat magis.
Di samping leksikon di atas, ditemukan pula leksikon-leksikon dalam
bahasa Bali yang mengandung nilai magis.Leksikon yang dimaksudkan dapat
dilihat seperti berikut ini.
1. sambungtulang „dipercaya sebagai alat penghalau sayong (kabut) agar bulir pada tetap bernas‟;
2. nini/sri „simbolik yang dibuat dari padi untuk memuja dewi sri (dewa kemakmuran), jika pemilik sawah tidak membuat sri/nini itu dipercaya akan boros‟;
3. tegakannini/linggih nini„sebakul padi sebagai tempat duduk nini’; 4. biukukung„upacara ketika padi menjelang tumbuh bakal biji‟ dipercaya
agar padi dapat tumbuh subur‟
Kata sambungtulang menurut kepercayaan masyarakat yang mengerjakan
lahan tanam padi.Sambungtulang dipercaya masyarakat Bali dapat menghalau
kabut yang bisa merusak tanaman padi.Ketika padi sedang tumbuh bakal biji
maka ditaruhlah pohon sambungtulang itu.Pohon itu dipercaya dapat
menyebabkan padi tumbuh subur dan berhasil baik.Leksikon ini tidak
dipergunakan lagi oleh masyarakat petani padi, oleh karena pola tanam padi telah
berubah menjadi padi unggul.Penggunaan sambungtulang saat ini tidak digunakan
lagi.Kepercayaan tersebut berangsur-angsur pudar.Hal ini disebabkan oleh pola
pikir masyarakat yang lebih realistis dan ilmiah.Seiring dengan tingkat kemajuan
perekonomian dan pendidikan.Kepercayaan itu telah menghilang dan dibuktikan
dengan hasil jawaban responden. Responden yang berumur di atas 50 tahun 70%
masih mengenali istilah itu, responden yang berumur di antara 30 – 50 tahun 60%
pernah mendengar, sedangkan responden di bawah umur 30 tahun menjawab 80%
tidak pernah mengetahui sama sekali. Oleh karena leksikon ini merupakan suatu
kepercayaan, ada kemungkinan di suatu daerah kabupaten di Bali tidak
menggunakan leksikon seperti itu. Namun, berdasarkan kuisioner umur tersebut
dapat dikatakan leksikon itu semakin berkurang dan lambat laun akan punah.
Demikian pula, leksikonnini/sri, tegakan/linggihnini, upacara biukukung harus
dilaksanakan oleh petani padi itu. Dengan adanya sistem pembelian padi di sawah
saat ini (sistem grosiran), banyak petani tidak membuat nini dengan alasan tidak
Sistem pola jual-beli padi itu lama-kelamaan menyebabkan leksikon ini tererosi
karena wujud nini itu tidak dibuat lagi dan akhirnya generasi berikutnya tidak
mengetahuinya. Pernyataan itu dapat didukung dengan hasil jawaban responden,
yaitu responden yang berumur di atas 50 tahun 70% pernah mengenal dan
mengetahui leksikon-leksikon itu, responden yang berumur 30-50 tahun 70%
tidak mengetahui sama sekali, dan responden dengan umur di bawah 30 tahun
90% tidak mengetahui sama sekali. Berdasarkan hasil tersebut leksikon-leksikon
ini pengenalannya semakin tererosi dan akhirnya menjadi punah.
3.1.3 Nomina Bilangan
Sejumlah leksikon nomina bilangan yang dikenal dalam bidang
persawahan di Bali, yaitu: ategen, apentel, aseet, ageleng, aseping, acekel.
Leksikon-leksikon itu menyatakan ukuran padi. Leksikon-leksikon itu digunakan
untuk menyatakan ukuran padi dari ukuran terbesar sampai ukuran terkecil.
Leksikon-leksikon bilangan di atas, menyangkut ukuran padi dan sangat
berhubungan dengan leksikon gelanggang di atas. Contoh: dua seet padi akan
diangkut dengan gelanggang oleh petani laki-laki sehingga membentuk leksikon
ategen; kumpulan cekel digabungkan akan membentuk ukuran aseping, kumpulan
beberapa seping akan dinamai ageleng, kumpulan beberapa geleng akan
membentuk aseet, dan seterusnya. Berdasarkan hasil kuesioner yang didasari oleh
kriteria umur responden didapatkan, bahwa leksikon asepingkriteria umur
responden di bawah 30 tahun 90% menjawab tidak pernah mengetahui leksikon
itu, responden yang berumur 30- 50 tahun 60% tidak mengetahui, dan responden
yang berumur di atas 50 tahun 90% pernah mengetahui, namun saat ini tidak
pernah digunakan lagi. Berdasarkan perbandingan itu dapat dikatakan penggunaan
leksikon-leksikon tersebut mengalami penurunan.Akhirnya, leksikon bilangan
tersebut tidak umum lagi digunakan lagi di area persawahan karena pola tanam
padi telah berubah.Ukuran tersebut ,berdampingan dengan leksikon seperti;
akampil 'satu kampil'. Berdasarkan hasil responden yang memberi jawaban
terhadap kuesioner yang diedarkan, bahwa responden yang berumur di bawah 30
Leksikon tersebut berasal dari leksikon kampil yang mendapat prefiksasi nasal
sehingga membentuk verba ngampilin.Akhirnya, nomina bilangan seperti
disebutkan di atas, tergantikan dengan nomina bilangan yang baru, seperti
leksikon akampil, akarung, aplastik, dan lain-lain.Cara mengangkutnya pun
sekarang berubah menjadi mikul. Misalnya, dalam penggunaan tuturan:
Tegenpadineene! 'pikul padi ini', orang beranggapan bahwa orang negen akan
berorientasi pada alat gelanggang, berbeda dengan tuturan: Tikulpadineene! 'pikul
padi ini', orang beranggapan bahwa alat yang digunakan bukannya gelanggang.
Dengan demikian, dapat dikatakan satuan ukuran itu semakin berkurang dan
akhirnya tidak dikenali lagi pada generasi berikutnya.Perubahan pola tanam dapat
pula mempengaruhi hilangnya leksikon-leksikon itu,demikian pula munculnya
leksikon-leksikon baru.
3.2Verbal
Leksikon-leksikon bahasa Bali yang digolongkan ke dalam kategori verba
merupakan kata yang banyak mengalami proses morfologis, seperti afiksasi nasal.
Verbal itu dapat dilihat seperti di bawah ini.
1. Mamulih„membuat benih padi/semai padi‟
2. Matekap„meratakan tanah setelah ditenggala/cangkul‟
3. Mlasah„meratakan tanah sawah yang lebih halus shg siap ditatami padi(bulih)
4. Nenggala„menggemburkan tanah dg tenggala‟
5. Nglampit„menggemburkan tanah sawah‟
6. Nyahcahin„mengemburkan tanah sebelum diplasah‟
7. Munuh/ngunuh„memungut padi yang tercecer‟ 8. nraktor„menraktor‟
9. ngampilin ‘memasukkan ke kampil‟ 10.Manyi„panen khusus untuk padi-padian‟ 11.aad„belok kiri‟
12.sus„belok kanan‟
13.nampad 'membersihkan rumput di pematang sawah' 14.majukut ‘membersihkan tanaman pengganggu padi’
Dalam bahasa Bali leksikon verba di atas dapat dibentuk dari leksikon
nomina.Di samping itu, ada verba tersebut mengandung makna inheren tindakan.
verba nglampit „menggemburkan tanah sawah dengan lampit‟.Nraktor „menggemburkan tanah dengan traktor, dan sebagainya.Pembentukan verba ini dengan membubuhi prefiks nasal saja.Penggunaan leksikon verba di atas sangat
berkorelasi dengan leksikon nominanya.Contoh diambil dengan maksimal
jawaban responden, yaitu kata pemlasahan.Berdasarkan jawaban yang diberikan
respondenyang dikelompokkan dengan kriteria umur, yaitu responden di bawah
30 tahun 90% menjawab „tidak mengetahui sama sekali‟ leksikon
pemlasahan.leksikon ini berakibat pula pada leksikon verba mlasah'meratakan
tanah'.Kriteria umur 30-50 tahun 60% tidak mengetahui kedua leksikon tersebut,
sedangkan kriteria umur di atas 50 tahun 90% mengetahui.
Korelasi di antara leksikon dalam bentuk nomina di atas, berimplikasi
pada pembentukan leksikon verba. Dengan kata lain, apabila leksikon nomina
tidak diketahui/tidak terpakai lagi, ada kecenderungan verba-verba ini tidak
digunakan pula.Sama halnya, seperti leksikon lampit(N) dan nglampit(V). Di
samping itu, kata singkal 'mata bajak' yang berkaitan dengan leksikon nenggala „membajak‟ telah tergantikan dengan leksikon verba nraktor. Kata nraktor ini berasal dari leksikon nomina traktor.Traktor adalahalat pembajak dengan tenaga
mesin mendapat prefiks nasal sehingga terbentuk verba nraktor.Leksikon nraktor
sudah umum digunakan sampai ke pelosok-pelosok.Akhirnya leksikon nenggala
penggunaannya menjadi tererosi karena perubahan teknologi. Demikian pula, kata
manyi „mengetam padi‟ katamanyi ini khusus digunakan oleh petani untuk
mengetam padi dengan alat anggapan seperti di atas. Sekarang, leksikon itu tidak
dipakai lagi karena tergantikan dengan leksikon ngedig padi/magedigan „memukul padi‟.Perubahan pola panen ini disebabkan oleh jenis padi yang dihasilkan.Demikian pula, alat yang digunakan akan berubah. Di samping itu
pula, sekarang sudah ada mesin potong padi sampai menghasilkan
gabah.Leksikon ngedigpadi/magedigan dapat pula diprediksi akan bergeser yang
dikarenakan kemajuan teknologi. Leksikon-leksikon seperti itu, penggunaannya
makin terkikis dan cenderung hilang sehinggaakan muncul leksikon baru untuk
3.3Metafora
Beberapa metafora yang menggunakan perumpamaan dengan alat/benda
yang berhubungan dengan leksikon di bidang persawahan dapat dilihat seperti
berikut ini.
1. ada uga ada sampi„ pemberian yang iklas selalu menyenangkan‟
2. betekan batisne cara beliangan padi„betisnya indah‟
3. angkaban barong sumi„banyak gerakan tapi tak berharga‟
4. apang cara padine sayan misi sayan nguntul„makin berisi semakin
merendah‟
5. matulak singkal„prilaku selalu terbalik‟
6. gigine cara cakar„giginya renggang‟
7. blauk ngindang > ngapung„tidak ada artinya‟
Leksikon-leksikon di atas merupakan metafora bahasa Bali. Ungkapan
tersebut menggunakan perumpamaan dengan mengambil leksikon yang
berhubungan dengan persawahan. Ada uga ada sampi jika dicari makna
metafornya „ada lega ada tampi „pemberian yang iklas selalu menyenangkan.
Metaforaadaugaadasampi, berdasarkan jawaban responden dengan kriteria umur
30-50 tahun 100% tidak pernah tahu metafora seperti itu, kriteria umur di bawah
30 tahun 60% pernah mendengar, kriteria umur di atas 50 tahun 70% mengetahui.
Pengetahuan metafora seperti itu sangat didukung oleh latar belakang pendidikan.
Responden dengan kriteria umur di bawah 30 tahun tersebut pengetahuan tentang
metafora itu didapat dari dunia pendidikan formal tentang bahasa, sedangkan
kriteria umur 30-50 tahun tidak mengetahuinya dilatari oleh pendidikannya jauh
dari pendidikan bahasa. Leksikon matulaksingkal „prilaku selalu terbalik‟.
Metaforamatulaksingkal, dari kriteria umur responden di bawah 30 tahun dan
umur 30-50 tahun sama-sama 80% tidak pernah mengetahui sama sekali metafor
tersebut, kriteria umur 50 tahun ke atas 80% mengetahui metafor seperti itu.
Perbandingan pengetahuannya, kriteria umur di bawah 30 tahun 70% tidak pernah
mengetahui sama sekali, umur 30-50 tahun 70% tidak mengetahui, kriteria umur
di atas 50 tahun 50% mengetahui dan 50% lagi tidak mengetahui.Leksikon cakar
telah hilang bahkan orang-orang tidak tahu cakar sehingga metaphor itu juga
menjadi punah tidak pernah ada orang menggunakan sebagai perumpamaan
blauk 'salah satu jenis binatang di sawah' dipadukan dengan verba ngindang
'terbang melayang' metafor ini tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari
karena binatang sawah ini sudah punah. Punahnya binatang ini disebabkan oleh
perubahan pola tanam padi dan penggunaan zat kimia pembasmi serangga yang
dapat mengganggu pertumbuhan padi.Pola tanam padi seperti itu dapat
mengakibatkan binatang itu punah dan akhirnya tidak dapat dikenali lagi.Di
samping itu, peralihan lahan fungsi, seperti dijelaskan di atas dankemajuan
teknologi juga dapat memengaruhi lingkungan leksikon-leksikon persawahan
tidak dikenali lagi. Akhirnya, leksikon-leksikon itu tentu akan menjadi terkikis.
Lama-kelamaan metapora itu hanya tinggal nama karena benda yang
dimaksudkan tidak ditemukan lagi dan akhirnya punah.
Di sisi lain, terdapat metafor apang cara padine sayan misi sayan nguntul
'semakin berisi semakin merunduk'. Metafor ini cukup bertahan. Berdasarkan
jawaban responden,di bawah umur 30 tahun 90% mengetahui, 30-50 tahun 80%
mengetahui, di atas 50 tahun 100% mengetahui dan pernah menggunakannya
sebagai perumpamaan. Kriteria yang cukup tinggi ini menyebabkan metafor ini
bertahan sampai sekarang. Hal yang menjadi penyebab bertahannya metafor
seperti itu, adalah adanya padanan tentang metafor itu dalam bahasa Indonesia
yakni; seperti ilmu padi semakin berisi semakin merunduk diperkirakan memiliki
makna 'semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin tidak sombong'. Demikian
pula, metafor dalam bahasa Bali tersebut memiliki makna yangsama dengan
ungkapan dalam bahasa Indonesia. Jadi metafor apang cara padine sayan misi
sayan nguntul cukup bertahan dalam bahasa Bali. Secara keseluruhan metafor
dalam bahasa Bali banyak responden yang tidak mengetahui. Ini berarti ada
kecenderungan ungkapan tersebut akan tererosi sedangkan yang mengandung
4. Simpulan dan Saran
4.1Simpulan
Berdasarkan analisis di atas dapat dikatakan bahwa bahasa mengalami
perubahan apabila ekologi yang menunjangnya berubah pula.Banyak ditemukan
leksikon-leksikon yang berkaitan dengan persawahan cenderung tidak pernah
digunakan dan akhirnya hilang. Berdasarkan hasil jawaban responden dapat
dikatakan, bahwa kadar ketidaktahuan generasi muda terhadap leksikon-leksikon
bidang persawahan berada pada 80% ke atas tidak mengetahuinya dan
kecenderungan punah. Demikian pula dengan adanya kemajuan zaman dan
kemajuan teknologi bahasa Bali banyak yang tergantikan oleh leksikon-leksikon
baru.Di satu sisi, ada kata-kata/leksikon yang tererosi, kemudian menghilang dan
di satu sisi tumbuh kembang leksikon pengganti.Jadi perubahan bahasa tidak
semata-mata dipengaruhi oleh manusia tetapi lingkungan juga sangat menunjang
terjadinya perubahan itu.
4.2 Saran
Hal yang perlu disarankan terkait dengan bahasa Bali, yaitu masih banyak
leksikon-leksikon lain mungkin mengalami nasib yang mirip dengan leksikon
bidang persawahan di atas. Untuk itu perlu dilakukan penataan lingkungan dengan
baik sehingga leksikon-leksikon akan terpelihara dengan baik bahkan dapat
berkembang seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi. Dengan hilangnya
beberapa leksikon dalam bahasa Bali itu, kajian ekolinguistik sangat membantu
untuk memelihara dan mengingatkan kembali terhadap leksikon-leksikon bahasa
Bali yang telah hilang. Lingkungan yang tertata dengan baik dapat menjaga
DAFTAR PUSTAKA
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. "Campur Alih Bahasa Gayo".
www.theglobejournal.com (2 April 2010).
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. "Pengajaran Bahasa Berbasis Budaya".
www.theglobejournal.com (20 Pebruari 2010).
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. " Serial Petatah-Petitih Gayo".
http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/22/ serial-petatah-petitih-gayo/(22 Februari 2010).
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. "Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (tesis). Medan: Sekolah Pascasarjana USU.
Fill, Alwin. 2001. “Language and ecology: ecolinguistic perspectives for 2000 and beyond”. David Graddo (editor)dalamAppleid linguistics for the 21s century.
Fill, Alwin, dan Peter Muhlhausler. 2001 (ed.). The ecolinguistics Reader, Language, Ecology, and Environment.London and New York: Continuum.
Haugen, Einar. 1972. The Ecology of Language. California: Sanford University Press.
Mbete, Aron Meko. 2009. "Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan Yang Prospektif". Bahan Untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan Dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pasacasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009.
Mufwene, Salikoko S. 2001. The Ecology of Language Evolution. Cambridge: Cambridge University Press.
Odum, Eugene P. 1996.Dasar-Dasar Ekologi. (edisi terjemahan oleh Ir. Tjahjono Samingan, M. Sc.dari buku asli berjudul Fundamentals of EcologythirdEdition. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.