• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

160 6.1 Simpulan

Dengan maksud merangkum seluruh uraian yang terdapat pada bagian pembahasan, pada bagian ini dirumuskan berbagai simpulan. Simpulan yang dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel rumusan masalah yang telah ditetapkan yakni proses derivasi yang membentuk V serta berbagai satuan semantis V yang dihasilkan tersebut.

Berdasarkan variabel proses derivasi yang membentuk V dapat klasifikasikan afiks-afiks pembentuk V berdasarkan kelas kata bentuk dasar yang dilekati afiks tersebut. Selanjutnya, berdasarkan satuan semantis V dapat pula diklasifikasikan satuan-satuan semantis apa saja yang dikandung oleh V sesuai dengan bentuk dasar yang dilekati oleh afiks pembentuk V tersebut. Dengan memperhatikan variabel-variabel pada rumusan masalah tersebut, simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Afiks-afiks pembentuk V yang tergolong derivasional dari bentuk dasar yang berkelas kata N adalah berupa prefiks seperti {ba-}, {N-}, {kaN-}, dan {saN-}. Prefiks {ba-} yang memiliki alomorf berupa {ba-} dan {ra-} membentuk V-I yang bersatuan semantis V-I perbuatan, V-I perbuatan resiprokatif, V-I keadaan, dan V-I keadaan posesif, dan V-I keadaan resiprokatif. Prefiks {N-} yang memiliki alomorf berupa {N-} dan {ma-}

(2)

membentuk V-I yang bersatuan semantis keadaan, V-I yang bersatuan semantis perbuatan, dan V-I proses. Prefiks {saN-} membentuk V-T yang bersatuan semantis tindakan serta mengandung beberapa jenis fitur yakni V-T tindakan kausatif, V-T tindakan direktif, dan V-T tindakan lokatif. Prefiks {kaN-} yang memiliki alomorf berupa {kaN-} dan {gaN-} membentuk V-I keadaan adversatif dan V-T tindakan lokatif. Terakhir, fenomena konversi yang menyuratkan perubahan dari N menjadi V. 2. Afiks-afiks pembentuk V yang tergolong derivasional dari bentuk dasar

yang berkelas kata A adalah berupa prefiks seperti {ba-}, {kaN-}, {saN-}, dan {N-}. Prefiks {ba-} membentuk V-I keadaan resiprokatif, V-I perbuatan resiprokatif, dan V-I proses. Prefiks {kaN-} membentuk V-I yang bersatuan semantis keadaan perasaan dan V-I keadaan perasaan adversatif. Prefiks {saN-} membentuk V-T yang bersatuan semantis tindakan yang bermakna kausatif dan lokatif. Prefiks {N-} hanya membentuk V-I proses. Kemudian, fenomena konversi yang menyuratkan perubahan dari A menjadi V.

3. Afiks-afiks pembentuk V yang tergolong derivasional dari bentuk dasar yang berkelas kata V adalah berupa prefiks seperti {ba-}, {kaN-}, {saN-}, dan {N-}. Prefiks {ba-} membentuk V-I yang bersatuan semantis perbuatan berupa V-I perbuatan, V-I perbuatan resiprokatif, V-I keadaan, dan V-I keadaan resiprokatif. Prefiks {kaN-} membentuk V-I keadaan dan V-I keadaan adversatif. Prefiks {saN-} membentuk V-T tindakan kausatif,

(3)

direktif, dan benefaktif. Prefiks {N-} membentuk V-I perbuatan dan V-I keadaan. Terakhir.

4. Afiks pembentuk V yang tergolong derivasional dari bentuk dasar yang berkelas kata Num berupa prefiks {ba-} dan prefiks {saN-}. Prefiks {ba-} membentuk V-I keadaan dan prefiks {saN-} membentuk V-T tindakan kausatif. Terakhir, afiks pembentuk V yang tergolong derivasional dari bentuk dasar yang berkelas kata Adv berupa prefiks {ba-} dan prefiks {saN-}. Prefiks {ba-} membentuk V-I proses dan prefiks {saN-} membentuk V-T tindakan kausatif.

Sebagai catatan, sistem pembentukan kata dalam BSDSB hanya dimungkinkan terjadi melalui pelekatan afiks yang berupa prefiks dan infiks saja. Afiks-afiks dalam BSDSB secara keseluruhan hanya terdiri atas prefiks seperti {ba-}, {kaN-}, {raN-}, {N-}, {saN-}, {sa-}, {ka-}, {paN-}, dan {pa-}, gabungan afiks berupa {basa-} dan {pasa-}, konfiks berupa {baka-}, dan sebuah infiks berupa {-N-} dengan dua wujud konkretnya berupa {-n-} dan {-m-}. Afiks dengan jumlah tersebut tergolong relatif sedikit ditambah dengan kenyataan tidak adanya sufiks. Kenyataan ini sungguh berbeda dengan beberapa bahasa daerah lainnya di Indonesia yang masih serumpun di bawah silsilah bahasa Austronesia.

Sebagai contoh, beberapa bahasa daerah yang terdapat di wilayah Sulawesi masih memiliki sistem afiks yang lengkap dengan jumlah yang relatif banyak. Hal ini juga terdapat sama pada bahasa-bahasa di wilayah pulau Jawa. Berbeda lagi dengan beberapa bahasa daerah yang terdapat di wilayah Nusa Tenggara Timur yang hampir

(4)

tidak memiliki afiks sama sekali dalam hal pembentukan katanya seperti pada bahasa Manggarai dan bahasa Blagar. Sebagai bahasa yang serumpun di bawah silsilah bahasa Austronesia, fenomena semacam ini menjadi layak untuk mendapatkan perhatian. Ada realisasi sistem dan jumlah afiks yang berbeda secara signifikan pada berbagai bahasa daerah di Indonesia. Dalam pada itu, ada semacam keteraturan bahwa semakin ke arah nusantara bagian timur, sistem dan jumlah afiks semakin sedikit (lihat tabel di lampiran I, halaman 173).

Secara khusus terkait dengan sistem afiks, tidak seluruh bahasa daerah memiliki sistem afiks yang lengkap. Lengkap yang dimaksudkan di sini adalah sebuah bahasa yang memiliki sistem afiks berupa prefiks, infiks, sufiks, gabungan afiks, dan konfiks. Namun, kenyataannya, terdapat kesenjangan yang menonjol jika seluruh bahasa diperbandingkan. Meskipun bahasa-bahasa tersebut berada di wilayah yang sama, perbedaan-perbedaan tetap ada. Misalkan, beberapa bahasa lainnya memiliki sistem afiks yang lengkap sementara salah satu bahasa di wilayah tersebut ada yang tidak memiliki infiks atau sufiks.

Poedjosoedarmo (2006: 30) dengan mengutip Dyen (1965) menyatakan bahwa bahasa di nusantara diperkirakan paling sedikit berjumlah 500 buah bahasa. Jumlah bahasa tersebut terbatas pada bahasa-bahasa yang terhimpun dalam keluarga bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia. Sejalan dengan hal tersebut, realisasi afiks yang signifikan berbeda antarbahasa daerah di Indonesia memicu munculnya dugaan telah terjadinya perubahan bahasa yang sifatnya teratur dan masif.

(5)

Dalam tulisannya, Poedjosoedarmo (2008: 3) mengakui bahwa penyebaran makhluk manusia di muka bumi beribu tahun yang lalu telah berdampak pada jumlah bahasa di dunia. Bahasa yang semula hanya satu menjadi beribu-ribu masih terikat hubungan dengan bahasa protonya. Sebagai salah satu contoh, bahasa Proto-Austronesia yang telah menyebar di seluruh nusantara. Persebaran ini terasosiasi dengan perubahan-perubahan dalam prosesnya. Hal inilah yang menguatkan dugaan perbedaan-perbedaan realisasi sistem dan jumlah afiks di bahasa-bahasa daerah nusantara sebagaimana disebutkan di atas.

Pola perubahan bahasa mengikuti pola tertentu yang teratur berdasarkan hukum tata bahasa. Poedjosoedarmo (2006: 5) menyebutkan bahwa dalam hal mencari penyebab perbedaan-perbedaan struktur serta perbendaharaan komponen antarbahasa dapat dilakukan dengan memanfaatkan hukum tatabahasa yang disebutnya sebagai ‘hukum grammar’. Dengan memperhatikan pola-pola sintaksis, Poedjosoedarmo menitikberatkan kajiannya pada tiga buah komponen yang berurutan dan saling mempengaruhi yakni prosodi, urutan, dan butir leksikon. Komponen inilah yang dijadikan dasar bahwa tatabahasa dapat menjelaskan perubahan-perubahan atau perbedaan perbendaharaan pada bahasa-bahasa yang dianggap serumpun.

Secara teknis, Poedjosoedarmo (2006: 7-8) menyatakan adanya hubungan yang teratur dalam proses perubahan bahasa. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah perubahan pada tataran prosodi (cara ucap dan pola intonasi). Perubahan pada prosodi ini kemudian berdampak pada perubahan fonem yang dapat hilang, dapat bertambah, atau dapat mempengaruhi adanya perubahan suku kata. Pada tataran yang

(6)

lebih tinggi lagi, fenomena ini lama-kelamaan akan mempengaruhi struktur frasa hingga struktur kalimat. Hal inilah yang menjadi dasar Poedjosoedarmo dalam menemukan penyebab-penyebab serta alasan mengapa bahasa berubah sampai akhirnya yang dirasakan sekarang ini.

Kenyataan terdapatnya perbedaan yang signifikan terkait dengan sistem dan jumlah afiks bahasa-bahasa Austronesia yang ada di beberapa wilayah nusantara juga dapat dengan menggunakan hukum tatabahasa yang diusulkan oleh Poedjosoedarmo. Sebagai contoh, Poedjosoedarmo (2006: 24-25) menggunakan prinsip susunan frasa dalam konstruksi sintaksis sebagaimana yang telah disampaikan oleh Greenberg (1966). Susunan frasa yang dimaksud seperti susunan berupa SVO dan VSO.

Poedjosoedarmo mensinyalir adanya hubungan susunan frasa terhadap produktif atau tidaknya sistem imbuhan. Pertama, Semakin dominan susunan VSO maka semakin kaya dan produktiflah imbuhan-imbuhan dalam suatu bahasa. Hal ini yang menyebabkan bahasa-bahasa yang terdapat di Sulawesi masih mempertahankan sistem afiks dan jumlah yang banyak. Sebaliknya, kedua, semakin ajeg dan mantap sistem SVO maka semakin tidak perlu bahasa tersebut memerlukan afiks. Fenomena semacam inilah kemungkinan yang terjadi pada bahasa-bahasa yang miskin sistem dan jumlah afiksnya.

Kenyataan yang kedua kiranya bersinggungan dengan penyebab BSDSB dan bahasa daerah lainnya miskin akan sistem dan jumlah afiks. Susunan SVO yang ajeg menyebabkan tidak diperlukannya lagi morfem afiks yang berada di awal dan akhir bentuk dasar. Sebagai missal, dalam BSDSB untuk menyatakan ‘membelikan’ dalam

(7)

BI digunakan leksikon beli tawa ‘membelikan’ seperti pada konstruksi benefaktif Bapak beli babung tawa kami ‘Bapak membelikan boneka untuk kami’ (bandingkan Poedjosoedarmo, 2006: 23-25). Bentuk-bentuk semacam ini masih terdapat banyak dalam BSDSB.

Berdasar uraian tersebut, kiranya pencarian akan sebab dan alasan perubahan bahasa dalam rumpun yang sama dapat dilakukan. Pendekatan semacam ini juga mampu melengkapi uraian migrasi atau persebaran bahasa yang telah disampaikan oleh Dyen (1965). Hal ini disampaikan oleh Poedjosoedarmo (2006: 35) bahwa dengan membandingkan pola sintaksis, perjalanan perpindahan bahasa-bahasa serumpun yang tersebar di wilayah nusantara dapat dijelaskan. Penelitian-penelitian berikutnya diharapkan mampu mempersoalkan sekaligus menjawab fenomena tersebut.

6.2 Saran

Penelitian BSDSB masih banyak berfokus pada tataran morfologi yang juga membutuhkan penelitian yang berkelanjutan dalam rangka mencapai hasil yang memuaskan. Penelitian yang mencari fakta kebahasaan BSDSB dari segi sintaksis dan semantis masih jarang dilakukan oleh para peneliti. Penelitian dengan perspektif sintaksis dan semantik yang dimaksud seperti uraian mengenai struktur sintaksis sekaligus struktur dan konfigurasi semantis konstruksi kalimat dalam BSDSB. Terutama terkait dengan ihwal peran-peran semantis.

(8)

Pada sirkumstan morfologi, penelitian ini telah berusaha menguraikan proses morfologis dalam BSDSB yang tergolong derivasi. Namun, perspektif infleksi belum sempat menjadi bagian kajian sehingga peneliti selanjutnya diharapkan untuk dapat berkesempatan menguraikan fenomena infleksi dalam BSDSB. Fenomena konversi yang telah disampaikan dalam penelitian ini juga masih dengan data yang mewakili. Hal semacam ini masih terdapat banyak dalam BSDSB.

Meskipun, penelitian ini telah menguraikan makna yang dikandung oleh verba BSDSB, penelitian mengenai makna dan unit leksikal N belum dibahas. Oleh karena itu, pencarian fakta kebahasaan yang menggunakan perspektif semantik dalam BSDSB sangat perlu mendapat perhatian. Kiranya, celah yang harus disempurnakan dari penelitian-penelitian sebelumnya termasuk penelitian ini juga tidak pernah tertutup adanya. Dengan demikian, lahan yang luas untuk peneliti selanjutnya masih terbuka dan selalu ada.

Satu hal yang sangat penting dan menarik untuk dikaji adalah hubungan antarbahasa di wilayah nusantara yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, terdapat perbedaan realisasi sistem dan jumlah afiks yang menonjol. Dugaan sementara yang dapat diajukan adalah telah terjadi perubahan bahasa yang sifatnya teratur mengikuti kaidah. Tentunya, persoalan-persoalan lain di luar bahasa seperti bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya juga ikut ambil bagian dalam proses perubahan yang dimaksud. Untuk itu, dengan memanfaatkan teori yang telah disampaikan oleh Poedjosoedarmo di atas, sekaligus menimbang factor-faktor sosial penutur bahasa,

(9)

jawaban atas fenomena perbedaan tersebut akan dapat terjawab dengan penelitian yang komprehensif.

Referensi

Dokumen terkait

Saya hanya bisa berandai: kalaupun ada yang berniat menyebut nama Siauw Giok Tjhan dalam sejarah Indonesia saat itu, tentunya akan dicatat sebagai salah satu kriminal

Pada penelitian ini, penulis ingin menganalisis evaluasi jaringan Fiber to the Curb (FTTC) menggunakan teknologi 10-Gigabit Capable Passive Optical Network (XGPON) dari

Menghadap kiblat dengan ijtihad adalah ketika seseorang yang berada jauh dari Ka’bah yaitu berada di luar Masjidil Haram atau di luar Makkah sehingga ia tidak dapat melihat

Optimasi metode UAE untuk ekstraksi zat warna alami kayu secang dilakukan dengan cara melakukan penelitian terhadap variabel rasio bahan baku terhadap pelarut,

Penulis akan membuat sebuah pembangkit listrik yang bersifat mengubah gerakan menjadi tenaga listrik, seperti kincir air tetapi akan memakai gaya gravitasi sebagai

Melihat keingintahuan masyarakat yang tinggi terhadap topik psikologi (termas- uk di dalamnya kesehatan mental), dan kondisi kesehatan mental masyarakat In- donesia yang

Sumber: Kanwil DJP Jateng II.. Bidang Kerjasama Ekstensifikasi dan Penilaian Seksi Bimbingan Kerjasama Perpajakan Seksi Bimbingan EkstensifikasiPerpajakan Seksi BimbinganPendataan

Dengan melihat fluktuasi hasil pada ukuran telur baik untuk panjang maupun diameter telur, menunjukkan bahwa ramuan obat yang diberikan tidak nyata dapat meningkatkan