• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan. adalah semacam naluri atau fitrah manusia sebagai mahluk sosial untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan. adalah semacam naluri atau fitrah manusia sebagai mahluk sosial untuk"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan antara laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah semacam naluri atau fitrah manusia sebagai mahluk sosial untuk melanjutkan keturunannya. Kedua insan yang berikrar akan menjalani proses perkawinan harus dilandaskan pada satu tujuan bersama untuk membentuk keluarga bahagia sakina mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu dari aspek fitrah manusia tersebut, pengaturan perkawinan tidak hanya didasrkan pada norma hukum yang dibuat oleh manusia saja, melainkan juga bersumber dari hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum agama.

Tinjauan perkawinan dari aspek agama dalam hal lain terutama dilihat dari hukum islam yang merupakan keyakinan sebagaian besar masyarakat Indonesia.

Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menurut Pasal 1 “Perkawinan adalah ikatan batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian ini menunjukkan bahwa perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan,

sehingga sah

(2)

atau tidaknya suatu perkawinan harus berdasarkan pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.

Hal ini terlihat jelas dalam pencantuman kata-kata “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam definisi perkawinan.

Menurut Pasal 2 dalam Komplikasi Hukum Islam, yaitu

“Perkawinan menurut Hukum Islam adalah perkawinan, yaitu ajad yang sangat kuat atau mistaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. 1Selanjutnya, menurut Pasal 3 Komplikasi Hukum Islam, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.2 Perjanjian perkawinan dalam pengertian ini mengandung tiga karakter khusus, yaitu:

a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak;

b. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasrkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya;

      

1 Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2.   

2 Ibid. Pasal 3.  

 

(3)

c. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.3

Akad atau mitsaqan ghalizan mengandung arti bahwa akad perkwinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan,4 akan tetapi perkawinan merupakan peristiwa agama untuk mentaati perintah Allah dan Rasul, dan melaksanakannya merupakan bagian dari ibadah.

Menjalani perkawinan berarti menjalani sunnah Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.5

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan sebuah kehidupan rumah tangga yang damai dan tentram.

Tujuan perkawinan dalam islam yang terpenting ada dua yaitu:

a. Mendapatkan keturunan atau anak.

b. Menjaga diri dari yang haram.

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan:

a. Melaksanakan ikatan perkawinan antra pria dan wanita yang sudah dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.

      

3 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang‐Undang Perkawinan (Undang‐Undang Nomor  1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberti, 1982), hal. 10.  

4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, Pranadamedia  Group, 2006), hal. 40.   

5 Ibid., Hal. 41.   

(4)

b. Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran firman Tuhan Yang Maha Esa.

c. Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak masa depan.

d. Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri dalam membina kehidupan keluarga.

e. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai.6

3. Syarat sahnya Perkawinan

Sahnya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku di suatu negara (hukum positif). Hukum perkawinan di setiap negara telah mensyaratkan adanya pencatatan perkawinan setelah perkawinan dilakukan. Mencatatkan perkawinan merupakan syarat formil atau syarat administrasi di banyak negara. Di Negara Republik Indonesia, syarat sah perkawinan telah ditentukan dalam undang-undang perkawinan yang meliputi syarat materiil dan syarat formil. Syarat formil adalah syarat yang menyangkut formalitas yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan perkawinan dan pada saat dilangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat materiil ialah syarat-syarat yang menyangkut pribadi calon suami istri. Di dalam UU Perkawinan sahnya suatu perkawinan telah diatur Pasal 2, yang menyatakan sebagai berikut :

      

6 Undang‐Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 

(5)

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya;

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut isi undang-undang perkawinan tersebut di atas, perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan kaidah hukum agama yang dianut oleh Negara Republik Indonesia, yang terdiri atas agama islam, kristen, katolik, hindu, budha dan konghucu yang secara resmi telah diakui dan dijamin keberadaannya oleh Negara Republik Indonesia. Istilah hukum masing-masing agama mengacu pada hukum suatu agama itu, bukan hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya, sehingga hukum perkawinan di Indonesia tidak menganut adanya perkawinan beda agama.

Dalam hukum agama islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di kediaman pengantin, masjid atau di kantor urusan agama, atau tempat disepakati, dengan ucapan ijab dan qabul dalam bentuk akad kawin. Ijab adalah ucapan perkawinan wali calon istri dan qabul adalah kata terima dari calon suami. Jadi perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali wanita calon istri dan calon suaminya. Akad nikah harus diucapkan secara jelas oleh wali perempuan dengan jelas dan dikabulkan oleh calon suami dengan jelas dalam waktu yang sama, yang dilakukan di hadapan dua

(6)

orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak maka perkawinan tersebut tidak sah karena bertentangan dengan hadis Nabi Muhammad SAW. Yang diriwayatkan Ahmad menyatakan “tidak sah kawin kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”.

Sebagaimana terlihat dari ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hukum perkawinan menentukan sahnya suatu perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya. Setelah menikah sesuai dengan tata cara agama masing-masing pemeluknya. Setelah menikah sesuai dengan tata cara agama masing-masing, maka kedua mempelai menandatangani akta nikah yang disiapkan oleh pegawai pencatat nikah.

Hal ini diyakini karena perkawinan dianggap sebagai perbuatan yang diakui suatu negara dan hanya dapat dilakukan di hadapan perjabat yang berwenang.

Pakar hukum memiliki pendapat yang berbeda tentang keabsahan pencatatan perkawinan. Salah satu pihak menyatakan bahwa jika tidak di daftarkan maka perkawinan tersebut tidak sah. Jika perkawinan tersebut dilaksanakan hanya secara agama saja, dan tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang dalam hal ini KUA Kecamatan, maka suami dapat saja mengingkari perkawinan tersebut. Oleh karena itu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan sebagai syarat suatu perkawinan. Pendapat lain mengemukakan bahwa jika perkawinan dilakukan sesuai dengan ajaran

(7)

agama masing-masing atau menurut kepercayaan, meskipun perkawinan tersebut tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut sah. Pencatatan perkawinan dalam hal ini hanya semata hanya sebagai kepentingan administratif demi kemudahan negara dalam menjalankan pengawasan dan perlindungan bagi setiap warga negara. Jadi sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan ditentukan oleh pencatatan, melainkan disyaratkan dengan dilangsungkan secara hukum agama masing masing.7

4. Rukun Perkawinan

Dalam Komplikasi Hukum Islam Pasal 14 disebutkan rukun-rukun perkawinan yang harus dipenuhi yaitu:

a. Calon suami;

b. Calon istri;

c. Wali kawin;

d. Dua orang saksi; dan e. Ijab dan kabul.

Dalam ketentuan diatas, tiap rukun perkawinan juga mempunyai syarat masing-masing antara lain:

1. Calon Mempelai Suami dan Istri

Perkawinan secara islam hanya mengakui perkawinan antara seoarang pria dengan seorang perempuan, bukan antara dua pria ataupun antara dua perempuan. Pria dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu:

      

7 http://www.kompasiana.com/sangatgampangdiingat/perkawinan‐yang‐tidak‐dicatatkan‐sah‐

menurut‐pakar‐hukum‐dan yurisprudensi_5500de60a333113072512404, diakses pada tanggal 17  februari 2017   

(8)

a. Telah baligh (dewasa) dan memiliki kecakapan untuk melangsungkan perkawinan;

b. Berakal sehat;

c. Kedua belah pihak telah setuju dan tidak ada unsur paksaan.

d. Antara kedua belah pihak tidak ada yang terlarang dalam melangsungkan perkawinan.8

B. Tinjauan Umum Tentang Kawin Siri dan Akibat Hukumnya 1. Pengertian Kawin Siri

Perkawinan siri merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia. Secara etimologi kata “siri” berasal dari bahasa arab, yaitu

“sirrun” yang artinya rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata dari ‘alaniyyah, yaitu terang-terangan. Kata siri ini kemudian digabung degan kata kawin sehingga menjadi kawin siri untuk menyebutkan bahwa kawin yang dilakukan secara diam-diam atau tersembunyi. Makna diam-diam dan tersembunyi ini memunculkan dua pemahaman, yaitu perkawinan yang diam-diam tidak diumumkan kepada khalayak atau perkawinan yang tidak diketahui atau tercatat di lembaga negara.

Dalan terminologi fiqih maliki, kawin siri adalah kawin yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istri atau jama’ahnya sekalipun keluarga setempat. Menurut mahzab Hanafi, Maliki dan Syafi’i

      

8 Komplikasi Hukum Islam Pasal 14 

(9)

perkawinan siri tidak dibolehkan dalam agama islam. Kawinnya dapat dibatalkan dan kedua pelakunya dapat dikenakan hukuman had (dera atau rajam)9 jika telah terjadi hubungan seksual anatara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi.

Istilah kawin siri atau kawin dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para Ulama. Hanya saja kawin siri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan kawin siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan kawin siri yaitu perkawinan sesuai dengan rukun- rukun perkawinan dan syaratnya menurut syariat, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya perkawinan tersebut kepada kahalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-

‘ursy. 10Kawin siri yang diartikan menurut terminologi fiqh dilarang menurut islam, karena ada unsur siri (dirahasiakan kawinnya dari orang banyak). Kawin semacam ini bertentangan dengan ajaran agama islam dan bisa mengundang fitnah, serta dapat mendatangkan mudharat/ resiko berat bagi pelakunya dan keluarganya.

Perkawinan siri atau sering juga diartikan oleh masyarakat umum dengan kawin bawah tangan adalah Pertama, perkawinan tanpa wali.

Artinya perkawinan tersebut tidak dihadiri oleh pihak wali karena tidak mendapat perstujuan wali, atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan yang       

9 Abdullah Wasian. “Akibat Hukum Perkawinan Siri (tidak dicatatkan) terhadap Kedudukan Istri,  Anak, dan Harta Kekayaan Tinjauan Hukum Islam dan Undang‐Undang Perkawinan”, (Tesis S2  Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2010), hal .121   

10 http://www.kompasiana.com/sangatgampangdiingat/kawin‐sirri‐tidak‐sama‐dengan‐kawin‐di‐

bawah‐tangan_5500e12ea333115d6f5123e4   

(10)

10 

ditetapkan syari’at. Kedua; perkawinan yang sah secara agama, namun tidak dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perturan perundang- undangan negara. Ketiga; perkawinan yag sudah dicatat, tetapi masih dirahasiakan atau belum diresmikan secara terbuka kepada khalayak karena pertimbangan-pertimbangan tertentu11

Abdul Gani menjelaskan bahwa perkawinan siri sebenarnya tidak sesuai dengan “maqashid syari’ah”, karena ada beberapa tujuan syari’ah yang dihilangkan diantaranya:

a. Perkawinan itu harus diumumkan (diketahui khalayak ramai).

b. Adanya perlindungan hak untuk wanita, dalam perkawinan siri pihak wanita banyak dirugikan hak-haknya, karena kalau terjadi perceraian pihak wanita tidak mendapatkan apa-apa dari mantan suaminya;

c. Untuk kemaslahatan manusia, dalam perkawinan siri lebih banyak mudharatnya dari pada maslahatnya. Seperti anak-anak yang lahir dari perkawinan siri lebih tidak terurus, sulit untuk bersekolah atau untuk mecari pekerjaan karena orang tuanya tidak mempunya surat kawin, dan seandainya ayahnya meninggal dunia/cerai, anak yang lahir dari perkawinan siri tidak mempunya kekuatab hukum untuk menuntut harta warisan dari ayahnya.

d. Adanya persyaratan dalam perkawinan poligami harus mendapat izin dari istri pertama.12

      

11 Ali Akbar, “Kawin Sirri Menurut Perspektif Al‐Quran,” Jurnal Ushuluddin, Vol. XXII No. 2, Juli 2014, 217. 

12 Abdul Gani Abullah, Himpunan Perundang‐undangan dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta  : PT. Intermasa, 1991), hal. 187.   

(11)

11 

Adapun pemahaman lain dan lebih umum mengenai kawin siri dalam pandangan masyarakat islam Indonesia adalah perkawinan yang hanya memenuhi ketentuan agama, yaitu memenuhi syarat dan rukun kawin. Rukun dan syarat kawin meliputi:

Adanya calon suami dan calon istri;

2. Adanya wali pengantin perempuan;

3. Adanya dua saksi yang adil (terdiri atas dua orang laki-laki atau seorang laki-laki ditambah dua orang perempuan);

4. Ijab dan kabul.

Selain rukun atau syarat wajib kawin, terdapat sunnah kawin yang juga perlu dilakukan, yaitu:

a. Khotbah kawin;

b. Pengumuman perkawinan dengan penyelenggaraan walimatul al-‘ursy/

perayaan; dan

c. Menyebutkan mahar atau mas kawin.

Kawin siri menurut hukum di Indonesia adalah tidak sah, karena tidak melaksanakan ketentuan hukum perkawinan (munahakat) yang baku dan benar sesuai dengan ajaran agama islam.

Istilah kawin siri adalah kawin tanpa adanya suatu pencatatan pada instansi yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Kawin siri timbul setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektifitas tahun 1975. Hukum sah menurut islam sepanjang tidak ada motif siri, tentunya juga telah memenuhi ketentuan syari’at yang benar.

(12)

12 

Jadi kawin siri itu dapat diartikan dengan kawin yang tidak dicatatkan pada instansi terkait, tapi dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Sedangkan kawin siri adalah kawin yang sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh orang di lingkungan sekitar.13

2. Akibat Hukum Kawin Siri Terhadap Status Perkawinan Perkawinan siri merupakan akad kawin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang pelaksanaannya hanya didasarkan pada ketentuan-ktentuan agama islam semata tanpa memperhatikan ktentuan- ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan siri adalah perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor Pencatatan Kawin. Perkawinan siri ini nantinya akan membawa akibat hukum bagi pasangan suami istri, anak yang dilahirkan dan harta benda dalam perkawinan, karena perkawinan siri yang mereka lakukan tersebut tidak memiliki alat bukti yang otentik sehingga tidak memiliki kekuatan hukum.

Pemerintah secara tegas telah mewajibkan pencatatan perkawinan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan tersebut jelas dikatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan menurut perundangan yang berlaku.

Adapun prosedur lebih detailnya termuat dalam pasal 10,11,12 dan 13 Peraturan Pemerintag Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pekawinan.

      

13 Ibid.   

(13)

13 

Apabila perkawinan dilaksanakan hanya secara gama saja dan tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, maka suami dapat saja mengingkari perkawinan tersebut. Untuk itu Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai syarat sahnya suatu perkawinan.

Oleh karena itu, status perkawinan siri menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia dianggap tidak sah karena tidak terpenuhinya syarat sahnya perkawinan, yakni setiap perkawinan harus dicatat menurut Undang-Undang yang berlaku.14

3. Akibat Hukum Kawin Siri Terhadap Status Anak Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010

Hukum positif di Indonesia membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah, dalam arti bahwa yang satu adalah keturunan yang lain berdasarkan kelahiran dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, anak-anak yang demikian disebut sebagai anak sah. Sedangkan keturunan yang tidak sah adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah, anak yang demikian disebut anak luar kawin.15

Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pekawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum       

14 Ali Uraidy, Perkawinan siri dan akibat hukumnya, (jurnal imiah fenomena, November 2012),  hlm 982 

15 J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang‐Undang (Bandung: Citra  Aditya Bakti, 2000), hlm. 5. 

(14)

14 

Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari 6 (enam) bulan lamanya sejak ia mekawin resmi.

Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan siri dianggap sebagai anak luar kawin atau perkawinan (dianggap tidak sah) oleh negara sehingga anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada (Pasal 42&43 UUP dan Pasal 100 KHI).

Berdasarkan Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010 menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasrkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

(15)

15 

mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.16

Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut Undang-Undang yang diatur dalam KUH Perdata berdasrkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUH Perdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti semit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang sesuai dengan penyebutan di dalam Pasal 272 jo Pasal 283 KUH Perdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mendapatkan waris sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUH Perdata.

Dengan demikian, bagi anak yang lahir dari perkawinan siri atau anak luar kawin bisa mendapatkan pengakuan sebagai anak yang sah dan mendapatkan hubungan perdata bukan hanya dengan ibunya saja, tapi dengan ayah dan keluarga ayahnya, apabila hubungan darahnya dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau bukti-bukti yang lain. Sehingga hubungan perdata dengan ayah atau ibunya dilindungi dan terjamin secara hukum.

4. Akibat Hukum Kawin Siri Terhadap Harta Kekayaan

Jika suami istri sama-sama bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, maka istri berhak atas harta yang terkumpul dari hasil bekerjanya

      

16 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU‐VIII/2010 

(16)

16 

tersebut. Hak suami dan istri masing-masing atas hasil kerjanya tersebut sesusai dengan saham yang mereka hasilkan masing-masing.

Wanita yang dinikahkan secara siri dia tidak berhak atas harta bersama yang diperoleh selama melakukan perkawinan. Hal ini disebabkan, perkawinan tersebut tidak tercatat secara resmi oleh negara dan permasalahan ini tidak dapat diselesaikan di pengadilan. Sebagaimana yang telah disebutkan didalam pasal 5 ayat (1) KHI bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan. Tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak tercatat tidak memiliki kekuatan hukum sehingga keabsahannya diragukan.

Dalam perkawinan siri, perkawinan diantara mereka tidak tercatatkan secara hukum agama. Sehingga akan menemui kesulitan dalam hal terjadi kematian salah satu pihak. Khususnya suami. Apabila suami meninggal sebelum perkawinan tercatatkan, maka istri akan menemui kesulitan dalam hal menuntut haknya atas harta peninggalan suami maupun harta bersama yang diperolehnya dari hal kerja bersama-sama.

Dalam hukum negara perkawinan keduanya tidak pernah ada, maka apabila suami meninggal, harta yang ada hanya dihitung sebagai harta suami pribadi, dan akan dibagikan kepada kelurga sahnya menurut garis keturunan yang sah.

Istri yang dikawini secara siri, tidak dapat menuntut apapun. Selain itu terdapat kemungkinan perceraian akan terjadi secara siri pula, tanpa

(17)

17 

dilakukan di hadapan pengadilan agama. Sehingga dalam hal terdapat itikad tidak baik dari pihak suami dapat meninggalkan istri begitu saja tanpa pertanggung jawaban apapun, baik moril dan materiil.

Akan tetapi untuk mengatasi kemungkinan terjadi masalah ini, dalam hal keperluan yang mendesak dan kemaslahatan, Komplikasi Hukum Islam mengatur mengenai kemungkinan di ajukannya permohonan isbat kawin kepada Pengadilan Agama dalam rangka penyelesaian masalah dalam perkawinan, salah satunya adalah isbat kawin dalam perceraian. Sehingga bagi perkawinan yang belum tercatatkan secara resmi, dapat mengajukan permohonan isbat kawinnya ke Pengadilan Agama setempat.

Penyelesaian pembagian harta bersama ketika terjadi perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia selain dengan jalan musyawarah juga bisa ditempuh dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, apabila tidak dapat dicapai kesepakatan di luar pengadilan. Dengan demikian harta bersama yang dihasilkan dari perkawinan siri tidak dapat diajukan ke Pengadilan, kecuali sebelumnya telah dilakukan isbat kawin (penetapan kawin).

C. Konflik-Konflik Yang Bisa Terjadi Dalam Perkawinan Siri Konflik-konflik yang bisa terjadi dalam perkawinan siri yaitu:

1. Perceraian, Istri yang dikawini melalui perkawinan siri tidak dapat menuntut kepada suami tentang hak-haknya. Hanya kesukarelaan suami

(18)

18 

untuk berkunjung kepada istri dan anak-anaknya. Istri tidak dapat melakukan tuntutan melalui alat penegak hukum karena alat penegak hukumpun akan dapat memproses secara hukum bilamana ada palaporan/pengaduan warga yang mengalami kekerasan fisik/psikis (termasuk penelantaran, penganiayaan) bilamana dapat dibuktikan secara hukum bahwa mereka mempunyai hubungan keluarga suami, istri, anak- anak ataupun mereka yang hidup dalam lingkup rumah tangga.17

2. Perselingkuhan, Kawin siri sering ditempatkan sebagai sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri. Kawin siri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu masyarakat wilayah desa terpencil yang jarang bersentuhan dengan dunia luar. Lain lagi dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah rujukan utama dalam semua permasalahan termasuk urusan perkawinan. Asal sudah dikawinkan oleh kyainya, perkawinan sudah sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan.18 3. Poligami, Perlindungan hukum terhadap anak serta perempuan yang dipoligami dan dikawini siri, tidak diperoleh baik perlindungan dalam bidang administrasi, perdata maupun pidana. Secara hukum istri dan anak tidak dapat membuktikan bahwa mereka adalah suami istri yang dibuktikan dengan akta kawin, begitu pula atas anak yang dilahirkan dari       

17 Sufyan Ahkmad Farid Mawardi, “Analisis terhadap Tingginya Perkawinan Siri di Kabupaten  Pamekasan”, Al‐Manhaj Journal, No. 1(2), 2019, 259. 

18 M. Yusuf, “Dampak Kawin Siri terhadap Perilaku Keluarga”, Jurnal At‐Taujih, Vol.2, No.2,  (Desember‐2019), 30‐31. 

(19)

19 

perkawinan siri, tidak dapat dibuktikan secara hukum atas hubungan anak dengan ayah. Istri dan anak tidak dapat menuntut kepada suami atau ayah tentang hak- haknya, seperti hak untuk mendapatkan pangan, sandang, papan, dan pendidikan serta hak untuk dikunjungi dalam waktu tertentu.19 4. Kekerasan dalam rumah tangga

5. Istri tidak bisa menuntut hak nafkah lahir batin, hak waris bila terjadi perceraian, hak pengaduan bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga, dan hak perlindungan hukum bila ditinggal tanpa pesan

6. Terlantarnya anak, Dampak perkawinan siri bagi anak adalah secara hukum, anak tidak dianggap sebagai anak sah, tidak berhak mendapat warisan jika orang tua meninggal, tidak berhak mendapat harta gono- gini bila terjadi perpisahan. Dampak tersebut juga berlaku bagi anak hasil perkawinan siri. Adapun dampak sosial lebih kepada benturan-benturan dengan pandangan negatif masyarakat tentang status perkawinan siri, yang bisa menimbulkan tekanan batin bagi pelaku terutama perempuan, juga kemungkinan terisolir dari lingkungan masyarakat.20

D. Metode Penyelesaian Sengketa

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi anatara indvidu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan       

19 Sufyan Ahkmad Farid Mawardi, “Analisis terhadap Tingginya Perkawinan Siri di Kabupaten  Pamekasan”, Al‐Manhaj Journal, No. 1(2), 2019, 268. 

20 Watikno Annisa Ridha, “Akibat Hukum Perkawinan Siri Terhadap Kedudukan Anak Ditinjau Dari  Hukum Islam Dan Undang‐Undang Perkawpnan No 1 Tahun 1974 Di Kabupaten Karanganyar”,  Jurnal Hukum Universitas Surakarta, 2014, 13‐14. 

(20)

20 

perushaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara dengan negara lainnya. Dengan kata lain, sengketa bersifat publik maupun keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional.

Sengketa adalah suatu perkara yang terjadi antara para pihak yang bersengketa di dalamnya mengadung sengketa yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak.21

Sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia berarti pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang- orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.

Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.22

Konflik atau sengketa merupakan situasi kondisi dimana orang- orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan-perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja.23

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)

      

21 Sarwono, op.cit , hlm. 7. 

22 Winardi, Managemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 1. 

23 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm.1. 

(21)

21 

Menurut Suyud Margono berpendapat bahwa.24 “litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak bertentangan”.

Litigasi merupakan proses penyelesain sengketa di pengadilan, dimana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win lose solution.

Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal (very formalistic) dan sangat teknis (very technical).

Prosedur penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di pengadilan (litigasi), lazimnya dikenal juga dengan proses persidangan perkara perdata sebagaimana ditentukan berdasarkan hukum acara perdata (HIR).

2. Penyelesain Sengketa Di Luar Pengadilan (Nonlitigasi)

Dalam penyelesaian konflik melalui nonlitigasi, kita telah mengenal adanya penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR), yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka (10) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan ADR, yang berbumyi “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.

      

24 Suyud Margono, loc.cit. 

(22)

22 

Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan perkara di pebgadilan maupun di Mahkamah Agung.25

Penyelesaian sengketa melalui nonlitigasi jauh lebih efektif dan efisien sebabnya pada masa belakangan ini berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan yang dikenal dengan ADR dalam berbagai bentuk seperti26:

1. Arbitrase 2. Negosiasi 3. Mediasi 4. Konsiliasi 5. Penilaian Ahli

Selain dari cara penyelesaian sengeketa sebagaimana disebutkan Di atas yang didasarkan kepada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dalam sistem hukum Indonesia tentang hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58 dan Pasal 60, yang pada pokoknya menentukan tentang penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui mediasi.

      

25Kelompok Kerja Alternatif Penyelesaian Sengketa Mahkamah Agung RI, Buku Tanya  Jawab Mediasi di Pengadilan, BerdasarkanPeraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016  Tentang 

Prosedur Mediasi Di Pengadilan, 2016, hlm. 1. 

26 Yahya Harahap, op.cit, hlm. 236. 

 

(23)

23 

Hasil akhir dari rangkaian proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam pasa 6 ayat (7) Undang-Undang No 30 Tahun 1999 yang berhasil maka akan menghasilkan kesepakatan perdamaian diantara para pihak

Referensi

Dokumen terkait

KEDELAPAN : Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah (SKPD/UKPD) yang belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada diktum diktum KESATU, diktum KEDUA

Abstraksi: Asesmen perkembangan anak usia dini merupakan kegiatan yang penting dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data mengenai perkembangan anak yang

Dari penelitian yang penulis lakukan terhadap sistem peminjaman buku pada Perpustakaan SMAN 1 Lembah Melintang Pasaman Barat, serta menganalisa permasalahan yang ada

Langkah-langkah ini di tentukan oleh langkah-langkah sebelumnya merupakan lanjutan dari masalah atau diagnosa yang telah diidentifikasi atau di antisipasi. Rencana asuhan yang

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam 2 siklus dengan menerapkan Teori Konstruktivisme dalam pembelajaran Pendidikan

Sitä vastoin tulkinnat tästä konsulttien ja asiakkaan välillä olevan kuilun merkityksestä ja käsittelemisestä erottavat teorioita toisistaan: siinä missä esimerkiksi tiedon

Fariza (2006) menegaskan jati diri seseorang muslim dapat dibentuk sekiranya kualiti sesuatu tugas dilaksanakan dengan baik dan ia sangat berkait rapat dengan dorongan

restorative justice menurut Undang-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak beserta aturan pelaksanaannya telah mengatur mengenai