• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERAN GENDER. Menurut Stockard dan Johnson (1993), hampir semua masyarakat memiliki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II PERAN GENDER. Menurut Stockard dan Johnson (1993), hampir semua masyarakat memiliki"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II PERAN

GENDER

Menurut Stockard dan Johnson (1993), hampir semua masyarakat memiliki pembagian kerja yang didasarkan atas gender. Pembagian kerja ini memang penting untuk kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut. Meskipun setiap masyarakat memiliki peran-peran gender, namujn aktivitas-aktivitas untuk masing-masing tipe (maskulin dan feminine) tidaklah sama dan dapat pula berubah atau bergeser di antara generasi yang berbeda. Misalnya, pada beberapa masyarakat, perempuan yang berternak ungags dan hewan kecil, sedangkan pada beberapa masyarakat yang lainnya, perempuan yang mengerjakannya. Pada beberapa masyarakat, laki-laki yang mengurus perternakan susu, sementara di masyarakat lainnya, perempuan yang mengerjakannya. Bervariasinya peran gender di antara berbagai budaya serta antar waktu yang berbeda menunjukkan bahwa budaya memang membentuk peran gender kita.

Hurlock (1984) menyatakan kualitas yang menentukan pola perilaku yang diharapkan

oleh anggota dari kedua jenis kelamin di dalam budaya tergantung dari apa yang

(2)

dianggap bernilai oleh budaya itu. Berbagai penelitian Antropologi menunjukkan adanya perbedaan peran gender pada masing-masing budaya, di antaranya yang paling sering diutarakan adalah penelitian Mead (dalam Rosaldo, 1983; Stocard dan Johnson, 1993).

Studi ini merupakan suatu penelitian tentang peran social pada tiga masyarakat sederhana di kawasan Pasifik yaitu Arapesh, Mundugumor dan Tcambuli. Menurut Mead hanya sedikit perbedaan antara peran laki-laki dan perempuan pada masyarakat Arapesh dan Mundugumor. Laki-laki dan perempuan Arapesh digambarkan menunjukkan perilaku yang di banyak masyarakat yang dianggap sebagai feminine, yakini pasif, kooperatif dan tidak agresif. Ibu dan ayah orang Arapesh, keduanya secara aktif terlibat dalam membesarkan bayi mereka. Sebaliknya di masyarakat Mundugumor, laki-laki dan perempuan menunjukkan perilaku yang sesuai dengan gambaran maskulin yakni memiliki trait benci, agresif dan kaku.

Berlainan dengan ke dua masyarakat di atas, pada masyarakat Tcambuli jelas terlihat adanya perbedaan, namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan justru kebalikan dari peran tradisional feminine dan maskulin dalam kultur Barat. Laki-laki digambarkan sebagai sensitive dan perhatian terhadap orang lain, dependen dan tertarik dengan seni misalnya dalam pembuatan cenderamata. Sementara perempuan mandiri, agresif dan memainkan peran sebagai pengontrol dalam pembuatan keputusan (Hetherington &

Parke, 1986; Frieze, 1978; Weitzman, 1975).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan terdapat perbedaan pengertian antara jenis

kelamin, yang berarti perempuan dan laki-laki secara biologis dengan gender, yang

berarti gambaran-gambaran psikologis, social dan budaya serta ciri-ciri khusus yang

(3)

diasosiasikan dengan kategori biologis perempuan dan laki-laki. Sedangkan peran gender berarti traits dan perilaku yang diharapkan oleh budaya berdasarkan jenis kelaminnya, traits dan perilaku feminine untuk perempuan dan traits dan perilkau maskulin untuk laki- laki.

1. Perspektif Gender

Gilbert (1993) mengungkapkan perspektif yang relative baru tentang gender. Pada dasarnya perspektif ini beranggapan bahwa gender merupakan konstruksi social. Semua masyarakat mengenali perbedaan biologis perempuan dan laki-laki, dan menggunakannya sebagai dasar dari perbedaan social. Di sebagaian masuarakat proses membentuk gender telah dimulai sejak manusia dilahirkan, misalnya dengan mulai memilihkan pakaian berwarna merah muda untuk bayi perempuan dan pakaian berwarna biru untuk bayi laki-laki, dan untuk selanjutnya mereka akan diperlakukan sebagai anak perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, gender memiliki pengertian yang lebih luas dari jenis kelamin secara biologis sebagaimana yang telah diungkapkan di awal dari tulisan ini.

Proses-proses yang berkaitan dengan gender menurut Unger & Crowford (1992) mempengaruhi perilaku, pemikiran dan perasaan seseorang, berpengaruh pada interaksi di antara individu dan membantu menentukan struktur institusi social. Dengan demikian, proses-proses untuk membedakan perempuan dan laki-laki memang diciptakan.

Berbarengan dengan proses pembedaan laki-laki dan perempuan, ditentukan pula

pembagian kekuasaan. Proses-proses ini dapat dipahami melalui peranan gender pada

(4)

tiga tingkatan, yakni : tingkatan individu; tingkatan interpersonal; dan tingkatan struktur social.

Pada tingkatan individu, masyarakat umumnya cenderung menghubungakan traits, perilku dan minat tertentu dengan salah satu jenis kelamin laki-laki atau perempuan.

Traits, perilaku maupun minat ini diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu dikotomi. Perempuan dikaitkan dengan perilaku atau trait yang feminine, sedangkan kebalikannya laki-laki yang maskulin, namun tidak ke duanya. Padahal, bila meninjau pada kenyataan, banyak dari traits, perilaku bahkan ciri fisik yang dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan yang menggambarkan kebalikan dari apa yang dianggap sebagai feminine dan maskulin. Dalam hal ini berarti gender biasanya dihunakan sebagai frame (kerangka) yang merefleksikan bentuk dari stereotip (Unger &

Crowford, 1992). Para ahli juga sudah meneliti tentang androgini, yang menggambarkan laki-laki dan perempuan yang memiliki baik trait yang maskulin maupun feminine.

Dalam hal ini gender di lihat dalam multi dimensi, bukan lagi dimensi tunggal, yang menunjukkan dikotomi, seperti sebelumnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan diuraikan pada bagian orientasi gender.

Pada tingkatan ke dua, yakni tingkat interpersonal, gender merupakan pertanda (cue).

Gender sebagai pertanda ini, memberitahu kita bagaimana berperilaku menghadapi orang

lain dalam hubungan social. Berdasarkan apa yang ditampilkan seseorang kita

memutuskan apakah seseorang itu perempuan atau laki-laki. Melalui klassifikasi yang

kita lakukan, kita memutuskan bagaimana kita berperilaku meghadapinya. Menurut

berbagai penelitian, perbedaan perlakuan menghadapi perempuan dan laki-laki meskipun

(5)

bisa jadi di luar kesadaran memang nyata adanya. Contohnya salah satu penelitian dari Eccles (dalam Unger&Crowford, 1992) yang dilakukan melalui observasi terhadap anak- anak Elementary School, menyimpulkan bahwa meskipun guru-guru meyakini bahwa mereka memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan secara sama, ternyata anak laki-laki menerima lebih banyak perhatian, baik positif maupun negative dari pada anak perempuan. Dalam hal ini menurut Unger&Crowford, pengkategorisasian jenis kelamin, bukan hanya media melihat perbedaan di antara laki-laki dan perempuan tapi juga suatu cara menciptakan perbedaan. Kita bukan hanya melihat bahwa laki-laki dan perempuan merupakan kategori yang berbeda, namun melalui kategorisasi itu, kita sekaligus menciptakan perbedaan di antara laki-laki dan perempuan.

Sedangkan pada tingkatan ke tiga yakni struktur social, gender merupakan suatu system hubungan kekuasaan. Menurut Gilbert (1993) gender dapat dipandang sebagai suatu system kalssifikasi social yang mempengaruhi akses untuk kekuasaan dan sumber- sumber daya. Laki-laki lebih memiliki kekuasaan public di kebanyakan masyarakat, kontrol pemerintahan, hukum dan kepentingan publik. Di Indonesia hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perempuan yang berada di jabatan pemerintahan, baik pemimpin daerah, mulai dari lurah, bupati, gubernur dan lain-lain.

Perspektif gender ini tidak berfokus pada variabel-variabel intrapsikis yang diasumsikan terkait dengan jenis kelamin biologis dalam menerangkan perilaku manusia.

Perspektif gender ini menyatakan bahwa perilaku manusia muncul dari suatu jaringan

interaksi antara keberadaan perempuan dan laki-laki secara biologis dan lingkungan

social. Ada dua contoh yang diungkapkan oleh Gilber (1993), yakni : (1) perempuan dan

(6)

laki-laki sama-sama menjadi orang tua, tetapi lebih banyak perempuan yang terlibat pengasuhan anak. Berdasarkan perspektif gender, perempuan membesarkan anak lebih karena harapan social diasosiasikan dengan jenis kelamin. Harapan social itu menggariskan bahwa perempuan melakukan aktivitas pengasuhan lebih banyak dari pada laki-laki. Jadi, secara budaya, perempuan mengasuk anak; (2) perempuan dan laki-laki sama-sama menerima ijazah perguruan tinggi, namun ½ dari laki-laki memulai pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi (Gilbert, 1993). Berdasarkan perspektif gender, laki-laki mendapatkan gaji lebih tinggi bukan karena laki-laki lebih mampu dari perempuan, tetapi karena lingkungan kerja lebih memberi reward (penghargaan) pada laki-laki. Jadi secara budaya, laki-laki ‘pencari nafkah’.

Selanjutnya menurut Gilbert, dalam menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan gender, perspektif gender ini melihat gender yang berperan sebagai perbedaan, struktur dan proses.

Gender sebagai Perbedaan

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gilbert (1993), perbedaan pengalaman

berdasarkan konteks sosiokultural pada anak perempuan dan laki-laki selama masa

perkembangan anak dan remaja merupakan hal yang penting untuk memahami

penemuan-penemuan tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perspektif

gender ini berusaha menjelaskan bahwa apa yang ditemukan sebagai perbedaan trait atau

perilaku di antara anak laki-laki dan perempuan, harus dipahami berdasarkan latar

belakang dari perbedaan pengalaman yang dijalani oleh anak laki-laki dan perempuan di

(7)

lingkungan masyarakatnya. Misalnya penemuan tentang anak perempuan memiliki kecemasan yang lebih tinggi terhadap matematika dari pada anak laki-laki. Perbedaan yang tampil ini bukan semata-mata sebagai perbedaan, namun harus dilihat berdasarkan pengalaman adanya perbedaan anak laki-laki dan perempuan ketika menerimanya.

Dengan demikian perbedaan yang tampil seharusnya dipahami sebagai perbedaan gender bukan perbedaan jenis kelamin, berkaitan dengan contoh, maka perbedaan tingkat kecemasan terhadap matematika di antara anak laki-laki dan perempuan bukanlah menunjukkan perbedaan jenis kelamin, namun merupakan perbedaan gender.

Gender sebagai Struktur

Sheriff (dalam Gilbert, 1993) memandang isu gender bukan sekedar terkait dengan individu perempuan, laki-laki dan sosialisasi, namun juga melibatkan struktur- struktur social dan prinsip-prinsip organisasi. Contohnya seperti fenomena yang disebut glass ceiling effect yang juga dikemukakan oleh Baron & Byrne (1997), yakni adanya

hambatan yang tidak kasat mata namun memiliki kekuatan, yang didasarkan atas bias- bias sikap atau bias organisasi yang mencegah perempuan untuk sampai pada posisi puncak atau top management.

Gender sebagai Proses Interaktif

Teori-teori gender ini menurut Gilbert (1993) memandang fenomena hubungan

antar jenis kelamin sebagai proses yang dipengaruhi oleh pilihan individu, dicapai dengan

tkeanan situasi dan hanya dapat dipahami pada konteks interaksi social.

(8)

Studi dari Eccles dan rekan (Gilbert, 1993) mengungkapkan bagaimana harapan orang tua yang berkaitan dengangender mempengaruhi partisipasi pada aktivitas stereotip peran gender seperti matematika dan olah raga. Harapan-harapan orang tua mengubah persepsi dan atribusi terhadap kemampua dan minat anak-anaknya. Misalnya anak perempuan memperoleh nilai bagus pada matematika, dianggap karena kerja keras, sedangkan anak laki-laki karena memang memiliki bakat matematika dan hal ini mempengaruhi persepsi diri dari si anak dan pilihan aktivitasnya.

Dapat disimpulkan bahwa pespektif gender adalah suatu perspektif yang mengutarakan bahwa gender bukanlah sesuatu yang telah terberi berdasarkan kondisi biologis perempuan dan laki-laki, namun gender merupakan hasil dari konstruksi masyarakat, yang dipengaruhi oleh budaya dari masyarakat tersebut.

Untuk selanjutnya akan diuraikan dua model orientasi peran gender dalam menjelaskan femininitas dan maskulinitas.

2. Orientasi Gender

Bem (1978) menyatakan ada dua model orientasi peran gender dalam menjelaskan femininitas dan maskulinitas, dalam kaitannya dengan laki-laki dan perempuan, yaitu model tradisional dan model nontradisional.

Model pertama yang disebut model tradisional, yang memandang femininitas dan

maskulinitas sebagai suatu dikotomi. Sedangkan yang ke dua memandang femininitas

dan maskulinitas bukanlah suatu dikotomi, sehingga memungkinkan untuk

(9)

pengelompokan yang lain, yakni androgini, dimana seseorang perempuan atau laki-laki bisa memiliki ciri-ciri femininitas sekaligus ciri-ciri maskulinitas.

Model tradisional dan model nontradisional

Model tradisional berpandangan bahwa maskulinitas dan femininitas dipandang sebagai titik-titik yang berlawanan dalam suatu kotinum yang bipolar. Pengukuran- pengukuran untuk melihat femininitas dan maskulinitas didasarkan atas pandangan tersebut, sehingga derajat yang tinggi dari maskulinitas menunjukkan derajat yang rendah dalam femininitas (Betz dan Fitzegerald, 1987).

Feldman (dalam Walsh, 1985) menyatakan perempuan ideal adalah yang memiliki ciri-ciri femininitas yang tinggi, yakni : berorientasi pada keluarga dan anak- anak; hangat; pernuh pengertian; lemah lembut dan tulus; peka terhadap perasaan orang lain; penuh perhatian; baik budi dan penuh kasih sayang; ia seorang yang pemurung;

mudah tergugah; emosional; subyektif; tidak logis; ia juga seorang yang suka mengeluh dan merajuk; lemah; putus asa; rapuh; mudah tersinggung; perempuan juga merupakan seorang yang submissive; yang mengalah dan tergantung pada orang lain.

Menurut Brenner (1976) keberhasilan merupakan salah satu dimensi dari peran

gender maskulin. Trait maskulin lain menurut Broverman dan kawan-kawan adalah

memiliki karakteristik agresif, mandiri, tidak emosional, obyektif, tidak mudah

dipengaruhi orang lain, ia juga seorang yang dapat mengambil keputusan, percaya diri,

logis, kompetitif dan ambisius (dalam Lammanna & Reidmann, 1981).

(10)

Menurut model tradisional ini, penyesuaian diri yang positif dihubungkan dengan kesesuaian antara orientasi peran gender dengan jenis kelamin seseorang. Seorang laki- laki akan mempunyai penyesuaian diri yang positif jika ia menunjukkan maskulinitas yang tinggi dan femininitas yang rendah. Dan sebaliknya perempuan yang memiliki penyesuaian diri yang positif adalah perempuan yang menunjukkan femininitas yang tinggi dan maskulinitas yang rendah (Kagan, 1964).

Sebagai konsekuensi dari model tradisional dengan pengukuran yang bipolar, maka individu-individu yang memiliki ciri-cir maskulinitas dan femininitas yang relative seimbang tidak akan terukur. Hal tersebut menimbulkan reaksi dengan dikembangkannya model orientasi yang nontradisional.

Model nontradisional mulai dikembangkan tahun 1970-an oleh sejumlah penulis (antara lain Bem, 1974; Constantinople, 1973; Spence, Helmrich & Stapp, 1974) yang menyatakan bahwa maskulinitas dan femininitas lebih sesuai bila dikonseptuasilsasikan terpisah, karena merupakan dimensi yang independen.

Berdasarkan konsep ini Bem (1974) menyimpulkan empat klasifikasi kepribadian berdasarkan respons seseorang terhadap skala maskulinitas dan femininitas pada Bem Sex Role Inventory (BSMRI), yaitu :

(1) Sex-typed

Yakni seorang laki-laki yang mendapat skor tinggi pada maskulinitas dan

mendapat skor rendah pada femininitas. Pada perempuan yang mendapat skor

tinggi pada femininitas dan skor yang rendah pada maskulinitas.

(11)

(2) Cross-sex-typed

Yakini laki-laki yang memperoleh skkor tinggi pada femininitas, namun memiliki skor yang rendah pada maskulinitas. Sedangkan pada perempuan memiliki skor yang tinggi pada maskulinitas dan skor yang rendah pada femininitas.

(3) Androgini

Yakni laki-laki dan perempuan yang mendapat skor tinggi baik pada maskulinitas maupun femininitas.

(4) Undifferentiated

Yakni laki-laki dan perempuan yang mendapat skor rendah baik pada maskulinitas maupun femininitas.

Berdasarkan model nontradisional ini, terdapat semacam klasifikasi kepribadian yang mulai banyak dibicarakan sebagai alternative dari peran yang bertolak-belakang antara laki-laki dan perempuan, yakni tipe kepribadian androgini.

Androgini

Kata androgini sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti laki-laki dan perempuan. Kini androgini diistilahkan kepada laki-laki maupun perempuan yang memiliki kualitas maskulinitas dan kualitas femininitas yang tinggi.

Pendapat yang membuka kemungkinan tentang androgini ini sebenarnya telah ada

sejak masa perkembangan aliran/teori-teori Psikoanalisis. Jung (dalam Sobel, 1981)

(12)

menyatakan bahwa di dalam diri seorang perempuan terdapat aspek maskulin yang disebut animus atau logos dan di dalam diri seorang laki-laki terdapat aspek feminine yang disebut anima atau eros.

Logos adalah prinsip maskulin yang merupakan prinsip untuk memberi bentuk, menyusun keteraturan, aspirasi untuk menguasai dan mengembangkan trait kompeten.

Sedangkan eros dihubungkan dengan prinsip keterikatan, kepekaan, sifat responsive, kecenderungan untuk memberi kasih saying kepada sesama manusia serta pengasih.

Logos dan eros ini, untuk seorang laki-laki digambarkan sebagai Jung dalam suatu skema, dimana logos merupakan daerah yang terang, sedangkan eros di daerah yang gelap, sebagai berikut :

Menurut Jung, perkembangan khas seorang laki-laki ke arah logos sedangkan perkembangan khas seorang perempuan kea rah eros. Menurut Hall & Lindzey (1985), seorang manusia yang utuh, yang dilambangkan sebagai suatu lingkaran merupakan perkembangan diri yang utuh, (fullness of selfhood). Seorang manusia yang utuh tidak membatasi diri, sebagai laki-laki hanya mengarah pada logos, atau perempuan hanya mengarah pada eros sja, namun mengembangkan eros dan logos bersamaan dalam satu individu.

Dengan kata lain, pengembangan diri yang utuh berarti mengembangkan potensi-

potensi yang ada di dalam diri dan mewujudkannya sebagai aktualisasi diri. Adanya eros

dan logos di dalam diri manusia memberikan kemungkinan baik pada laki-laki maupun

perempuan untuk mengembangkan potensinya dalam dua aspek ini.

(13)

Pengembangan diri kea rah logos dan eros ini memungkinkan adanya ke dua karakter feminine dan maskulin di dalam diri seseorang, yang berarti androgini. Dengan demikian dikatakan seorang yang androgini lebih mengembangkan potensi dirinya, disbanding seseorang yang mengembangkan hanya karakter feminine atau maskulin saja.

Bem (Betz & Fitzegerald, 1980:62) menggambarkan individu yang memiliki kepribadian androgini sebagai berikut :

…a balance of masculine and feminine characteristic was postulated to be advenageous because balanced or ‘androgynous’ individual would be freer of artificial sex role-related constraints on the extent of their behavioral and copying repertoires.

Menurut Bem, secara teoritis orang dengan kepribadian androgini dapat mengadaptasi perilaku-perilaku maskulin, misalnya asertif, aktif, dapat memecahkan masalah dan mengadaptasi perilaku feminine misalnya dapat mendukung orang lain secara emosional sesuai dengan situasi tertentu, tanpa perasaan tidak enak.

Wrightsmen dan Deaux (1981) menyebutkan bahwa seseorang yang androgini cenderung lebih kompeten, yakin pada diri sendiri dan memiliki harga diri yang tinggi.

Selain itu dalam beberapa situasi cenderung fleksibel dan efektif dalam hubungan

interpersonalnya. Penelitian dari Spence dan Helmreich (dalam Wrightsman dan Deaux,

1981) tentang androgini menunjukkan bahwa individu laki-laki maupun perempuan yang

androgini cenderung memiliki motivasi untuk berprestasi yang lebih tinggi bila

dibandingkan dengan individu yang feminine ataupun maskulin. Myers dan Lips (dalam

Wrightsmen dan Deaux, 1981) juga melaporkan bahwa perempuan yang androgini lebih

menyukai olah raga kompetitif seperti bulu tangkis, tenis dan bermain bola dibandingkan

(14)

dengan perempuan yang feminine. Seorang laki-laki dan perempuan yang androgini juga bertingkah laku dengan cara yang sama dalam menghadapi laki-laki dan perempuan.

Interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan yang androgini lebih aktif dan menyenangkan dari pada interaksi antara laki-laki maskulin dan perempuan feminine.

Dengan demikian, berarti seorang yang androgini secara potensial dapat berfungsi efektif dalam berbagai situasi dengan tingkat kesehatan psikologis yang tinggi.

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang yang androgini kemungkinan akan lebih dapat mengembangkan potensi dirinya, oleh karena itu individu yang androgini secara psikologis akan dapat lebih sehat dibandingkan dengan yang feminine atau maskulin saja.

Meskipun cukup menjanjikan bagi perkembangan diri yang sehat bagi perempuan

dan laki-laki, pada kenyataannya konsep ini, dalam perjalanannya menunjukkan berbagai

kelemahan, terutama berkaitan dengan alat ukur yang digunakan. Kritik yang mendasar

terhadap konsep ini diungkapkan oleh Lott (dalam Unger & Crowford, 1992) bahwa

konsep androgini justru menguatkan keyakinan bahwa perilaku memiliki dua gender

maskulin dan feminine. Contohnya seseorang yang menggambarkan dirinya dapat

diandalkan, ambisius dan analitis di sekor sebagai maskulin pada skala androgini. Kritik

dari Lutt adalah mengapa ia harus dilabel sebagai maskulin, bukankah lebih tepat

dikatakan ia seorang yang dapat diandalkan, ambisius dan analitis. Dengan demikian

pelabelan sifat-sifat sebagai maskulin dan feminine malah tidak sejalan dengan usaha

membuat perilaku menjadi non-gender.

Referensi

Dokumen terkait

Telur itik mempunyai reputasi sulit untuk ditetaskan dibanding dengan telur ayam karena waktu untuk menetas 28 hari sedangkan pada ayam hanya 21 hari, sehingga lebih banyak waktu

Navedeni dokument usmjeren je na poticanje integriranja kulturnih raznolikosti u razvojne politike, isticanjem da cjeloviti razvoj uključuje i multikulturalnu politiku

Dengan nilai signifikansi dibawah 0,05 menunjukkan bahwa secara bersama-sama ease of use , design web, customization, responsiveness , assurance , dan kepuasan

Abstrak : Air asam tambang merupakan air dengan pH rendah dan memiliki kelarutan logam yang tinggi, pada umumnya air tersebut akan dialirkan kelingkungan sehingga

Ai bua mokwai berarti buah kau laki-laki.Namun dalam pelaksanaan sasi adat ini bukan berarti demikian, artinya menunjuk pada sasi adat untuk tanaman maupun air yang hanya

Dari hasil penelitian ekstrak dan fraksi pada pengamatan waktu terbentuk benang fibrin dapat dilihat bahwa dari beberapa konsentrasi variasi dosis, fraksi dan

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif dalam penelitian ini berupa deskripsi proses pengolahan Kacang

Tetapi pada sisi lain, pengembangan lintasan Waipirit-Hunimua belum memberikan dampak positif yang cukup signifikan secara ekonomis kepada wilayah Maluku Tengah (akibat