TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Kabupaten Nagekeo
Kabupaten Nagekeo terletak di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur
dengan luas wilayah 1.416,96 km
2dan berpenduduk 132.458 jiwa (tahun 2008). Kabupaten Nagekeo terletak di sebelah barat dari Pulau Flores dengan ibukota kabupaten adalah Mbay. Kabupaten Nagekeo dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007. Wilayah Kabupaten Nagekeo terdiri dari 7 kecamatan yang meliputi 78 desa dan 15 kelurahan (data tahun 2008). Kecamatan- kecamatan yang terdapat di wilayah Kabupaten Nagekeo meliputi Kecamatan Mauponggo, Kecamatan Keo Tengah, Kecamatan Nangaroro, Kecamatan Boawae, Kecamatan Aesesa, Kecamatan Aesesa Selatan, dan Kecamatan Wolowae (BPS Kabupaten Nagekeo, 2009).
Kabupaten Nagekeo tergolong daerah yang beriklim tropis dan terbentang hampir sebagian besar padang rumput, juga ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar dan sebagainya serta kaya dengan fauna, antara lain hewan- hewan besar, hewan-hewan kecil, unggas, binatang menjalar, dan binatang liar.
Potensi padang penggembalaan pada enam kawasan yang meliputi sembilan desa di Kabupaten Nagekeo dapat dilihat pada Tabel 1. Perkembangan ternak di Kabupaten Nagekeo mengalami penurunan, dimana pada tahun 2007 populasi ternak besar adalah sebagai berikut: sapi 21.803; kerbau 7.748; dan kuda 4.402 ekor. Sementara untuk 3 jenis ternak kecil terdiri dari kambing sebanyak 39.365 ekor dan domba sebanyak 3.572 ekor, sedangkan populasi babi sebanyak 54.000 ekor (BPS Kabupaten Nagekeo, 2009).
Secara geografis Kabupaten Nagekeo terletak antara 8
026’16,12” LS –
8
054’40,24” LS dan 121
05’19,52” BT – 121
031’30,94” BT. Bagian utara berbatasan
dengan Laut Flores, bagian selatan berbatasan dengan Laut Sawu, bagian timur
berbatasan dengan Kabupaten Ende dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten
Ngada. Sedangkan wilayah dengan ketinggian tanah dari permukaan laut 0 – 250 m
seluas 30,72%; 251 – 500 m seluas 34,84%; 501 – 750 m seluas 15,86%; 751 – 1000
m seluas 10,75%; lebih tinggi dari 1000 m seluas 7,83%. Kondisi iklim yang sejuk
dan ketersediaan hijauan yang relatif besar sangat cocok bagi pengembangan ternak
4 sapi. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Nagekeo adalah 121,92 mm/thn dengan rata-rata hari hujan adalah 100 hari/tahun (BPS Kabupaten Nagekeo, 2009).
Tabel 1. Luas Padang Penggembalaan di Sembilan Desa di Kabupaten Nagekeo.
No Kawasan Lokasi (Desa) Luas Padang (Ha)
1 Nagarawe Nagarawe 11.890,16
2 Ndora Ulupulu 2.910,41
3 Ndora Bidoa 4.065,01
4 Lambo Lambo 3.677,13
5 Ratedao Natatoto 17.447,35
6 Rendu Rendubutowe 3.636,90
7 Rendu Renduwawo 7.587,19
8 Rendu Dhereisa 3.713,04
9 Munde Tedakisa 8.618,50
Total 63.545,69
Sumber : BPS Kabupaten Nagekeo (2009)Sumber : BPS Kabupaten Nagekeo (2009)
Gambar 1. Peta Kabupaten Nagekeo
Padang Penggembalaan
Menurut Reksohadiprodjo (1994) padang penggembalaan adalah suatu daerah
padangan dimana tumbuh tanaman makanan ternak yang tersedia bagi ternak yang
dapat merenggutnya menurut kebutuhannya dalam waktu singkat. Beberapa macam
5 padang penggembalaan diantaranya padang penggembalaan alam, padang penggembalaan permanen yang sudah ditingkatkan, padang penggembalaan temporer dan padang penggembalaan irigasi. Beberapa cara menggembalakan ternak di padang penggembalaan antara lain yaitu cara ekstensif dengan menggembalakan ternak di padangan yang luas tanpa rotasi, semi-ekstensif dengan melakukan rotasi namun pemilihan hijauan masih bebas, cara intensif dengan melakukan rotasi tiap petak dengan hijauan dibatasi, strip grazing dengan menempatkan kawat sekeliling ternak yang bisa dipindah dan solling dengan hijauan padangan yang dipotong dan diberikan pada ternak di kandang.
Menurut Pearson dan Ison (1987) terdapat beberapa komponen biologis yang saling berhubungan dalam suatu siklus biologi yang dinamis di padang penggembalaan. Komponen tersebut yaitu lingkungan, tanaman dan ternak. Semua komponen tersebut diintegrasikan ke dalam suatu sistem manajemen padang penggembalaan. Crowder dan Chheda (1982) menambahkan bahwa aspek lain yang berhubungan dalam manajemen pastura adalah pengetahuan tentang tanaman pastura, kesuburan tanah, iklim, kesesuaian populasi tanaman dan asosiasi botani.
Produksi rumput di padang penggembalaan ditentukan oleh beberapa faktor seperti iklim, pengelolaan, kesuburan tanah, pemeliharaan dan tekanan penggembalaan (Reksohadiprodjo, 1994). Kandungan nutrisi rumput banyak ditentukan oleh umur tanaman saat digembalakan, jenis rumput, intensitas cahaya dan suhu, lingkungan dan manajemen berpengaruh terhadap produktivitas ternak, ternak yang dilahirkan pada musim panas umumnya memiliki bobot badan yang rendah, produksi dan kualitas susu rendah, pertumbuhan anak domba terhambat (Brandano et al., 2004).
Pengaruh Kondisi Tanah Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan adalah cahaya,
temperatur, air, ketersediaan komponen udara dan kesuburan tanah. Sementara faktor
internal yang mendukung pertumbuhan mencakup semua proses fisiologi dari
jaringan, kondisi stomata, akumulasi atau ketersediaan bahan makanan seperti
glukosa dan perubahan struktural dari jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap
pertumbuhan, peningkatan umur pohon, serta penyakit yang terdapat pada bagian
tumbuhan (Fritts, 1976).
6 Topografi dalam hal ini tingkat kemiringan lereng dapat dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45º (Arsyad, 1980). Pengaruh dari topografi sangat kompleks, termasuk didalamnya adalah perbedaan tanah, temperatur udara, evapotranspirasi, dan cahaya matahari. Tempat tumbuh dengan topografi yang sama menunjukkan keseragaman yang tinggi terhadap variabilitas lingkaran tumbuh dari tahun ke tahun (Philipson et al.,1971; Oberhuber dan Kofler, 2000).
Semakin besar kemiringan lereng menyebabkan peningkatan laju aliran permukaan. Adapun sifat tanah yang mempengaruhi aliran permukaan adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan bawah dan tingkat kesuburan tanah (Arsyad, 1980). Efisiensi penyerapan hara oleh akar lebih baik pada tanah dengan kondisi lembap daripada kering. Selain dipengaruhi oleh kekeringan, air tanah yang berlebihan tanpa drainase dapat menjadi faktor pembatas pertumbuhan. Hal ini disebabkan oleh terhambatnya pengambilan oksigen, absorpsi air dan serapan hara (Rendig dan Taylor, 1989).
Bahan organik tanah merupakan komponen kecil dari tanah mineral, namun mempunyai fungsi dan peranan sangat penting di dalam menentukan kesuburan dan produktivitas tanah melalui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Stevenson, 1982). Menurut Tan (1991), tanah memiliki produktivitas yang baik apabila kadar bahan organik berkisar antara 8 sampai 16%. Oleh karena itu untuk meningkatkan jumlah bahan organik tanah secara bertahap, bahan organik harus dikembalikan ke tanah sehingga akan terjadi akumulasi bahan organik tanah.
Stevenson (1982) menyatakan peranan bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah: (1) membentuk kelat dengan ion logam penting seperti Cu, Fe, Al dan Mn, sehingga menjadi bentuk yang stabil dalam tanah dan pada kondisi tanah tertentu dapat dimanfaatkan tanaman atau mikroorganisme tanah, (2) sebagai penyangga perubahan pH tanah, (3) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, dan (4) bereaksi dengan senyawa organik lain seperti senyawa dari pestisida atau herbisida yang akhirnya ada yang menyebabkan perubahan bioaktivitasnya.
Pada tanah masam, ion Al, Fe dan Mn dapat ditukar tinggi dan akan
berpengaruh buruk bagi pertumbuhan tanaman karena daerah jelajah akar menjadi
7 sempit (Soepardi, 1983). Unsur P sangatlah penting untuk tanaman karena terlibat hampir pada seluruh proses metabolisme. Unsur P merupakan penyusun yang esensial untuk semua sel hidup, dengan demikian rendahnya kandungan hara tersebut akan mempengaruhi semua aspek metabolisme dan pertumbuhan (Gunarto et al., 1998).
Tan (1991) menyatakan bahwa curah hujan yang sangat besar dan jauh melebihi kebutuhan tanah dan tanaman menyebabkan tanah tererosi dan terlindih berat yang mengakibatkan terangkutnya garam terlarut. Pada suasana tersebut kecuali komponen asam hanya Fe dan Al serta beberapa logam oksida saja yang dapat tahan terhadap pelapukan, oleh karena itu reaksi tanah menjadi asam atau sangat asam.
Kapasitas Tampung
Kapasitas tampung adalah kemampuan padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang dibutuhkan oleh sejumlah ternak yang digembalakan dalam luasan satu hektar atau kemampuan padang penggembalaan untuk menampung ternak per hektar (Reksohadiprodjo, 1994). Kapasitas tampung juga dapat diartikan sebagai kemampuan padang rumput dalam menampung ternak (Susetyo, 1980) atau jumlah ternak yang dapat dipelihara per satuan luas padang (Subagio dan Kusmartono, 1988). Dengan demikian kapasitas tampung tersebut tergantung pada berbagai faktor seperti kondisi tanah, pemupukan, faktor klimat, spesies hijauan, serta jenis ternak/satwa yang digembalakan atau terdapat di suatu padangan.
Kapasitas tampung identik dengan tekanan penggembalaan (stocking rate)
yaitu jumlah ternak atau unit ternak per satuan luas padang penggembalaan. Tekanan
penggembalaan optimum merupakan pencerminan dari kapasitas tampung yang
sebenarnya dari padang penggembalaan, karena baik pertumbuhan ternak maupun
hijauan dalam keadaan optimum atau merupakan pencerminan keseimbangan antara
padang rumput dengan jumlah unit ternak yang digembalakan (Susetyo, 1980).
8 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kapasitas tampung (Subagio dan Kusmartono, 1988) yaitu :
1. Penaksiran kuantitas produksi hijauan.
Umumnya dilakukan dengan metode cuplikan dengan memakai frame berukuran tertentu dengan bentuk yang bermacam-macam (persegi, bujur sangkar, lingkaran atau segitiga). Pengambilan sampel dilapangan dilakukan secara acak.
Banyaknya ditentukan dengan melihat homogenitas lahan yaitu komposisi botani, penyebaran produksi, serta topografi lahan. Hijauan yang terdapat dalam areal frame dipotong lebih kurang 5-10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya.
2. Penentuan Proper Use Factor
Konsep Proper Use Factor (PUF) besarnya tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim setempat serta kondisi tanah padangan. Untuk penggunaan padangan ringan, sedang, dan berat nilai PUF-nya masing-masing adalah 25-30%, 40-45%, dan 60-70%. Konsep ini digunakan dalam menaksir produksi hijauan antara lain karena :
‐ Erodibilitas lahan, yaitu jika lahan semakin mudah mengalami erosi dengan hamparan vegetasi rendah, sebaiknya tidak terlalu banyak hijauan dipanen.
‐ Pola pertumbuhan kembali hijauan. Bila hijauannya mempunyai pola pertumbuhan setelah panen lamban, maka sebaiknya tidak semua hijauan yang ada diperhitungkan untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara.
‐ Jenis dan perkiraan jumlah ternak yang akan dipelihara bahwa semakin banyak jenis ternak yang dipelihara maka injakan ternak terhadap rerumputan mengakibatkan tidak 100% hijauan yang ada dapat dikonsumsi ternak.
3. Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan
Penaksiran ini didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan.
Data kebutuhan rumput padang penggembalaan seekor ternak per bulan diestimasi
berdasarkan bobot badan untuk selanjutnya digunakan dalam penentuan luas lahan
yang dibutuhkan oleh ternak tersebut per bulan dengan mengetahui produksi rumput
padang penggembalaan per ha.
9 4. Menaksir kebutuhan luas tanah per tahun
Suatu padangan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi. Masa ini disebut sebagai periode istirahat. Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari. Untuk menaksir kebutuhan luas tanah per tahun digunakan rumus Voisin yaitu sebagai berikut :
(Y-1)s = r
dimana : Y = jumlah satuan luas tanah (paddock) terkecil yang dibutuhkan seekor sapi (1 ST)
s = periode merumput (stay) r = periode istirahat (rest)
Analisa Proksimat
Informasi umum mengenai kualitas bahan pakan dapat diketahui dari hasil analisa proksimat yang telah digunakan lebih dari 100 tahun yang lalu. Analisa tersebut disebut sebagai analisa Weende analisa proksimat yang dikembangkan pada tahun 1860 oleh Henneberg dan Stohmann di Jerman (Aquaculture, 2008). Analisa proksimat merupakan uji analisa suatu bahan pakan yang telah lama ada dan dapat digunakan untuk menduga nilai nutrien dan nilai energi dari bahan atau campuran pakan yang berasal dari bagian komponen bahan pakan tersebut (NRC, 1994).
Analisa proksimat dibagi ke dalam enam fraksi zat makanan yaitu kadar air, abu, protein kasar, lemak, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Amrullah, 2004). Adapun skema analisa proksimat bahan pakan ditampilkan pada Gambar 2.
Air
Bahan makanan Abu
Bahan Protein
Kering
Bahan Lemak
Organik Bahan
Organik Serat Kasar Tanpa N
Karbohidrat
Bahan
Ekstrak Tanpa N