• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK SUBKRONIS NATRIUM NITRIT TERHADAP STRUKTUR MIKROANATOMIS GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEK SUBKRONIS NATRIUM NITRIT TERHADAP STRUKTUR MIKROANATOMIS GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

pISSN 2460-6855 Jurnal Gizi KH, Desember 2018, 1(1):21-31

EFEK SUBKRONIS NATRIUM NITRIT TERHADAP STRUKTUR MIKROANATOMIS GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

GALUR WISTAR

(Subcronical Effect of Sodium Nitrite on Microanatomic Structure of White Rats Kidney (Rattus norvegicus) of Wistar Rats)

Dyah Ayu Widyastuti*1, Maria Asih Ristianti2, Ika Maya Sari2 Program Studi S1 Pendidikan Biologi, Universitas PGRI Semarang,

Semarang, Jawa Tengah, Indonesia1

Program Studi S1 Biologi, Universitas Gadjah Mada, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Indonesia2

Korespondensi : dyah.ayu@upgris.ac.id*

ABSTRACT

Sodium nitrite is often used to preserve processed meat products. The use of sodium nitrite in the long term can cause various health problems since nitrite can react with amine in the body to form carcinogenic nitrosamine compound. Similarly, nitrite which reacts with oxides will form nitric oxide which can interfere with kidney function. The purpose of this study is to find out the sub-chronic effect of giving sodium nitrite on the microanatomic structure of female white rat's kidney (Rattusnorvegicus) Wistar rats. Test animals were divided into 3 groups, namely K (control without giving sodium nitrite), P1 (dose of sodium nitrite of 11.25 mg/kgBW/day), and P2 (dose of sodium nitrite of 22.50 mg/kgBW/day). Test animals were given sodium nitrite orally for 90 days, and then there were surgery, calculation of organ index, and making of kidney microanatomic preparations on days 14, 56, and 90 with HE staining. The observation result showed that the index of kidney organs between groups was not significantly different, kidney damage that occurred was dominated by cariolysis, picnosis, and hydrophic degeneration. However, the damage is not enough to interfere with kidney function as a whole because the number of disturbed cells is not as much as healthy cells.

Keywords: sodium nitrite, sub-chronic, organ index, kidney micro anatomic ABSTRAK

Natrium nitrit sering digunakan untuk mengawetkan produk olahan daging. Penggunaan natrium nitrit dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan karena nitrit dapat bereaksi dengan amin di dalam tubuh membentuk senyawa nitrosamin yang karsinogenik. Begitu pula dengan nitrit yang bereaksi dengan oksida akan membentuk nitrit oksida yang dapat mengganggu fungsi ginjal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek subkronis pemberian natrium nitrit terhadap struktur mikroanatomis ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) betina galur Wistar. Hewan uji dibagi menjadi 3 grup, yaitu K (kontrol tanpa pemberian natrium nitrit), P1 (dosis natrium nitrit 11,25 mg/kgBB/hari), dan P2 (dosis natrium nitrit 22,50 mg/kgBB/hari). Hewan uji diberikan natrium nitrit per oral selama 90 hari untuk kemudian dilakukan pembedahan, perhitungan indeks organ, dan pembuatan preparat mikroanatomis ginjal pada hari ke-14, 56, dan 90 dengan pewarnaan HE. Hasil pengamatan menunjukkan indeks organ ginjal antar grup tidak berbeda secara nyata, kerusakan ginjal yang terjadi didominasi oleh kariolisis, piknosis, dan degenerasi hidrofik.

Namun, kerusakan tersebut belum cukup mengganggu fungsi ginjal secara keseluruhan karena jumlah sel yang terganggu tidak sebanyak sel yang sehat.

Kata kunci : natrium nitrit, subkronis, indeks organ, mikroanatomis ginjal

(2)

PENDAHULUAN

Bahan tambahan pangan yang digunakan di Indonesia diantaranya adalah pewarna, pengawet, penguat rasa, pengembang, dan penstabil makanan (Helal, 2001; Helal et al., 2008). Salah satu yang sering ditambahkan pada produk olahan daging adalah pengawet sintetis berupa natrium nitrit. Pengawet sintetis ini ditambahkan dengan tujuan untuk mengawetkan bahan (Sindelar & Milkowski, 2011), meningkatkan kualitas bahan, dan mencegah kontaminasi oleh mikroorganisme (Anand & Sati, 2013). Pengawet nitrit juga diketahui dapat meningkatkan kualitas warna merah pada daging kaleng, serta menghambat oksidasi dan mencegah toksigenesis.

Peningkatan kualitas pada olahan daging tersebut mengakibatkan ketertarikan lebih pada konsumen untuk mengkonsumsi produk-produk tersebut. Konsumsi nitrit secara berlebih mengakibatkan akumulasi dalam tubuh. Nitrit di dalam tubuh dapat bereaksi dengan amin serta berpotensi membentuk nitrosamin yang bersifat karsinogenik (Galaly & Mahmoud, 2012) bagi organ dalam tubuh, seperti ren (ginjal), hepar (hati), esofagus, lambung, pankreas dan organ vital lainnya (Hayes, 1989).

Penggunaan natrium nitrit dalam batas wajar sesuai dengan Permenkes RI No.

1168/Menkes/Per/X/1999 masih diperbolehkan, namun seringkali jumlah konsumsi daging awetan oleh masyarakat cenderung tidak terkendali bahkan melebihi 125 mg/kg daging sesuai dengan aturan pemerintah. Penggunaan natrium nitrit yang berlebih sebagai pengawet ini menimbulkan berbagai efek bagi tubuh, terutama yang berkaitan dengan fungsi ginjal. Nitrit yang bereaksi dengan oksigen di dalam tubuh dapat membentuk nitrit oksida yang dapat mengganggu fungsi ginjal (Mandei dkk., 2013). Gangguan fungsi ginjal tersebut dapat ditandai dengan adanya pembengkakan organ, ketidaknormalan struktur mikroanatomis, maupun adanya peningkatan kadar kreatinin dalam darah karena tubulus ginjal mengalami peradangan dan tidak dapat melakukan penyaringan kreatinin yang

seharusnya diekskresikan (Nursidika dkk., 2017).

Akumulasi konsentrasi natrium nitrit yang tinggi dalam tubuh dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubulus ginjal.

Gangguan pada sel-sel tubulus tersebut berimbas pada terjadinya penghambatan ekskresi senyawa kimia dari ginjal. Apabila sel-sel ginjal mengalami kerusakan berat, maka serangkaian perubahan struktur mikroanatomis ginjal dapat terjadi Perubahan struktur mikroanatomis tersebut bisa berupa nekrosis sel-sel ginjal, berupa piknotik, karioreksis, maupun kariolisis. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek subkronis natrium nitrit terhadap struktur mikroanatomis ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar sehingga penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet olahan daging selanjutnya dapat dilakukan dengan lebih bijak.

METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Unit Praklinik LPPT UGM Yogyakarta untuk pemeliharaan tikus, nekropsi, dan fiksasi sampel. Sedangkan pembuatan preparat histologis ginjal dilakukan di Laboratorium Histologi-Embriologi Fakultas Biologi UGM.

Penelitian dilakukan selama 12 minggu dengan bahan dan alat sebagai berikut:

Bahan

Hewan coba berupa 27 ekor tikus putih (R. norvegicus) betina (untuk penelitian yang tidak terkait hornon kelamin) galur Wistar dengan usia 2,5 bulan (perlakuan selama 3 bulan hingga mencapai usia tikus 5,5 bulan masih dalam usia ideal dengan kondisi fisiologis yang baik) dan berat rata-rata 110- 120 gram, natrium nitrit (NaNO2), pakan standar dan akuades, eter alkohol untuk narkose, NaCl 90%, larutan Bouin untuk fiksasi organ, alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, toluol, toluol-parafin, parafin cair,Meyer’s albumin, xylol, zat warna Erlich’s hematoksilin dan eosin-Y, canada balsam, dan gliserin.

Alat

Kandang tikus individu, jarum kanul, kotak parafin, oven parafin, microtome,

(3)

hotplate, staining jar, kaca benda, set nekropsi, Bunsen, dan timbangan analitik.

Pengelompokkan Hewan Uji

Setiap grup perlakuan terdiri dari 9 ekor tikus dengan pembagian grup Kontrol (K) tanpa perlakuan natrium nitrit, perlakuan 1 (P1) diberikan natrium nitrit secara oral dengan dosis 11,25 mg/kgBB/hari, dan perlakuan 2 (P2) dengan dosis 22,50 mg/kgBB/hari.

Pengukuran Indeks Organ

Indeks organ diukur pada saat hewan uji dinekropsi, yaitu pada hari ke-14, 56, dan 90. Perhitungan indeks organ menggunakan rumus:

Pembuatan Preparat Mikroanatomis Preparat dibuat dari ginjal hasil nekropsi pada hari ke-14, 56, dan 90. Ginjal dipotong melintang dan difiksasi dengan larutan Bouin selama 6-8 jam. Setalah dilakukan pencucian berulang dengan alkohol 70%, kemudian dilakukan dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding, sectioning, affixing, deparafinasi, pewarnaan HE, mounting, dan dilanjutkan dengan labeling.

Pengamatan Preparat

Pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya dengan memusatkan pengamatan pada korteks, tubulus ginjal, dan glomerulus.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gangguan fungsi ginjal dapat berhubungan dengan indeks renosomatik (indeks organ ginjal) tersebut. Nilai indeks renosomatik yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya pembengkakan pada organ ginjal. Begitu pula dengan indeks renosomatik yang rendah juga dapat disebabkan oleh ukuran ginjal yang mengecil.

Pengamatan struktur mikroanatomis ginjal difokuskan pada pengamatan bentuk korpuskula renalis dan sel-sel penyusunnya.

Bagian ini penting untuk diamati karena berkaitan dengan fungsi filtrasi ginjal.

Tabel 1. Rerata Indeks Renosomatik (Indeks Organ Ginjal) pada Grup K, P1, dan P2

Grup Indeks

renosomatik

Hari ke-

14 56 90

K Ginjal kiri 0,36 ± 0,00a 0,34 ± 0,01a 0,34 ± 0,03a

Ginjal kanan 0,39 ± 0,04a 0,32 ± 0,01a 0,35 ± 0,00a

Total 0,75 ± 0,04b 0,65 ± 0,00a 0,69 ± 0,03ab

P1 Ginjal kiri 0,38 ± 0,02a 0,35 ± 0,02a 0,36 ± 0,00a

Ginjal kanan 0,38 ± 0,02a 0,35 ± 0,02a 0,36 ± 0,01a

Total 0,76 ± 0,04a 0,69 ± 0,03a 0,73 ± 0,03a

P2 Ginjal kiri 0,39 ± 0,00a 0,32 ± 0,03a 0,32 ± 0,03a

Ginjal kanan 0,39 ± 0,00a 0,32 ± 0,03a 0,32 ± 0,03a

Total 0,78 ± 0,01a 0,65 ± 0,06a 0,64 ± 0,06a

Angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan beda nyata pada α=1%

Pengamatan struktur

mikroanatomis ginjal dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kerusakan pada struktur organ ginjal terkait dengan akumulasi natrium nitrit selama kurun 90 hari dalam kondisi subkronis. Pengamatan dilakukan pula pada bagian korteks ginjal karena bagian ini memiliki fungsi

reabsorbsi serta merupakan bagian yang terpapar senyawa kimia paling awal.

(4)

Gambar 1. Struktur Mikroanatomis Korteks Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus) Betina Galur Wistar grup K pada Hari ke-14. (Keterangan: 1.

Kapsula bowman; 2. Lamina parietalis; 3. Lamina visceralis; 4.

Ruang kapsul; 5. Glomerulus; 6.

Tubulus proksimal; 7. Tubulus distal; a. bengkak keruh; b.

hidrofilik; c. perlemakan; d.

karioreksis; e. piknosis; f.

kariolisis; g. plasmolisis; h.

dilatasi tubulus)

Gambar 2. Struktur Mikroanatomis Korteks Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus) Betina Galur Wistar grup K pada Hari ke-56. (Keterangan: 1.

Kapsula bowman; 2. Lamina parietalis; 3. Lamina visceralis; 4.

Ruang kapsul; 5. Glomerulus; 6.

Tubulus proksimal; 7. Tubulus distal; a. bengkak keruh; b.

hidrofilik; c. perlemakan; d.

karioreksis; e. piknosis; f.

kariolisis; g. plasmolisis; h.

dilatasi tubulus)

Gambar 3. Struktur Mikroanatomis Korteks Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus) Betina Galur Wistar Grup K pada Hari ke-90. (Keterangan: 1.

Kapsula bowman; 2. Lamina parietalis; 3. Lamina visceralis; 4.

Ruang kapsul; 5. Glomerulus; 6.

Tubulus proksimal; 7. Tubulus distal; a. bengkak keruh; b.

hidrofilik; c. perlemakan; d.

karioreksis; e. piknosis; f.

kariolisis; g. plasmolisis; h.

dilatasi tubulus)

Gambar 4. Struktur Mikroanatomis Korteks Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus) Betina Galur Wistar Grup P1 pada Hari ke-14 Perlakuan Natrium Nitrit. (Keterangan: 1. Kapsula bowman; 2. Lamina parietalis; 3.

Lamina visceralis; 4. Ruang kapsul; 5. Glomerulus; 6. Tubulus proksimal; 7. Tubulus distal; a.

bengkak keruh; b. hidrofilik; c.

perlemakan; d. karioreksis; e.

piknosis; f. kariolisis; g.

plasmolisis; h. dilatasi tubulus)

(5)

Gambar 5. Struktur Mikroanatomis Korteks Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus) Betina Galur Wistar grup P1 pada Hari ke-56 Perlakuan Natrium Nitrit. (Keterangan: 1. Kapsula bowman; 2. Lamina parietalis; 3.

Lamina visceralis; 4. Ruang kapsul; 5. Glomerulus; 6. Tubulus proksimal; 7. Tubulus distal; a.

bengkak keruh; b. bidrofilik; c.

perlemakan; d. karioreksis; e.

piknosis; f. kariolisis; g.

plasmolisis; h. dilatasi tubulus)

Gambar 6. Struktur Mikroanatomis Korteks Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus) Betina Galur Wistar grup P1 pada Hari ke-90 Perlakuan Natrium Nitrit. (Keterangan: 1. Kapsula bowman; 2. Lamina parietalis; 3.

Lamina visceralis; 4. Ruang kapsul; 5. Glomerulus; 6. Tubulus proksimal; 7. Tubulus distal; a.

bengkak keruh; b. hidrofilik; c.

perlemakan; d. karioreksis; e.

piknosis; f. kariolisis; g.

plasmolisis; h. dilatasi tubulus)

Gambar 7. Struktur Mikroanatomis Korteks Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus) Betina Galur Wistar Grup P2 pada Hari ke-14 Perlakuan Natrium Nitrit. (Keterangan: 1. Kapsula bowman; 2. Lamina parietalis; 3.

Lamina visceralis; 4. Ruang kapsul; 5. Glomerulus; 6. Tubulus proksimal; 7. Tubulus distal; a.

bengkak keruh; b. hidrofilik; c.

perlemakan; d. karioreksis; e.

piknosis; f. kariolisis; g.

plasmolisis; h. dilatasi tubulus)

Gambar 8. Struktur Mikroanatomis Korteks Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus) Betina Galur Wistar Grup P2 pada Hari ke-56 Perlakuan Natrium Nitrit. (Keterangan: 1. Kapsula bowman; 2. Lamina parietalis; 3.

Lamina visceralis; 4. Ruang kapsul; 5. Glomerulus; 6. Tubulus proksimal; 7. Tubulus distal; a.

bengkak keruh; b. hidrofilik; c.

perlemakan; d. karioreksis; e.

piknosis; f. kariolisis; g.

plasmolisis; h. dilatasi tubulus)

(6)

Gambar 9. Struktur Mikroanatomis Korteks Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus) Betina Galur Wistar Grup P2 pada Hari ke-90 Perlakuan Natrium Nitrit. (Keterangan: 1. Kapsula bowman; 2. Lamina parietalis; 3.

Lamina visceralis; 4. Ruang kapsul; 5. Glomerulus; 6. Tubulus proksimal; 7. Tubulus distal; a.

bengkak keruh; b. hidrofilik; c.

perlemakan; d. karioreksis; e.

piknosis; f. kariolisis; g.

plasmolisis; h. dilatasi tubulus)

(7)

Tabel 2. Rerata Kerusakan Sel pada Korteks Ginjal Kiri pada K, P1, dan P2 pada Hari ke-14, 56, dan 90

Grup Bengkak keruh Hidrofik Perlemakan Piknosis Karioreksis Kariolisis Plasmolisis Dilatasi tubulus (Jumlah sel per bidang pandang)

H-14

K 1,19±0,35a 7,63±1,91a 0,26±0,23a 1,81±1,89a 0,04±0,06a 14,11±2,63a 0,07±0,12a 2,19±0,51a

P1 1,15±0,73a 6,44±0,83a 0,04±0,06a 2,30±0,16a 0,19±0,32a 4,89±2,22b 0,11±0,19a 3,30±1,11a

P2 0,44±0,00a 8,85±0,92a 0,22±0,11a 4,15±0,75a 0,19±0,22a 6,00±2,07b 0,11±0,19a 2,37±0,42a

H-56

K 0,70±0,42a 4,33±1,74a 1,19±0,72a 4,11±1,55a 0,33±0,29a 4,67±2,80a 0,78±0,78a 5,30±2,63a

P1 3,11±1,45a 3,63±1,03a 2,11±0,95a 5,37±1,14a 0,56±0,22a 9,41±8,90a 2,56±2,79a 3,67±1,06a

P2 1,56±0,50a 11,33±1,28b 0,59±0,50a 4,15±3,64a 0,22±0,22a 6,15±2,85a 0,56±0,4a 4,52±1,94a

H-90

K 0,48±0,17a 6,78±1,24a 0,30±0,23a 3,41±0,84a 0,37±0,39a 5,22±1,01a 0,04±0,06a 3,74±1,05a

P1 0,74±0,50a 8,11±2,05a 0,67±0,22a 2,22±0,78a 0,07±0,12a 6,48±1,70a 0,04±0,06a 4,37±2,06a

P2 0,56±0,38a 5,96±2,03a 0,93±0,38a 2,74±0,25a 0,74±0,31a 6,96±1,55a 0,41±0,28a 7,15±0,39a

Angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan beda nyata dengan α=1%

(8)

Analisis data indeks renosomatik pada masing-masing grup dilakukan dengan analisis variansi/ANAVA (Analysis of Variance/ ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 99%. Indeks renosomatik ginjal kanan, kiri, maupun kedua ginjal (total) pada hari ke-14, 56, dan 90 (Tabel 1) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan setelah dilakukan analisis statistik dengan ANAVA. Perlakuan natrium nitrit, baik pada P1 maupun P2 diketahui belum menimbulkan efek nyata pada struktur mikroanatomis ginjal tikus putih (R. norvegicus) betina galur Wistar.

Pada kondisi akut di hari ke-14, indeks renosomatik P2 lebih tinggi daripada K dan P1. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan berat ginjal pada ketiga grup. Berat ginjal pada P2 lebih tinggi dibandingkan K dan P1, namun berat badannya lebih rendah dibanding keduanya. Pada hari ke-56, indeks renosomatik K lebih rendah daripada P1 dan P2 karena berat badan P1 dan P2 lebih rendah dibandingkan K, namun berat ginjalnya lebih tinggi. Pada kondisi subkronis hari ke-90, indeks renosomatik pada P1 lebih rendah daripada K dan P2, bukan karena ginjal P1

mengalami ganggunan tetapi karena berat badan P1 memang lebih rendah dibanding dua grup lainnya.

Hasil analisis statistik pada indeks renosomatik ketiga grup yang tidak menunjukkan perbedaan nyata mendorong pada asumsi bahwa konsumsi natrium nitrit murni (tanpa bahan tambahan pangan lain) dengan dosis 11,25 mg/kgBB (P1) dan 22,50 mg/kgBB (P2) belum menimbulkan efek akut maupun subkronis terhadap fungsi ginjal hewan uji. Indeks renosomatik terukur tinggi jika berat badan hewan uji rendah ataupun adanya gangguan pada ginjal yang mengakibatkan adanya pembengkakan.

Hasil pengamatan di bawah mikroskop struktur mikroanatomis ginjal grup K hari ke- 14 (Gambar 1) menunjukkan bentuk glomerulus yang bulat dengan inti terpulas ungu dan sitoplasmanya merah muda. Ruang kapsuler terlihat menyempit dan lumen mengalami dilatasi. Sel-sel ginjal pada kondisi ini juga terlihat banyak yang mengalami kariolisis.

Pada hari ke-56 (Gambar 2), glomerulus juga terlihat bulat dengan inti ungu dan sitoplasma merah muda, sel tubulus tidak teramati dengan jelas, sel-sel ginjal mengalami dilatasi dan kariolisis, serta ginjal menunjukkan adanya piknosis. Dilatasi tubulus dapat disebabkan oleh adanya metaplasi yaitu suatu adaptasi pada sel dewasa jenis tertentu menjadi jenis lain.

Metaplasi terjadi sebagai adaptasi seluler yang mana sel yang sensitif terhadap stres digantikan oleh sel yang lebih adaptif (Kusumasari, 2010). Nekrosis sel yang terjadi pada ginjal grup K hari ke-56 ini adalah piknosis, terlihat dari inti sel yang mengkerut dan kromatin yang memadat serta berwarna gelap. Glomerulus pada preparat ginjal hari ke-56 terlihat lebih besar dibandingkan pada hari ke-14 karena pertambahan usia hewan coba turut menambah ukuran glomerulus menjadi lebih besar.

Struktur mikroanatomis ginjal grup K pada hari ke-90 (Gambar 3) menunjukkan penyempitan ruang kapsuler, pemipihan sel epitel tubulus yang awalnya kuboid. Inti sel glomerulus terpulas ungu dan sitoplasma merah muda. Hasil pengamatan juga menunjukkan adanya kariolisis dan degenerasi hidrofik yang merupakan fase lanjut dari degenerasi bengkak keruh. Pada degenerasi hidrofik terlihat banyak vakuola di dalam sel akibat organela terisi air dan membengkak. Pembengkakan organela yang terisi air tersebut disebabkan oleh absorbsi air yang terus menerus pada sel. Kondisi itu menunjukkan adanya gangguan metabolisme pada sel-sel ginjal.

Kondisi ginjal grup K pada hari ke-90 menunjukkan adanya kerusakan meskipun pada grup ini tidak diberikan perlakuan natrium nitrit. Kerusakan tersebut disebabkan oleh usia hewan uji yang semakin tua akibat penurunan fungsi residual ginjal sejalan dengan peningkatan usia individu (Syaiful dkk., 2014). Ginjal adalah organ vital di dalam tubuh yang memiliki fungsi utama untuk filtrasi. Oleh karena itu, ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki potensi kerusakan yang tinggi, selain hati.

Kerusakan ginjal tersebut bisa disebabkan

(9)

oleh adanya peningkatan ekskresi sisa-sisa metabolisme (Almunawati dkk., 2017).

Pada grup hewan uji P1 dengan perlakuan NaNO2 11,25 mg/kgBB di hari ke- 14 (Gambar 4) menunjukkan glomerulus dengan bentuk bulat. Ruang kapsulernya menyempit dan lumen tubulusnya melebar.

Inti sel glomerulus terpulas ungu dan sitoplasma terpulas merah muda. Sel-sel menunjukkan kariolisis dan degenerasi hidrofik.

Struktur mikroanatomis ginjal pada grup P1 pada hari ke-56 (Gambar 5) menunjukkan banyak sel yang mengalami kariolisis terutama di sel tubulus. Kariolisis tersebut terlihat dari larutnya kromatin sehingga tidak bisa terpulas oleh pewarna HE. Berdasarkan hasil pengamatan struktur mikroanatomis ginjal pada grup K dan P1, keduanya menunjukkan adanya kariolisis pada sel-sel ginjal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kariolisis tidak terjadi alibat perlakuan natrium nitrit karena terjadi baik pada grup K maupun P1. Pada hari ke-56 pun (Gambar 5) struktur mikroanatomis ginjal menunjukkan ada beberapa sel tubulus yang berubah bentuk dari kuboid menjadi pipih.

Pada hari ke-90 grup P1 (Gambar 6) menunjukkan struktur mikroanatomis ginjal yang lebih baik dibandingkan pada hari ke-14 dan 56. Pada hari ke-90 ini, inti sel-sel pada glomerulus terlihat jelas begitu pula pada sel- sel tubulus. Hal tersebut mengindikasikan adanya proses regenerasi dan pemulihan kondisi sel, didukung dengan terlihatnya beberapa sel sedang mengalami mitosis.

Bentuk sel-sel tubulus tetap kuboid dan hanya sedikit yang mengalami dilatasi.

Jumlah sel yang mengalami kariolisis dan degenerasi hidrofik lebih sedikit dibandingkan pada hari ke-14.

Struktur mikroanatomis ginjal grup P2 pada hari ke-14 (Gambar 7) menunjukkan adanya pembesaran lumen tubulus dan dilatasi tubulus. Pada glomerulus, ruang kapsuler terlihat besar dikarenakan usia yang masih muda sehingga glomerulusnya masih berukuran kecil. Sel-sel tubulus terlihat memipih dan ada beberapa sel yang mengalami kariolisis dan degenerasi hidrofik.

Pada hari ke-56, struktur mikroanatomis ginjal grup P2 (Gambar 8) menunjukkan adanya kariolisis dan degenerasi hidrofik pada sel-sel tubulus.

Piknosis juga terlihat pada sel yang ditandai dengan adanya pemadatan pada kromatin sehingga terpulas lebih gelap oleh pewarna HE. Namun, sel epitel tubulus masih berbentuk kuboid dan tidak mengalami perubahan.

Berbeda dengan struktur mikroanatomis pada hari ke-14 dan ke-56, pada hari ke-90 (Gambar 9) menunjukkan banyaknya tubulus yang mengalami perbesaran lumen. Tubulus juga mengalami dilatasi dan sel-selnya menjadi berbentuk pipih dari yang awalnya kuboid. Dilatasi tubulus tersebut dimungkinkan terjadi akibat adanya metaplasi pada sel yang mengalami stress tertentu. Stress terhadap paparan natrium nitrit selama 90 hari menjadikan tubulus mengalami dilatasi untuk mempertahankan fungsinya. Dilatasi tubulus tersebut dapat dilihat dari adanya perbesaran lumen tetapi kondisi tersebut dapat kembali ke normal setelah pemberian natrium nitrit dihentikan selama beberapa minggu.

Perubahan pada struktur mikroanatomis ginjal menandakan adanya penyesuaian terhadap senyawa toksin berupa natrium nitrit, kecuali kariolisis yang juga terjadi pada grup K. Stress fisiologis akan ditanggapi oleh tubuh hewan uji dengan cara beradaptasi untuk mencapai kondisi baru demi mempertahankan kondisi metabolisme yang normal.

Kondisi ginjal hewan uji yang dipapar natrium nitrit pada P1 dan P2 menunjukkan bahwa tidak banyak sel yang mengalami kerusakan berupa bengkak keruh, tetapi justru banyak sel yang sudah mengalami degenerasi hidrofik. Degenerasi jenis ini merupakan kondisi lanjut dari degenerasi bengkak keruh akibat gangguan sistem transpor aktif pompa Na+/K+-ATPase.

Natrium nitrit yang masuk ke dalam tubuh hewan uji berpotensi untuk meningkatkan jumlah natrium dalam tubuh sehingga sel tidak mampu memompa ion Na+ keluar dan mengakibatkannya terakumulasi dalam sel (Habibah dkk., 2018).

(10)

Bengkak pada ginjal yang terjadi pada hewan uji merupakan kondisi degenerasi vakuolar yang masih berupa cedera awal.

Kerusakan tersebut bersifat reversible (Siahaan dkk., 2016) sehingga kondisi ini tidak merusak fungsi ginjal secara permanen.

Kerusakan ginjal akibat natrium nitrit disebabkan oleh akumulasi senyawa tersebut dan membentuk nitrit oksida di dalam tubuh.

Rute ekskresi metabolit NO hampir selalu melewati ginjal (Mandei dkk., 2013) sehingga akumulasi metabolit NO dapat mengakibatkan kerusakan ginjal. Konsumsi natrium nitrit sebagai pengawet tunggal tanpa bahan tambahan pangan lain dapat mempengaruhi fungsi organ tubuh hanya jika diberikan dalam dosis berlebih dan waktu yang lama (Tripatara et al., 2007). Kerusakan ginjal dalam penelitian ini juga ditandai dengan adanya kerusakan epitel tubulus (Siahaan dkk., 2016). Fahrimal dkk. (2016) menyatakan bahwa keberadaan senyawa toksik di dalam tubuh dapat mengakibatkan kerusakan pada sel epitel tubulus ginjal.

Respon toksik yang dihasilkan semakin besar seiring dengan semakin tingginya konsentrasi senyawa yang diberikan.

Hasil penelitian belum menunjukkan adanya kerusakan ginjal yang terlalu parah selama paparan senyawa kimia berupa natrium nitrit selama 90 hari. Hal tersebut dapat disebabkan oleh konsentrasi natrium nitrit yang diberikan masih dapat ditoleransi oleh hewan uji maupun akibat waktu paparan yang terlalu pendek. Kerusakan organ ginjal mungkin saja terjadi apabila natrium nitrit diberikan dalam dosis yang lebih tinggi dari 22,50 mg/kgBB/hari atau jangka waktu mencapai hitungan tahun sehingga akumulasi senyawa tersebut di dalam tubuh juga semakin tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Natrium nitrit yang diberikan kepada hewan uji R. norvegicus pada dosis 11,25 dan 22,50 mg/kgBB/hari belum memberikan efek pada ginjal dalam kondisi subkronis.

Kerusakan yang terjadi pada sel ginjal berupa

kariolisis, piknosis, maupun degenerasi hidrofik belum mempengaruhi fungsi ginjal.

Saran

Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk melihat efek natrium nitrit pada ginjal hewan uji R. Norvegicus dalam kondisi lanjutan/ kronis. Penelitian tersebut dapat dilakukan dengan menambah waktu perlakuan maupun dosis natrium nitrit yang diberikan ke hewan coba. Perpanjangan waktu perlakuan dan dosis dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut mengenai efek natrium nitrit sebagai zat tambahan pangan yang banyak dikonsumsi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Almunawati, H. Budiman, dan D. Aliza, (2017), Histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinjeksi formalin, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Veteriner, 1(3):424-431.

Anand, S. P. and N. Sati, (2013), Artificial Preservatives and Their Harmful Effects: Looking Toward Nature for Safer Alternatives. International Journal of Pharmaceutical Sciences and Research, 4(7):2496-2501.

Fahrimal, Y., Rahmiwati, dan D. Aliza, (2016), Gambaran Histopatologis Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan yang Diinfeksikan Trypanosoma evansi dan Diberi Ekstrak Daun Sernai (Wedelia biflora), Jurnal Medika Veterinaria, 10(2):166- 170.

Galaly, S. R. and M. S. Mahmoud, (2012), The Protective Effect of Vitamin A Against Sodium Nitrate Induced Toxicity in Liver and Kidney of Albino Rats: Histological and Ultrastructural Study, Journal of American Science, 8(12):293-308.

Habibah, N., I. G. A. S. Dhyanaputri, I. W.

Karta, dan N. N. A. Dewi, (2018), Analisis Kuantitatif Kadar Nitrit dalam Produk Daging Olahan di Wilayah Denpasar Dengan Metode Griess Secara Spektrofotometri, International Journal of Natural Sciences and Engineering, 2(1):1-9.

Hayes, A. W., (1989), Principles and Methods of Toxicology: 2nd edition, Raven Press, New York, p: 103.

(11)

Helal, E.G.E., (2001), Progressive Effects of the Interaction of Sodium Nitrite and Sunset Yellow on Different Physiological Parameters in Albino Rats, The Egyptian Journal of Hospital Medicine, 2:23-46.

Helal, E., S. Zahkok, G. Z. A. Soliman, M.

Al-Kassas, and H. A. Wahed, (2008), Biochemical Studies on the Effect of Sodium Nitrite and/or Glutathione Treatment on Male Rats, The Egyptian Journal of Hospital Medicine, 30:25- 38.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, (1999), Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1168/Menkes/Per/X/1999, http://jdih.pom.go.id

Kusumasari, R.A., (2010), Pengaruh Sodium Siklamat terhadap Struktur Mikroanatomi Ren Mencit Mus musculus L. Jantan Galur Swiss, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta, hal. 13

Mandei, J. M., R. Chandra, R. Wilar, A. L.

Runtunuwu, J. I. Ch. Manoppo, dan A.

Umboh, (2013), Hubungan Kadar Serum Metabolit Nitrit Oksida dan Gangguan Fungsi Ginjal pada Sepsis, Sari Pediatri, 15(4):259-263.

Nursidika, P., A. Furqon, F. Hanifah, dan D.

R. Anggarini, (2017), Gambaran Abnormalitas Organ Hati dan Ginjal Pasien Tuberkulosis yang Mendapatkan Pengobatan, Jurnal Kesehatan Kartika, 12(1):1-11.

Siahaan, G. S., P. M. Lintong, dan L. L.

Loho, (2016), Gambaran

Histopatologik Ginjal Tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Gentamisin dan Diberikan Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L. Poir), Jurnal e-Biomedik, 4(1):1-7.

Sindelar, J. J. And A. L. Milkowski, (2011), Sodium Nitrite in Procesed Meat and Poultry Meats: A Review of Curing and Examining the Risk/Benefit of its Use, American Meat Science Association: White Paper Series, 3:1- 14.

Syaiful, H. Q., F. Oenzil, dan R. Afriant, (2014), Hubungan Umur dan Lamanya Hemodialisis dengan Status Gizi pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RS. Dr. M.

Djamil Padang, Jurnal Kesehatan Andalas, 3(3):381-386.

Tripatara, P., N. S. A. Patel, A. Webb, K.

Rathod, F. M. J. Lecomte, E. Mazzon, S. Cuzzocrea, M. M. Yaqoob, A.

Ahluwalia, and C. Thiemermann, (2007), Nitrite-derived Nitric Oxide Protects the Rat Kidney Against Ischemia/Reperfusion Injury In Vivo:

Role for Xanthine Oxidoreductase, Journals of the American Society of Nephrology, 18:570-580.

Gambar

Gambar 1.   Struktur  Mikroanatomis  Korteks  Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus)  Betina  Galur  Wistar  grup  K  pada  Hari  ke-14
Gambar 5.   Struktur  Mikroanatomis  Korteks  Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus)  Betina Galur Wistar grup P 1  pada  Hari  ke-56  Perlakuan  Natrium  Nitrit
Gambar 9.   Struktur  Mikroanatomis  Korteks  Ginjal Tikus Putih (R. norvegicus)  Betina Galur Wistar Grup P 2  pada  Hari  ke-90  Perlakuan  Natrium  Nitrit

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var robusta) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIHi. JANTAN (Rattus norvegicus)

antidiabetik daun binahong ( Anredera cordifolia (Ten.) Steenis ) pada tikus putih jantan galur wistar (Rattus Norvegicus) maka penulis ingin melakukan

efek penurunan kadar gula darah pada tikus putih jantan galur Wistar (Rattus. norvegicus) yang

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka disimpulkan bahwa Sari buah Wortel (Daucus carota L.) memiliki efek diuretik terhadap tikus putih jantan galur

kebisingan terhadap hitung leukosit dan hitung jenis leukosit yang dapat mewakili kesatuan sistem imun pada tikus jantan (Rattus norvegicus) Galur

Analisis Data Hitung Jenis Basofil Tikus Jantan ( Rattus norvegicus ) Galur Wistar. Tests

Penelitian terkait mengenai pengaruh pemberian alkaline electrolyzed water terhadap neovaskularisasi pada tikus galur wistar ( Rattus norvegicus) dengan luka

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK DAUN MINT Mentha arvensis L TERHADAP HISTOPALOGI GINJAL TIKUS PUTIH Rattus norvegicus Galur Sprague dawley SKRIPSI Skripsi ini diajukan untuk