• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SENGKETA AHLI WARIS DALAM PENGGUNAAN TANAH YAYASAN AL-HIKMAH : STUDI KASUS DI DESA PETTONG KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN BANGKALAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SENGKETA AHLI WARIS DALAM PENGGUNAAN TANAH YAYASAN AL-HIKMAH : STUDI KASUS DI DESA PETTONG KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN BANGKALAN."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SENGKETA AHLI

WARIS DALAM PENGGUNAAN TANAH YAYASAN

AL-HIKMAH

(Studi Kasus di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan)

SKRIPSI Oleh: SYAIFULLOH NIM: C0121108

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga Islam SURABAYA

(2)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sengketa Ahli Waris

Dalam Penggunaan Tanah Yayasan aL-Hikmah (Studi Kasus di Desa Pettong

Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan) telah diperiksa dan disetujui

untuk dimunaqasahkan.

Surabaya, 19 Februari 2016

Pembimbing,

(3)

PENGESAHAN

Skripsi yang di tulis oleh Syaifulloh ini telah dipertahankan di depan Sidang Majelis Munaqasah Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel pada hari Selasa, 10 Mei 2016, dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana strata dalam Ilmu Syariah.

Majelis Munaqasah Skripsi:

Penguji I, Penguji II,

Moh, Hatta,M.HI H. Arif Jamaluddin Malik, M.Ag

NIP. 197110262007011012 NIP.197211061996031001

Penguji III, Penguji IV,

Nurul Asiya Nadhifah, M.H.I Hj. Ifa Mutiatul Khoiroh, S.H. M. Kn NIP.197504232003122001 NIP. 197903312007102002

Surabaya, 17 Mei2016

Mengesahkan,

Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Islam NegeriSunanAmpel Surabaya

Dekan,

(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan penelitian lapangan dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sengketa Ahli Waris Dalam Penggunaan Tanah Yayasan Al-Hikmah (Studi Kasus di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan). Perumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana Problematika sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah oleh yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan, dan (2) Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sengketa ahli waris oleh penggunaan tanah yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

Penelitian ini penulis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yaitu suatu analisis yang bertujuan untuk memberi deskripsi mengenai keadaan secara mendalam terhadap sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah yayasan al-Hikmah. Data tersebut diuji dengan ketentuan yang ada dan yang sesuai dengan hukum Islam dengan pola pikir deduktif. Hasil penelitian dan pengujian tersebut disimpulkan dalam bentuk deskripsi sebagai hasil pemecahan permasalahan yang ada sesuai dengan rumusan masalah yang telah dibatasi dalam penelitian ini.

Hasil dari penelitian diperoleh data persoalan sengketa ahli waris terhadap tanah yang digunakan oleh yayasan bermula ketika salah satu ahli waris memberikan tanah ke yayasan tanpa sepengatahuan ahli waris yang lain sehingga terjadi kesalah fahaman yang berakumulasi menjadi sengketa. Hal ini karena tanah waris yang belum dibagikan sehingga menyebakan salah satu ahli waris ada yang tidak terima dan menjadi masalah sampai sekarang. hukum tanah yang di berikan oleh salah satu ahli waris kepada yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan tidak boleh di gunakan karena tanah tersebut milik dari tiga dari ahli waris, dan tidak mendapat ijin dari ahli waris yang lain. Hal ini sesui dengan al-Quran surat An-Nisa' ayat 11, 12 dan 176.

(6)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

PERNYATAAN KEASLIAN ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...iv

MOTTO ...v

PERSEMBAHAN ...vi

DAFTAR TRANSLITERASI ...vii

ABSTRAK ...ix

KATA PENGANTAR ...xi

DAFTAR ISI ...xii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A.Latar Belakang Masalah ...1

B.Identifikasi dan Batasan Masalah ...7

C.Rumusan Masalah ...8

D.Kajian Pustaka ...8

E. Tujuan Penelitian ...10

F. Kegunaan Penelitian ...11

G.Definisi Operasional ...11

H.Metode Penelitian ...12

(7)

BAB II KAJIAN KAJIAN TEORI TENTANG HUKUM WARIS DAN SENGKETA AHLI WARIS

A.Tinjauan Hukum Waris ...18

1. Pengertian Hukum Waris ...18

2. Dasar Hukum Waris ...22

3. Rukun dan Syarat Waris...29

4. Asas-Asas Hukum Waris Islam ...32

5. Sebab-Sebab Kewarisan ...37

6. Sistem Penggolongan Ahli Waris ...40

B.Sistem Penggunaan Tanah Berdasarkan Perundang-Undangan Yang Berlaku di Indonesia. ...48

1. Hak Milik (HM) ...48

2. Terjadinya Hak Milik ...51

3. Terhapnya Hak Milik ...52

4. Hak Guna Bangunan (HGB) ...52

5. Hapusnya Hak Guna Bangunan ...56

BAB III SENGKETA TANAH WARIS ANTARA AHLI WARIS DENGAN YAYASAN AL-HIKMAH DESA PETTONG, KECAMATAN TANAH MERAH BANGKALAN ...58

A.Sejarah Keberadaan Yayasan al-Hikmah ...58

1. Awal Berdiri ...58

2. Aset Yayasan al-Hikmah Desa Pettong ...59

B. Profil desa Pettong ...60

(8)

xiv

3. Kondisi Pendidikan Masyarakat Pettong………...63

4. Kondisi Ekonomi Masyarakat Pettong ……….. ...64

C.Problematika Sengketa Ahli Waris Dalam Penggunaan Tanah di Yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan ……… ...64

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SENGKETA AHLI WARIS DALAM PENGGUNAAN TANAH YAYASAN AL-HIKMAH…. ...68

A.Analisi Sengketa Ahli Waris Dalam Penggunaan Tanah di Yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan ...68

B. Dalam Hukum Islam Terhadap Sengketa Ahli Waris Dalam Penggunaan Tanah di Yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan ...71

BAB V PENUTUP ...76

A.Kesimpulan ...76

B.Saran ...77

DAFTAR PUSTAKA

(9)

1

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang melingkupinya. Salah satu permasalahan yang sering muncul dalam kehidupan adalah permasalahan yang berkaitan dengan kebendaan atau kekayaan, karena kebendaan atau kekayaan merupakan faktor yang diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia.

Permasalahan kebendaan dan kekayaan itu terjadi, ketika masing-masing pihak merasa berhak memiliki dan ingin menguasai atas benda dan kekayaan tersebut. Adanya saling merasa berhak atas benda atau kekayaan inilah yang menimbulkan sengketa di antara mereka. Salah satu bentuk sengketa atas kebendaan atau kekayaan yang sering terjadi adalah sengketa tentang warisan.

Hal ini dapat dimengerti sebab masalah waris pasti dialami setiap manusia. Selain itu, hukum waris juga menyangkut harta benda yang

apabila tidak diberikan ketentuan yang pasti, maka akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris.

Membicarakan masalah kewarisan berarti membicarakan peralihan harta dari orang yang telah mati kepada orang yang masih hidup. Dengan demikian fi~qh Ma~w>aris mengandung arti ketentuan yang berdasar kepada wahyu Allah Swt yang mengatur hal ihwal peralihan

(10)

2

harta dari seseorang yang telah mati kepada orang yang masih hidup.1 Sedang pada pelaksanaannya masalah pembagian warisan ini sering menjadi penyebab persengketaan di antara para ahli warisnya. Untuk itulah syari’at Islam telah mengantisipasinya dengan meletakkan kewarisan Islam secara terperinci dan sistematis. Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, hal itu dapat dilihat dari Quran dan al-Hadist. Keduanya merupakan sumber hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia untuk menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.

Semua kelengkapan dan kesempurnaan Islam dapat dilihat dari adanya perintah dan larangan yang merupakan hukum dan ditaati oleh setiap manusia yang beragama Islam serta beriman kepada Allah Swt dan RasulNya. Salah satu hukum yang diatur dalam ajaran Islam adalah hukum waris. Hukum waris tersebut diwajibkan oleh Islam kepada seluruh manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.

Salah satu dasar tentang pengaturan pembagian warisan adalah dalam surat an-Nisa>’ ayat 7.























































(11)

3

Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan(Q.S An-Nisa ayat :13-14)2.

Selain itu ada juga Rasulullah SAW yang menunjukkan kewajiban melaksanakan membagi harta pusaka sebagaimana berikut

َﻋ

ِا ﻦ

ُﻦﺑ

َﻋ

ﱠﺒ

س ﺎ

َر

ِﺿ

َﻋ ﷲ ﻰ

ُﮭﻨ

َﻤ

َر لﺎﻗ ﺎ

ُﺳ

ُلﻮ

َﺻ ﷲ

ّﻠ

ُﷲ ﻰ

َﻋ

ِﮫﯿﻠ

َو

َﺳ

ّﻠ

:ﻞﻗ ﻢ

"

اﻮُﻘ ِﺤْﻟَأ

َﺾِﺋا َﺮَﻔْﻟا

ﺎَﮭِﻠْھَﺄِﺑ

ﺎَﻤَﻓ

َﻲِﻘَﺑ

َﻮُﮭَﻓ

ﻰَﻟ ْوَ ِﻷ

ٍﻞُﺟ َر

ٍﺮَﻛَذ

(يرﺎﺨﺒﻟا هاور)

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. Ia telah berkata, telah bersabda Rasulullah Saw : Bagikanla olehmu harta warisan kepada para ahli waris yang berhak ( sesuai jatah masing-masing ) sedangkan sisanya adalah bagi Ashobah laki-laki yang terdekat. (HR. Bukhari).”3 Berdasarkan Hadist di atas, bahwa betapa pentingnya membagi harta warisan kepada ahli waris dengan segera. Pembagian tersebut merupakan kewajiban bagi ahli waris yang bersangkutan, agar ahli waris yang lain dapat memiliki dan menguasai harta bagianya masing-masing tanpa adanya halangan dari pihak lain.

Allah Swt mensyariatkan hukum waris ini bertujuan untuk memperkuat hubungan kekerabatan dan memperkokoh tali kasih sayang ketentuan hukum waris ini termasuk ketentuan hukum yang dijelaskan secara rinci dalam ayat-ayat al-Quran. Mereka yang menerima hak waris

2 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-

Qur’an : Jakarta, 1940), 116.

(12)

4

ini ada yang tergolong karena adanya hubungan perkawinan atau keturunan baik ke atas maupun ke bawah.4

Hukum Islam menghindari dan menghilangkan kemudharatan, apalagi sesuatu yang berkaitan dengan masalah waris, sering menimbulkan masalah di antara ahli waris yang memiliki hak kewarisan. Oleh karena itu, hukum Islam menganjurkan ahli waris agar menyegerakan pembagian harta waris demi menghindari dampak negatif, jika harta tersebut diabaikan dalam pelaksanaan pembagian oleh ahli waris, dampak negatif itu bisa saja seperti salah satu ahli waris kehilangan hak warisnya, dikarenakan ahli waris yang lain telah menyalahgunakan atau mengambil haknya, sehingga terjadi masalah diantara mereka. Karena ini kurang etis dan membutuhkan waktu serta pemikiran yang tepat karena ini menyangkut semua anggota keluarga yang menjadi ahli waris agar semuanya mendapatkan bagian sesuai bagiannya.

Dalam proses penerusan dan pengoperan harta benda inilah, terdapat harta benda orang tua yang nantinya akan menjadi harta warisan yang akan dibagi kepada para ahli waris yang mempunyai hak

waris. Karena harta warisan belum dibagi, masing-masing ahli waris (dalam hal ini adalah anak-anaknya) masih mempunyai hak yang sama

atas harta warisan itu. Jika ada lebih dari seorang ahli waris maka warisan itu merupakan mede eigendom (hak milik bersama).

(13)

5

Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda.

Seseorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain.5

Namun diantara para ahli waris itu disinyalir ada yang mempunyai itikad kurang baik untuk sekedar memperoleh bagian warisan yang lebih banyak dibanding dengan yang lainnya. Cara yang dimaksud adalah menggunakan harta warisan yang belum dibagi, berupa beberapa meter tanah yang nantinya akan menjadi harta warisan yang akan dibagi, tanpa persetujuan dari ahli waris yang lain. Padahal harta waris yang dipakai itu masih hak milik bersama dan belum diketahui siapa yang akan menerima bagian dari tanah tersebut sebagai hak warisnya.

Penyebab lain yang dapat menyebabkan rasa tidak senang, jengkel dan iri adalah karena berkurangnya bagian harta warisan yang akan dibagi akibat telah dijual Tergugat, maka akan berkurang pula bagian harta warisan yang akan diperoleh para Penggugat atau ahli waris yang lainnya. Bukan hanya bagian si Tergugat yang menjual tanah warisan

tersebut saja yang berkurang, tapi bagian para Penggugat atau ahli waris yang lain juga ikut berkurang.

5 Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditrya Bhakti,

(14)

6

Sengketa ahli waris terhadap penggunaan tanah Yayasan al-Hikmah Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan, Tanah yang di gunakan Yayasan al-Hikmah terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Hal ini di sebabkan karena tanah yang di pakai Yayasan al-Hikmah Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan di gunakan oleh saudaranya tanpa sepengatahuan saudaranya yang lain kemudian di pergunakan oleh Yayasan al-Hikmah Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan, setelah ahli waris yang lain mengetahui bahwa tanahnya digunakan oleh saudaranya dan di pergunakan sebagai tanah Yayasan al-Hikmah. Semenjak itu tanah menjadi sengketa keluarga atau ahli waris.

Harta warisan merupakan amanah, maka seharusnya harta warisan diserahkan kepada yang menerimanya dan sebagai harta bersama ahli waris, maka tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi dengan cara mengambil sebagian untuk digunakan oleh Yayasan al Hikmah dan untuk membayar hutangnya tanpa sepengetahuan ahli waris lainya , seperti terjadi di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

Penyimpangan ini menimbulkan permasalahan di dalam sebuah keluarga seharusnya harta warisan terlebih dahulu dibagikan kepada ahli

(15)

7

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan ini, yang terbingkai dalam judul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sengketa Ahli Waris Dalam Penggunaan Tanah Yayasan al-Hikmah (Studi Kasus di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan)

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Problematika sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah oleh yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

2. Deskripsi sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah oleh yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah oleh yayasan al-Hikmah di Desa Pettong

Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

4. Tinjauan hukum Islam terhadap sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah oleh yayasan al-Hikmah di Desa Pettong

(16)

8

Dari identifikasi permasalahan di atas, peneliti membatasi dan hanya memfokuskan pada permasalahan sebagai berikut:

1. Problematika sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah di yayasan al Hikmah di desa pettong kecamatan tanah merah kabupaten Bangkalan.

2. Tinjauan hukum Islam terhadap sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah di yayasan al Hikmah di desa Pettong

kecamatan tanah merah kabupaten Bangkalan. C.Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan pokok yang menjadi kajian penulis adalah :

1. Bagaimana Problematika sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah oleh yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah

Merah Kabupaten Bangkalan?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah oleh yayasan al-Hikmah di Desa Pettong

Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan?

D.Kajian Pustaka

Setelah peneliti melakukan kajian pustaka, peneliti menjumpai

(17)

9

1. Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Tentang Pembahasan Obyek

Sengketa Harta Waris”. Dalam penelitian tersebut di jelaskan bahwa

hasil dari penyelesaian sengketa warisan tanah dari pewaris bahwa pembagian warisan setelah pewaris meninggal dunia, sesuai dengan hukum Islam. Sedangkan dari ahli waris bahwa anak menghijab semua ahli waris, hal ini tidak sesuai dengan hukum waris dalam Islam.6

2. Skripsi yang berjudul “Tinjaun Hukum Islam Terhadap Putusan PA Gresik dan PA Surabaya Tentang Penyelesaiayan Objek Gugatan

Sengketa Waris”. Secara hukum formil, gugatan penggugat

Obscuurlibel (kabur): tidak terpenuhi persyaratan formil sebagai surat gugatan, antara lain tidak dimasukkannya seorang ahli waris sebagai pihak yaitu Sundoyo (ayah kandung almarhumah Ny. Markini), tidak disebutkan kapan pewaris meninggal dunia, tidak disebutkan secara jelas siapa yang menguasai tanah yang menjadi sengketa waris, serta tidak disebutkannya secara rinci asal usul tanah harta sengketa dan status obyek sengketa tersebut.7

3. Skripsi yang berjudul “Penjualan Harta Warisan Yang Belum Dibagi Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Perdata (Studi Putusan

6 Parmiyati Maksin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama

Surabaya Tentang Pembahasan Obyek Sengketa Harta Waris, (Skripsi Mahasiswi Fakultas Syari'ah Jurusan Al-Ahwal Al-Sakhsiyah Sunan Ampel Surabaya 2007).

7 Afifatul Umami, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Putusan PA Gresik dan PA Surabaya

(18)

10

Pengadilan Negeri Salatiga No. 32/Pdt.G/2009/PN. Sal)”. Dan selama persidangan tidak ditemukan alasan Dwang, Dwaling, Bedrog

(paksaan, kesesatan, tipu daya, kebohongan) terhadap para Penggugat dalam proses pengalihan hak atas tanah sengketa tersebut, maka menurut penilaian Majelis, kesepakatan yang dituangkan dalam Akte pembagian hak bersama No.234/AGMY/2006 adalah sah dengan segala akibat hukumnya karena telah memenuhi syarat obyektif dan subyektif.8

Berdasarkan pustaka di atas, semuanya membahas tentang gugatan dan sengketa tanah waris, tidak satupun yang bersinggungan dengan masalah sengketa tanah waris yang di gunakan oleh yayasan Oleh karena itu, penelitian di sini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, terlebih lagi obyek penelitiannya dalam hal ini adalah Yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

E. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui secara spesifik problematika sengketa ahli waris dalam penggunaan tanah oleh Yayasan al-Hikmah di Desa Pettong

Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

8 Titik Khumairoh, Penjualan Harta Warisan Yang Belum Dibagi Dalam Tinjauan Hukum

(19)

11

2. Untuk mengetahui Tinjauan hukum Islam terhadap sengketa ahli

waris dalam penggunaan tanah oleh yayasan al-Hikmah di Desa

Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

F. Kegunaan Penelitian

Kegunaan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang berguna dalam dua aspek berikut:

1. Dari segi teoritis:

a. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu khazanah keilmuan, khususnya pengertian dan praktek waris dan penyelesaian sengketa tanah waris.

b. Dapat memberikan pemahaman bagi para pembaca tentang pentingnya perbagian harta waris.

2. Dari segi praktis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi masyarakat secara umum sebagai ilmu tentang hukum waris, khususnya untuk masalah sengketa tanah waris di yayasan al Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan dalam Tinjuan Hukum Islam.

G.Definisi Operasional

(20)

12

1. Hukum Islam : adalah hukum yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadist serta ketentuan materi Kompilasi Hukum Islam.

2. Sengketa harta waris: adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang pembagian segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris setelah dikurangi dengan semua hutangnya9. Dalam skripsi ini meneliti permasalahan sengketa tanah yang gunakan oleh yayasan sebelum dibagikan kepada semua ahli waris.

3. Penggunaan tanah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria.10

waris oleh Yayasan al-Hikmah sebelum tanah waris di bagikan kepada ahli waris di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

H.Metode Penelitian

Metode penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang

berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya.11 Metode

penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian hukum normatif doctrinal yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap

9 Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditrya Bhakti,

1993),292.

10Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan; Pemberian Hak Atas Tanah Negara,

Sertipikat Dan Permasalahan, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002), 5-6

(21)

13

sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian yang difokuskan untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dijadikan sumber informasi, untuk menganalisa data secara non-statistik. Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang didasarkan pada obyek lapangan di daerah atau lokasi tertentu guna mendapatkan data yang nyata dan benar.12 Obyek lapangan penelitian yang dimaksud di sini adalah Yayasan Al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

Metode penelitian ini memuat uraian tentang: 1. Sumber Data

Yang dimaksud sumber data adalah sumber dimana data dapat diperoleh.13 Ada dua sumber data yang dipergunakan, yaitu:

a. Data Primer, yaitu data dari sumber-sumber primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi / data yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun sumber primer dalam penelitian ini adalah

informasi yang diperoleh dari yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan, antara lain ahli

waris, pimpinan yayasan, dan kepala desa.

b. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari data kepustakaan, buku, dokumen dan lain sebagainya. Data sekunder diperoleh dari

12 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, cet VI (Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 2000) , 31.

13 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendelatan Praktek, cet XII, (Jakarta: PT

(22)

14

sumber pendukung untuk memperjelas sumber data primer berupa data kepustakaan yang berkorelasi erat dengan pembahasan obyek penelitian.14

2. Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah:

a. Interview yaitu bentuk komunikasi atau percakapan antara dua orang atau lebih guna memperoleh informasi. Seorang peneliti bertanya langsung kepada subjek atau responden untuk mendapatkan informasi yang diinginkan guna mencapai tujuannya dan memperoleh data yang akan dijadikan sebagai bahan laporan penelitian.15 Interview ini berupa indept interview (wawancara yang mendalam) terhadap beberapa orang informan yang terkait dengan perihal tema penelitian ini, seperti tokoh agama, masyarakat setempat, ahli waris dan pihak-pihak yang bersangkutan untuk memperoleh data tentang masalah sengketa tanah waris di yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

b. Studi kepustakaan, menggunakan metode library research

(penelitian kepustakaan) yaitu suatu kegiatan penelitian yang

dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku tapi berupa bahan

dokumentasi, agar dapat ditemukan berbagai teori hukum, dalil,

14 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 91.

(23)

15

pendapat, guna menganalisa masalah, terutama masalah yang berkaitan dengan masalah yang sedang dikaji.

3. Teknik Pengolahan Data

Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara mengedit data, lalu data yang sudah diedit tadi dikelompokkan, diberikan pengkodean, disusun berdasarkan kategorisasi dan diklasifikasikan berdasarkan permasalahan yang dirumuskan secara deduktif. Dari data yang sudah diperoleh tersebut selanjutnya dianalisis secara kualitatif.16

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan adalah analisis data kualitatif. Teknik pengelolaan data ini bertolak dari berbagai fakta yang teridentifikasi yang muncul atau merupakan penelitian deskriptif sebagaimana penelitian yang terjadi saat ini.17 Atau dengan

kata lain, bahwa data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.18

Dalam menganalisa data, dipergunakan metode analisis data normatif. Data normatif merupakan kegiatan untuk mengadakan

16 Lexy. J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2004), 135.

17 Ibnu Hajar, Dasardasar Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 1996), 274.

18 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, cet ke

(24)

16

sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi. Sebagai pendekatannya, digunakan metode deskriptif, yaitu cara penulisan dengan menggunakan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang.19

Dari hasil analisis inilah diharapkan menjadi suatu jawaban dari gambaran permasalahan yang didasari pada data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil suatu kesimpulan.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dan penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan saling mendukung dan melengkapi. Maka Penulis mengklasifikasikan dan menjelaskan permasalahan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua, merupakan tinjauan umum tentang Pengertian waris, dasar Hukum waris, syarat dan rukun waris, asas-asas hukum waris

(25)

17

Islam sebab-sebab kewarisan, dan sebab- penghalang waris, serta sistem penggunaan tanah berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Bab Ketiga, merupakan penjelasan letak geografis daerah tempat penelitian penulis, yaitu profil desa dan kasus sengketa tanah waris di yayasan al-Hikam di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan, dan faktor penyebab dan proses terjadinya sengketa tanah waris di yayasan al-Hikmah di Desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

Bab Keempat, merupakan analisis hasil penelitian terhadap sengketa tanah waris di yayasan al-Hikmah di desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan, dan Analisis Hukum Islam terhadap sengketa tanah waris di yayasan al-Hikmah di desa Pettong Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan.

(26)

18

BAB II

HAJIAN TEORI TENTANG HUHUM WARIS DAN SENGHETA AHLI

WARIS

A.Tinjauan Hukum Waris

1. Pengertian Hukum Waris

Hukum waris sering dikenal dengan istilah fara>id. Hal ini karena dalam

Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan

dalam al-Quran. Hukum waris dalam Islam mendapat perhatian besar, karena

pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak

menguntungkan.1

Secara etimologis, fara>id diambil dari kata fard yang berarti taqdir

“ketentuan”. Dalam terminologi bahwa kata fard adalah bagian yang telah

ditentukan bagi ahli waris.2

Sedangkan hukum waris menurut fiqh maw>aris adalah fiqih yang

berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar

sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang

wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak

menerimanya.3

1 Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, (PT Raja GrafindoPersada, Jakarta,1995),355. 2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta Selatan: Pena Pundi Aksara, 2006),479.

3Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Gema Insani Press, Jakarta, 1995), 33.

(27)

19

Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang

lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-mi>rats.4 Sedangkan

makna Al-mi>~ra>ts menurut istilah yang dikenal para ulama ialah

berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli

warisnya yang masih hidup.

Waris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal

dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang

lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga5.Dalam redaksi yang

lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum

yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian

penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Berbeda dengan

dua definisi di atas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal

apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang

kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain

yang masih hidup.6

Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan

hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang

berhak menerimanya. Pembagian itu lazim disebut Fara>id, artinya menurut

hukum Islam ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.7

4Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Gema Insani Press, Jakarta, 1995), 33.

5 R Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Hodifikasi, (Surabaya Airlangga University Press), 3.

6 Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, 355.

(28)

20

Waris adalah peralihan harta peninggalan dari seseorang yang

meninggal dunia (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli waris), baik harta

yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan

tersebut, bagian masing- masing ahli waris, maupun cara penyelesaian

pembagian harta peninggalan itu. Dalam warisan Islam, peralihan

kepemilikan harta dari seseorang kepada orang lain terjadi setelah yang

mempunyai harta meninggal dunia, dikenal dengan hukum fara>id.8

Para fuqaha mendefinisikan hukum kewarisan Islam sebagai suatu ilmu

yang dengannya dapat di yakini siapa yang menerima pusaka, siapa yang

tidak menerima pusaka, serta beragam kadar yang diterima tiap-tiap ahli

waris dan bagaimana cara pembagianya. Definisi tersebut menekankan dari

segi orang yang mewaris, orang yang tidak mewaris, besarnya bagian yang

diterima oleh masing-masing ahli waris, serta cara membagikan warisan

kepada ahli waris.9

Hukum kewarisan Islam (fara>id) adalah hukum yang mengatur

peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada orang yang

masih hidup. Dalam kitab al-Mawa>ris fi al-Sya>ri’ah al-Isla>miyah karangan

Muhammad Ali Ash-Shabuni disebutkan bahwa perpindahan dari orang yang

meninggal kepada ahli warisnya tidaklah hanya harta tetapi juga mencakup

tanah dan hak-hak lain yang sah.10

8 Ibid., 2.

9 Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Hewarisan Islam Di Indonesia (Bandung: Citra Adityabakti, 1999), 1.

(29)

21

Hak-hak ahli waris dalam hukum kewarisan Islam pada dasarnya

dinyatakan dalam jumlah atau bagian tertentu dengan angka yang pasti.

Angka pasti itu dinyatakan dalam al-Quran. Bagian angka tersebut biasa

dalam kitab-kitab fiqh disebut dengan faridah dengan bentuk jama’ fara>id.

Sehingga ulama fiqh menamakan hukum tentang pembagian warisan dengan

fara>id. 11

Agama Islam mengatur cara pewarisan itu berasaskan keadilan antara

kepentingan anggota keluarga, kepentingan agama dan kepentingan

masyarakat. Dalam ilmu fara>id selain memberi warisan kepada pihak suami

atau isteri, kedua suami isteri itu juga memberi warisan kepada

keturunannya baik secara garis lurus ke bawah, garis lurus ke atas, atau garis

ke samping, baik laki-laki atau perempuan.12

Dengan demikian, maka hukum kewarisan Islam bersifat individual.

Harena sifatnya yang individu adalah bukti nyata pengakuan waris Islam

terhadap hak seseorang terhadap kepemilikian harta warisan yang

ditinggalkan oleh pewaris. Hal ini merupakan semangat dari hak asasi bagi

manusia. Namun demikian, masih banyak tuduhan dan pertentangan bahwa

waris Islam tidak adil dan mendiskriminasi kaum perempuan. Oleh karena

itu, skripsi ini akan membahas secara khusus tentang relenvansi antara waris

dengan hak asasi manusia, tidak pernah membedakan apalagi

11 Mahalliy, Syarhu Mihaj Al-Thalibin, Jilid III, (Dar Ihya’ Al-Hutub Al Arabiy, Cairo, t.t), 134-135.

(30)

22

mendiskriminasi perempuan, tetapi sebaliknya waris Islam memberikan rasa

keadilan kepada semua ahli waris di bawah naungan Allah SWT.

2. Dasar Hukum waris

Syariat Islam telah menetapkan ketentuan mengenai pewarisan yang

sangat baik, bijaksana dan adil. Peraturan yang berkaitan dengan

pemindahan harta benda milik seseorang yang ditinggalkan setelah

meninggal dunia kepada ahli warisnya baik ahli waris perempuan maupun.

ahli waris laki-laki. Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam

yaitu, "Sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia

dalam keadaan bersih". Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para

ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, setelah dikurangi

dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran

lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris. Hitab suci al-Quran

telah menjelaskan semua ketentuan hukum mengenai pewarisan dengan

keterangan yang luas dan menyeluruh, sehingga tidak seorang pun dari ahli

waris yang tidak memperoleh bagian dalam pembagian warisan. Al-Quran

menegaskan secara terperinci ketentuan ahli waris yang disebut

fu~ru>dul-muqa<ddara>h (bagian yang ditentukan), atau bagian ashabah serta

orang-orang yang tidak termasuk ahli waris. Hukum-hukum waris tersebut

(31)

23

a. Ayat-ayat Al-Quran

1) QS. An-Nisa’ (4): 7

















































Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisa’ ayat 7)13

Ayat ini menjelaskan bahwa dalam hukum Islam, bukan hanya

laki-laki yang memiliki hak waris, akan tetapi perempuan juga

mempunyai hak waris dan agama juga pelindung hak-hak perempuan.

Selain itu, yang lebih utama dalam kewarisan Islam adalah pembagian

waris yang adil, bukan pada jumlahnya.14

2) QS. An-Nisa’ (4): 11











































































































13 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 115.

(32)

24

















































Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan,15 dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS, aN-Nisa’ Ayat 11)16

3) QS. An-Nisa’ (4): 12



















































































































15 Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (lihat surat an nisaa ayat 34).

(33)

25



























































Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).17 (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun (QS, aN-Nisa’ Ayat 12)18

Ayat 11 dan 12 merupakan penjelasan waris secara rinci. Allah

menjelaskan hukum-hukum waris dan bagian-bagiannya untuk

membatalkan hukum waris yang biasa dilakukan oleh orang-orang arab

17 Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. B. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

(34)

26

pada masa Jahiliyah yang melarang wanita dan anak-anak mendapatkan

bagian waris dan membolehkan orang-orang yang diharamkan dalam

Islam.19

4) QS. An-Nisa' (4): 176







































































































Artinya: "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).20 Hatakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa' ayat, 176)21

Ayat diatas menjelaskan tentang warisan saudara laki-laki dan

saudara perempuan. Dalam ayat ini dijelaskan secara rinci tentang

pembagian warisan saudara laki-laki dan perempuan. Saudara

19 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang: CV. Toha putra, 1993), 350 20 kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak..

(35)

27

perempuan mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan apabila

tidak mempunyai anak. Sedangkan saudara lakilaki mendapatkan semua

harta dari seorang wanita apabila tidak mempunyai anak.

Untuk dua orang saudara perempuan akan mewarisi dua pertiga

dari harta yang ditinggalkannya. Pada akhir ayat, Allah menyatakan

bahwa aturan-aturan yang telah ditetapkan merupakan jalan agar supaya

tidak tersesat dari jalan kebahagiaan dan sesungguhnya jalan yang

ditunjukkan Allah adalah jalan yang benar.

b. Al-Hadi>ts

Selain terdapat dalam al-Quran, ketentuan hukum kewarisan Islam

juga terdapat dalam haditst Nabi Muhammad Saw yaitu:

1) Hadits

ٍسﺎﱠﺒَﻋ ِﻦْﺑا ِﻦَﻋ

ِﷲ ُلﻮُﺳ َر َلﺎَﻗ َلﺎَﻗ

َﻲِﻘَﺑ ﺎَﻤَﻓ ﺎَﮭِﻠْھَﺄِﺑ َﺾِﺋاَﺮَﻔﻟا اﻮُﻘ ِﺤْﻟَأ

ﺮَﻛَذ ٍﻞُﺟ َر ﻰَﻟ ْوِﻸَﻓ

.

)

ﺎﺨﺒﻟا

ىر

ﻢﻠﺴﻣو

(

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a ibnu abbas berkata Nabi S.A.W, bersabda: Berikanlah faraid (bagian yang telah ditentukan dalam al- Qur-an) kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”.(H. R. Bukhari–Muslim).22

2) Hadits

ٍﺪْﯾ َز ِﻦْﺑ َﺔَﻣﺎَﺳُأ ْﻦَﻋ

ِﷲ ُلﻮُﺳ َر َلﺎَﻗ َلﺎَﻗ

ِﺮَﯾ َﻻ

ث

ُﺮِﻓﺎَﻜﻟا َﻻ َو َﺮِﻓَﺎﻜﻟا ُﻢِﻠْﺴُﻤﻟا

َﻢِﻠْﺴُﻤﻟا

)

ىر ﺎﺨﺒﻟا

(

(36)

28

Artinya: Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,”Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR Buchari)23

c. Ijma’

Ijma’ yaitu kesepakatan kaum muslimin menerima ketentuan hukum

warisan yang terdapat di dalam al-Quran dan al-Hadits, sebagai ketentuan

hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam

masyarakat, atau kesepakatan seluruh ulama mujtahid tentang suatu

ketentuan hukum Islam mengenai suatu hal pada suatu masa setelah

wafatnya Rasulullah Saw.24

Contoh ijma’ hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan

anak, apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris

(yakni) anak dan kakek. Hakek ketika tidak ada bapak bisa

menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan, sehingga bisa

menerima warisan seperenam harta sebagaimana yang diperoleh bapak,

meski terdapat anak dari orang yang meninggal.

d. Ijtihad

Ijtihad ialah menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi

yaitu al-qur’an dan hadits kemudian menarik garis hukum daripadanya

dalam suatu masalah tertentu, misalnya berijtihad dari qur’an kemudian

mengalirkan garis-garis hukum kewarisan Islam daripadanya. Juga

pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria

sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul

23 Ibid, 200.

(37)

29

termasuk di dalamnya tentang persoalan pembagian warisan. Ijtihad di

sini merupakan penerapan hukum bukan untuk pemahaman atau

ketentuan yang ada.25

Meskipun al-Qur’an dan al-Sunnah telah memberi ketentuan

terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal

masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak

ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Seperti contoh mengenai

bagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada

siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama­-sama dengan

ayah dan duda atau janda.

3. Rukun dan Syarat Waris

a. Rukun Waris

Menurut hukum kewarisan Islam, rukun kewarisan ada tiga yaitu26:

1) Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia, yang hartanya diwarisi

oleh ahli warisnya. Istilah pewaris ini, dalam kepustakaan sering pula

disebut al-Muwa>rrits.

2) Ahli waris, yaitu orang yang mendapatkan warisan dari pewaris, baik

karena hubungan kekerabatan maupun karena perkawinan. Subchan

Bashori \ menjelaskan bahwa: Ahli waris atau wa>ritsun (ahli waris

laki-laki) dan wa>ritsa>t (ahli waris perempuan) adalah orang-orang yang

mempunyai hubungan pewarisan dengan mayit (muwa<rrits) dan masih

25 M. Idris Lamulyo, Hukum Hewarisan Islam, (Jakarta: Adi Harya, 1984) ,8.

(38)

30

hidup pada saat kematian mayit, meskipun setelah itu ahli waris

tersebut mati sebelum harta warisan dibagi, dan beragama Islam, serta

tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.27

3) Warisan, yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal

dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak. Dalam

kepustakaan, istilah warisan tersebut sering pula disebut dengan irts,

mi>rats, tura<ts dan tirka>h. Hompilasi Hukum Islam membedakan antara

harta peninggalan dan harta waris. Dalam Pasal 171 butir d Hompilasi

Hukum Islam dijelaskan bahwa Harta peninggalan adalah harta yang

ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi

miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud dengan harta

waris sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 171 butir e Hompilasi

Hukum Islam adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama

setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai

meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan

pemberian untuk kerabat.28

b. Syarat waris

1) Matinya pewaris

Matinya pewaris mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru disebut

muwa>rits jika dia telah meninggal dunia, baik meninggal dunia hakiki

(sejati),meninggal dunia menurut putusan hakim, dan meninggal dunia

27 Subchan Bashori, al-faraidh; Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam, (Jakarta: Nusantara Puplisher, 2009), 7.

(39)

31

taqdiri (menurut dugaan). Tanpa ada kepastian bahwa pewaris

meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli

waris. Hal demikian disebabkan karenamanusia selama ia masih hidup,

ia masih mampu mengelola hartanya dan harta miliknya tetap tidak

berpindah kepada orang lain, maka orang lain tidak boleh

menggantikannya di dalam pengelolaan hartanya. Tetapi apabila ia

sudah mati, maka ia tidak bisa sama sekali mengelola hartanya, oleh

karena itu hartanyadipindahkan kepada ahli warisnya.29

2) Hidupnya ahli waris

Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal

dunia. Ahliwaris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang

ditinggalkan oleh pewaris. Oleh karena itu sesudah pewaris meninggal

dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup agar keahlian dan hak

miliknya terbukti.30

3) Mengetahui status kewarisan

Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia,

haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan

suami-istri, hubungan orang tua-anak dan hubungan saudara baik sekandung,

sebapak maupunseibu.31

29Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Menurut al-Qur’an Dan al-Hadits (Bandung:Trigenda Harya, 1995), 46-47

30 Ibid., 48.

(40)

32

4. Asas-Asas hukum waris Islam

Sebagai hukum agama yang bersumber kepada wahyu Allah yang

disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw, hukum Islam mengandungberbagai

asas yang dalam beberapa hal berlaku dalam hukum kewarisan yang

bersumber dari akal manusia. Dari berbagai asas hukum kewarisan

memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam tersebut.

Adapun asas asas hukum kewarisan Islam ini adalah:

a. Asas ijbari

Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal

kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha

dari yangmeninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara peralihan

seperti ini disebutijba>ri.

Hata ijb<ari secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory),

yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam terminologi

ilmu kalam, kata ijb<ari mengandung arti paksaan, dalam arti bahwa

semua perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba bukanlah atas

kehendak dari hamba tersebut, tetapi itu semua disebabkan atas

kehendak dan kekuasaan Allah, sebagaimana yang berlaku menurut

aliran Jabariyah.32 Dijalankannya asas ijba>ri dalam hukum kewarisan

Islam mengandung arti bahwa harta dari seseorang yang telah meninggal

kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak

(41)

33

Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan

dari ahli warisnya. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut hukum

perdata (BW) yang peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan

pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima dan

tidak berlaku dengan sendirinya.

Adanya unsur ijba>ri dalam sistem kewarisan Islam tidak akan

memberatkan orang yang akan menerima waris, karena menurut

ketentuan hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang

ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul hutang yang ditinggalkan

oleh pewaris. Hewajiban ahli waris hanya sekedar membantu

membayarkan hutang pewaris dengan harta yang ditinggalkannya dan

tidak berkewajiban melunasi hutang tersebut dengan hartanya sendiri.

Jadi, asas ijbari mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal

dengan sendirinya beralih kepada orang yang berhak menerima. Ahli

waris harus menerima warisan sesuai dengan yang telah ditentukan,

karena dalam asas ijbari terdapat unsur paksaan.

b. Asas bilateral

Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan

beralih kepada atau melalui dua arah. Dalam hal ini baik laki-laki

maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis

(42)

34

Dalam prinsip bilateral, jenis kelamin bukan merupakan penghalang

untuk mewaris atau diwarisi.33

Dasar dari kewarisan bilateral terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 7,

11, 12, dan 176. Secara umum dalam ayat 7 menegaskan mengenai

prinsip bilateral, sedangkan ayat 11, 12, dan 176 merinci lebih jauh

mengenai siapa saja yang dapat mewaris dan berapa besar bagiannya.

Dari empat ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa asas bilateral tetap

berlaku dalam kewarisan baik dalam garis lurus ke bawah, ke atas serta

garis ke samping.

c. Asas individual

Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dalam

arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara

perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagiannya tanpa

terikat oleh ahli waris yang lain. Hal ini didasarkan kepada ketentuan

bahwa setiap insan mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan

menjalankan kewajiban, yang di dalam Ushul Fikih disebut a<hliya>t

al-wujub. Dalam pengertian ini setiap ahli waris berhak menuntut harta

warisan secara sendiri dan berhak pula untuk tidak berbuat demikian.

Sifat individual dalam kewarisan terdapat dalam aturan al-Quran

yang menyangkut pembagian harta warisan itu sendiri. Surat An-Nisa’

ayat 7 secara garis besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun

perempuan berhak menerima warisan dari orang tua dan karib

(43)

35

kerabatnya, terlepas dari jumlah harta tersebut dan dengan bagian yang

telah ditentukan. Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah

bagian untuk setiap ahli waris tidak ditentukan oleh banyak atau

sedikitnya harta yang ditinggalkan. Sebaliknya, jumlah harta itu tunduk

kepada ketentuan yang berlaku.34

d. Asas semata akibat kematian

Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada

orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal

dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang

pewaris masih hidup. Segala bentuk peralihan harta seseorang yang

masih hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak

termasuk ke dalam persoalan kewarisan menurut hukum kewarisan

Islam. Hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan

yaitu kewarisan akibat kematian semata yang dalam Hukum Perdata

atau BW disebut dengan kewarisan ab intestato dan tidak mengenal

kewarisan dasar wasiat yang dibuat pada saat pewaris masih hidup yang

disebut kewarisan bij testament.35Asas kewarisan ini mempunyai kaitan

erat dengan asas ijba>ri. Apabila seseorang yang telah memenuhi syarat

sebagai subjek hukum, pada hakikatnya dapat menggunakan hartanya

secara penuh untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan sepanjang

hayatnya. Namun, setelah meninggal dunia tidak lagi memiliki

kebebasan tersebut.

34 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, 21-22

(44)

36

e. Asas keadilan berimbang

Asas keadilan dalam pembagian harta warisan, secara mendasar dapat

dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan

dalam Islam. Artinya, sebagaimana pria dan wanita pun mendapat hak

yang sama kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas

disebutkan dalam al-Qur’an surat an- Nisa’ ayat 7 yang menyamakan

kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan warisan.

Dalam ayat 11, 12, dan 176 surat an-Nisa’ secara rinci dijelaskan

tentang kesamaan dan kekuatan hak menerima warisan antara anak

laki-laki dan perempuan. Adapun jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki-laki-laki

dan perempuan ialah: Pertama, laki-laki mendapat jumlah yang sama

banyak dengan perempuan, seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat

seperenam dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung,

sebagaimana dalam ayat 11 surat an-Nisa’. Hedua laki-laki memperoleh

bagian lebih banyak atau dua kali lipat dari yang didapat oleh

perempuan dalam kasus yang sama yaitu anak laki-laki dengan anak

perempuan dalam ayat 11 serta saudara laki-laki dan saudara perempuan

dalam ayat 176.

Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak

warisan, memang tedapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut

bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak

hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris

(45)

37

dapat dikatakan pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan

dengan perempuan. Hal tersebut dikarenakan pria dalam ajaran Islam

memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap

keluarganya termasuk para perempuan. Sebagaimana dijelaskan Allah

dalam surat an-Nisa’ ayat 34:





Gambar

tabel berikut ini.
Tabel II  Berdasarkan Data Desa Pettong Tahun 2015
Tabel III  Berdasarkan data Desa Pettong Tahun 2015
  Tabel IV
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan perjumpaan bangau bluwok pada tiga titik hitung (point counts) di Rawa Pacing, Desa Kibang Pacing, Kecamatan Menggala Timur, Kabupaten Tulang Bawang

Bentuk dari penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rahma Nurvidiana dkk (2015) “Pengaruh Word Of Mouth Terhadap Minat Beli Serta Dampaknya Pada

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut: Peran Unit Pelaksana Teknis

Meskipun demikian, interval waktu yang singkat atau memberi jarak juru las dengan berhati-hati, seperti pada pengelasan pipa dengan SMAW, dapat memberi panas

Sebagai bahan pengetahuan khususnya bagi penulis tentang pengaruh substitusi ikan lele dan tepung labu kuning terhadap kadar protein dan kadar betakaroten bubuk

Narapidana tindak pidana korupsi yang ingin mendapatkan pembebasan bersyarat selain harus memenuhi syarat-syarat umum juga harus memenuhi syarat khusus yaitu sudah

Hasil ini sejalan dengan penelitian Hamid dan Pramukantoro (2013 : 251) yang menyatakan bahwa rata-rata respon siswa terhadap proses pembelajaran Guided Discovery