Bab 4
Merantau dan Bekerja
di Jayapura
Pengantar
O
rang M akassar pertama kali datang dan berdomisili di Jayapura sejak tahun 1964. Kedatangan mereka ke Jayapura, merupakan wujud pelaksanaan perintah Trikora, yang dikumandangkan Presiden Sukarno. Sehingga mereka yang datang ketika itu adalah sukarelawan yang terdiri dari para dokter, perawat, guru, dan para teknisi.Namun seiring perkembangan pembangunan di Jayapura, maka pada tahun-tahun 1970-an hingga 1980-an. Orang M akassar yang datang ke Jayapura bukan lagi sukarelawan, melainkan para nelayan dan pedagang. Dengan demikian sejak saat itu mulai muncul wirausaha-wirausaha orang M akassar di Jayapura.
Sedangkan pada tahun-tahun 1990-an hingga tahun 2000-an (saat ini). Orang M akassar yang datang ke Jayapura, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan di M akassar. Sehingga tujuan kedatangan mereka tidak lain adalah mencari kerja, dan bekerja di Jayapura1.
Diantara orang M akassar yang datang pada tahun 1990-an hingga tahun 2000-an. Ada nama Rauf M uchsin, Muhajdril Ismail, Sulaiman Baco, Jalnudin Ramli dan Nursama Asmi. M ereka merupakan contoh orang M akassar yang hingga saat ini masih berdomisili di Jayapura, dan telah mapan menjalani kehidupan di Jayapura.
1
Untuk itu, pada pembahasan ini akan membahas tentang pengalaman mereka merantau dan bekerja di Jayapura. fokus pembahasan pada bagian ini, terbagai atas tiga bagian, yaitu potret kehidupan mereka di daerah asal (M akassar), kemudian proses mereka merantau, dan kehidupan awal mereka di Jayapura.
Potret I nforman di Daerah Asal
Rauf M uchsin, M uhajdril Ismail, Sulaiman Baco, Jalnudin Ramli dan Nursama Asmi, merupakan migran M akassar, yang menjadi informan dari penelitian ini. Karena itu, bagian ini akan memberikan gambaran tentang latar belakang, dan konsisi keluarga mereka. Serta sekilas mengenai profesi mereka di daerah asal.
M uchsin adalah salah satu wirausaha di Kota Jayapura yang berasal dari kampung nelayan M ariso, M akassar Sulawasi Selatan. M uchsin lahir pada tanggal 3 juni 1971, di rumahnya di kampung M ariso. Dia terlahir sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Avaf dan Ibu Hannah.
Ayah dari M uchsin berprofesi sebagai nelayan, dan ibunya membantu menafkahi keluarga dengan membuka warung makan di rumah mereka. Penghasilan kedua orang tuanya cukup terbatas, hal ini sesuai dengan pengakuan M uchsin dalam penggalan wawancara berikut;
“Soal penghasilan orang tua saya, saya tidak bisa prediksi. Cuma saya tahu kalau penghasilan mereka rendah. Karena bayangkan saja, untuk beli pakian seragam SM P saja, Bapa sampai harus jual dia punya radio kesayangan. Jadi kalau mau bilang rendah, ya..memang rendah”.
dianggap M uchsin sebagai salah satu bekal berharga dari kedua orang tuanya yang kini telah tiada.
Sebelum M uchsin merantau dan berdomisili di Kota Jayapura. M uchsin sempat menganggur selama tiga bulan, setelah dia tamat dari bangku sekolah. Ketika itu, Muchsin hanya mengisi waktunya dengan mencari dan melamar pekerjaan, sambil membantu mengelola usaha warung makan dan kios milik ibunya. Tetapi karena kondisi demikian tak kunjung berubah, akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke Jayapura.
Sahabat M uchsin yang juga menjadi wirausaha di Kota Jayapura adalah M uhajril Ismail. Ismail merupakan orang asli M akassar yang berasal dari daerah M amajang. Ismail lahir pada tanggal 21 desember 1972, dan terlahir sebagai anak pertama dari dua orang bersaudara. Ayah dari Ismail bernama bapak Zainal Junaid, dan ibunya bernama Nurul M ukhlisah.
Kedua orang tua dari Ismail berprofesi sebagai pedagang, dan memiliki pendapatan yang tidak menentu. Hal ini seperti yang diceritakan oleh Ismail dalam kutipan wawancara berikut;
“Saya ingat betul kalau dulu bapa jualan ikan, dan mama jualan baju-baju. penghasilan juga tidak menentu, kadang bagus, kadang tidak. Jadi kondisi ekonomi keluarga juga waktu itu pas-pasan, tapi jujur saja dulu itu untuk beli beras saja, biasa harus utang, kalau sudah ada uang baru bayar”.
Sebagai seorang anak yang dilahirkan oleh keluarga yang memiliki kondisi ekonomi yang tidak menentu, Ismail patut mengucap syukur. Karena walaupun dia harus menjalani hidup yang penuh perjuangan dan keterbatasan. Tetapi dia dapat merasakan dan menempuh pendidikan hingga tamat dari sekolah menengah atas (SMA).
M igran M akassar lainnya yang menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu Sulaiman Baco. Baco merupakan pria kelahiran Panambungan M akassar, 27 April 1970. Baco lahir sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Hamdan dan Ibu Jumaeda, yang berprofesi sebagai pedagang. Karena itu, pendapatan keluarga mereka juga tidak menentu, hal itu seperti yang diakui oleh Baco, dalam kutipan wawancara berikut;
“saya punya bapa dulu buka warung coto dan kondro, kalau mama bikin kue atau roti baru jual. Kita punya penghailan tergantung hasil jualan dari bapa dan mama. Jadi waktu itu saya biasa terlambat bayar uang sekolah, dan juga saya tidak bisa kuliah”.
W alaupun Baco memiliki impian untuk bisa menempuh pendidikan di perguruan tingggi. Tetapi karena keterbatasan ekonomi keluarga, akhirnya dia harus puas sebagai tamatan sekolah menengah atas (SM A). Itulah ijasah terakhir yang dimiliki Baco, dari pendidikan formal yang ditempuhnya.
Dengan ijasah SMA yang dimilikinya, Baco ketika itu bercita-cita ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Tetapi karena tidak tembus dalam seleksi PNS di M akassar. Akhirnya Baco memutuskan untuk merantau ke Kota Jayapura.
Teman baik Baco yang juga menjadi informan dalam penelitian ini adalah Jalnudin Ramli. Ramli lahir pada tanggal 18 April 1971, di desa Lette, M akassar, Sulawesi Selatan. Dia terlahir sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Amin dan Ibu Nurjanah, yang berprofesi sebagai pegawai honorer, di salah satu unit pelayanan kesehatan di M akassar (sekarang disebut, UPTD PUSKESMAS).
Kendati kedua orang tuanya adalah pegawai honorer, namun hal itu tidak menjamin tingkat pendapatan keluarganya. Karena menurut Ramli;
Kehidupan pereokonomian keluarga yang pas-pasan, tidak membuat Ramli gentar dalam belajar. Buktinya dia mendapat prestasi terbaik dari sekolahnya, dan diberikan kesempatan untuk masuk secara gratis pada salah satu perguruan tinggi negeri di M akassar. Tetapi sayangnya karena keterbatasan orang tua untuk membiayai kuliahnya lebih lanjut, akhirnya dia tidak dapat menyelesaikan kuliahnya, dan harus puas dengan ijasah SM A yang dimilikinya.
Sesaat setelah dia putus kuliah, dia lalu memilih profesi sebagai supir ambulance di salah satu puskesmas di M akassar. Penghasilan yang diterimanya ketika itu sebesar Rp 150.000/bulan. Profesi inilah yang dikerjakan oleh Ramli sebelum akhirnya merantau dari M akassar, Ke Kota Jayapura.
Selain pria, ada juga wanita asal M akassar yang menjadi informan dalam peneltian ini. W anita itu adalah Nursama Asmmi, yang merupakan istri dari Ridwan (adik kandung dari Ramli). Nursana Asmi lahir di desa M asale M akkasar, pada tanggal 12 M aret 1977. Dia terlahir sebagai anak pertama dari tiga orang bersaudara dan merupakan anak perempuan tunggal dari pasangan Bapak Yusuf dan Ibu Sulminah.
Sebagai seorang anak sulung, Asmi cukup memahami kondisi perekonomian keluarganya, yang ketika itu hanya bergantung dari penghasilan ayahnya sebagai pegawai di perkebunan swasta. Hal ini seperti yang dia sampaikan berikut;
“keluarga saya waktu itu hanya mengharapkan penghasilan dari bapa saya, karena ibu saya tidak kerja. Bapa waktu itu kerja sebagai pegawai di perkebunan swasta. Gajinya tidak besar, jadi biasanya kita cuma makan makanan hasil kebun. Biar uang yang ada bisa pakai bayar sekolah saya dan adik-adik saya”.
Sekalipun Asmi kurang beruntung dalam hal pendidikan, tetapi dia lebih beruntung dalam hal pekerjaan. Karena setelah Asmi memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, pada tahun 1995, Asmi langsung mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan marmer di kampungnya. Penghasilan yang diterima Asmi dari pekerjaannya tersebut, yaitu sebesar Rp 250.000/bulan.
M erantau Ke Kota Jayapura
M engapa M uchsin, Ismail, Baco, Ramli, dan Asmi memilih untuk merantau, dan bagaimana mereka dapat merantau ke Kota Jayapura. Jawaban atas kedua pertanyaan itulah, yang akan menjadi fokus pembahasan pada bagian ini. Artinya bagian ini akan membahas secara empiris alasan para informan merantau, dan proses mereka merantau ke Kota Jayapura.
M erantau Untuk Bekerja
Kisah merantau dari M uchsin, diawali pada suatu siang di pertengahan bulan Oktober 1991, ketika M uchsin sedang menjaga kios milik ibunya. Pada saat itu dia sedang asik membaca surat kabar, tiba-tiba datang seorang pembeli menyapanya. Muchsin lalu menoleh ke arah pembeli itu, dan ternyata pembeli itu adalah Arijal Yusman, kerabat dari M uchsin yang sudah dua tahun merantau dan bekerja di Jayapura.
M ereka kemudian saling bercakap-cakap, seraya melepas rindu dan membagi cerita. Dalam percakapan itulah, M uchsin menceritakan bahwa dia belum mendapat pekerjaan, walaupun telah tiga bulan lulus dari SM A. M endengar hal itu, Yusman tergugah untuk membantu M uchsin. Yusman lalu menawarkan M uchsin untuk ikut dengannya ke Jayapura, dan bekerja di sana.
untuk pergi merantau, karena ibunya tahu betul bahwa M uchsin sudah terbiasa bekerja keras sejak ayahnya meninggal pada tahun 1987 (ketika M uchsin berada di bangku kelas tiga SM P). Dengan adanya persetujuan Ibunya, akhinya pada penghujung bulan Oktober 1991, M uchsin bersama dengan Yusman bertolak menuju Kota Jayapura dengan menggunakan kapal KM . UM SINI.
Dalam wawancara bersama M uchsin, dia lalu mengemukakan alasanya merantau adalah sebagai berikut;
“saya merantau dari Makassar, karena memang di Makassar, saya tidak punya pekerjaan, dan saya mau ke Jayapura karena Yusman cerita kalau di Jayapura banyak orang M akassar yang sukses-sukses, dan saya yakin bahwa saya juga pasti bisa sukses di sini.
Cerita yang senada juga disampaikan oleh Baco, yang ditemui di rumahnya. M enurut Baco, sejak dia masih menempuh pendidikan di SM A, dia memang sudah berkeinginan untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Sehingga begitu lulus SMA, Baco kemudian mencoba mengikuti tes PNS, untuk wilayah M akassar.
Tetapi sepertinya kenyataan berbicara lain, karena Baco akhirnya dinyatakan tidak lulus dalam tes pegawai negeri itu. Kenyataan itu membuat Baco begitu terpukul dan sering murung. M elihat kondisi anaknya demikian, orang tua Baco tidak tinggal diam. M ereka kemudian menghubungi bapak Aliudin. Bapak Aliudin adalah adik dari ibunya Baco, yang telah bekerja sebagai guru di Jayapura, sejak tahun 1988.
doa dari kedua orang tuanya, Baco lalu berangkat bersama pamannya, dengan mengunakan pesawat udara, menuju Kota Jayapura.
Untuk itu, Baco kemudian mengungkapkan alasan dia merantau dari M akassar ke Jayapura, adalah sebagai berikut;
“jadi kalau kau tanya; mengapa saya merantau dari M akassar ke sini? ya,,jelas, karena saya tidak ada pekerjaan, dan saya ke sini, waktu itu untuk cari pekerjaan. Tapi kalau kau tanya kenapa saya mau ke Jayapura? itu karena ada om saya, dan juga karena om saya bilang waktu itu, di sini, gampang jadi PNS, makanya saya mau ikut om Ali ke sini”.
Itulah alasan yang membuat Baco akhirnya memutuskan untuk merantau ke Jayapura. Seperti halnya Baco, Asmi juga memiliki alasan yang tidak jauh berbeda. Hal ini seperti yang dia tuturkan pada pengalan wawancara berikut;
“Alasan saya tinggalkan Makassar, karena di sana, saya dan suami sudah tidak punya pekerjaan lagi, dan saya ambil keputusan untuk ke sini karena ada abang Ramli yang mau kasi pekerjaan untuk saya dan suami saya”.
Pernyataan ini disampikan oleh Asmi, setelah dia bercerita bahwa pada awalnya, dia dan suaminya bekerja pada salah satu perusahaan marmer di M akassar. Namun perusahaan itu kemudian harus ditutup, karena terbentur masalah perizinan dan utang. Hal itu membuat Asmi dan suaminya harus menerima kenyataan pahit, yaitu kehilangan pekerjaan mereka, dan menanggung hidup sebagai pengangguran.
Dari alasan yang telah dikemukakan baik oleh Asmi, Baco, maupun M uchsin. Dapat dikatakan bahwa ketika mereka berada di M akassar, mereka tidak memiliki pekerjaan. Sehingga mereka memilih untuk merantau ke Jayapura, agar dapat memperoleh pekerjaan, dan nafkah.
M erantau Demi Penghasilan Lebih Baik
Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai kenyataan bahwa ada orang yang bekerja dengan keras, tetapi justru penghasilannya rendah. Kenyataan semacam inilah yang dialami oleh Ramli, ketika dia masih bekerja sebagai supir ambulance, pada salah satu PUSKESM AS, di M akassar. Karena walaupun tiap hari Ramli harus mengantar dan menjemput pasien yang ada di PUSKESMAS, tetapi dia hanya diberi gaji sebesar Rp 150.000 tiap bulan.
M eski demikian, pekerjaan sebagai supir ambulance, tetap dia kerjakan secara bertanggung jawab. Hingga pada suatu sore, ketika dia sedang asik mencuci mobil ambulance, di pelataran rumahnya, tiba-tiba dia dihampiri oleh seorang tukang pos, yang kemudian memberika sepucuk telegram. Ketika dia M embaca telegram itu, dia begitu senang, karena telegram itu berasal dari Baco, dan berisi tawaran pekerjaan.
Tanpa membuang-buang waktu, Ramli langsung pulang dan membicarakan hal itu dengan orang tuanya. Akhirnya setelah mempertimbangkan tentang masa depan dari anaknya, orang tua Ramli kemudian mengijinkan Ramli untuk pergi merantau. Dengan restu itulah, maka Ramli lalu berangkat ke Jayapura untuk menemui Baco, pada bulan April 1994.
Terkait alasan mengapa Ramli memilih untuk merantau, adapun penyampainnya berikut;
golongan berapa, punya tanggungan keluarga atau tidak, pegawai tetap atau honorer, dan lain-lain. Jadi karena saya belum menikah dan juga pegawai honor, makanya gaji yang saya terima hanya kecil saja. Jangankan untuk makan satu bulan, beli rokok saja mungkin tidak cukup. Untung waktu itu saya masi tinggal dengan orang tua, jadi soal makan saya tidak pikir. Karena gaji saya di sana kecil jadi saya mau ikut Baco ke sini, soalnya waktu itu Baco mau kasi gaji besar untuk saya, hampir empat kali lipat dari gaji saya di M akassar. jadi saya mau ke sini bukan saja karena ada Baco, tapi karena di sini saya dapat gaji besar”.
Cerita yang kurang lebih sama, juga disampikan oleh Ismail, yang merupakan sahabat dari M uchsin. M enurut Ismail, dia pertama kali menginjakan kaki di Kota Jayapura pada bulan mei 1994. Dia berangkat ke Kota Jayapura bersama dengan M uchsin, dengan menggunakan kapal laut.
Keputusannya untuk merantau ke Jayapura berawal dari pertemuanya dengan M uchsin, dua hari setelah upacara pemakaman Ibunda dari M uchsin. Ketika itu, Ismail datang ke rumahnya M uchsin sebagai kawan untuk menghibur rasa duka dari M uchsin. M ereka kemudian bercerita, seraya menghabiskan waktu dipelataran rumah dari M uchsin. Cerita mereka kemudian berujung pada tawaran pekerjaan dari M uchsin. Dengan adanya tawaran itulah, sehingga Ismail lalu memutuskan untuk berangkat ke Jayapura.
Berikut merupakan alasan Ismail merantau, yang dia ungkapkan ketika penulis mewawancarainya;
“waktu itu saya memang sudah mau berheti kerja dari rumah makan dan cari pekerjaan lain. Habis biar saya sudah kerja dua tahun juga saya punya gaji cuma 150/bulan. Jadi waktu M uchsin tawar saya kerja dengan dia di sini, saya terima. Karena dia mau kasi saya gaji yang dua kali lebih besar, waktu itu kalau tidak salah 450/bulan. Itu yang bikin sampai mau pindah ke sini”.
Permasalahaan inilah yang membuat sehingga mereka memilih untuk merantau, guna memperoleh penghasilan yang lebih baik.
Kehidupan Awal Di Jayapura
Setelah mengetahui tentang bagaimana dan mengapa para informan merantau. Tentu muncul pertanyaan di benak kita tentang dimana awalnya mereka tinggal di Kota Jayapura, dan apa profesi awal mereka di Kota Jayapura. Serta bagaimana cara mereka bergaul di Kota Jayapura. Untuk menjawab pertanyan-pertanyaan itu, maka pembahasan pada bagian ini akan memberikan penjelasan secara empiris tentang tempat tinggal serta profesi awal mereka di Jayapura. Serta cara mereka bergaul dengan sesama M akassar, dan warga lainnya di Kota Jayapura.
M emulai Langkah Bersama Teman/Kerabat
Perjalanan menuju Kota Jayapura, ditempuh oleh M uchsin dan temannya (Yusman), selama empat hari. M ereka tiba di Kota Jayapura, pada malam hari, dan langsung menuju tempat kos dari Yusman, yang terletak di daerah W aena. Di tempat itulah, M uchsin kemudian bermalam untuk pertama kalinya di Kota Jayapura.
Keesokan harinya, Yusman lalu mendaftarkan M uchsin, untuk dapat bekerja bersamannya, di salah satu perusahaan penambangan golongan c, yang terletak di daerah padang bulan. Berkat bantuan dari Yusman, akhirnya M uchsin dapat diterima bekerja sebagai staf pemasara. Untuk itu, Muchsin resmi diterima sebagai karyawan pada perusahaan tersebut, terhitung mulai tanggal 28 Oktober 1991.
Pada bulan M ei 1993, Yusman mengalami suatu kecelakan lalu lintas serius, dan akhirnya meninggal. Peristiwa itu sangat membuat M uchsin terpukul, dan sangat sedih. Untuk menghilangkan rasa kerinduannya terhadap Yusman, akhirnya pada bulan juni 1993, M uchsin memutuskan untuk pindah dari tempat kosnya, dan mengontrak sebuah rumah di daerah padang bulan.
Belum ada setahun M uchsin pindah ke rumah barunya, dia harus segera pulang ke M akassar, karena ibundanya meninggal. Setelah mengikuti upacara pemakaman ibunya, M uchsin akhirnya kembali ke Jayapura, guna melanjutkan usaha rumah makan yang telah dia rintis sejak M aret 1993. Pada saat dia kembali ke Jayapura, dia tidak sendiri, tetapi dia ditemani oleh sahabatnya, Ismali.
M uchsin dan Ismail melakukan perjalanan dari M akassar, ke Jayapura selama empat hari. Begitu mereka tiba di Jayapura, mereka kemudian menuju rumah kontrakan dari M uchsin. Karena rumah kontrakan tersebut, terdiri dari tiga kamar tidur, maka M uchsin lalu mengijinkan Ismail untuk menempati satu kamar di rumah itu. Sejak saat itulah, Ismail tinggal bersama dengan Muchsin di rumah kontrakan itu.
Setelah puas beristrihat selama seharian, maka pada hari berikutnya mereka lalu mengunjungi rumah makan milik M uchsin. M ereka kemudian membagi tugas untuk membersihkan tempat itu, dan mempersiapkan bahan-bahan untuk membuka kembali rumah makan tersebut. Dengan persiapan yang mereka lakukan, maka pada hari berikutnya, mereka dapat membuka kembali rumah makan itu. Sejak saat itulah, Ismail resmi bekerja pada usaha milik sahabatnya itu.
Jika Ismail harus mengawali langkahnya dengan tinggal bersama M uchsin di rumah kontrakan, maka tidak demikian dengan Baco. Karena setelah Baco tiba di Jayapura, bersama dengan pamannya. Dia langsung diboyong untuk tinggal bersama pamannya, di rumah yang cukup megah, yang berada di daerah Furia Kota Raja. Baco kemudian diminta untuk tetap tinggal bersama paman dan tantenya, karena mereka tidak memiliki anak. Akhrinya selama di Jayapura Baco memutuskan untuk tinggal di rumah pamannya.
W alaupun Baco tinggal di rumah megah, tapi dia tidak seberuntung Ismail, yang langsung mendapat pekerjaan. Karena ketika dia tiba di Jayapura, pendaftaran pegawai negeri di Jayapura, sudah ditutup. Hal itu membuat Baco tentu harus menunggu waktu pendaftaran pegawai negeri berikutnya. Untuk mengisi waktu, Baco kemudian membuat kue dan menjualnya di depan rumah pamanya. Kegiatan ini ternyata memberikan penghasilan yang memuaskan pada Baco. Sehingga Baco akhirnya terus menekuni profesinya ini, dan tidak lagi tertarik untuk menjadi pegawai negeri.
Pada tahun 1994, ketika usaha dari Baco telah berkembang cukup besar. Dia lalu mendatangkan Ramli dari M akassar dengan mengunakan kapal laut. Sesudah Ramli tiba di Jayapura, Baco segera menjemput dan membawanya untuk tinggal di salah satu tempat kos di daerah Abepura. Tempat kos itu memang sengaja dipersiapkan oleh Baco sebagai tempat tinggal Ramli.
Setelah dua hari Ramli beristrahat, dia lalu menemui Baco, untuk mendapat penjelasan tentang pekerjaan apa yang harus dia lakukan. Baco kemudian memberikan penjelasan pada Ramli tentang tugasnya, yaitu sebagai penjaga toko kue milik Baco. Pada hari itulah Ramli memulai pekerjaannya sebagai penjaga toko kue. Itulah profesi awal Ramli di Kota Jayapura.
distributor, dan mengantar kue kepada pelanggan. Profesi ini ditekuni oleh Ramli selama kurang lebih tiga tahun.
Tahun 1997, Setelah Ramli menikah, dia lalu memutukan untuk mendirikan usaha sendiri. Berselang empat tahun kemudian, Ramli mendengar kabar bahwa adiknya (Ridwan) dan istri adiknya (Asmi), kehilangan pekerjaan mereka. Sebagai kakak, tentu Ramli berkewajiban untuk membantu adiknya itu. Dengan demikian dia berinisiatif mendatangkan Ridwan dan Asmi ke Jayapura.
Tetapi sebelum Ramli mendatangkan Ridwan dan Asmi ke Jayapura. Terlebih dahulu Ramli menyiapkan tempat tinggal bagi mereka. Tempat tinggal yang disediakan oleh Ramli adalah salah satu rumah sewa yang terletak di daerah pasar lama Abepura. Sehingga ketika Ridwan dan Asmi tiba di dermaga Jayapura, Ramli langsung mengiring mereka menuju rumah sewa itu. Disanalah Ridwan dan Asmi tinggal untuk pertama kalinya di Kota Jayapura.
Tiga hari kemudian, Ramli mengajak Ridwan dan Asmi untuk pergi ke toko miliknya, yang merupakan tempat kerja Ridwan dan Asmi nantinya. Sesampainya mereka di toko itu, Ramli lalu menjelaskan tentang keberdaan toko itu, dan bagaimana nantinya Ridwan dan Asmi bekerja. M elalui penjelasan Ramli, mereka berdua lalu mengerti pekerjaan apa yang harus mereka lakukan. Sejak saat itulah Ridwan dan Asmi, dipercaya oleh Ramli, untuk mengelola tokonya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pekerjaan (profesi) awal Asmi di Jayapura, adalah sebagai penjaga toko.
M enjadi Anggota I KBM
M enanggapi hal itu, Ramli tersenyum lalu menceritakan bahwa dulu ketika pertama kali dia datang ke Jayapura, dia juga mengalami hal yang sama. Kemudian Baco mengajaknya untuk ikut bergabung sebagai anggota Ikatan Keluarga Besar M akassar (IKBM ) di Kota Jayapura. Sejak saat itulah, dia dikenal dan diperlakukan selayaknya saudara oleh orang M akassar yang ada di Jayapura. Untuk itu, Ramli menyarankan pada Asmi dan suaminya untuk ikut dengannya pada silaturami IKBM yang akan diadakan pada tiga hari berikut. Saran dari Ramli diterima dengan baik oleh Asmi dan suaminya. Sehingga berselang tiga hari berikut, mereka kemudian mengikuti Ramli untuk pergi ke silaturami IKBM .
Dalam silaturahmi itu, Asmi dan suaminya diminta untuk mengisi formulir ke-anggotaan, dan memperkenalkan diri di hadapan para anggota IKBM yang hadir. Akhirnya sejak saat itu, mereka resmi menjadi anggota IKBM , dan dikenal oleh orang M akassar yang ada di Jayapura. Dengan demikian mereka tidak lagi diacuhkan oleh orang-oarng M akassar yang mereka temui, baik di tempat kerja, maupun tempat tinggal mereka.
Cerita dari Asmi, dibenarkan oleh Ramli dan Baco, ketika mereka ditemui di Café Prima Garden Abepura. Dalam pertemuan itu, Baco bercerita bahwa pada awalnya dia mengetahui adanya organisasi IKBM, karena diperkenalkan oleh Pamannya. Kemudian dia dapat bergabung menjadi anggota IKBM, karena dia diajak oleh pamanya, untuk mengikuti silaturahmi IKBM . Berikut kutipan pengakuan Baco;
Setelah Baco menceritakan kisahnya, Baco lalu menambahkan bahwa ketika Ramli baru datang dan bekerja di Jayapura. Ramli sempat mengalami kondisi yang sama dengan Asmi, yaitu diacuhkan oleh beberapa orang M akassar yang sering datang ke toko kue miliknya. melihat kondisi itu Baco sadar bahwa para pelanggan dari sesama M akassar, bersikap demikian pada Ramli, karena mereka mengira Ramli bukan orang M akassar. Untuk itu, dia lalu mengajak Ramli ke silaturahmi IKBM , dan memasukan Ramli sebagai anggota IKBM . Pada saat itulah Ramli mulai dikenal dikalangan orang M akassar yang ada di Jayapura. Cerita ini dibenarkan oleh Ramli, yang mengatakan;
“Apa yang Baco bilang itu betul, bulan pertama waktu saya baru datang ke sini. Orang-orang M akassar macam tidak mau tegur saya. Tapi setelah Baco ajak saya ke silaturahmi IKBM , terus saya perkenalkan diri kalau saya juga orang M akassar. Baru mulai dari situ, kalau mereka datang ke toko, mereka tegur dan bicara-bicara dengan saya, padahal sebelumnya te’na (tidak).
Apa yang dialami oleh Ramli, juga dialami oleh Ismail, ketika dua bulan pertama dia bekerja di rumah makan milik M uchsin. Pada waktu itu, Ismail mengaku begitu merasa seperti diacuhkan oleh sesama orang M akassar yang datang ke rumah makan itu. Karena walaupun mereka (pelangan orang M akassar) telah mengenalnya sebagai sahabat M uchsin yang datang dari M akassar. Tetapi setiap kali mereka datang ke rumah makan itu, mereka selalu bersikap acuh padanya.
M elihat situasi yang terjadi, dia kemudian bertanya pada M uchsin, mengapa orang-orang itu bersikap demikian. Dari penjelasan M uchsin, barulah dia tahu bahwa hal itu terjadi karena dia belum menjadi anggota IKBM . Dengan demikian dia lalu memutukan untuk menjadi anggota IKBM Jayapura. Hal seperti yang dia sampaikan dalam kutipan wawancara berikut;
lagi, masa setiap kali mereka datang itu M uchsin sudah bilang kalau saya ini dia punya teman dari Makassar. Tapi mereka tetap saja sikap seperti itu, terus dua bulan lebih saya kerja di situ, masa belum cukup kenal? Apalagi ada beberapa orang makassar yang hampir tiap hari makan di warung itu. saya lihat begitu, saya tahu ada yang tidak beres, jadi saya tanya M uchsin. Terus M uchsin bilang, kalau di sini itu, orang Makassar biasanya anggap orang M akassar yang tidak gabung di IKBM, itu orang yang tidak tahu diri, dll. Dari situ saya tahu, mereka buat begitu ke saya, karena saya belum gabung dengan IKBM . Makanya saya langsung tanya M uchin, bagaimana bisa jadi anggota IKBM . Muchin bilang cukup datang satu kali di silaturahmi IKBM, terus perkenalkan diri dan isi formulir. Saya dengar itu dan pas silaturahmi IKBM bulan Februari 1995, saya langsung ikut dan daftar jadi anggota. Dari situ baru kelihatan orang-orang M akassar yang biasa datang ke warung itu, terus bikin muka tembok, akhirnya mulai akrab dengan saya”.
Itulah cerita yang dituturkan oleh Ismail, dalam wawancara di kediamannya. Cerita ini kembali dipertegas oleh M uchsin, sehari kemudian, ketika penulis mewawancari M uchsin. M enurut M uchin, dia memang menyampaikan pada Ismail, seperti apa yang Ismail sampaikan. Karena, ketika dia baru datang ke Jayapura, Yusman juga menjelaskan hal yang sama untuknya. Hal ini seperti yang dia sampaikan dalam kutipan wawancara berikut;
“saya pertama tidak mau bergabung dengan IKBM, karena saya pikir; saya datang untuk kerja, bukan untuk ikut segala macam. Tapi akhirnya saya gabung dengan IKBM, karena Yusman bilang ke saya; ‘Muchsin, kita ini kan dirantau, jadi kita harus cari teman, makanya kau harus ikut IKBM, supaya orang makassar lain bisa kenal kau, dan anggap kau juga orang M akassar, biar kalau kau susah, mereka mau bantu’. Kata-kata itu juga yang saya pakai untuk ajak ismail gabung dengan IKBM ”.
kemudian mewawancarai Bapak Haji JR, selaku ketua umum IKBM Jayapura.
Dalam wawancara bersama Bapak Haji JR, di rumahnya. Bapak Haji JR menjelaskan bahwa organisasi IKBM , merupakan salah satu organisasi masyarakat (ormas) di Kota Jayapura. Tujuan organisasi IKBM didirikan adalah untuk menghimpun dan memberdayakan masyarakat M akassar, agar tercipta kekerabatan, keharmonisan dan kesejahkteraaan hidup warga M akassar di Jayapura.
Untuk itu, sejak didirikan pada tahun 1980-an, IKBM selalu aktif menghimpun warga M akassar yang ada di Kota Jayapura. Dia menambahkan bahwa untuk menjadi anggota IKBM, tidak memerlukan biaya ataupun syarat-syarat yang sulit. Syarat utama untuk menjadi anggota IKBM adalah harus berasal dari daerah M akassar. Kemudian, syarat kedua adalah sekali mengikuti kegiatan silaturahmi IKBM, dan mengisi formulir keanggotaan IKBM .
Bapak Haji JR juga menjelaskan bahwa walaupun hingga saat ini, anggota IKBM yang terdaftar dari segala usia, telah mencapai 28.652 jiwa. Tetapi IKBM selalu berusaha untuk mengakomodir semua kepentingan anggotanya, baik dalam bidang usaha, maupun karir politik. M enurutnya, IKBM dapat memainkan peran demikian bagi anggotanya, karena IKBM memiliki anggota yang terdiri dari segala profesi (wirausaha, PNS, birokrat, legeslatif, eksekutif, POLRI, TNI, dll). Sehingga memungkinkan IKBM untuk mendapatkan sumber daya organisasi, dan akses terhadap kebijakan pemerintah.
Terbuka Tetapi Tidak Berbaur
M enurutnya, orang M akassar di Kota Jayapura pada umumnya hidup secara terbuka dengan warga masyarakat lainnya. Artinya, mereka tidak menutup diri terhadap warga masyarakat lainnya, yang datang untuk bergaul dengan mereka. M ereka akan dengan ramah menyambut kehadiran orang dari suku lain di rumah mereka, dan menghargai orang itu.
Tetapi sebaliknya, mereka justru jarang sekali untuk berbaur dengan warga masyarakat lainnya, di sekitar mereka. Artinya, mereka enggan untuk datang ke rumah, atau bergaul dengan warga lainnya. M ereka akan lebih memilih untuk diam di rumah, atau pergi bekerja, dari pada bergaul dengan masyarakat sekitar.
Apa yang dijelaskan oleh Bapak Julham, tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang diberikan Bapak Teo (51), tetangga dari M uchsin. M enurutnya, M uchsin dan keluarga selama tinggal bertetangga dengannya, mereka hidup rukun dan saling menghargai. Tetapi memang M uchsin jarang sekali untuk keluar rumah dan berbaur dengan warga lainnya, seperti duduk bercanda gurau bersama, atau main gaplek bersama.
Penjelasan yang senada juga disampikan oleh Bapak Viktor (57), yang merupakan tetangga dari Baco. M enurut Bapak Viktor, selama dia bertetangga dengan paman dari Baco, hingga saat ini Baco. Dia hanya melihat mereka berbaur dengan warga, ketika ada kerja bakti, atau pertemuan di lingkungan itu. Tetapi dia tidak pernah melihat Baco, atau pamannya, datang bertamu di rumah lainnya, yang ada di lingkungan mereka.