SALAT LIMA WAKTU DI PONDOK PESANTREN LANGITAN
WIDANG TUBAN KAJIAN FENOMENOLOGI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagaian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh
Rizal Alfa Pratama
NIM: A0.22.12.096
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABTRAKSI
Salat Lima Waktu Di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban.
Fokus penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam Karya Ilmiah Ini adalah (1) Bagaimana keadaan pondok pesantren salaf di Langitan (2) Bangaimana pelaksanaan salat lima waktu di Langitan(3) Bagaimana pedoman salat lima waktu di pondok Pesantren Langitan.
Dalam menjawab permasalahan tersebut penulis mengunakaan metode penelitian Kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi, yaitu yang mana Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri, selanjutnya penulis mencoba menangkap fenomena-fenomena yang ada dengan dan menganalisisnya dan teorinya penulis juga menggunakan teori Fenomenologiyang ditemukan oleh Edmund Husserl.
Keadaan pondok pesantren saat ini masih aktif dalam menjalankan proses belajar mengajar, pondok pesantren ini adalah pondok pesantren tertua. Serta masih mempertahankan tradisional yaitu dengan berpedoman kepada ulama salaf serta metode pengajaran yang dipakai seperti
sorogan, dan wetonan. Dalam pelaksanaannya salat lima waktu selalu mengedepankan jama’ah
ABSTRACT
Salat Five Time On Boarding School Langitan Widang Tuban.
The focus of research conducted by the author in this scientific work is (1) What is the situation in Langitan salaf pesantren (2) How implementation of the five daily prayers in Langitan (3) How guidelines five prayers in Islamic Schools Langitan
In answer to these problems the author take method of qualitative research approach to phenomenology, ie which Phenomenology is a current talk about the phenomenon or anything that looked or appeared, the author tries to capture the phenomena that exist with and analyze and theory author also uses phenomenology that theory invented by Edmund Husserl.
State boarding school is still active in running the learning process, the boarding school is the oldest boarding school. And still maintain a traditional that is the basis of the scholars of the
Salaf and teaching methods are used such as sorogan, and wetonan. In the implementation of
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PNGESAHAAN TIM PENGUJI ... iv
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... viii
ABSTRAK ... x
TRANSILTRASI ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I:PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Rumusan Masalah ... 6
C.Tujuan Penelitian ... 6
D.Kegunaan Penelitian... ... ... 7
E. Pendekatan dan Kerangka teori ... 8
F. Penelitian Terdahulu ... 9
G.Metode Penelitian ... 10
H.Sistematika Bahasan ... 15
BAB II : PONDOK PESANTREN SALAF DI LANGITAN TUBAN A.Lokasi dan Letak asal mula nama pondok pesantren Langitan ... 17
B.Sejarah dan Perkembangan pondok pesantren Langitan ... 18
2. Masa Perkembangan Pondok pesantren Langitan tahun
(1870-1921) ... 20
3. Masa pembaharuan pondok pesantren Langitan (1921-Sekarang) ... 21
4. Pengertian Salaf di Pondok Pesantren Langitan ... 29
BAB III : SALAT LIMA WAKTU DI PONDOK PESANTREN LANGITAN A.Salat lima waktu di Pondok pesantren Langitan ... 34
B.Waktu Istiwa’ ... 35
BAB IV:PEDOMAN SALAT LIMA WAKTU DI PONDOK PESANTREN LANGITAN A. KitabFathulQorib ... 46
1. Sejarah Singkat Kitab Fathul Qorib ... 46
2. TeksKitabFathulQorib ... 47
B. TradisionalPondokPesantrenLangitan ... 66
PedomanKiaiMengenaiSalatSubuhdanAshar ... 66
BAB V: PENUTUP A.SIMPULAN ... 76
B.SARAN ... 78
DAFTAR PUSTAKA... 79
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Didalam ajaran agama Islam, Ibadah salat adalah Ibadah yang sangat penting
sekali, manfaatnya untuk kehidupan didunia maupun kehidupan di akhirat. Yang paling
utama adalah Ibadah salat yang hukumnya wajib dilaksanakan setiap hari, yaitu Ibadah
salat lima waktu. Salat merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang erat dengan
waktu selama sehari semalam sebanyak lima kali. Waktu pelaksanaannya merupakan
bagian yang sangat penting dalam menentukan keabsahannya mengerjakan salat,
sehingga dalam mempelajari waktu salat serta mengetahuinya itu sangatlah penting.
Sesuai firman Allah SWT dalam Q.S. An Nisa’: 1031
ىلع تننكَو ل صلا اَول صلااو يقنف ت نن أ اا نف م ب ونج لع واًد وعق ونًمنيق لاورك نفَول صلا مت ي قا نف ن ينم ؤ لا نًت وق و منًبتك
( 301 )
Artinya:
“Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salatmu, ingatlah Allah ketika
kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah
merasa aman, maka laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, salat itu
adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Didalam salah kitab Fathul qorib telah di jelaskan pengertian dari sholat lima
waktu, yaitu:
ىهو ًةغل ّدلا رشوءنع نقن كنًع
ّىعفا رلا او قا نع فاو ةحتت فم نب ر يب تل ة تت م نب م يل س تل شب ءار وص م
ةص .
Artinya:
Pengertian “ṣalāt” dari tinjauan bahasa adalah berdoa. Sedangkan pengertian
“ṣalāt” menurut tinjauan Syara’, ialah beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali
dengan ucapan takbir dan diakhiri dengan ucapan salam, hal mana telah dikerjakan
dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.2
Di pondok pesantren Langitan tepatnya didaerah Widang Tuban memiliki ciri
khas tersendiri yang unik dalam melaksanakan salat. Tetapi tidak terlepas dari peranan
kitab Fathul Qorib dan tradisi para kiai yang menjadi dasar dalam melaksanakan salat
lima waktu.
Kitab fathul qorib yang ada di pondok pesantren Langitan merupakan kitab
kedua yang diajarkan kepada santri ditingkat Madrasah Tsanawiyah atau setingkat
sekolah menenah pertama dalam membentuk pola aturan prilaku kehidupan yang sesuai
dengan aturan Islam (fiqih) di dalam prakteknya pondok pesantren wajib
menerapkannya baik ustad, pengurus pondok, maupun santrinya.
Khusus santri mustho atau Mts Pengajian kitab fathul qorib dilaksanakan di pagi
hari. Diharapkan dalam penerapan kitab fathul qorib terhadap santri adalah agar santri
selalu memiliki aturan kehidupan yang baik sesuai dengan tata cara Islam saat beribadah
kepada Alloh swt, bergaul antar sesama manusia, dan lain sebagainya, tujuan niatan
yang dipupuk kepada santri adalah mengharap barokah ilmu dari kitab fathul qorib.3
Pondok pesantren salaf Langitan sendiri tergolong pondok pesantren tertua di
Indonesia berdiri sejak tahun 1852 Lembaga pendidikan yang sekarang ini dihuni oleh
lebih dari 5500 santri yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan sebagian
Malaysia.
Terletak di Dusun Mandungan Desa Widang Kecamatan Widang Kabupaten Tuban
Jawa Timur. Komplek bangunan Pondok Pesantren Langitan juga terletak di samping
Bengawan Solo dan berada di atas areal tanah seluas kurang lebih sekitar 7 hektar serta
pada ketinggian kira-kira tujuh meter di atas permukaan laut. Letak Lokasi pondok
pesantren beradakira-kira empat ratus meter sebelah selatan ibukota Kecamatan
Widang, atau kurang lebih 30 km sebelah selatan ibukota Kabupaten Tuban, pondok
pesantren Langitan juga berbatasan langsung dengan Desa Babat kecamatan Babat
Kabupaten Lamongan dengan jarak kurang lebih kira-kira satu kilo meter.
Karena letak lokasi yang sangat strategis ini Pondok Pesantren Langitan menjadi sangat
mudah untuk dijangkau melalui sarana angkutan umum, baik sarana transportasi bus,
kereta api, atau sarana yang lain. Adapun nama Langitan tersebut adalah merupakan
perubahan dari kata Plangitan, kombinasi dari kata plang (jawa) yang berarti papan
nama dan wetan (jawa) yang berarti timur. Memang di sekitar daerah Widang dahulu,
tatkala Pondok Pesantren Langitan ini didirikan pernah berdiri dua buah plang atau
papan nama, masing-masing terletak di timur dan barat.
Kemudian di dekat plang sebelah wetan dibangunlah sebuah lembaga pendidikan ini,
yang kelak karena kebiasaan para pengunjung menjadikan plang wetan sebagai tanda
untuk memudahkan orang mencari, mendata dan mengunjungi pondok pesantren, maka
secara alamiyah pondok pesantren ini diberi nama Plangitan dan selanjutnya populer
menjadi Langitan. Kebenaran kata Plangitan tersebut dikuatkan oleh sebuah cap
bertuliskan kata Plangitan dalam huruf Arab dan berbahasa Melayu yang tertera dalam
kitab Fathul Mu’in yang selesai ditulis tangan oleh KH. Ahmad Sholeh, pada hari Selasa
29 Robiul Akhir 1297 Hijriyah.4
Alasan penulis menulis judul ini karena terlihat dari sisi keunikan pondok pesantren
langitan yang berbeda dengan pondok pesantren lain. Pondok pesantren Langitan
memiliki ciri keunikan kebudayaan dan model pembelajaran yang berbeda, kebudayaan
di pondok pesantren ini yaitu menerapkan segala aturan (Fiqih) baik didalam pondok
maupun diluar pondok yang diharapkan menjadi bekal hidup khususnya bagi santri yang
menimba ilmu disana.
Kitab fathul qorib merupakan kajian yang wajib dipelajari serta menjadi pedoman hidup
para santri dalam melakukan kegiatan sehari-hari, disamping itu banyak sekali manfaat
yang diambil dari kitab fathul qorib ini dalam membangun kebudayaan di pondok
pesantren langitan.
Kitab fathul qorib yang berbahasa arab maupun yang terjemahannya juga memiliki
tujuan yang sama yaitu membangun kebudayaan pesantren melalui ilmu fiqih, baik itu
pondok pesantren salaf maupun pondok pesantren modern dalam hal ini acuan dasar
dalam membentuk peraturan baik itu hukum yang mencakup tata cara beribadah,
berhubungan dengan orang lain, maupun muamalah semuanya berawal dari kitab fathul
qorib ini.
Bisa di ambil kesimpulan bahwa setiap pondok pesantren salaf maupun modern selalu
memakai kitab yang sama akan tetapi yang menjadi beda adalah penerapannya atau
Implementasinya kepada santri-santrinya, yang mana hasil dari penerapan tersebut
menjadi ciri khas dari pondok pesantren Langitan.
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan proposal skripsi ini yang berjudul “Salat Lima Waktu Di Pondok
Pesantren Langitan Widang Tuban”, penulis perlu dalam hali ini membatasi ruang
lingkup pembahasan yakni menjelaskan pedoman kitab fathul qorib serta implementasi
dari isi kitab fathul qorib dalam membangun kebudayaan pondok pesantren Langitan.
1. Bagaimana keadaan pondok pesantren salaf di Langitan?
2. Bagaimana pelaksanaan salat lima waktu di Langitan?
3. Bagaimana pedoman salat lima waktu di pondok Pesantren Langitan?
C. Tujuan Penelitian
Selain apa yang telah dipaparkan didalam latar belakang diatas, penulis juga
1. Untuk mengetahui bagaimana keadaan pondok pesantren Langitan dari dahulu hingga
sekarang
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan salat lima waktu serta keunikan apa dipakai
dalam waktu melaksanakan salat lima waktu di Langitan.
3. Untuk mengetahui pedoman saja yang dipakai pondok pesantren Langitan dalam
salat lima waktu.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis.
Mengingat ruang lingkupnya, dalam penelitian ini akan memiliki kontribusi atau
kegunaan sebagai berikut ini:
1. Secara Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap ilmu
pengetahuan khususnya dibidang Sejarah dan Kebudayaan Islam.
2. Secara Praktis
Bagi penulis, menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang Salat
lima waktu di pondok pesantren langitan. Diharapkan dapat menjadi masukan dan
refrensi bagi pondok pesantren Langitan. Penulis sangat berharap memberikan
prespektif mikro sosial mengamati secara penuh efek tindakan sosial pelaku
meskipun dalam lingkungan makro.5
Memang khusus Pondok pesantren Langitan memiliki cara dan penerapan
tersendiri dalam menerapkan salat lima waktu yaitu melewati kajian kitab fathul
qorib dalam membentuk aturan-arturan hidup (Fiqih) yang dipraktekkan langsung
didalam kehidupan pondok pesantren Langitan, serta tradisi-tradisi kiai terdahulu
dalam menentukan waktu salat supaya menjadikan pedoman para santri untuk bekal
kehidupannya kelak inilah yang menjadi keunikan tersendiri yang tidak dimiliki
Pondok pesantren lainnya.
E. Pendekatan dan Kerangka Teori
Sesuai dengan judul skripsi yang penulis teliti “ Salat Lima Waktu Di Pondok
Pesantren Langitan Widang Tuban” Penulis tidak berangkat dari pemikiran sendiri akan
tetapi penulis mencoba menangkap fenomena-fenomena yang ada dengan menggunakan
pendekatan Fenomenologis. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau
sesuatu yang menampakkan. Kata “fenomena”, dalam bahasa Inggris, “phenomenon”
bentuk pluralnya “phenomena” dari kata Yunani”phainomenon” dari kata “to
phainesthai” yang berarti “to appear”, atau “phainein” yang berarti “to show”, dalam
kata Inggris. Secara istilah, fenomena merujuk pada fenomena fisik dan fenomena
mental. Fenomena fisik merupakan obyek persepsi sedangkan fenomena mental menjadi
obyek introspeksi.6
5Mudji Hendar, Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisisus, 2005), 74.
Maka dengan adanya pendekatan Fenomenologi akan diketahui
fenomena-fenomena yang terjadi didalam pondok pesantren mengenai kebiasaan dalam
melaksanakan salat lima waktu yang ada di pondok pesantren Langitan.
Sedangkan untuk teorinya penulis memakai teori Fenomenologi yang
dikemukakan oleh Edmund Husserl. Secara istilah, Fenomenologi adalah suatu aliran
yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang
menampakkan diri.7 Dengan tokoh Husserl dalam kaitanya dengan filsafat dan Weber,
gejala yang tampak merupakan representasi segala sesuatu yang ada didalam pikiran
para pelaku. Oleh karena itu, peneliti perlu juga memahami latar belakang pelaku, yaitu
dengan cara menafsirkannya (verstehen).8
F. Penelitian terdahulu
Dari hasil peninjauan penulis terhadap beberapa tulisan-tulisan yang ada, maka ada
beberapa tulisan penelitian yang hampir sama dalam bentuk tulisannya yaitu
diantaranya:
1. Naila Azizah, Kafa’ah dalam Prespektif Kiai Pondok Pesantren Langitan Kecamatanm Widang Kabupaten Tuban Propinsi Jawa Timur. Fakultas Adab
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya.
2. M. Shodiq, Perencanaan Strategi Usaha Koperasi Pondok Pesantren Langitan Kecamatan Widang Kabupaten Tuban Jawa Timur. Fakultas Adab Jurusan Sejarah
dan Peradaban Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya.
7 K.Bertens, Filsafat Barat Abad XX:Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia,1981),109.
3. M. Hanan Tantowi, Kitab Alala Dalam Pembangun Pondok Pesantren Salaf Dilangitan (Kajian Implementatif dan Kebudayaan). Fakultas Adab Jurusan Sejarah
dan Peradaban Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya.
4. Naila Azizah, Kafa’ah Dalam Prespektif Kyai Pondok Pesantren Langitan Kecamatan Widang Tuban Propinsi Jawa Timur. UIN Sunan Kali Jaga Surabaya.
5. Masyhudi, Keterikatan Pemikiran Terhadap Fiqih Diantara Madzab 4 Di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban. Fakultas Adab Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Dari beberapa penelitian mengenai Pondok Pesantren Langitan Tuban Jawa Timur
terdahulu yang disebutkan diatas, penulis menyimpulkan bahwa pembahasan
tentang Salat Lima Waktu Di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban , bahwa
belum pernah diteliti.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, secara Etimologis
metode kualitaif dari kata (qualitatif) berasal dari kualitas (Quality) berarti nilai.9 Juga
dengan menggunakan pendekatan deskriptif dan fenomenologis (yang berusaha mengerti
dan memahami kejadian/peristiwa dalam situasi tertentu yang Nampak).10 Guna
mengumpulkan data mengenai praktek salat lima waktu di pondok pesantren Langitan
Penulis memakai Metode Etnografi. Serta menggunakan ilmu bantu filologi, karena
filologi merupakan disiplin ilmu yang meneliti naskah, baik keberadaan fisiknya maupun
9 Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian, Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), 94.
kandungan isinya yang memberikan informasi tentang kebudayaan suatu masyarakat.11
Penulis memakai ilmu bantu filologi kaitannya dalam mengungkap isi teks Kitab Fath}ul
Qorib.
1. Survei
Survei adalah pengamatan mengenai Fenomena-fenomena yang terjadi di pondok
pesantren Langitan sesuai dengan judul (Salat Lima Waktu Di Pondok Pesantren
Langitan) yang disertai analisis mendalam. Survei dapat dilakukan dengan cara
mencari informasi dari Pelaku seni dan penonton seni. Tujuan salat Lima waktu di
pondok pesantren Langitan belum ada yang membahas maka dari itu meneliti dan
mengkaji melalui Kegiatan survei. Dalam pengamatan tersebut penulis mengunakan
sumber sebagai berikut:
a. Pengamatan
Pengamatan diperoleh dari mengamati secara langsung kegiatan keseharian
salat lima waktu di pondok pesantren Langitan dari waktu subuh pagi hari
hingga Isya malam harinya. Ini adalah sumber fakta dilapangan secara
langsung dengan pengamatan secara langsung, dan daftar pustaka.
b. Wawancara/ Interview
Pengamatan diambil dari, wawancara dengan orang – orang yang mengerti
tentang skripsi ini, pada bagian ini digunakan pengambilan data yang melalui
kegiatan komunikasi dalam bentuk terstruktur. yaitu data yang diperoleh
melalui wawancara dengan cara tanya jawab secara langsung guna
mendapatkan informasi dengan informan.12 Interview yang tersetruktur
merupakan bentuk interview yang sudah diarahkan oleh sejumlah pertanyaan
pendaftar yang ketat. Yaitu proses Tanya jawab dengan orang – orang yang
paham dan mengerti tentang waktu salat yang ada di pondok pesantren
Langitan. Yang berhubungan dengan skripsi ini.
c. Dokumen
yaitu kajian yang mana prioritas objeknya bersumber dari pengamatan, dan
kitab fath}ul qorib yang ada di pondok pesantren Langitan Tuban. Maka
dengan interaksi langsung dalam proses komunikasi data lapangan dengan
sendirinya menyediakan informasi yang jauh lebih kaya.13 Pengamatan
diambil dari dokumen (Sumber Data) dari buku/kitab, skripsi, tesis, internet
mengenai Waktu salat sumber data tertulis buku/kitab, skripsi, tesis, internet.
d. Observasi
yaitu merupakan salah satu teknik yang paling penting serta wajib dan
banyak dilakukan didalam penelitian, baik penelitian kualitatif maupun
kuantitatif, baik penelitian sosial maupun humaniora.14
2. Deskripsi
Menyajikan tulisan sesuai kenyataan yang ada penelitian lapangan. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variabel keadaan terjadi
saat penelitian yang berjalan dan menyuguhkan apa adanya. Penelitian deskriptif
kulitatif mengunakan metode fenomenologi yaitu yang tampak dan tidak tampak.
12 Mardalis, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 64.
13 Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian, Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), 189.
Dan deskripsi tulisan skripsi ini di fokuskan pada: (1) yang tampak pada waktu salat
yaitu unsur- unsur penentu waktu salat dimana sisi estetis yang di tampilkan
mengarah pada nilai-nilai agama (2) tidak tampak pada salat lima waktu yaitu pada
waktu pelaksanaannya serta kegiatan-kegiatan sebelum salat lima waktu
dilaksanakan.
3. Analisis
Informasi Analisa adalah bentuk penyajian penulis dalam bentuk data dari hasil
analisis penulis meliputi kegiatan pengumpulan data, penarikan kesimpulan dan
verifikasi terhadap data tersebut. Sehingga membentuk suatu kesimpulan yang mana
hasil dari kesimpulan tersebut akan diterangkan oleh penulis. Setiap kesimpulan yang
diterangkan penulis memuat semua isi dari Skripsi ini.
4. Interpretasi
Pada tahap ini penulis mencari hubungan data – data yang dikemukan, pengamatan
dan peran serta dalam penelitian kemudian ditafsirkan. Selain data yang diperoleh
dirangkai dan dihubungkan menjadi satu kesatuan harmonis dan masuk akal.
Dengan melakukan interpretasi di sutu pihak akan menghidup suatu objek penelitian
dan dilain pihak akan mengiring data – data pada tema topik yang lain. Selain itu,
sejarawan dan budayawan tetap ada di bawah bimbingan metodelogi sejarah dan
kebudayaan sehingga subyektivitas dapat dieleminasi metodologi mengharuskan
sejarawan mencantumkan sumber datanya. Hal ini yang dimaksutkan agar pembaca
mengecek kebenaran dan konsisten dengan interpretasinya.15
5. Historiografi
Historigrafi merupakan harapan akhir dari penelitian. Historiografi adalah
menyajikan hasil penafsiran atau interpestasi fakta sejarah dalam bentuk lisan dam
bentuk tulisan menjadi kisah. Adapun pola penyajian adalah sebagai berikut ini:
a) Informatif deskriptif yaitu penyajian tulisan yang sesuai dengan aslinya
sebagaimana dari sumber – sumber yang diteliti, seperti kutipan langsung
dari buku, skripsi, tesis, internet, melihat secara langsung pelaksannan waktu
salat di lapangan dan ucapan langsung dari wawancara.
b) Informatif interprestatif yaitu penyajian dengan menggunakan analisis untuk
memperoleh kesimpulan yang sebenarnya.16
Dalam penelitian skripsi ini penulis mengunakan metode fenomenologi yang bersifat
kualitatif, yaitu penelitian yang difokuskan pada gelaja- gejala yang tampak dan yang
tidak tampak yang ada pada saat melaksanakan salat lima waktu. Pada tahap ini
melakukan penafsiran analisis data yang diperoleh dari pengamatan dan wawancara
dengan orang terkait tentang prakteknya dalam salat lima waktu yang ada di Langitan.
H. Sistematika Pembahasan
Bab pertama yaitu Pendahuluan, didalam isi pendahuluan terdapat latar belakang
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, selanjutnya ada juga pendekatan dan
kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, sistematika pembahasan.
Bab kedua yaitu menerangkan sejarah dan perkembangan berdirinya pondok
pesantren langitan, penulis juga menjelaskan letak berdirinya keadaan pondok
pesantren Langitan.
Bab ketiga yaitu penulis menerangkan penentuan yang digunakan dalam
menentukan waktu salat lima waktu di pondok pesantren Langitan dalam hal ini
patokan khusus yang digunakan dalam melaksanakan salat serta kegiatan-kegiatan
yang wajib dilakukan santri saat menungu salat lima waktu dalam hal ini untuk
mengetahui fenomena yang terjadi.
Bab keempat yaitu penulis menjelaskan isi dari Kitab fath}ul qorib yang
membahas tentang keutamaan waktu salat dalam melaksanakan salat lima waktu, serta
tradisi kiai-kiai terdahulu yang ikut serta dalam melangkapi pelaksanaan salat lima
waktu di pondok pesantren Langitan serta pelarangan rokok dan dampaknya terhadap
jama’ah salat.
Bab kelima yaitu penutup bab ini menjelaskan kesimpulan dan saran-saran dari
Bab II
PONDOK PESANTREN SALAF DI LANGITAN TUBAN
A. Lokasi dan Letak Serta Asal mula nama Pondok Pesantren Langitan
Pondok pesantren Langitan adalah termasuk salah satu lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia. Berdirinya jauh sebelum Indonesia merdeka yaitu tepatnya pada
tahun 1852, di Dusun Mandungan, Desa Widang, Kecamatan Widang, Kabupaten
Tuban, Provinsi Jawa Timur. Komplek Pondok Pesantren Langitan terletak di utara
Bengawan Solo dan berada diatas areal tanah seluas kurang lebih 7 hektar serta pada
ketinggian kira-kira 7 meter diatas permukaan laut. Lokasi pondok berada sekitar 400
meter sebelah selatan kecamatan Widang, atau kurang lebih 30 kilometer arah selatan
Kota Tuban, yang sekaligus berbatasan dengan Desa Babat, Kecamatan Babat,
Kabupaten Lamongan dan hanya terpisah oleh jembatan yang melintas bengawan Solo.1
Lokasinya yang strategis, membuat Pondok Pesantren Langitan sangat mudah untuk
dijangkau dari berbagai macam alat transportasi baik bus, kereta api, atau sarana yang
lain.2 Adapun nama “Langitan” sendiri merupakan perubahan dari kata Plangitan,
perpaduan dua suku kata Plang (Jawa).
Berarti papan nama dan Wetan (Jawa) yang berarti timur. Memang di sekitar daerah
Widang dahulu, tatkala Pondok Pesantren Langitan ini didirikan pernah berdiri dua buah
plang atau papan nama, masing-masing terletak di timur dan barat.
1Tim Redaksi, “History Lantany”, dalam SAHEEBA,” Tanpa Penerbit (2010), 16.
2Adji Kurniawan “ Kabar Pesantren Langitan Tuban Jawa Timur” http://www.kabarpesantren.blogspot.com,. (14
Sejarah kebenaran nama Pondok Pesantren Langitan berasal dari kata Plangitan tersebut
dikuatkan oleh sebuah cap bertuliskan kata Plangitan dalam tulisan yang bertuliskan
huruf Arab dan berbahasa melayu yang tertera dalam kitab “Fathul Mu’in” yang selesai
ditulis oleh KH. Ahmad Sholeh (salah satu pengasuh Pondok Pesantren Langitan
Periode kedua) pada hari Selasa 29 Robiul Akhir 1297 Hijriyah.
B. Sejarah dan perkembangan pondok pesantren Langitan di Widang Tuban
Lembaga pendidikan Islam berbasis pesantren salaf yang sekarang ini dihuni sekitar
kurang lebih 5500 santri putra dan putri yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia,
maupun dari negara asing yaitu sebagian dari Malaysia dan Kamboja, dahulunya KH.
Muhammad Nur membabat alas Widang dan mendirikan sebuah Surau atau Mushollah
kecil sebagai tempat Ibadah dan menyebarkan agama Islam, KH. Muhammad Nur
mengajarkan ilmunya serta menggembleng keluarga dan tetangga sekitar guna
meneruskan perjuangan dalam mengusir penjajah Belanda dari tanah jawa. KH.
Muhammad Nur sendiri sebagai pendiri awal Pesantren, telah mengasuh pondok ini
kira-kira selama 18 tahun (1852-1870M). Kepengasuhan pondok pesantren selanjutnya
dipegang oleh putranya KH. Ahmad Sholeh, dalam kepengasuhan KH. Ahmad Sholeh
atau lebih dikenal mbah Sholeh belum terstruktur sebagai mana layaknya tempat
pendidikan sebuah pondok pesantren, setelah kira-kira 32 tahun mengasuh pondok
pesantren Langitan (1870-1902M) setelah beliau wafat kepengasuhan selanjutnya
dilanjutkan oleh putra menantu KH. Muhammad Khozin. Beliau sendiri mengasuh
pondok ini selama kurang lebih 19 tahun (1902-1921M). sepeninggal beliau mata rantai
kepengasuhan selanjutnya dilanjutkan oleh KH. Abdul Hadi Zahid selama kurang lebih
Beliau yaitu KH. Ahamad Marzuqi Zahid dan keponakan beliau KH. Abdulloh Faqih
tahun (1971-2000M). Berikut sejarah Pondok pesantren Langitan secara lengkap dan
kami paparkan sejak awal perintisan hingga perkembangannya:
1. Masa awal berdirinya Pondok pesantren Langitan tahun (1852-1870)
Pondok pesantren Langitan ini termasuk ke dalam pondok pesantren tertua di Indonesia,
pondok ini menyelenggarakan sistem pembelajaran dengan pendekatan tradisional, maka
pondok ini disebut pondok Salafiyah sebagaimana telah berlangsung sejak awal
pertumbuhannya.3
Dulu Pondok Pesantren langitan masih berupa surau kecil yang di asuh dan didirikan
oleh K.H. Muhammad Nur Jauh sebelum Negara Indonesia merdeka lebih tepatnya
sekitar tahun 1852 M Tepatnya didesa Mandungan, kecamatan Widang, Kabupaten
Tuban.4
Dahulu pondok pesantren ini masih berupa Musholah kecil/Surau yang dibangun oleh
K.H.Muhammad Nur. Lalu beliau mengajarkan ilmunya kepada keluarga dan tetangga
dekat beliau untuk meneruskan perjuangan melawan serta mengusir penjajah dari tanah
jawa. Beliau adalah pendiri pertama sekaligus pengasuh pondok pesantren, beliau
mengasuh pondok pesentren kurang lebih 18tahun yaitu antara tahun (1852-1870).
Setelah kepengasuhan K.H.Mummad Nur lalu dilanjutkan oleh K.H.Muhammad Sholeh.
2. Masa Perkembangan Pondok pesantren Langitan tahun (1870-1921).
Di masa kepemimpinan K.H.Muhammad Sholeh pondok pesantren mengalami
peningkatan yang sangat pesat, akan tetapi meskipun dengan peralatan yang sangat
minim K.H.Muhammad Sholeh mulai membangun perbaikan Langgar/Musholah dan
pembangunan fisik pondok pesantren. Perkembangan juga terasa di dalam segi kuantitas
maupun kualitas. Beliau mengasuh pesantren selama kurang lebih 20 tahun, kemudian ia
wafat pada tahun 1921 M. Bukti perkembangan yang dilakukan oleh Beliau, Maka
memunculkan nama-nama besar Ulama seperti K.H.Muhammad Kholil
(Bangkalan-Madura), K.H.Wahab Hasbulloh (Jombang), K.H.Zainudin (Mojosari-Nganjuk), K.H.
Umar Dahlan (Pesantren Sarang-Lasem), K.H. Wahab Hasbulloh (Tambak
Beras-Jombang), K.H. Muhammad Shidiq (Jember).5
K.H. Ammad Sholeh mengasuh kurang 32 tahun antara (1870-1902).beliau wafat 1320
H, bertepatan dengan tahun 1902 M. Setelah itu masa kepemimpianan diserah oleh
menantu beliau yang bernama K.H. Ahamad Khozin, dahulu bangunan
Langgar/Musholah Langitan terletak ditepi sungai bengawan solo, lalu Langgar tersebut
dipindahkan ke arah Utara tanggul bengawan Solo akibat bencana banjir.6 Di masa
kepemimpinan K.H. Ahmad Khozin banyak sekali perubahan fisik pondok pesantren
diantaranya dibangunnya 4 bangunan yaitu pondok kidul yang sekarang disebut pondok
Al Ghozali, pondok Lor yang terkenal dengan nama Al Maliki, pondok Kulon saat ini
dikenal dengan nama pondok As Syafi’i dan Pondok Wetan yang juga dikenal dengan
sebutan pondok Al Hanafiyah.
5 Tim BPS Pondok Pesantren Langitan, Buku Penuntun Santri (Tuban: Majlis Idaroh Ammah Putra Pondok
Pesantren Langitan, 2015), 44.
6Masyhudi, “Manuskrip “Nazham Nashi Hun” Abad XIX Koleksi Kiai Haji Ahmad Shalih dari
3. Masa pembaharuan pondok pesantren Langitan (1921-Sekarang)
Kepengasuhan akhirnya diserahkan kepada K.H. Abdul Hadi Zahid beliau adalah
menantu K.H. Khozin. Dimasa kepemimpinan beliau, pondok pesantren Langitan
mengalami banyak sekali perubahan diantara perubahan di dalam segi pendidikan
beserta segi fisik banguna pesantren. Didalam pendidikan kegiatan rutinitas yang
dilakukan berupa pengajian kitab dengan sistem Sorogan maupun sistem Weton dalam
hal ini masih dilestarikan dan dikembangkan. Serta dikembangkan metode Klasikal yang
dahulu belum dikenal, dengan cara mendirikan madrasah Ibtida’iyah dan madrasah
Mu’allimin serta kegiatan ekstra kulikuler seperti Babtsul Masa’il Lil Waqi’yah,
Jam’iyatul Muballighin, Jam’iyatul Qurro’ Wal Huffadz dan lain-lain. Juga perbaikan
dan penambahan bangunan pondok pesantren diantaranya perbaikan Mushollah,
penambahan kamar mandi, serta perbaikan perpustakaan. Saat ini terselenggaranya
tingkatan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah Al Falahiyah.
Pondok pesantren Langitan terus mengalami perubahan cukup pesat hingga mencapai
tahap maksimal selain menjadi salah satu pondok pesantren terbesar di Jawa Timur,
pondok pesantren Langitan juga dikenal memiliki kualitas pendidikan berbasis
Internasional. Perubahan-perubahan tersebut juga nampak dengan dibangunnya
bangunan-bangunan baru seperti BUMP (Badan Usaha Milik Pondok) berupa Toko
Induk, Toko Pondok, Wartel An-Nur, madrasah al-Mujibiyah, madrasah Al-Roudhoh,
pusat pelatihan computer, TPQ, jurnalistik, dan Kantor Kesan yang membawahi majalah
Kaki langit dan produksi air minum, dan minimarket Smesco.7
Di dalam bidang pendidikan Pondok pesantren Langitan memakai dua Sistem dalam
pengajaran diantaranya yaitu:8
a) Sistem Klasikal (Madrasiyah)
Sistem pendidikan Klasikal (Madrasiyah) adalah sebuah model proses pembelajaran
yang dilaksanakan secara Formalistik. Orientasi pendidikan dan pengajaranya
terumuskan secara teratur dan sesuai Prosedur/ Prosedural, baik meliputi masa,
kurikulum, tingkatan, dan kegiatan-kegiatannya.
Pengertian Madrasiyah dalam hal ini adalah madrasah diniyah (yaitu sistem
pembelajaran yang mana tetap mempertahankan ilmu-ilmu agama dan bahasa
Arab)9 kurikulum yang diajarkan berpatokan kepada kitab-kitab tertentu dalam
cabang ilmu tertentu. Kitab-kitab yang ada dipondok pesantren biasanya terkenal
dengan sebutan kitab kuning.
Di pondok pesantren Langitan pendidikan madrasiyah berdiri 3 lembaga yaitu
diantaranya:
1) Lembaga pendidikan Madrasah Al-Falahiyah lembaga ini berada di
pondok putra dan berdiri tahun 1949 didirikan oleh KH. Abdul Hadi
Zahid. Awalnya lembaga pendidikan ini memulai jenjang pendidikannya
terdiri dari dua tingkatan, yaitu tingkatan Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan
Madrasah Tsanawiyah (MTs). Lalu setelah kepemimpinan KH. Abdullah
Faqih berdiri tingkatan PAUD, RA/TPQ, Madrasah Aliyah (MA), dan
Thassus.
8 Ibid., 34-37.
2) Lembaga pendidikan Madrasah Al-Mujibiyah didirikan oleh KH.
Abdullah Faqih yaitu pada tahun 1976, lembaga ini terletak di pondok
putri bagian barat terdiri atas beberapa tingkatan MI, MTs, MA, dan
Thassus masing-masing tiga tingkatan ini selama 3 tahun. Selain itu juga
berdiri tingkat PAUD yang baru saja didirikan tahun 2009.
3) Lembaga pendidikan Madrasah Al-Roudhoh didirikan oleh KH. Ahmad
Marzuki yaitu pada tahun 1982, lembaga ini terletak di pondok putri
bagian timur.
Tiga lembaga diatas satu sama lain memiliki kesamaan dan keserupaan hampir dalam
semua aspek termasuk juga kurikulumnya, karena ketiganya berada dibawah satu atap
yaitu pondok pesantren Langitan. Serta sebagai penunjang dan pelengkap kegiatan yang
berada di madrasah dan bersifat mengikat kepada semua peserta didik sebagai wahana
mempercepat proses pemahaman terhadap disiplin ilmu yang diajarkan, dipondok
pesantren Langitan juga diberlakukan ekstra kulikuler yang meliputi:
a. Musyawaroh atau Munadzoroh (diskusi)
Kegiatan Musyawaroh berlangsung setiap malam mengecualikan malam Rabu dan
malam Jumat. Metode ini dimaksudkan sebagai media bagi peserta didik untuk
menelaah, memahami dan mendalami suatu topik atau masalah yang terdapat dalam
masing-masing kitab kuning. Musyawaroh merupakan metode pembelajaran yang
lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan
atau mungkin juga santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan
yang telah ditentukan sebelumnya.10
b. Muhafadhoh (hafalan)
Metode muhafadhoh atau hafalan adalah sebuah sistem yang sangat identik
dengan pendidikan tradisional termasuk pondok pesantren. Kegiatan ini juga bersifat
mengikat kepada setiap peserta didik dan diadakan setiap malam selasa. Adapun
standard kitab yang dijadikan obyek hafalan (muhafadhoh) menurut tingkatannya
masing-masing adalah Alala, Ro’sun Sirah, Aqidah ,al-awam, Hidayah al-shibyan,
Tashrif al Istilahi dan Lughowi, Qowa’id al I’lal, Matan al-jurumiyah, Tuhfah
al-athfal, Arba’in al-nawawi,‘Imrithi, Maqshud, Idah al-farid, Alfiyah Ibnu
Malik,Jawahir al-maknun, Sulam al-munawaroq dan Qowaid al-fiqhiyah.
Dari tahun ke tahun dalam perkembangannya pondok pesantren Langitan mendirikan
TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran) dan Madin (Madrasah Diniyah) yang sampai saat ini
telah mempunyai beberapa cabang. Pondok Pesantren Langitan akan terus melakukan
upaya perbaikan dan pembaharuan-pembaharuan khususnya dalam bidang pendidikan
dan manajemen dengan berpegang teguh pada kaidah “al-Muhafadzotul Alal Qodimis
Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah” yaitu memelihara budaya-budaya klasik yang
baik dan mengambil budaya-budaya baru yang lebih baik.11
10 Ibid.,43.
Istilah memelihara hal-hal lama yang baik (al-muhafadzoh ‘ala alqodim al-saleh) adalah
refleksi dari tradisi, sedang istilah mengambil halhal baru yang lebih baik (al-akhdu bi
al-jadid al-aslah) adalah refleksi dari penerimaan modernisasi.12
b) Sistem Non klasikal (Ma’hadiyah)
Pendidikan non klasikal dalam pondok pesantren Langitan ini menggunakan Metode
Weton atau Bandongan adalah Metode pengajian di mana sekelompok santri
mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan
seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid
memperhatikan bukunya masing-masing dan membuat catatan tentang kata-kata
atau buah pikiran yang sulit.13
Selain Metode Weton atau Bandongan, pondok pesantren Langitan juga memakai
sistem Sorogan adalah berlaku sebaliknya yaitu santri atau murid membaca
sedangkan kiai atau Ustadz mendengar sambil memberikan pembetulan-pembetulan,
komentar, atau bimbingan yang diperlukan.
Oleh karena itu kedua metode ini sama-sama memiliki nilai yang penting dan
memiliki ciri penekanan pada pemahaman sebuah disiplin ilmu, keduanya juga saling
melengkapi. Namun, sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama
bagi seorang murid yang bercitacita menjadi seorang alim, karena sistem ini seorang
guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang
murid dalam menguasai bahasa Arab.14
12 Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta:Erlangga,
tanpa tahun), 74.
Dalam pelaksanaanya sistem non klasikal (Ma’hadiyah) ini dibagi menjadi dua
kelompok:
1) Kelompok Umum, yaitu program pendidikan non klasikal yang dilaksanakan
setiap hari (selain hari Selasa dan Jumat). Adapun waktunya beragam
menyesuaikan kegiatan di madrasah. Pendidikan ini diasuh oleh Majelis
Masyayikh, asatidz dan santri senior.
2) Kelompok Takhassus, yaitu program pendidikan khusus yang diproritaskan bagi
santri pasca Aliyah dan santri-santri lain yang dianggap telah memiliki
penguasaan ilmu-ilmu dasar seperti Nahwu, Shorof, Aqidah, Syariah. Program
ini lebih populer disebut Musyawirin, diasuh langsung oleh Majlis Masyayikh.
Majelis Masyayikh dipimpin oleh para Kiai:
a) KH. Abdullah Munif Marzuqi
b) KH. Ubaidillah Faqih
c) KH. Muhammad Ali Marzuqi
d) KH. Muhammad Faqih
e) KH. Abdullah Habib Faqih
f) KH. Abdurahman Faqih
Perjalanan pondok pesantren Langitan dari masa ke masa selanjutnya senantiasa
menunjukan grafik peningkatan yang dinamis dan signifikan, meski perkembangannya
terjadi secara gradual dan kondisional. Bermula dari K.H. Muhammad Nur yang
merupakan sebuah fase printisan, lalu diteruskan masa K.H. Ahmad Sholeh dan K.H.
Muhammad Khozin yang dapat dikategorikan priode perkembangan. Kemudian
K.H. Abdulloh Faqih yang tidak lain adalah fase pembaharuan. Yang kemudian
putra-putra beliau yang mengasuh pondok pesantren Langitan yang semakin terdepan. Dengan
berpegang teguh pada kaidah “Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil
Jadidil Ashlah” (Mempertahankan budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil
budaya-budaya yang baru yang konstruktif), pondok pesantren Langitan dalam
perjalanannya senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dan kontektualisasi dalam
merekonstruksi bangunan-bangunan sosio-kultural, khususnya dalam hal pendidikan dan
manajemen.
Sarana dan Prasarana pondok pesantren Langitan Tuntutan bagi sebuah pencapaian Ilmu
sangatlah erat kaitannya dengan tersedianya sarana dan prasarana yang representatif.
Dalam hal ini upaya pihak pondok pesantren Langitan dengan melakukan penataan,
pelestarian, dan pengembangan dalam bidang sarana dan prasarana.
Adapun fasilitas atau sarana yang telah disediakan oeh pondok pesantren Langitan yaitu
antara lain:
a) Tempat tinggal/ asarama
b) Tempat Ibadah
c) Gedung tempat belajar mengajar
d) Kantin
e) Pusat perawatan (POSKESTREN)
f) Gedung perpustakaan
g) Laboratorium Bahasa dan Komputer
h) Laboratorium Sains
j) Gedung Pelatihan dan Keterampilan
k) Lapangan olah raga
l) Simpusan (Simpanan untuk santri)
C. Pengertian Salaf di Pondok Pesantren Langitan
Tradisi pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam Tradisional di Jawa
dan Madura. Sebuah pesantren harus memiliki lima elemen, elemen tersebut adalah
adanya pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kiai. pesantren pada
dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana siswanya tinggal
bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal
dengan sebutan “Kiai” Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan
komplek pesantren di mana kiai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah
masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
lain. Tidak beda jauh dengan pondok yang lain di pondok pesantren langitan sudah
disinggung sebelumnya yaitu tetap selalu mengedepankan ajaran Tradisional dengan
berpegang teguh pada kaidah “Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil
Jadidil Ashlah” dengan tetap berpegang teguh mempertahankan budaya-budaya yang
klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif, jadi pondok
teknologi.15 Sisi tradisionalnya adalah sistem pembelajaran secara Salaf. Pengertian
Salaf secara Etimologi adalah apa yang telah berlalu atau mendahului, yaitu terdiri dari
“Salafa asy-syaiu, Salafan” yang memiliki arti Madha (Berlalu). Menurut Zamakhsyari
Dhofier, pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pelajarannya
dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum.16
Akan tetapi dewasa ini, kalangan pesantren termasuk pesantren salaf mulai menerapkan
sistem atau model klasikal. Di mana kurikulum dan materi pelajaran dari kitab-kitab
kuning, dilengkapi pelatihan ketrampilan seperti menjahit, mengetik dan bertukang.
Sekarang, meskipun kebayakan pesantren telah memasukkan pengajaran pengetahuan
umum sebagai suatu bagian penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran
kitab-kitab Islam klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama
pesantren mendidik calon-calon ulama, yang setia kepada faham Islam Tradisional.17
Di pondok pesantren Langitan tetap memegang prinsipnya untuk mengikuti
ulama-ulama terdahulu, mulai dari semua mata pelajaran disini semua mengikuti ulama-ulama-ulama-ulama
terdahulu. Serta tidak ada kurikulum didalam pondok pesantren dalam semua
pelajarannya, di pondok pesantren Langitan tetap berusaha pada prinsip ajaran
ulama-ulama terdahulu. Maka prinsipnya siapa yang ingin menuntut ilmu, mencari Akhirat
maka Allah SWT menjamin orang yang menuntut ilmu tersebut dan Allah tidak
mentelantarkannya didunia maupun diakhirat kelak.18
Metode Pengajaran Pendidikan Pesantren di pondok pesantren Langitan Secara garis
besar metode pengajaran yang dilaksanakan di pondok pesantren Langitan masih
15 Tim BPS Pondok Pesantren Langitan, Buku Penuntun Santri, 33.
16Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), 18.
17Ibid., 50.
bersifat tradisional, sedangkan metode-metode baru seringkali kurang mendapatkan
simpati bahkan kadang-kadang diragukan oleh kalangan pesantren. Adapun metode
pengajaran tradisional yang tetap dipegang teguh tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sorogan
Istilah Sorogan berasal dari kata “Sorog” (Jawa) yang berarti menyodorkan kitab
kepada kiai.19 Yaitu suatu sistem belajar secara individual dimana seorang santri
berhadapan langsung dengan seorang guru (kiai/guru menghadapi satu persatu,
secara bergantian). Biasanya kiai memberikannya dalam pengajian kepada
murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-Qur’an.20
2. Bandongan
Sistem bandungan ini sering disebut dengan halaqah, dimana sang kyai membaca,
menerjemahkan, menerangkan dan mengulas kitab-kitab salaf, sedangkan para santri
mendengarkan dan memperhatikan kitabnya sambil menulis arti dan
keterangan-keterangannya. Dalam prakteknya santri membentuk suatu lingkaran ditengahnya
ada seorang kiai yang menerangkan suatu kitab.
3. Weton
Istilah Weton dari kata “wektu” (Jawa), karena pengajian tersebut dilakukan pada
waktu tertentu sebelum dan sesudah melaksanakan ibadah shalat. pengajian weton
tidak merupakan pengajian rutin harian, santri tidak harus membaca kitab karena
19 Sukamto, Kepemimpinan KIAI Dalam Pesantren,( Jakarta: LP3ES, 1999).144
seorang guru tidak hanya mengambil satu kitab saja, kadang guru memerik di
sana-sini saja.21
Meski dalam faktanya pondok pesantren Langitan saat ini memakai sistem kalsikal yaitu
metode pembelajaran dengan sistem kelas22, tapi tetap pondok pesantren Langitan tidak
meninggalkan sisi Tradisional dalam pengajarannya terhadap santri-santrinya dan akan selalu
dilestarikan.
Pondok pesantren Langitan juga menganut Faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Secara umum,
perkataan ahlussunnah wal-jama’ah dapat diartikan “para pengikut Nabi Muhammad dan ijma’
ulama”.
Bab III
SALAT LIMA WAKTU DI PONDOK PESANTREN LANGITAN
A. Salat lima waktu di Pondok pesantren Langitan
Salat lima waktu hukumnya wajib didalam agama Islam, apalagi dikerjakan secara
berjama’ah. Berjama’ah artinya dilakukan bersama-sama dalam suatu majelis baik
dilakukan didalam masjid maupun didalam rumah. Akan tetapi dalam permasalahan ini
penulis akan menjabarkan kegiatan shalat lima waktu dipondok pesantren Langitan.
Sudah menjadi kebiasaan di pondok pesantren Langitan maupun pondok pesantren yang
lain selain langitan yang selalu melakukan kegiatan salat lima waktu berjam’nbah. Akan
tetapi yang menjadi keunikan kegiatan santri di pondok pesantren langitan khususnya
dalam salat berjama’ah adalah diharapkan efektifitas waktu menunggu jama’ah adalah
menjadi sebuah kewajiban, Santri juga diharapkan dapat membangun karakter serta
mental santri supaya lebih bersabar.
Diantaranya kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan santri untuk menunggu jama’ah
salat lima waktu adalah dengan menghafal dan membaca Al-Qur’an, membaca wiritan
serta doa-doa, maupun mengulang kembali pelajaran-pelajaran yang diajarkan dikelas
dengan cara musyawaroh, ada juga kitab-kitab yang sering dibaca oleh santri saat
menunggu salat lima waktu diantaranya kitab Alala, Ro’sun Sirah, Aqidah ,al-awam,
Hidayah al-shibyan, Tashrif al Istilahi dan Lughowi, Qowa’id al I’lal, Matan al
-jurumiyah, Tuhfah al-athfal, Arba’in al-nawawi,‘Imrithi, Maqshud, Idah al-farid,
Alfiyah Ibnu Malik,Jawahir al-maknun, Sulam al-munawaroq dan Qowaid al-fiqhiyah. 1
Seluruh kegiatan di pondok pesantren memakai patokan waktu Istiwa.
B. Waktu Istiwa’
Keunikan lain yang ada di pondok pesantren langitan adalah penentu waktu salat dan
berkegiatan lainnya, akan tetapi penulis tetap fokus mengkaji permasalahan waktu salat
di pondok pesantren Langitan. Salah satu keunikan tersebut yaitu, penggunaan Waktu
Istiwa (Wis)/ Patokan jam Matahari sebagai patokan waktu untuk melakukan kegiatan
sahari-hari di pondok pesantren. Pengertian Istiwa’ adalah suatu fenomena astronomis
saat posisi matahari melintas meridian langit. Dalam penentuan waktu salat, Istiwa
digunakan sebagai pertanda masuknya sholat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, maupun
Subuh. Jam Istiwa’ tepaut 20 menit antara waktu Indonesia.2Istiwa’ merupakan bentuk
masdar dari fi’il istawa – yastawi – istiwaan yang berarti lurus. Menurut Rohi Balbaki
dalam al-Maurid, istiwa’ secara etimologi yaitu straigtness, equality, atau equator.3
Pada zaman Rosululloh SAW waktu salat ditentukan berdasarkan observasi terhadap
gejala alam dengan melihat langsung matahari. Lalu berkembang dengan dibuatnya jam
surya atau jam Matahari serta jam Istiwa’ atau sering disebut tongkat Istiwa’ dengan
kaidah bayangan matahari.4 Tongkat tersebut memiliki nama istimewa di jawa dengan
sebutan bancet atau disebut juga sundial, pemasangan tongkat dilakukan di pelataran
masjid atau mushollah untuk digunakan sebagai penunjuk waktu salat berdasarkan
bayangan yang dihasilkan.
2 Ibid,14 Mei2016.
3 Equinox adalah titik potong antara equator langit dengan ekliptika. Matahari mencapai titik ini setiap tahun pada sekitar tanggal 21 Maret (disebut vernal equinox) dan 22 September (disebut autum equinox). Saat itu, siang dan malam akan tepat sama panjang. Lihat: Slamet Hambali, Ilmu Falak II (Perhitungan awal bulan dan gerhana) (Semarang: jes sarung, 2010),191.
Ada tiga kemungkinan arah bayangan benda yang berdiri tegak, diantaranya sebagai
berikut:
1. Pertama : arah bayangan berada di utara benda tersebut, yaitu ketika matahari
melintasi zenit, posisinya beada di belahan langit selatan, azimuth 180˚.
2. Kedua : arah bayangan berada di utara benda tersebut, yaitu ketika matahari
melintasi zenit, posisinya beada di belahan langit selatan, azimuth 0/360˚.
3. Ketiga : tidak ada bayangan sama sekali, yaitu ketika matahari melintasi zenit,
posisinya berada di atas zenit yakni posisi matahari berada pada sudut 90˚ diukur
dari ufuk.5
Di pondok pesantren Langitan juga dipasang alat yang sama dan diletakkan persis di
mushollah pondok. Penggunaan alat penentu waktu ini juga pernah digunakan oleh
bangsa mesir semenjak 3500 tahun sebelum masehi. Awal waktu sholat ditentukan oleh
posisi matahari dalam hal ini sudut waktu Matahari pada suatu saat. Sudut waktu
matahari (to) adalah penentu busur lingkaran perjalanan (semu) matahari, dihitung sejak
kulminasi atasnya sampai tempat kedudukan matahari pada suatu saat. Pada saat
matahari berkulminasi di posisi atas (tegah hari), sudut waktunya adalah = 0. Ketika
matahari turun bergeser ke barat pada waktu sore hari sudut waktu ini makin besar
sampai kulminasi bawah = 180 drajat (tengah malam) selanjutnya ketika matahari
berbalik keatas (bergeser ke timur lagi), sudut waktunya akan menjadi negatif sampai
titik kulminasi atas lagi.6 Akan tetapi setiap hari waktu Istiwa’ selalu berubah dan ithu
membuat waktu salat di pondok pesantren Langitan jadi tidak menentu. Serta perbedaan
5 Ahmad Fadoli, Hisab Waktu Salat, makalah disampaikan dalam lokakarya imsakiyah Ramadlan 1432 H, Bangka Belitung, 15 Juli 2011, https://liahabibahelfalaky.wordpress.com/artikel/mengetahui-waktu-Istiwa
waktu antara Istiwa’ dan waktu Zona Indonesia khususnya wilayah (WIB) waktu
Indonesia barat selisi 15 menit.7
Mengenai Waktu Istiwa’ berbeda dengan patatokan dengan waktu pada umumnya yang
telah di bagi menurut zona waktu diIndonesia, karena penentuan waktu sholat tersebut
meliputi awal dan akhir waktu salat yang diperhitungkan berdasarkan peredaran
matahari. Waktu inilah yang dikenal dengan waktu Istiwa’. Mengenai waktu Istiwa’
dipergunakan dengan melihat posisi matahari dalam wilayah garis edarnya, yang
berkulminasi dipergunakan sebagai titik awal dalam menentukan waktu sholat yaitu
pukul 12:00.8 Ketepatan waktu dalam mengetahui awal waktu salat ini sangatlah
berpengaruh kepada umat muslim dalam rangka mendapatkan keutamaan dalam
melaksanakan salat. 7 Ubed, wawancara, Langitan, 15 Mei 2016.
)ىئنسنلا( . ت قو ن يتا صلا ن يتنه ن يب نم : نق مث . َادغل ا ى لصف س ما نب عنصن ك عنصف ة بت شم ةيدنب وجّنلا و حب صا
Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata : bahwasanya malaikat Jibril datang kepada Nabi
SAW mengajarkan waktu-waktu shalat (wajib). Lalu Jibril maju dan Rasulullah SAW
berdiri di belakangnya, dan orang-orang berdiri di belakang Rasulullah SAW, lalu shalat
Dluhur ketika matahari telah tergelincir. Kemudian Jibril datang kepada Nabi ketika
bayangan seseorang sama panjangnya, lalu dia melakukan sebagaimana yang telah ia
lakukan, Jibril maju dan Rasulullah SAW berdiri di belakangnya dan orang-orang berdiri
di belakang Rasulullah SAW lalu shalat ‘Ashar. Kemudian Jibril datang lagi ketika
matahari terbenam, Jibril maju dan Rasulullah SAW berdiri di belakangnya dan
orang-orang berdiri di belakang Rasulullah SAW, lalu shalat Maghrib. Kemudian Jibril datang
lagi kepada beliau ketika telah hilang cahaya merah, Jibril maju dan Rasulullah SAW
berdiri di belakangnya dan orang-orang berdiri di belakang Rasulullah SAW, lalu shalat
‘Isyak. Kemudian Jibril datang lagi kepada beliau ketika terbit fajar, Jibril maju dan
Rasulullah SAW berdiri di belakangnya, dan orang-orang berdiri di belakang Rasulullah
SAW, lalu shalat Shubuh. Kemudian pada hari kedua Jibril datang lagi kepada beliau
ketika bayangan seseorang sama dengan panjangnya, lalu melakukan seperti yang telah
dilakukan kemarin, lalu shalat Dluhur. Kemudian Jibril datang lagi kepada beliau ketika
bayangan seseorang dua kali panjangnya, lalu melakukan sebagaimana yang telah
dilakukan kemarin, lalu shalat ‘Ashar. Kemudian Jibril datang lagi kepada beliau ketika
matahari terbenam, lalu melakukan sebagaimana yang dilakukan kemarin, lalu shalat
Maghrib. Kemudian kami tidur, lalu bangun, lalu tidur lagi, lalu bangun, kemudian Jibril
shalat ‘Isyak. Kemudian Jibril datang lagi kepada beliau ketika waktu fajar sudah lama
dan sudah pagi tetapi bintang-bintang masih tampak jelas, lalu melakukan sebagaimana
yang dilakukan kemarin, lalu shalat Shubuh. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Antara
dua waktu shalat inilah waktunya shalat-shalat fardlu”. (HR. Nasa’i).9
Disaat Istiwa’ mengerjakan salat baik wajib maupun sunnahnya adalah haram kecuali
ada sebab-sebab tertentu. Berdasarkan waktu Istiwa’ tersebut waktu salat dapat
diketahui dan ditentukan berdasarkan nash dan dalil yang telah ditetapkan.10 Inilah
waktu-waktu salat ditentukan sebagai berikut:
1. Waktu Duhur
Waktu Duhur juga disebut Istiwa (Z}awaal) ini terjadi ketika posisi matahari berada
di puncak titik tertinggi. Waktu ini terjadi ketika posisi matahari berada di sudut
waktu meridian yang mana pada saat itu menunjukan sudut waktu 0o dan waktu itu
menunjukan pukul 12 menurut waktu yang Hakiki. Disaat melawati garis meridian,
ada tiga kemungkinan azimuth matahari yaitu dihitung dari arah utara.
Pertama matahari diposisi azimuth matahari= 0o, yaitu ketika posisi matahari di
belahan langit sebelah utara. Kedua azimuth= 180o, ketika posisinya di belahan
langit selatan. Lalu yang Ketiga, azimuth tidak dapat ditentukan apabila ketika
posisi matahari benar-benar tepat diatas kepala atau ketinggiannya tepat di
90o.11Pada saat Istiwa, lalu mengerjakan shalat baik itu wajib maupun sunnah maka
hukumnya haram. Waktu Duhur tiba di saat setelah Istiwa’, yaitu ketika posisi
matahari telah condong ke arah Barat.
9 Imam Nasa’i, An-Nasai (juz 1), 255.
2. Waktu Ashar
Menurut mazhab Syafi’i, waktu salat ashar adalah ketika panjang bayangan sama
dengan tinggi benda. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, waktu salat Ashar adalah
ketika panjang sama dengan dua kali tinggi benda.12 Maka waktu ashar dimulai sejak
bayangan matahari sama dengan panjang bayangan tegaknya. Akan tetapi bila sudah
memiliki bayangan sepanjang benda tegaknya, maka waktu ashar dimulai sejak
bayangan matahari sama dengan dua kali panjang benda tegaknya. Jika pada saat
posisi matahari berkulminasi atas dan sudah mempunyai bayangan setengah
bayangan bendanya maka waktu ashar dimulai sejak panjang bayangan matahari satu
setengah dari bayangan bendanya.13
3. Waktu Maghrib
Yaitu, disaat waktu piringan matahari disebelah atas telah terbenam dimana
posisinya di ufuk barat. Ketika matahari terbenam diamana posisinya dibawah ufuk,
langit tidak langsung gelap. Karena hal ini terjadi ketika atmosfer bumi yang
membiaskan cahaya matahari. Piringan matahari berdiameter 32 menit busur,
setengahnya berarti 16 menit busur, selain itu di dekat horison juga terdapat refraksi
inkisar al-jawwi yang menyebabkan kedudukan matahari lebih tinggi dari kenyataan
sebenarnya yang diasumsikan 34 menit busur. Koreksi semidiameter (nishfu
al-Quthr) piringan matahari dan refraksi terhadap jarak zenit matahari saat matahari
terbit atau terbenam sebesar 50 menit busur.14
4. Waktu Isya’
12 http://rukyatulhilal.org/artikel/susiknan-awal-waktu-shalat-perspektif-syari-dan-sains.html(07 Juni 2016).
13 Ar, Mushlih dan Mansyur Ade, Belajar Ilmu Falak 1, (Cilacap: Ihya Media Pondok Pesantren Ihya ‘Ulumaddin, CV. Prima Puspasari Purwokerto, 2011), 93.
Dimana Kondisi matahari terletak pada posisi 0° sampai dengan posisi 6° dibawah
ufuk, lalu benda-benda yang berada di tempat terbuka masih jelas batas bentuknya
dan pada saat ini juga disebut dengan fenomena Civil Twilight. Dan pada saat posisi
matahari 6° sampai dengan posisi 12° maka semua benda mulai samar untuk dilihat,
fenomena ini disebut Naical Twilight. Pada saat posisi matahari berada di 12°
sampai dengan posisi 18° benda-benda sudah mulai tidak tampak bentuknya dan
bintang-bintang sudah tampak di langit-langit, hal ini disebut Fenomena
Astronomical Twilight.15
5. Waktu Subuh
Sedangkan waktu Subuh adalah sejak terbinyat fajar sidik sampai waktu terbit
matahari. Fajar sidik dalam falak ilmiy dipahami sebagai awal fenomena
astronomical twilight (fajar astronomi), cahaya ini mulai muncul yaitu di ufuk timur
menjelang terbit matahari. Pada saat matahari berada sekitar posisi 18° di bawah
ufuk (atau jarak zenith matahari=108°).16
Diantara kegiatan salat lima waktu di pondok pesantren Langitan, penulis akan sedikit
menjabarkan pembagian waktunya sebagai berkut:
a. Salat Duhur
Shalat Duhur di pondok pesantren Langitan dimulai pukul 12:56 Wis seluruh santri
diwajibkan menuju Musholah, di Musholah selain menunggu para jama’ah waktu
kosong sekitar jam 11:50-11:55 Wis digunakan para santri untuk menghafal maupun
15 Ar, Mushlih dan Mansyur Ade, Belajar Ilmu Falak 1, (Cilacap: Ihya Media Pondok Pesantren Ihya ‘Ulumaddin, CV. Prima Puspasari Purwokerto, 2011), 96.
mengulang mata pelajaran, serta membaca dan menghafal Al-Qur’an dan kitab
-kitab.17
b. Salat Ashar
Salat Ashar di pondok pesantren Langitan dimulai pukul 17:30 Wis, dalam
menunggu jama’ah para santri juga mempergunakannya untuk mandi, berwudhu,
dan membaca kitab-kitab, maupun menghafalnya, selain itu ada juga yang membaca
Al-Qur’an serta menghafalkannya. Sama seperti disaat waktu duhur para santri
memanfaatkan kekosongan waktu sebaik mungkin.
c. Salat Maghrib
Shalat Maghrib berjama’ah di pondok pesantren Langitan dimulai pukul 18:30 Wis.
Setelah salat maghrib para santri diwajibkan melakukan kegiatan pengajian
Al-Qur’an serta musyawarah kelompok di pondok sampai pukul 20:15 Wis.
d. Salat Isya’
Salat Isya’ di pondok pesantren Langitan dilaksanakan jam 20:30 Wis. Setelah
selesai pengajian Al-Qur’an dan Musyawarah kelompok. sambil menunggu jama’ah
para santri tetap gunakan waktu kosong tersebut untuk menghafal kitab-kitab serta
berdzikir wiritan-wiritan. Setelah itu baru mengerjakan salat Isya’.18
e. Salat Subuh
17 Nabawi, wawancara, Langitan, 15 Mei 2016.
Salat subuh dilangitan dilaksanakan pukul 04:30 Wis. Itu pun menunggu para santri
yang masih mandi ataupun masih berwudhu dan selama menunggu tidak lupa pula
para santri yang berada di musholah untuk membaca wiritan-wiritan, menghafal
kitab. Setelah shalat subuh para santri diwajibkan membaca doa fajar, serta
Bab IV
PEDOMAN SALAT LIMA WAKTU DI PONDOK PESANTREN LANGITAN
A. Kitab Fath}ul Qorib
1. Sejarah Singkat Kitab Fath}ul Qorib
Kitab Fath}ul Qorib adalah yang awalnya temponya dari sebuah kitab yang
berjudul “At Taqrib” dan tempo yang kedua kitab ini dengan nama “ Ghayatul
Ikhtishar”. Oleh karena itu kitab ini diberi judul “Fath}ul Qarib al Mujib”. Yaitu
sebuah karya yang mengomentari buah karya kitab yang berjudul “ Taqrib”. Kedua
kitab yang berjudul “ Al-Qaulul Mukhtar fi Syarhi Ghayatil Ikhtishar”. Kitab ini
pertama kali ditulis oleh Syaih Abu Thayyib, yang populer dengan sebutan Abi
Syuja’ beliau juga memiliki nama Ahmad Bin al-Husain Bin Ahmad al-Ashfihani.
Abu Syuja’ dikenal sebagai seorang Imam sekaligus ahli Ibadah yang shalih lagi
berilmu. Kebanyakan para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun kelahiran
dan wafatnya beliau. Salah seorang murid Abu Syuja’ yaitu Abu Thahir as-Ailafy
576 H, dalam kitabnya Mu’jam Safar menuliskan bahwa beliau pernah bertanya
kepada Abu Syuja’ sendiri mengenai tahun kelahiran beliau, Abu Syuja’
menanggapi pertanyaan dari Mu’jam Safar bahwa Abu Syuja’ lahir tahun 434 H di
Basrah, sedangkan ayah beliau lahir di Asfihan/Isfahan sebuah kota di Iran yang
terletak sekitar 340 km dari ibu kota Iran, Taheran.1 Sedangkan Imam Yaqut bin
Abdullah al-Hamawi dalam kitabnya yang berjudul Mu’jam Buldan tidak
menyebutkan tahun wafatnya beliau. Di pondok pesantren Langitan para Kiainya
juga memakai kitab ini sebagai pedomannya dalam melakukan ibadah baik itu salat
lima waktu, puasa, Dan lain-lain.
2. Teks Kitab Fath}ul Qorib
Adapun teks dari kitab Fath}ul Qorib ada 35 nadhom diantaranya:
ُُ َ َاَ ُ(ُهلَ َقُُىفُُ َ َكَ َ ُُ َيتخلاُُ تَقَ ُُىنَُثلاَ
3. Transliterasi Bahasa Arab dan Indonesia.
(
(Az{uhru) a s}ala>tuhu
Qo>la an-Nawawi summiyat bidha>likailannaha> z}ahiratun wasat}a annaha>ri (wa awalu waqtiha> jawa>lu) a mailu (Syamsi) an-wasat}i assamaa i’
labi>nnaz}iri linafsi lamri balmiayaz}harulana>.
َُسن يَا
Wayughraffu dza>lika mailu yatah}awwuli z}illi
ila>jihati ma>shri qiba‘da tana> hi’ qas}rihilladhi huwagha> yatu> rtifa> i‘syamsi.
(
(Wa> khiruhu) a’waqtiz}huhri (idha>sha> raz}illu kulli
sya’in mitslahu ba’da) a’ghairi (z}illi jawa>li). َُسن يَا
ُ لِ لاَ
Waz}illu lughatan assitru taqulu ana> fiz}illi fula> nin a’
sitrihi walaisa az}illu adama> shamsi kama> qad}yatawa
hamu bal amrun mawju d}u yakhluquhullohu ta‘a> la>
bad}a na wa ghairahu.
َُسن يَا
(Wal as}ru) a’s}ala> tuha> wasummiyat bidha>lika limu’