• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN POLITIK IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD(195-220 H/811-835 M)PADA MASA KHALIFAH AL-MA'MUN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "GERAKAN POLITIK IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD(195-220 H/811-835 M)PADA MASA KHALIFAH AL-MA'MUN."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

GERAKAN POLITIK IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD

(195-220 H/811-835M) PADA MASA KHALIFAH AL-

MA’MUN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Mempe roleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh :

Daris Manziyah Hardi Yanti A02211047

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

PERNYATAAN KEASLIAN

- j

rerlanda tangan di bawah ini saya :

\LM

Jurusan

Fakultas

: Daris Manziyah Hardi Yanti

: A02211047

: Seiarah dan Kebudayaan Islam

: Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya

Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa SKRIPSI

ini

secara

keseluruhan adalah hasil penelitian/karya sendiri, kecuali pada bagian-bagian

yang dirujuk sumbernya. Jika ternyata di kemudian hari skripsi ini terbukti bukan hasil karya saya sendiri, saya bersedia mendapatkan sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Surabaya, 28 Desember 201 5 Saya yang menyatakan

.,4

ry

Daris Manziyah Hardi Yanti

(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang ditulis oleh Daris Manziyah Hardi yanti

(hIIM: A022t1047)

Ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan

Surabaya, 28 Desember 201 5 Pembimbing:

(4)

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Skripsi ini terah diuji oreh tim penguji dan dinyatakan lulus

Pada tanggal 02 Februan 2016

MP. I 9520617198103 1002

Penguji

I

}.IIP. 19600212199003 1002

Ketua/Pembirnbin

Penguji

II

}\IIP. 195907171987}3rc01

977t221200501 1003

Mengetahui

MP. 196002121990a3rc02

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan (library research) yang berjudul “Gerakan

Politik Imam Muhammad bin Ali Jawad (195-220 H/811-835 M) pada masa Khalifah

al-Ma‟mun”. Adapun pokok-pokok permasalahannya adalah 1.Bagaimana latar belakang kehidupan

Imam Muhammad al-Jawad? 2. Bagaimana pandangan Imam Muhammad al-Jawad tentang konsep Imamah? 3. Bagaimana gerakan politik Imam Muhammad al-Jawad?

Untuk menjawab persoalan di atas penulis menggunakan pendekatan historis yaitu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Pendekatan politik dimaksudkan untuk menyoroti struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, pertentangan kekuasaan dan lain sebagainya. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif serta dengan teori kepemimpinan.

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 9

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 10

F. Penelitian Terdahulu ... 12

G. Metode Penelitian ... 14

H. Sistematika Bahasan ... 18

BAB II BIOGRAFI IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD A. Genealogi Imam Muhammad bin Ali al-Jawad ... 20

B. Kedermawanan Imam Muhammad bin Ali al-Jawad ... 27

(7)

BAB III PENGERTIAN IMAMAH, MENURUT SYI‟AH SERTA PANDANGAN

MASYARAKAT TERHADAP KEIMAMAHAN IMAM MUHAMMAD BIN ALI

AL-JAWAD

A. Pengertian Imamah ... 43

B. Konsep Imamah Menurut Syi‟ah ... 45

C. Pandangan Masyarakat Terhadap Keimamahan Imam Muhammad bin Ali

al-Jawad... 47

BAB IV GERAKAN POLITIK IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD

(195-220 H/811-835 M) PADA MASA KHALIFAH AL-MA‟MUN

A. Situasi Pemerintahan Khalifah al-Ma‟mun ... 62

B. Pemberontakan Alawiyyin di Masa Imam al-Jawad ... 66

C. Hadis-Hadis Imam al-Jawad ... 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah pahlawan-pahlawan Islam, pejuang-pejuang

kemerdekaan bangsa juga para tokoh-tokoh sejarah yang berjasa dalam

bidang ilmu, mengorbankan jiwa raganya untuk memberantas kemurkaan

& kenistaan. Betapapun gemilangnya riwayat tokoh-tokoh tersebut sedikit

sekali riwayat mereka dapat disamakan dengan riwayat Imam Muhammad

al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja‟far al-Shadiq bin

Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin Ibn al-Husain keturunan dari

Ali bin Abi Thalib dan ibundanya Fatimah puteri Nabi Muhammad SAW.

Imam Al-Jawad a.s. adalah keluarga dari Nabi Muhammad yang

selama 8 generasi telah melahirkan para ulama‟ terkemuka dan kelanjutan

dari silsilah Ahlul Bait yang suci. Dia dilahirkan di Madinah

Al-Munawwarah, pada hari Jum‟at tanggal 17 atau 15 Ramadhan tahun 195

H/811 M. Ibunya adalah seorang Umm al-Walad yang bernama Sabikah,

ada pula yang mengatakannya Durrah. Kemudian suaminya mengganti

nama Khaizaran karena berasal dari kota Naubah (Naubiyyah) dan

ayahnya bernama Imam Ali ar-Ridha a.s.1

Ahlul Bait a.s. adalah pemimpin-pemimpin oposisi, lambang

perjuangan politik, tempat berlindung pemimpin-pemimpin pergerakan,

1

(9)

2

tokoh-tokoh politik, serta tumpuan cita para pemikir dan rakyat banyak.

Para Imam Ahlul Bait a.s. mempunyai kedudukan yang luhur serta

terhormat dan tak tersaingi dalam hati umat. Mereka semua mencurahkan

rasa cinta dan penghormatan, kecuali mereka yang menakutkan lepasnya

kekuasaan, kedudukan politik dan sumber rezeki pribadinya.

Setiap orang dari Imam-Imam Ahlul Bait a.s. – sejak Ali bin Abi

Thalib hingga Imam terakhir dari rangkaian keturunan yang penuh berkah

ini melakukan perjuangan politik yang panjang dan perlawanan terhadap

penguasa yang ada. Mereka adalah pemegang kepemimpinan politik

oposisi yang penuh beban tanggung jawab, perbaikan dan pengarahan,

setelah para penguasa menyimpang dari khittah Islam yang asli dan

menindas segenap lapisan masyarakat, khususnya Ahlul Bait a.s. dan

pengikut-pengikut mereka.

Para penguasa di setiap masa menganggap para Imam Ahlul Bait

sebagai sumber gerakan politik dan simbol perlawanan, tempat berlindung

para oposan. Oleh karena itu, tak seorang pun dari Imam-Imam Ahlul Bait

a.s. yang selamat dari pengejaran, perlakuan buruk, kesulitan dan incaran

pengawasan mata-mata, pemenjaraan atau pembunuhan.

Imam Al-Jawad lahir pada periode yang sarat dengan peristiwa

politik dalam keadaan kacau dan silih bergantinya kekuasaan kekhalifahan

antara al-Amin dan al-Ma‟mun, 2 putera Harun ar-Rasyid. Tahun

(10)

3

Khalifah dan saudaranya al-Amin dima‟zulkan. Tapi tetap memegang

sebagian dari kekuasaan tertentu.2

Kondisi kehidupan yang tidak kondusif memaksa Imam ar-Ridha

a.s. untuk pindah dari Madinah ke Khurasan dan meninggalkan anak

bungsunya. Imam ar-Ridha a.s. sangatlah mengetahui tentang rencana

jahat yang akan dilakukan oleh raja yang berkuasa, dan Imam ar-Ridha a.s.

mengetahui bahwa dia tidak akan kembali ke Madinah untuk

selama-lamanya. Jadi sebelum keberangkatannya dia mengangkat anaknya Imam

al-Jawad a.s. sebagai penggantinya.

Imam Ali ar-Ridha a.s. diracun pada tanggal 17 safar 203 H dan

bersamaan dengan itu, Allah mengangkat Imam al-Jawad a.s. bertanggung

jawab pada posisi Imamah. Pada umur yang masih sangat muda, 8 tahun

tidaklah terlihat bahwa Imam al-Jawad yang masih muda tersebut

memiliki ketinggian ilmu dan pengetahuan. Tetapi setelah beberapa hari

berlalu, Imam al-Jawad tidak hanya sering menang berdebat dengan

ulama‟-ulama‟ tentang fiqih, hadis, tafsir dan sebagainya. Tetapi juga

meraih respect dan penghargaan mereka dalam kemampuannya. Sejak saat

itulah dunia menyadari bahwa Imam al-Jawad memiliki ilmu pengetahuan

yang sangat luas dan ilmu tersebut bukanlah dipelajari dan didapat. Tetapi

merupakan pemberian dari Allah SWT.

Umur Imam Muhammad al-Jawad a.s. lebih pendek dari umur

ayahnya, maupun putera-puteranya. Dia diangkat menjadi Imam pada

2 Sirhan Ibn Sa‟id Azkawi,

Kitab Kasy al-Ghummah ‘An Hayat al-A’immah Jilid III (Kairo:

(11)

4

umur 8 tahun, kemudian ia diracun pada umur 25 tahun. Tetapi

karya-karyanya sangatlah banyak dan ketinggian ilmunya diakui oleh orang

banyak. Imam al-Jawad a.s. mewakili sifat ramah & santun Nabi

Muhammad SAW dan kelihaian dari Imam ar-Ridha a.s. Warisan

kehidupannya antara lain kejujuran, keramahan, kesantunan, ketegasan,

pemaaf dan toleransi. Dalam dirinya yang sangat bersinar adalah

karakternya yang selalu menunjukkan keramahan kepada siapapun tanpa

kecuali membantu yang membutuhkan, menjaga keadilan dalam situasi

apapun, hidup sederhana, menolong yatim piatu, fakir miskin dan tuna

wisma, mengajarkan kepada yang tertarik untuk belajar dan membimbing

rakyat ke jalan yang benar.

Al-Ma‟mun, raja Abbasiyah menyadari bahwa untuk kesuksesan

kerajaannya, dia harus memenangkan simpati rakyat Baghdad yang selalu

bersahabat terhadap Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW. Akibatnya

al-Ma‟mun terpaksa, dari segi politik, untuk berhubungan dengan anggota

dari Bani Fatimah dengan mengorbankan ikatan keluarganya dengan Bani

Abbas untuk meraih simpati kaum Syi‟ah. Dia mengumumkan bahwa

Imam ar-Ridha a.s. sebagai pewarisnya, walaupun tanpa persetujuan Imam

ar-Ridha a.s. dan al-Ma‟mun menikahkan Imam ar-Ridha dengan Ummu

Habibah.

Al-Ma‟mun berharap bahwa Imam ar-Ridha a.s. akan memberikan

bantuan dalam urusan politik resmi. Tetapi dia menyadari bahwa Imam

(12)

5

kebanyakan semakin dekat kepada Imam ar-Ridha a.s. karena ketinggian

ilmunya, dia meracuni Imam ar-Ridha a.s.

Demi kepentingan politik, al-Ma‟mun sebagai penguasa Bani

Abbas pada masa itu mengundang Imam al-Jawad yang berada di Madinah

untuk datang ke pusat pemerintahannya di Baghdad. Kemudian

al-Ma‟mun berniat untuk menikahkan puterinya yang bernama Ummu Fadhl

dengan Imam al-Jawad a.s yang masih sangat muda belia. Niatnya itu

diketahui oleh keluarga dari Bani Abbas dan mereka semua tidak

menyetujui bahkan menantangnya. Karenanya, al-Ma‟mun mengadakan

rapat keluarga dan memaparkan sebab niatnya itu yang dianggap akan

melanggengkan kekhalifahan Bani Abbas dengan mempersatukan darah

dagingnya dengan Ahlul Bait, serta meyakinkan semua bahwa al-Jawad

adalah sosok yang paling alim dan akan mempunyai pengaruh sangat kuat

atas masyarakat, karena berdasarkan investigasi, dia sudah mengetahui

bahwa al-Jawad adalah Imam pengganti ayahnya, walaupun usianya masih

di bawah umur. Imam Jawad pun datang ke Baghdad dan al-Ma‟mun

sudah mengundang para ulama‟ dan hakim-hakim paling alim untuk

menguji keilmuan Imam al-Jawad. Dalam acara perdebatan dengan Imam

al-Jawad a.s, al-Ma‟mun mempersiapkan acara ini dan mengumumkannya

secara besar-besaran. Selain untuk kalangan kerajaan dan pejabat, telah

disediakan sekitar 900 kursi untuk para ulama‟.3

Dunia terpana ketika

seorang kecil dihadapkan untuk berdebat dengan para ulama‟-ulama‟

3

(13)

6

veteran di Baghdad. Imam al-Jawad duduk di samping al-Ma‟mun

berhadap-hadapan dengan Yahya bin Aktsam, yang kemudian bertanya,

”Apakah kau izinkan aku untuk bertanya?”

“Tanyalah apa saja yang engkau mau” Jawab Imam al-Jawad a.s.

Kemudian sesi ini dilanjutkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

kepada Imam al-Jawad a.s. yang dijawab dengan sangat baik oleh Imam

al-Jawad a.s. Pada akhirnya Imam al-Jawad a.s. bertanya balik kepada

Yahya bin Aktsam. Namun dia tidak bisa menjawab kemudian al-Ma‟mun

berkata, “Tidakkah aku sudah mengatakan bahwa Imam al-Jawad datang

dari keluarga yang telah dipilih oleh Allah sebagai tempat penyimpanan

ilmu pengetahuan? Apakah ada satu orang di dunia ini yang bahkan

mampu untuk menyaingi seorang anak kecil dari keluarga ini?” Lalu

semuanya menjawab, ”Tidak diragukan lagi bahwa tidak ada yang

menyamai Muhammad bin Ali al-Jawad”. Akhirnya, sesuai permintaan

al-Ma‟mun berlangsunglah perayaan akad nikah Imam al-Jawad dengan

Ummu Fadhl, puteri al-Ma‟mun di Majelis itu juga. Satu tahun setelah

pernikahannya, Imam al-Jawad a.s. memutuskan untuk kembali ke

Madinah dengan istrinya. Namun harapan al-Ma‟mun dari pernikahan itu

gagal karena ternyata puterinya mandul dan sampai 15 tahun pernikahan

(14)

7

pelayan Mu‟minah asal Maroko yang bernama Sumanah dan mendapat

kemuliaan besar dengan menjadi Ibu Imam Ali al-Hadi.4

Al-Ma‟mun meninggal dunia di tahun 218 H, dan kemudian

digantikan oleh saudaranya yang bernama al-Mu‟tashim. Ia menunjukkan

sifat kebencian kepada Ahlul Bait, seperti juga para pendahulunya.

Penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan terjadi lagi, hingga

pemberontakan terjadi dimana-mana dan semua mempergunakan atas

nama “Ahlul Bait Rasullulah SAW”. Melihat pengaruh Imam al-Jawad

yang sangat besar di tengah masyarakat, serta kemuliaan dan perannya

dalam bidang politik, ilmiah serta kemasyarakatan, maka Mu‟tashim tidak

berbeda dengan para pendahulunya dalam hal takutnya terhadap

keimaman Ahlul Bait Rasulullah SAW.

Pada tahun 219 H karena kekhawatirannya al-Mu‟tashim meminta

Imam Jawad a.s. pindah dari Madinah ke Baghdad sehingga Imam

al-Jawad a.s. berada dekat dengan pusat kekuasaan dan pengawasan.

Kepergian Imam al-Jawad dielu-elukan oleh rakyat disepanjang jalan.

Tidak lama kemudian, tepatnya pada tahun 220 H, Imam al-Jawad a.s.

wafat melalui rencana pembunuhan yang diatur oleh Mu‟tashim yaitu

dengan cara meracuninya. Menurut riwayat, dia diracun oleh istrinya

sendiri, Ummu Fadhl, puteri al-Ma‟mun atas hasutan Mu‟tashim. Imam

Al-Jawad wafat dalam usia relatif muda yaitu 25 tahun dan dimakamkan

4 Ali Reza, “Al

(15)

8

di samping kakeknya, Imam Musa Kazim, di Kazimah perkuburan Qurays

di daerah pinggiran kota Baghdad. Meskipun dia syahid dalam umur yang

relatif muda, namun jasa-jasanya dalam memperjuangkan dan mendidik

umat sangatlah besar sekali.5

Untuk membahas lebih dalam mengenai kehidupan dan peran

Imam Muhammad bin Ali al-Jawad, perlu dikaji lebih mendalam dengan

kemasan penelitian. Dari konsep inilah penulis ingin mengungkap

“GERAKAN POLITIK IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD

(195-220 H/811-835 M) PADA MASA KHALIFAH AL-MA’MUN”.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas mengenai Gerakan Politik

Imam Muhammad bin Ali al-Jawad (195-220 H/811-835 M) pada masa

Khalifah al-Ma‟mun, penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut :

1. Bagaimana latar belakang kehidupan Imam Muhammad al-Jawad?

2. Bagaimana pandangan Imam Muhammad al-Jawad tentang konsep

Imamah?

3. Bagaimana gerakan politik Imam Muhammad al-Jawad?

5

(16)

9

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan judul yang diangkat di atas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang kehidupan Imam Muhammad

al-Jawad.

2. Untuk mengetahui pandangan Imam Muhammad al-Jawad tentang

konsep imamah.

3. Untuk mengetahui gerakan politik yang terjadi saat Imam Muhammad

al-Jawad menjadi putera mahkota pada masa Khalifah al-Ma‟mun.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang Gerakan Politik Imam Muhammad bin Ali

al-Jawad (195-220 H/811-835 M) pada masa Khalifah al-Ma‟mun, masih

belum begitu terekspos ke publik, padahal tokoh ini sangat besar

perjuangannya pada masa Khalifah al-Ma‟mun. Demikian juga

peninggalan dari pemikiran ataupun karya-karyanya, mampu memberikan

manfaat bagi kemajuan di Baghdad.

Penelitian mengenai Gerakan Politik Imam Muhammad bin Ali

al-Jawad (195-220 H/811-835 M) pada masa Khalifah al-Ma‟mun

(17)

10

1. Bagi penulis merupakan wadah untuk mengetahui lebih jauh tentang

biografi dan Gerakan Politik Imam Muhammad bin Ali al-Jawad

(195-220 H/811-835 M) pada masa Khalifah al-Ma‟mun.

2. Manfaat secara akademis dan teoritis dalam penelitian ini adalah untuk

menambah khazanah keilmuan dalam bidang sejarah Islam di

Indonesia khususnya Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan

Ampel Surabaya Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) dan

masyarakat peminat sejarah pada umumnya.

3. Dapat dijadikan pijakan atau pertimbangan dalam mempelajari sejarah

khususnya pembahasan tentang Sejarah Ahlul Bait.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan

historis dan politik. Pendekatan historis yaitu penelitian sejarah tidak

hanya sekedar mengungkap kronologis kisah semata, tetapi merupakan

suatu pengetahuan tentang bagaimana peristiwa masa lalu terjadi.6

Sedangkan pendekatan politik menyoroti struktur kekuasaan, jenis

kepemimpinan, pertentangan kekuasaan dan lain sebagainya.

Kedua pendekatan tersebut akan dapat mengungkap latar belakang

sejarah tentang gerakan politik yang dipimpin oleh Imam Muhammad

Jawad bersama para pengikutnya, pada masa pemerintahan Khalifah

al-Ma‟mun.

6

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia,

(18)

11

Dari gerakan politik Imam Muhammad al-Jawad di atas, penulis

mengambil teori dari Max Weber tentang jenis kepemimpinan, yaitu :

a. Kepemimpinan Kharismatik : Kepemimpinan yang didasarkan pada

kemampuan alami, secara mukjizat, kharisma atau kewibawaan di luar

rasio. Kepemimpinan ini adalah kemampuan atau kekuatan batin yang

ada padanya dan didukung oleh kondisi masyarakatnya, kekayaan,

umur, kesehatan, profil bahkan pendidikan formal tidak menjadi

kriteria.

b. Kepemimpinan Tradisional : Kepemimpinan yang diterima

berdasarkan tradisi yang berlaku dalam komunitas masyarakat atau

dinasti tertentu, yang dominan dan diterima masyarakat. Seseorang

diangkat menjadi pemimpin secara turun temurun dari satu keluarga

atau dinasti tertentu.

c. Kepemimpinan Rasional : Kepemimpinan yang mendasarkan

wewenangnya pada kekuatan formal dan legalistic yang memperoleh

kedudukan atau diterima bawahannya secara rasio, maka pengangkatan

seseorang menjadi pemimpin berdasarkan persetujuan sebagian besar

masyarakat atau diangkat berdasarkan kewenangan atasan dan diterima

berdasarkan hukum.7

Dengan tiga jenis teori kepemimpinan tersebut, maka akan

memudahkan penulis untuk memberikan makna pada kepemimpinan

Imam al-Jawad dalam gerakan politiknya. Penulis mengkategorikan

7

Andi Wahyudi, Muhammadiyah dalam Gonjang-Ganjing Politik: Telaah Kepemimpinan

(19)

12

kepemimpinan tersebut, termasuk kategori yang pertama yaitu seseorang

yang diangkat menjadi pemimpin karena kemampuan dia dalam

memimpin dan kewibawaan dia dalam masyarakat sebagai seorang

keturunan Ahlul Bait.

F. Penelitian Terdahulu

Pembahasan tentang gerakan politik Imam Muhammad al-Jawad,

belum pernah ditulis sebelumnya.

1. Beberapa penelitian yang akan saya lakukan terdapat di buku yang

ditulis oleh Ali Muhammad Ali, berjudul “Imam Muhammad al-Jawad

a.s. dan Imam Ali bin al-Hadi a.s.”

Membahas tentang sejarah kehidupan Ahlul Bait a.s. yaitu : Imam

Muhammad al-Jawad a.s. dan Imam Ali bin al-Hadi a.s.

2. Buku lain adalah ditulis oleh Hamid Enayah, berjudul : “Reaksi Politik

Sunni dan Syi’ah”.

Buku ini secara spesifik mencoba melakukan studi perbandingan

tentang pemikiran politik antara Sunni dan Syi‟ah. Kendatipun tidak

secara khusus membahas Wila>yat al-Faqi>h, namun buku ini relatif

detail dalam mengupas pemikiran politik dan hukum ketatanegaraan

Syi‟ah modern.

3. Tulisan yang cukup menarik adalah ditulis oleh Multazam, Fakultas

Adab, Jurusan SKI pada tahun 2001, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

(20)

13

nampak pada judulnya, tulisan Multazam, mencoba menelusuri

peranan al-Husain dan kesyahidannya.

4. Ada pula tulisan skripsi ditulis oleh : Hery Noordiansyah, Fakultas

Adab, Jurusan SKI, pada tahun 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

berjudul : Perebutan Kekuasaan Khalifah al-Amin dan al-Ma;mun

(810-813 M) & Dampaknya bagi Dinasti Abbasiyah. Membahas

tentang : Biografi Khalifah al-Amin & al-Ma‟mun, pertentangan antara

Khalifah al-Amin & al-Ma‟mun, dampak perebutan kekuasaan antara

Khalifah al-Amin dan al-Ma‟mun bagi Dinasti Abbasiyah.

5. Ada pula tulisan skripsi ditulis oleh : Hasim Asroni, Fakultas Syari‟ah

& Hukum, Jurusan Perbandingan Madzhab & Hukum, pada tahun

2012, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berjudul : Bentuk

Pemerintahan dalam Pemikiran Muammmar Qadhafi & Imam

Khomaeni. Membahas tentang : Seputar sistem pemerintahan dalam

Islam, pemikiran politik Muammar Qadhafi & Imam Khomaeni

tentang sistem pemerintahan Islam, analisis bentuk karakter

pemerintahan menurut Muammar Qadhafi & Imam Khomaeni.

Dari tulisan di atas, berbeda dengan tulisan yang akan dipaparkan

dalam pembahasan skripsi ini, karena pembahasan dalam skripsi ini hanya

berpusat pada sejarah kehidupan Imam Muhammad al-Jawad dan gerakan

politik. Sedangkan, tulisan di atas tidak membahasnya secara khusus

(21)

14

yang benar-benar terpusat pada sejarah Imam Muhammad al-Jawad ini,

sebagai skripsi.

G. Metode Penelitian

Penulisan ini adalah sebuah studi sejarah, maka metode yang

digunakan adalah metode penelitian historis. Menurut Kuntowijoyo,

setelah menentukan topik ada empat tahapan dalam penelitian sejarah,8

yaitu : pengumpulan sumber (Heuristik), kritik sumber (Verifikasi),

analisis atau sintesis (Interpretasi), dan penulisan sejarah (Historiografi).

Lebih jelasnya langkah-langkah tersebut akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Heuristik

Yaitu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan

sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Sejarah tanpa sumber

maka tidak bisa bicara. Maka sumber dalam penelitian sejarah adalah

hal yang paling utama yang akan menentukan bagaimana aktualitas

masa lalu manusia bisa dipahami oleh orang lain.

Dalam tahap ini, penulis berusaha mengumpulkan sumber-sumber

yang relevan dengan melalui studi kepustakaan, yaitu bertujuan

mengumpulkan data informasi dengan bantuan macam-macam

material yang ada di perpustakaan.9

8

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 69.

9

(22)

15

Dalam hal ini penulis memperoleh sumber melalui riset

kepustakaan meliputi buku-buku karangan ilmiah yang ditulis oleh

para ahli yang relevan dengan masalah yang diteliti. Hal ini

berdasarkan pada pertimbangan bahwa melalui penelusuran dan

penelaahan kepustakaan, dapat dipelajari bagaimana mengungkap

buah pikiran secara sistematis dan kritis. Di samping itu data juga

diperoleh dari sumber lain yang terkait dengan

permasalahan-permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder digunakan untuk

membantu dan melengkapi data yang tidak diperoleh dari sumber

primer.

Adapun sumber primer dan sekunder antara lain :

a. Sumber Primer

Sumber primer merupakan sumber pertama dimana sebuah data

dihasilkan.10 Maka dalam penelitian ini sumber primer yang

digunakan adalah sebagai berikut :

1) The Life Of Muhammad al-Jawad oleh Baqir Sahrif (tahun

1383)

2) Ali Muhammad Ali, Para Pemuka Ahlul Bait Nabi 11-12:

Imam Muhammad al-Jawad a.s. dan Imam Ali al-Hadi a.s. terj.

Absin Muhammad dan Afif Muhammad. Jakarta: Pustaka

Hidayah, 1993.

10

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kualitatif dan Kuantitatif

(23)

16

b. Sumber Sekunder

Selain sumber primer yang diperoleh dari berbagai literatur antara

lain :

1) Sirajuddin Abbas, Syi’ah. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

2) Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulah Abbasiyah. Jakarta: Bulan

Bintang, 1977.

3) Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 3. Jakarta: PT.

Pustaka al-Husna Baru, 2003.

2. Kritik

Merupakan bagian yang sangat penting dalam penulisan sejarah.

Dari data yang terkumpul dalam tahap heuristik diuji kembali

kebenarannya melalui kritik guna memperoleh keabsahan sumber.

Dalam hal ini keabsahan sumber tentang keasliannya (otentisitas) yang

dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang keshahihannya

(kredibilitasnya) ditelusuri lewat kritik intern.11 Sedangkan kritik

ekstern adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang

didapatkan autentik atau tidak.

3. Interpretasi atau penafsiran

Seringkali disebut juga dengan analisis sejarah berarti

menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang

berarti menyatukan. Di dalam proses interpretasi sejarah, seorang

peneliti harus berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang

11

(24)

17

menyebabkan peristiwa. Data sejarah kadang mengandung beberapa

sebab yang membantu mencapai hasil dalam berbagai bentuknya.

Walaupun suatu sebab kadangkala dapat mengantarkan pada hasil

tertentu, tetapi mungkin juga sebab yang sama dapat mengantarkan

pada hasil yang berlawanan dalam lingkungan lain. Dalam hal ini

penulis akan menganalisis hasil informasi dari sumber yang

berhubungan dengan gerakan politik Imam Muhammad bin Ali

al-Jawad (195-220 H/811-835 M) pada masa Khalifah al-Ma‟mun.

4. Historiografi

Sebagai fase terakhir dalam metode sejarah, historiografi

merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian

sejarah yang dilakukan. Layaknya laporan penelitian ilmiah, penulisan

hasil penelitian sejarah itu hendaknya dapat memberikan gambaran

yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase

perencanaan) sampai dengan akhirnya (penarikan kesimpulan).

Dalam buku lain historiografi merupakan tahap terakhir sejarah,

yang mana historiografi itu sendiri adalah menyampaikan hasil yang

diperoleh dalam bentuk suatu kisah yang dipaparkan secara sistematis

dan terperinci dengan menggunakan bahasa yang baik.12 Dalam hal ini

penulis mencoba menuangkan laporan penelitian ke dalam suatu karya

yang berupa skripsi. Penulisan ini diharapkan memberikan gambaran

yang jelas mengenai proses penelitian ini dari awal hingga akhir

12

(25)

18

tentang gerakan politik Imam Muhammad bin Ali al-Jawad (195-220

H/811-835 M) pada masa Khalifah al-Ma‟mun.

H. Sistematika Bahasan

Penelitian ini nantinya akan di susun dalam lima bab. Bab pertama,

merupakan bab pendahuluan, yang di dalamnya mencakup beberapa sub

bahasan, meliputi : Latar belakang masalah untuk memberikan penjelasan

secara akademis mengapa penelitian ini perlu dilakukan dan apa yang

melatar belakanginya.

Kemudian rumusan masalah yang dimaksudkan untuk

mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti agar lebih terfokus.

Setelah itu, dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian untuk

menguraikan pentingnya penelitian ini. Sedangkan Penelitian Terdahulu,

untuk memberikan gambaran tentang letak kebaruan penelitian ini bila

dibandingkan penelitian-penelitian yang telah ada. Kemudian kerangka

teoritik yang dilanjutkan dengan metode penelitian untuk

mensistematiskan metode dan langkah-langkah penelitian dimaksudkan

untuk menjelaskan bagaimana cara yang dipergunakan penulis dalam

penelitian ini. Dan terakhir sistematika bahasan.

Bab kedua, membahas tentang Biografi Imam Muhammad

al-Jawad, yang terbagi dalam beberapa sub bahasan sebagai berikut:

Genealogi Imam Muhammad al-Jawad, Kedermawanan Imam Muhammad

(26)

19

Bab ketiga, membahas tentang Pengertian Imamah, Konsep

Imamah menurut Syi‟ah, Konsep imamah menurut Imam Muhammad

al-Jawad a.s.

Bab keempat, adalah bahasan inti dari skripsi ini yang akan

membahas tentang gerakan politik Imam Muhammad al-Jawad yang

terbagi dalam beberapa sub bahasan sebagai berikut : Situasi pemerintahan

Khalifah al-Ma‟mun, Pemberontakan Alawiyyin pada masa Imam

al-Jawad, Hadis-hadis dan wasiat-wasiat Imam al-Jawad.

Bab kelima, adalah penutup yang diberisikan kesimpulan,

(27)

BAB II

BIOGRAFI IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD

A. Genealogi Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad

Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW yang akan dibahas kali ini

adalah Imam Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim

bin Ja‟far al-Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin Ibn

al-Husain keturunan dari Ali bin Abi Thalib dan Ibundanya Fatimah puteri

Rasulullah SAW.

Imam Al-Jawad a.s. adalah keluarga dari Nabi Muhammad yang

selama 8 generasi telah melahirkan para ulama‟ terkemuka dan kelanjutan

dari silsilah Ahlul Bait yang suci. Dia dilahirkan pada bulan Ramadhan,

tahun 195 H di Madinah Al-Munawwarah. Dia adalah putera dari Imam

Ali ar-Ridha a.s. dan Ibunya bernama Sabikah. Perawi lain menyebutkan

riwayat lain tentang kelahiran Imam Muhammad al-Jawad yang

mengatakan bahwa dia dilahirkan pada hari Jum‟at, tanggal 17 atau 15

Ramadhan tahun 195 H.

Dalam riwayat Ibn „Abbas disebutkan bahwa dia dilahirkan pada

hari Jum‟at, pertengahan bulan Rajab. Ibunya adalah seorang Umm

(28)

21

kemudian Imam ar-Ridha memberinya nama Khaizaran, karena berasal

dari kota Naubah (Naubiyyah).1

Para sejarawan dan ahli riwayat menuturkan bahwa Imam al-Jawad

dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 195 H, dan sebagian lainnya

mengatakan bahwa dia dilahirkan pada bulan Rajab tahun yang sama.2

Di masa kanak-kanaknya dia dibesarkan, diasuh dan dididik oleh

ayahandanya sendiri selama 4 tahun kemudian ayahnya diharuskan pindah

dari Madinah ke Khurasan. Itulah pertemuan terakhir antara dia dengan

ayahnya, sebab ayahnya mati diracun. Sejak tanggal 17 Safar 203 H, Imam

Muhammad al-Jawad memegang tanggung jawab keimaman atas

pernyataan ayahandanya sendiri serta perintah dari Allah.3

Imam Al-Jawad lahir pada periode yang sarat dengan berbagai

peristiwa politik dalam keadaan kacau, dan silih bergantinya kekuasaan

antara al-Amin dan al-Ma‟mun, dua putera Harun ar-Rasyid. Tahun

kelahirannya, 195 H adalah tahun saat al-Ma‟mun dibai‟at sebagai

Khalifah, dan saudaranya, Amin dima‟zulkan. Tapi, tetap memegang

sebagian dari kekuasaan tertentu. Dia juga mendengar pengangkatan

ayahnya sebagai putera mahkota kemudian terdengar kabar tentang

kematian ayahnya.

Sejak kecil, dia telah menunjukkan sifat-sifat yang mulia serta

kecerdasan yang tinggi. Dikisahkan bahwa ketika ayahnya dipanggil ke

1

Al-Bahbudi, Kitab Shahih al-Kafi Jilid 1 (Iran: Haidari Printings, 1988), 56.

2

Al-Kulainiy, Al-Ushul al-Kafi Jilid 1 (Teheran: Dar al-Kitab al-Islamiyah, 1388), 492.

3

Raudah ar-Ridho, ”Sejarah Yang Hilang, Imam Muhammad al-Jawad”, dalam

(29)

22

Baghdad, dia ikut mengantarkannya sampai ke Mekkah untuk berziarah ke

Baitul Haram kemudian Imam ar-Ridha a.s. melakukan thawaf di

sekeliling Ka‟bah diikuti oleh puteranya, al-Jawad yang saat itu baru

menginjak usia 4 tahun, dengan digendong oleh pembantunya. Tentang

peristiwa ini, Abu al-Fath al-Irbili, dalam kitabnya yang berjudul Kasyf

al-Ghummah ‘An Hayat al-A’immah, mengatakan, “Dari Dala‟il al-Humairi,

dari Umayyah bin Ali, yang berkata, “Saya berada bersama Abu al-Hasan

(Imam ar-Ridha) di Mekkah pada saat ia menunaikan ibadah haji. Dari

Mekkah dia melanjutkan perjalanan ke Khurasan bersama puteranya, Abu

Ja‟far (Imam al-Jawad). Imam Abu al-Hasan berpamitan kepada Baitullah.

Ketika ia menyelesaikan thawafnya, dia berdiri di Maqam, dan shalat di

situ. Sementara, Imam Abu Ja‟far berada di atas pundak Muwwafiq yang

membawanya thawaf, kemudian Imam Abu Ja‟far masuk ke dalam Ka‟bah

dan duduk di sana berlama-lama. Karena itu Muwaffiq berkata kepadanya,

„Tuan, ayo berdirilah.‟ Tetapi Imam al-Jawad menjawab, ‟Aku tidak akan

berdiri kecuali bila dia menghendakinya.‟ Saat itu mendung terlihat

membayangi wajahnya.

Karena itu Muwaffiq lalu menemui Imam Abu al-Hasan, dan

berkata kepada dia, “Tuan, Imam Abu Ja‟far duduk terus di dalam Ka‟bah,

dan tidak mau beranjak”. Mendengar itu Imam Abu al-Hasan bangkit dan

mendatangi Imam al-Jawad, lalu berkata kepadanya, ”Bangkitlah, Nak”.

Tetapi lagi-lagi Imam al-Jawad menjawab, ”Saya tidak mau meninggalkan

(30)

23

“Kalau begitu, baiklah” kata Imam Abu al-Hasan. Saat itu

berkatalah Imam al-Jawad, ”Bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan

tempat ini kalau ayah sudah berpamitan dengan Baitullah ini untuk tidak

kembali kemari?”

“Berdirilah, Nak,” pinta Imam Abu al-Hasan pula. Dan berdirilah

Imam Abu Ja‟far dari duduknya.4

Dengan otaknya yang cerdas dan kesadarannya yang kuat, Imam

al-Jawad bisa merasakan tanda-tanda perpisahan dan berada jauh dari

ayahnya. Dia merasakan bahwa, sejak saat itu dia dan ayahnya tidak akan

bertemu lagi. Mendung pun membayang-bayangi wajahnya yang bening

itu, dan tergambarlah di depan matanya kepergian ayahnya yang tidak

akan kembali lagi, saat ayahnya melakukan salam perpisahan kepada

Baitullah. Perpisahan terakhir untuk tidak bertemu lagi.

Dalam bidang keilmuan Imam al-Jawad sangat dikenal, karena

seringkali berbincang dengan para ulama‟ di zamannya. Dia mengungguli

mereka semua, baik pada bidang fiqih, hadis, tafsir dan lain-lainnya. Demi

kepentingan politik, al-Ma‟mun sebagai penguasa Bani Abbas pada masa

itu mengundang Imam al-Jawad yang berada di Madinah untuk datang ke

pusat pemerintahannya di Baghdad. Kemudian al-Ma‟mun berniat untuk

menikahkan puterinya yang bernama Ummu Fadhl dengan Imam al-Jawad

a.s yang masih sangat muda belia. Niatnya itu diketahui oleh keluarga dari

Bani Abbas dan mereka semua tidak menyetujui bahkan menantangnya.

4 Sirhan Ibn Sa‟id Azkawi,

Kitab Kasy al-Ghummah ‘An-Hayat al-A’immah Jilid III (Kairo:

(31)

24

Karenanya, al-Ma‟mun mengadakan rapat keluarga dan memaparkan

sebab niatnya itu yang dianggap akan melanggengkan kekhalifahan Bani

Abbas dengan mempersatukan darah dagingnya dengan Ahlul Bait, serta

meyakinkan semua bahwa al-Jawad adalah sosok yang paling alim dan

akan mempunyai pengaruh sangat kuat atas masyarakat, karena

berdasarkan investigasi, dia sudah mengetahui bahwa al-Jawad adalah

Imam pengganti ayahnya, walaupun usianya masih di bawah umur. Imam

Jawad pun datang ke Baghdad dan al-Ma‟mun sudah mengundang para

ulama‟ dan hakim-hakim paling alim untuk menguji keilmuan Imam

al-Jawad. Dalam acara perdebatan dengan Imam al-Jawad a.s, al-Ma‟mun

mempersiapkan acara ini dan mengumumkannya secara besar-besaran.

Selain untuk kalangan kerajaan dan pejabat, telah disediakan sekitar 900

kursi untuk para ulama‟. Dunia terpana ketika seorang kecil dihadapkan

untuk berdebat dengan para ulama‟-ulama‟ veteran di Baghdad. Imam

al-Jawad duduk di samping al-Ma‟mun berhadap-hadapan dengan Yahya bin

Aktsam, yang kemudian bertanya, ”Apakah kau izinkan aku untuk

bertanya?”5

“Tanyalah apa saja yang engkau mau” Jawab Imam al-Jawad a.s.

Kemudian sesi ini dilanjutkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

kepada Imam al-Jawad a.s. yang dijawab dengan sangat baik oleh Imam

al-Jawad a.s. Pada akhirnya Imam al-Jawad a.s. bertanya balik kepada

Yahya bin Aktsam. Namun dia tidak bisa menjawab kemudian al-Ma‟mun

5

(32)

25

berkata, “Tidakkah aku sudah mengatakan bahwa Imam al-Jawad datang

dari keluarga yang telah dipilih oleh Allah sebagai tempat penyimpanan

ilmu pengetahuan? Apakah ada satu orang di dunia ini yang bahkan

mampu untuk menyaingi seorang anak kecil dari keluarga ini?” Lalu

semuanya menjawab, ”Tidak diragukan lagi bahwa tidak ada yang

menyamai Muhammad bin Ali al-Jawad”. Akhirnya, sesuai permintaan

al-Ma‟mun berlangsunglah perayaan akad nikah Imam al-Jawad dengan

Ummu Fadhl guna memisahkan hubungannya dengan umat. Dengan

pernikahan ini, al-Ma‟mun telah menanamkan mata-mata keluarga dalam

rumah Imam Muhammad al-Jawad a.s. yang akan mengawasi segala

gerak-geriknya. Satu tahun setelah pernikahannya Imam al-Jawad kembali

ke Madinah bersama istrinya dan kembali mengajarkan agama Allah.

Namun harapan al-Ma‟mun dari pernikahan itu gagal karena ternyata

puterinya mandul dan sampai 15 tahun pernikahan tidak dikaruniai anak.

Imam al-Jawad menikah lagi dengan seorang pelayan Mu‟minah asal

Maroko yang bernama Sumanah dan mendapat kemuliaan besar dengan

menjadi Ibu Imam Ali al-Hadi. Karena pernikahan itu, Ummu Fadhl

menjadi cemburu sampai dia menulis surat menyampaikan kesedihan dan

kecemburuan kepada ayahnya. Tapi, al-Ma‟mun malah menjawabnya

dengan begini, “Wahai puteriku, sabar dan bertahanlah karena dia adalah

putera Rasulullah SAW!”6

6

(33)

26

Meskipun di zaman al-Ma‟mun, Ahlul Bait merasa lebih aman dari

zaman sebelumnya. Namun beberapa pemberontakan masih juga terjadi.

Itu semua dikarenakan adanya perlakuan-perlakuan yang semena-mena

dan para bawahan al-Ma‟mun dan juga akibat politik yang tidak lurus

kepada umat.

Setelah al-Ma‟mun meninggal, pemerintahan dipimpin oleh

Mu‟tashim. Dia menunjukkan sifat kebencian kepada Ahlul Bait, seperti

yang dilakukan para pendahulunya. Penyiksaan, penganiayaan dan

pembunuhan terjadi lagi hingga pemberontakan terjadi dimana-mana dan

semua mempergunakan atas nama “Ahlul Bait Rasulullah SAW”. Melihat

pengaruh Imam al-Jawad yang sangat besar di tengah masyarakat, serta

kemuliaan dan peranannya dalam bidang politik, ilmiah serta

kemasyarakatan, maka Mu‟tashim tidak berbeda dengan para

pendahulunya dalam hal takutnya terhadap keimaman Ahlul Bait

Rasulullah SAW. Pada tahun 219 H karena kekhawatirannya

al-Mu‟tashim meminta Imam Jawad pindah dari Madinah ke Baghdad

sehingga Imam Jawad berada dekat dengan pusat kekuasaan dan

pengawasan. Kepergiannya dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang jalan.

Tidak lama kemudian, tepatnya pada tahun 220 H, Imam al-Jawad

wafat melalui rencana pembunuhan yang diatur oleh Mu‟tashim yaitu

dengan cara meracuninya. Menurut riwayat, dia diracun oleh istrinya

sendiri, Ummu Fadhl, atas hasutan Mu‟tashim. Imam al-Jawad wafat

(34)

27

kakeknya, Imam Musa al-Kadzim, di Kazimah, perkuburan Qurays di

daerah pinggiran kota Baghdad. Meskipun dia syahid dalam umur yang

relatif muda, namun jasa-jasanya dalam memperjuangkan dan mendidik

umat sangatlah besar sekali.7

B. Kedermawanan Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad

Di akhir bulan Dzul Qa‟dah kita memperingati hari Syahadah

Imam Muhammad al-Jawad, anak Imam ar-Ridha a.s. Pada tahun 220 H

Imam Jawad berpulang ke pangkuan Allah SWT dan dunia Islam meratapi

dalam kepergian pemimpin besarnya. Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW

bertindak sebagai pengasas perubahan pemikiran budaya dan sosial umat

dalam menyukseskan risalah Ilahi. Bila dibahas sejarah kehidupan Ahlul

Bait, dengan mudah peran besar dan nilai mereka dalam melindungi

prinsip-prinsip agama dapat kita pahami.

Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan mereka

terkenal menghadapi kedzaliman. Dengan usaha keras dan jihad yang

dilakukan mereka mampu melindungi substansi Islam agar agama besar ini

tetap hidup untuk selamanya. Imam Jawad a.s. termasuk Ahlul Bait Nabi

Muhammad SAW yang selama 17 tahun mengemban tanggung jawab

sebagai Imam dan penuntun umat Islam. Selama itu pula dia senantiasa

berusaha menyebarkan Islam dan memperkaya khazanah pemikiran Islam.

7

Raudah ar-Ridho,”Sejarah Yang Hilang, Imam Muhammad al-Jawad”, dalam

(35)

28

Imam Jawad a.s. dalam salah satu ucapannya mengatakan, “Bila

manusia memiliki 3 ciri khas ini, dia bakal mencapai keridhoan Allah :

Pertama, banyak meminta ampunan kepada Allah, Kedua bersikap lemah

lembut dengan masyarakat dan Ketiga, banyak memberikan shodaqoh.

Imam Jawad menilai melayani dan membantu masyarakat akan

menurunkan Rahmat Ilahi. Sekaitan dengan hal ini dia berkata, ”Saat

nikmat Allah banyak diturunkan kepada seseorang, itu berarti semakin

banyak masyarakat yang membutuhkannya. Bila orang tersebut tidak

berusaha memenuhi kebutuhan orang lain, niscaya nikmat Allah berada

dalam kondisi bahaya dan akan musnah.”

Imam Jawad a.s. adalah anak dari Imam ar-Ridha a.s. Dia

dilahirkan di kota Madinah tahun 195 H. Namun dalam masa yang singkat

ini, dia sangat berperan dalam meningkatkan pemikiran masyarakat waktu

itu. Imam Jawad a.s. pada usia 8 tahun diangkat sebagai Imam umat.

Dengan alasan usianya yang masih muda ini membuat sebagian orang

meragukannya, sementara sebagian lainnya malah semakin takjub.

Alasan keraguan sebagian orang kembali pada cara berpikir

materialis dalam mengamati fenomena alam. Padahal Allah yang Maha

Bijaksana punya kemampuan untuk mengembangkan akal seseorang

sekalipun usianya yang masih sangat muda. Hal ini sesuai dengan apa

yang dinukilkan oleh al-Qur‟an mengenai umat-umat terdahulu. Kenabian

Nabi Yahya as terjadi saat dia masih kecil dan Nabi Isa as yang berbicara

(36)

29

Imam Jawad a.s. semasa kecil hingga menginjak usia remaja telah

dikenal akan keilmuan, kefasihan, kesabaran dan ketaqwaan. Dia memiliki

kecerdasan dan cara penyampaian yang lugas. Meskipun usianya masih

sangat muda. Tetapi dari sisi keilmuan dan keutamaan dia telah

disejajarkan dengan tokoh-tokoh masa itu. Dalam sejarah disebutkan, saat

musim haji sekitar 80 orang ahli fiqih dari Baghdad dan kota-kota lain

menuju Madinah untuk bertemu dengan Imam Jawad a.s. Mereka

mencecar Imam Jawad dari berbagai pertanyaan ilmiah. Namun Imam

Jawad a.s. dengan tenang dan mantap menjawab semua yang ditanyakan.

Kejadian ini memupuskan segala keraguan yang selama ini menggelayut

benak mereka.8

Di masa keimaman Imam al-Jawad, Islam menyebar ke berbagai

kawasan secara luas. Kondisi ini telah menyebabkan terbukanya peluang

perpindahan pemikiran dari luar ke dalam kalangan umat Islam. Pada

zaman itu juga terjadi berkali-kali dialog antara pemikir Islam dan non

Islam. Imam Jawad memainkan peranan yang sangat penting pada saat itu.

Dia berhasil membimbing umat sekaligus mencegah terjadinya infiltrasi

pemikiran-pemikiran luar yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Salah

satu hadis dari dia adalah “Berpegang teguh kepada Allah adalah sebuah

tangga untuk menuju derajat yang tinggi. Siapapun yang berpegang teguh

8

(37)

30

kepada Allah, Dia pasti membebaskannya dari segala keburukan sekaligus

menjaganya dari ancaman-ancaman musuh.”9

Imam Abu Ja‟far Jawad a.s. adalah orang yang paling bermurah

hati dan paling banyak berderma. Karena kemurahannya terhadap orang

lain itu, Imam al-Jawad sampai dijuluki al-Jud (kedermawanan). Para

sejarawan mencatat banyak riwayat mengenai kedermawanannya.

Diriwayatkan para sejarawan bahwa Ahmad bin Hadid beserta rombongan

pergi menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba mereka diserang sekelompok

penyamun. Harta mereka dirampok. Ketika mereka tiba di Madinah,

Ahmad pergi menemui Imam Jawad. Dia menceritakan apa yang mereka

alami. Lalu Imam Jawad menyuruhnya membawa sebuah kain dan ia pun

diberi sejumlah dinar untuk dibagi-bagikan kepada rombongannya itu.

Nilainya sama besar dengan apa yang dirampok dari mereka.

Dengan demikian, Imam al-Jawad telah menyelamatkan mereka

dari cobaan. Dengan kedermawanan yang besar, dia telah mengembalikan

milik mereka yang hilang.

Kedermawanan Imam Jawad dan kebaikan hatinya meliputi semua

makhluk, termasuk hewan. Muhammad bin Walid al-Kirmani

meriwayatkan, “Aku makan di tempat Abu Ja‟far a.s. selesai makan, meja

makan diangkat dan pelayan pun datang untuk membersihkan

potongan-potongan makanan. Imam al-Jawad berkata kepadanya, ”Tinggalkan

apapun di sahara meski sepaha domba. Imam al-Jawad menyuruhnya

9

(38)

31

untuk meninggalkan makanan yang ada di sahara agar dapat dimakan

burung dan semua hewan yang tidak mempunyai makanan.10

Kemurahan hati dan kebaikan perbuatan terhadap manusia

termasuk salah satu kedermawanan Imam Jawad dan sifatnya yang paling

menonjol. Para sejarawan banyak yang menulis riwayat tentang

kemurahan hatinya, yang antara lain : Ahmad bin Zakaria ash-Shaidalani

meriwayatkan dari seorang lelaki asal Bani Hanifah, penduduk Bast dan

Sajastan. Dia berkata, “Aku menemani Abu Ja‟far Jawad pada tahun

ketika dia pergi haji di awal masa kekhalifahan Mu‟tashim. Di depan meja

makan, aku berkata kepadanya, “Tuanku, gubernur kami mengakui

kepemimpinan kalian, Ahlul Bait dan mencintai kalian. Namun aku

dibebani untuk membayar pajak. Sudikah Anda membayarnya? semoga

Allah menjadikan diriku sebagai tebusan untuk Anda menulis surat

kepadanya untuk bermurah hati terhadapku. “Aku tidak mengenalnya”

tegas Imam al-Jawad.

Aku mengatakan, ”Tuanku, sebagaimana yang telah aku katakan,

dia itu termasuk para pecinta Ahlul Bait. Dan surat Anda akan bermanfaat

bagiku. Imam al-Jawad mengabulkan dan menulis surat kepadanya.

Setelah basmalah, Imam al-Jawad menyampaikan, “Amma ba‟du!

Sesungguhnya penyampai suratku ini menyebutkan sebuah kepercayaan

yang indah tentang Anda. Tiada yang Anda lakukan melainkan perbuatan

yang baik. Maka berbuat baiklah terhadap saudara-saudara Anda.

10Iran Indonesia Radio,”Al

(39)

32

Ketahuilah bahwa Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban Anda

tentang amal perbuatan yang sekecil-kecilnya.”

Sampai di Sajastan, sang gubernur, Husain bin Abdullah

An-Naisaburi, mengetahui bahwa Imam Jawad telah menulis surat kepadanya.

Maka, ia pun menyambut kedatangan surat itu dari jarak 2 farsakh. Ia raih

surat itu dan menciumnya. Ia juga menghormati lelaki tersebut dan

menanyakan keperluannya. Maka lelaki itu menyampaikan hajatnya. Sang

gubernur pun berkata kepadanya, ”Anda jangan membayar pajak selama

aku bertugas.” Kemudian gubernur menanyakan pula tentang keluarganya.

Lelaki itu menyampaikan jumlah keluarganya. Gubernur menyuruhnya

agar mereka datang untuk bersilaturahim. Semua itu berkat kasih sayang

Imam al-Jawad.

Kehidupan manusia-manusia suci Ahlul Bait a.s. merupakan

teladan bagi seluruh umat Islam. Dalam kehidupan mereka meski dipenuhi

pahit dan getir akibat kedzaliman para penguasa yang takut akan

keberadaan mereka, namun begitu masih menyisakan ajaran dan teladan

berharga bagi kita semua. Dalam hal ini, kehidupan yang relatif singkat

Imam Jawad a.s. pun tak lepas dari koridor ini. Sisi kedermawanan dia

yang kita nukil dalam berbagai kisah kehidupan dia merupakan contoh

bagi umat Islam yang mulai pudar rasa solidaritas mereka terhadap sesama

saudaranya.

Pesan-pesan dan ajaran yang diajarkan manusia suci dari Ahlul

(40)

33

dalam kehidupan umat Muslim.11 Mereka inilah mentari Ilahi yang

menerangi alam semesta, tanpa keberadaan mereka alam akan gelap gulita

dan manusia akan tersesat. Keberadaan mereka di bumi sebagai hujjah

Ilahi. Risalah berat untuk membimbing umat supaya tidak tersesat berada

dipundak manusia-manusia suci ini.

Sifat dermawan yang merupakan salah satu ajaran Islam, tersemat

kuat dalam pribadi Imam Muhammad Taqi al-Jawad. Imam inilah yang

menjadi simbol kedermawanan bagi umat Islam, sifat yang mulai pudar

dan dilupakan oleh mereka yang mengaku sebagai pengikut Nabi

Muhammad SAW. Solidaritas dan keprihatinan menyaksikan penderitaan

umat manusia dengan baik telah ditanamkan oleh Rasulullah SAW selama

beliau mengemban risalah Ilahi. Namun sepeninggal beliau, nilai-nilai ini

mulai luntur dan perlu ada seseorang yang mengajak manusia untuk

kembali menerapkan nilai-nilai luhur ini. Dan Imam al-Jawad adalah

seseorang yang mengingatkan kembali umat Islam akan ajaran Allah.

Di akhir ini, kami mengingatkan kepada Anda sebuah wasiat Imam

al-Jawad a.s. Dia berpesan, “Jiwa dan seluruh harta kita adalah anugerah

Allah yang sangat berharga dan pinjaman dari-Nya yang telah dititipkan

kepada kita. Segala yang dianugerahkan kepada kita adalah pembawa

kebahagiaan dan kesenangan, dan segala yang diambil-Nya (dari kita),

pahalanya akan tersimpan. Barang siapa yang kemarahannya mengalahkan

11

Iran Indonesia Radio, ”Al-Jawad: Kedermawanan Ahlul Bait yang Terlupakan”, dalam

(41)

34

kesabarannya, maka pahalanya telah sirna. Dan saya berlindung kepada

Allah dari hal itu.12

C. Keulama’an Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad

Kedua belas Imam yang disucikan serta para ulama‟ yang

memperoleh pendidikan dalam madrasah serta pengkajian mereka, yang

mengambil dari ilmu-ilmu Islam, telah menciptakan madrasah ini dan

meneguhkan tiang-tiang keilmuannya, memperluas cakrawalanya, dalam

ilmu tauhid dan tafsir, fiqih dan hadis, filsafat dan kalam serta ushul fiqih

dan lain-lain, dari ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam, sehingga madrasah

ini menjadi terkemuka sepanjang zaman di antara madrasah-madrasah

berbagai madzhab dan firqah Islam yang lain, karena kekayaan ilmunya

dan kelestarian akar-akarnya dalam ilmu tauhid, fiqih dan ushul dan hadis

serta metode penelitian, pemikiran dan istinbath,dan sebagainya.

Di masa kini, madrasah ini merupakan madrasah yang paling

terkemuka, metode yang paling mandiri serta paling kaya dalam ilmu dan

pengetahuan Islam. Imam Jawad a.s. sepanjang masa keimamannya yang

berlangsung selama kurang lebih 17 tahun telah memberikan andil dalam

memperkaya madrasah ilmiah ini dan memelihara khazanahnya. Masa dia

merupakan masa yang menonjol dengan metodenya yang berdasar pada

penyandaran kepada nash dan riwayat dari Rasulullah SAW. Serta

pemahaman dan istinbath dari al-Kitab dan Sunnah dengan istinbath yang

12

Bukhori Supriyadi, ”Imam Muhammad al-Jawad a.s.”, dalam

(42)

35

teliti dan bertanggung jawab, dan mengungkapkan hakikat ruang lingkup

ilmiah dari kedua sumber ini (al-Kitab dan Sunnah) serta hikmah realistik

yang terkandung di dalamnya, dengan menekankan bahwa keduanya

sangat mementingkan ilmu-ilmu dan pengetahuan aqliyah, para Imam dan

murid-murid mereka telah memberikan sahamnya dalam

menumbuhkannya, memperkayanya, memperluas daerahnya hingga

jadilah dia monumen yang agung dan benteng yang kokoh bagi pemikiran

Islam dan syari‟at Islam.13

Di antara landasan-landasan ilmiah yang di atasnya madrasah ini

ditegakkan adalah :

1. Pelestarian warisan nubuwwah dan apa yang dikandungnya berupa

riwayat, sirah dan pengutipannya dengan cara yang terpercaya dan

sempurna, melalui mata rantai para Imam sejak Imam Ali a.s. dan

kedua puteranya As-Sibthain Asy-Syahidain al-Hasan dan al-Husain

a.s. hingga Imam yang terakhir dari mereka, serta penyebar luasnya di

kalangan seluruh kaum Muslimin, khususnya karena kaum Muslimin

semuanya bersepakat atas kepercayaan dan ketsiqatan Ahlul Bait serta

kebenaran segala yang bersumber dari mereka.

2. Penghormatan terhadap peranan akal pemahaman dan penafsiran, serta

penggunaannya dalam pemahaman dan pengambilan kesimpulan yang

disertai dengan al-Kitab dan Sunnah dan dalam bidang ilmu-ilmu

aqliyah, seperti ilmu kalam dan filsafat, untuk mempertahankan Islam

13

(43)

36

dan menolak pemikiran musuh-musuhnya, serta memelihara

kemurnian keasliannya.

Dalam melaksanakan metodenya ini mereka bersandar pada sejumlah

cara, di antaranya yang termasyhur adalah :

Pertama, cara pengajaran dan pendidikan kepada murid-murid dan

para ulama‟ yang mampu menguasai ilmu-ilmu syari‟at dan

pengetahuan-pengetahuannya, dan mendorong mereka untuk menuliskan dan

mendokumentasikannya, serta memelihara apa yang bersumber dari para

Imam Ahlul Bait a.s. atau memerintahkan kepada mereka untuk

mengarang dan menulis karya serta menyebarluaskan apa yang mereka

pelihara untuk menjelaskan ilmu-ilmu syari‟at, serta mengajar kaum

Muslimin dan menjadikan mereka paham (faqih), atau untuk menolak

pemikiran-pemikiran yang menyimpang serta konsep-konsep yang keliru

yang ke dalamnya banyak orang telah terjerumus.14

Dari lingkungan setiap Imam dari para Imam Ahlul Bait a.s. telah

terbentuk kelompok murid-murid, perawi-perawi yang menjadi sumber

rujukan dan yang meriwayatkan, menyusun kitab serta menulis karangan.

Imam Al-Jawad a.s. telah menjalankan peranan ini, sebagaimana

ayahnya juga telah menjalankannya. Para ulama‟ yang paham rijal dan

hadis telah menyebutkan sejumlah sahabat Imam Jawad a.s. yang

memperoleh pendidikan ditangannya dan mengambil darinya, atau dari

14

(44)

37

ayahnya, ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam. Mereka semua lalu menjadi

mata rantai yang menghubungkan antara Imam-Imam dengan umat.

Dalam kitab Rijalnya, Syaikh Ath-Thusi telah menghitung

sahabat-sahabat Imam Jawad a.s. serta perawi-perawinya yang mengambil ilmu,

meriwayatkan hadis dan belajar dari Imam Jawad a.s. sebanyak kira-kira

seratus orang perawi yang tsiqat, dua di antaranya wanita.

Para ulama‟ ini telah meriwayatkan dari Imam Jawad a.s. dan

menyusun kitab-kitab serta mengarang dalam berbagai bidang ilmu dan

pengetahuan Islam. Mereka memperkaya bidang-bidang ilmu tersebut,

menyuburkan kebangkitan pemikiran dan menanamkan pengaruh dalam

madrasah Islamiyah.

Di bawah ini saya sebutkan contoh sebagian dari apa yang

diriwayatkan oleh para ulama‟ Rijal dan para muhaqqiq dari mereka :

1. Di antara sahabat-sahabat Imam Jawad a.s, ia adalah Ahmad bin

Muhammad bin Khalid al-Barqy. Para ulama‟ rijal telah

membicarakannya. Diriwayatkan bahwa dia telah mengarang banyak

kitab, kemudian disebutkan sejumlah kitab dari padanya. An-Najasyi

menyebutkan namanya dalam kitab Rijalnya dan menghitung

kitab-kitab karangannya, yang jumlahnya lebih dari 90 buah kitab-kitab.15

2. Ali bin Mahziyar al-Ahwazi, yang dibicarakan oleh Syaikh Ath-Thusi

dengan ucapannya : “Ali bin Mahziyar al-Ahwazi, seorang yang

berkedudukan tinggi, luas riwayatnya, telah menulis 13 buah kitab,

15

(45)

38

seperti al-Hasan bin Sa’id, Ziyadah Kitab Huruf al-Qur‟an dan kitab

al-Anbiya‟serta ats-Tsaaraat.16

3. Di antara mereka juga terdapat Shafwan bin Yahya, yang digambarkan

oleh Syaikh Ath-Thusi dengan kata-katanya : “Orang yang paling

tsiqatpada zamannya menurut para ahli hadis, dan yang paling banyak

beribadah. Setiap hari dia mengerjakan shalat sebanyak 150 raka‟at,

dan dalam satu tahun berpuasa 3 bulan. Dia juga mengeluarkan zakat

mal dalam 1 tahun 3 kali. “Shafwan meriwayatkan hadis dari Imam

Ridha dan Imam Jawad a.s dan meriwayatkan hadis 40 orang sahabat

Abu Abdullah (Imam Shadiq a.s.). Dia juga memiliki koleksi

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Abul Hasan (Imam Musa

al-Kadzim a.s.) dan riwayat-riwayat yang berasal darinya.17

4. Di antara sahabat-sahabat Imam Jawad a.s. yang lain adalah paman

ayahnya, yaitu Ali bin Ja‟far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin

Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata al-Hafizh ar-Razi

dalam kitab Rijalnya yang menceritakan tentang para perawi. Dalam

bab tentang Imam Musa bin Ja‟far, kakek Imam Jawad, dia

mengatakan : “Musa bin Ja‟far bin Muhammad bin Ali bin al-Husain

bin Ali bin Abi Thalib meriwayatkan hadis dari ayahnya, dan anaknya,

Ali bin Musa, serta saudaranya, Ali bin Ja‟far, meriwayatkan darinya.

16

Syaikh Ath-Thusi, Al-Fihrasat (Beirut: Dar Ihya Turath al-„Arabi, 1970), 745.

17

(46)

39

Kata al-Hafizh ar-Razi : “Dia adalah seorang yang tsiqat dan benar,

seorang Imam di antara Imam-Imam kaum Muslimin.18

Demikian kita mengetahui madrasah Imam Jawad a.s. telah

menghasilkan ulama‟-ulama‟ dan murid-murid dan perawi serta ulama‟

mengambil riwayat dari padanya dan memberikan saham dalam

membangun istana pemikiran dan ilmu pengetahuan Islam.

Adapun cara Kedua yang dijadikan sandaran oleh Imam Jawad a.s.

adalah menyebarkan ilmu pengetahuan dan memperluas wilayah dakwah

Islam serta jangkauan perkenalan pemikiran Islam, serta meneguhkan

tiang-tiang aqidah dan syari‟at Islam dalam sinaran madrasah Ahlul Bait

a.s. dan apa-apa yang diriwayatkan dan diambil dari padanya.

Para Imam Ahlul Bait a.s. menyandarkan diri pada cara menunjuk

wakil-wakil dan mengirimkannya ke setiap penjuru dunia Islam untuk

menjadi penyeru syari‟at Islam dengan lisan dan amal perbuatan. Banyak

dari para da‟i itu yang melaksanakan tanggung jawab ilmiah dan politik

serta kemasyarakatan mereka secara rahasia, karena pertimbangan adanya

mata-mata penguasa dan pertentangannya dengan peran yang dijalankan

oleh Ahlul Bait a.s. dan mereka yang mengikuti jejaknya menghadapi

kedzaliman dan kerusakan politik-sosial serta tersia-siakannya hukum

syari‟at.

Dari korespondesi Imam Jawad a.s. dan dikemukakannya beberapa

nama murid dia berikut jumlahnya dalam uraian di atas, kita mengetahui

18

(47)

40

bahwa dia mengandalkan wakil-wakilnya dan menyebarkan mereka ke

berbagai daerah di dunia Islam setelah mereka menyempurnakan

pemahaman dan pendidikan di tangannya. Dia juga mengandalkan

orang-orang yang belajar dari ayahnya, para Imam membawa petunjuk, agar

mereka melaksanakan peran sebagai da‟i-da‟i dan mubaligh yang

menyampaikan hukum-hukum syari‟at dan pemikirannya yang asli.

Dengan cara demikian, madrasah Ahlul Bait a.s. memiliki organ ilmiah

yang sistematis dan menjadikannya tersebar di setiap penjuru dunia

Islam.19

Cara Ketiga, yang penting dan berpengaruh yang ditempuh oleh Ahlul

Bait a.s. untuk menyebarkan pemikiran Islam dan mendidik umat serta

menjaga keaslian dan kemurnian syari‟at Islam adalah diskusi ilmiah.

Kitab-kitab hadis dan riwayat telah menceritakan kepada kita banyak

contoh argumentasi, pertukaran pandangan dan diskusi dalam berbagai

cabang ilmu dan pengetahuan, bagi upaya mempertahankan Islam dan

meneguhkan tiang-tiangnya dalam bidang tauhid, fiqih, riwayat dan

sebagainya.

Diskusi-diskusi ilmiah yang bersumber dan diriwayatkan dari para

Imam Ahlul Bait a.s. ini dibagi dalam beberapa kategori, yakni :

1. Diskusi yang dikhususkan oleh para Imam a.s. untuk mempertahankan

Islam dan menolak pemikiran kaum ateis dan zindiq serta

19

(48)

41

pemeluk agama yang menyimpang, dan pemikiran-pemikiran yang

sesat, filsafat dan teori-tori yang asing bagi Islam.

2. Diskusi yang dikhususkan oleh para Imam a.s. untuk menolak

pemikiran dan aqidah menyimpang yang tumbuh di kalangan sebagian

kaum muslimin, seperti aliran ghulat, tajsim (anthropomorfisme),

tafwidh (qadiriyyah) dan gagasan beberapa bagian aliran tasawuf dan

filsafat serta mutakallimin.

3. Diskusi yang dikhususkan untuk mengungkapkan noda-noda

penyimpangan yang masuk ke dalam Islam dan menjelaskan

kekeliruan ilmiah serta kelemahan pemikiran dalam mengungkapkan

hakikat ilmiah dan menentukan metode yang benar.20

4. Diskusi yang terjadi antara para Imam a.s. dengan ulama‟-ulama‟ di

masa mereka, dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

kepada para Imam tersebut atau inisiatif para Imam a.s. untuk

berdiskusi dengan orang lain dalam masalah tauhid, fiqih, ushul, tafsir

dan lain-lain.

Cara Keempat adalah melalui kitab-kitab yang dikarang oleh para

sahabat Imam a.s. Kita telah melihat peran ilmiah penulisan kitab dalam

perkenalan kita dengan beberapa orang sahabat Imam Jawad a.s, betapa

banyak macam dan jumlah kitab karangan mereka yang telah memperkaya

20

(49)

42

pemikiran dan kepustakaan serta kehidupan Islam sampai masa kita

sekarang ini.21

21

(50)

BAB III

PENGERTIAN IMAMAH DAN MENURUT SYI’AH SERTA

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP KEIMAMAHAN IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD

A. Pengertian Imamah

Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata amma,

menurut Ibnu Mandzur berarti yang berada di depan atau ketua.1 Serupa

dengan penjelasan dalam Al-mu’jam Asy-syamil limustholahat al-falsafah

karya Dr. Abdul Mun‟im al-Hifny, Imam adalah yang memiliki kekuasaan

tertinggi di dalam agama dan dunia, yang harus diikuti oleh seluruh umat.2

Jadi, orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani

sebagai contoh. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan

umat.3 Sedangkan Muhammad Rasyid Ridho dalam bukunya al-Khilafah,

kata Imamah, Khilafah, serta Amirul Mukminin ketiganya mempunyai

makna yang sama yaitu kepemimpinan satu pemerintahan Islam yang

bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya.

Adapun pengertian Imamah menurut ulama‟ Syi‟ah, bahwa

kepemimpinan spiritual atau rohani, pendidikan, agama dan politik bagi

umat Islam telah ditentukan Allah secara turun temurun sampai Imam

1

Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir, 1355),12-26.

2Abdul Mun‟im al

-Hifny, Al-Mu’jam Asy-Syamil Limustholahat Falsafah (Mesir: Maktabah

al-Madbuly, 2000), 35.

3

(51)

44

kedua belas.4 Sementara menurut al-Hilly, salah seorang ulama‟ Syi‟ah,

Imamah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan dunia dan agama,

oleh seseorang maupun beberapa orang, sebagai pengganti kepemimpinan

Nabi Muhammad SAW. Muhammad al-Husein Ali Kasyiful Ghita‟, juga

mengatakan dalam bukunya Ashlusy Syi’ah wa Ushuluha, masalah

Imamah merupakan dasar utama yang hanya dimiliki oleh Syi‟ah

Imamiyah dan menjadikan Syi‟ah Imamiyah berbeda dari aliran-aliran

dalam Islam lainnya. Ia adalah perbedaan yang bersifat dasar atau asasi,

perbedaan lainnya hanya furu‟iyah, tak ubahnya dengan perbedaan antar

Madzhab (Hanafi, Syafi‟i dan lain-lain). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan

bahwa Imamah semata-mata ialah anugerah Tuhan yang telah dipilih

Allah dari zaman azali terhadap hambaNya, seperti Allah memilih Nabi

dan memerintahkan kepada Nabi untuk menyampaikan kepada umat agar

mereka mengikutinya. Syi‟ah Imamiyah berkeyakinan bahwa Allah telah

memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menentukan Ali r.a

dan mengangkatnya sebagai pemimpin umat manusia setelah beliau.5

Berdasarkan tinjauan di atas dapat dikatakan bahwa konsepsi

mengenai kepemimpinan dalam Islam memiliki makna lebih dari sekedar

memimpin pada tataran konsepsi duniawi. Imamah ini menjadi prinsip dan

dasar yang pokok dalam madzhab Syiah dua belas, seperti halnya pokok

agama karena menurut mereka masalah tersebut adalah rangkaian kalimat

tauhid (Laa ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah). Barang siapa tidak

4

Ali Ibrahim Hasan, Ath-Tarikh al-Islamy al-‘Am (Quwait: Maktabah al-Falah, 1977), 230-231.

5

(52)

45

p

Referensi

Dokumen terkait

Konsep pendidikan akidah menurut Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang berdasarkan Alquran dan Hadis disimpulkan sebagai berikut; Tujuan pendidikan akidah adalah

sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki dari pandangan filsafat, dengan judul Konsep Pendidik Profetik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam Studi Analisis Kitab Insan Kamil

Ma’shum bin Ali al- Maksumambangi (Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo). Kalender Hijriah dan Masehi 150 Tahun. Katz, Joseph and Ben Abrahamson. The Islamic Jewish Calendar.

Sebagaimana kami telah membacakan sikap para ulama‟ dan fuqaha terhadap Imam yang masih kanak-kanak itu ketika mereka berkumpul di Madinah Al-Munawwarah pada musim