SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh :
Daris Manziyah Hardi Yanti A02211047
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
vii
835 M) pada masa Khalifah al-Ma‟mun”. Adapun pokok-pokok permasalahannya adalah 1.Bagaimana latar belakang kehidupan Imam Muhammad al-Jawad? 2. Bagaimana pandangan Imam Muhammad al-Jawad tentang konsep Imamah? 3. Bagaimana gerakan politik Imam Muhammad al-Jawad?
Untuk menjawab persoalan di atas penulis menggunakan pendekatan historis yaitu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Pendekatan politik dimaksudkan untuk menyoroti struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, pertentangan kekuasaan dan lain sebagainya. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif serta dengan teori kepemimpinan.
viii
AD) at the time of Caliph al-Ma'mun". As for the specifics of the problem is 1. How walks of life of Imam Muhammad al-Jawad? 2. How is the view of Imam Muhammad al-Jawad of the concept of the Imamate? 3. How is the political movement of Imam Muhammad al-Jawad?
To answer the above issues the author takes a historical approach is the approach used to determine the events that happened in the past. Political approach is intended to highlight the power structure, the type of leadership, power struggle and so forth. Furthermore, the data were analyzed with descriptive methods and the theory of leadership.
xii
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Kegunaan Penelitian... 9
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 10
F. Penelitian Terdahulu ... 12
G. Metode Penelitian... 14
H. Sistematika Bahasan... 18
BAB II BIOGRAFI IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD A. Genealogi Imam Muhammad bin Ali al-Jawad ... 20
B. Kedermawanan Imam Muhammad bin Ali al-Jawad ... 27
xiii
A. Pengertian Imamah... 43 B. Konsep Imamah Menurut Syi‟ah ... 45 C. Pandangan Masyarakat Terhadap Keimamahan Imam Muhammad
bin Ali al-Jawad ... 47
BAB IV GERAKAN POLITIK IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD (195-220 H/811-835 M) PADA MASA KHALIFAH AL-MA‟MUN
A. Situasi Pemerintahan Khalifah al-Ma‟mun ... 62 B. Pemberontakan Alawiyyin di Masa Imam al-Jawad ... 66 C. Hadis-Hadis Imam al-Jawad ... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah pahlawan-pahlawan Islam, pejuang-pejuang
kemerdekaan bangsa juga para tokoh-tokoh sejarah yang berjasa dalam
bidang ilmu, mengorbankan jiwa raganya untuk memberantas kemurkaan
& kenistaan. Betapapun gemilangnya riwayat tokoh-tokoh tersebut sedikit
sekali riwayat mereka dapat disamakan dengan riwayat Imam Muhammad
al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja‟far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin Ibn al-Husain keturunan dari
Ali bin Abi Thalib dan ibundanya Fatimah puteri Nabi Muhammad SAW.
Imam Al-Jawad a.s. adalah keluarga dari Nabi Muhammad yang
selama 8 generasi telah melahirkan para ulama‟ terkemuka dan kelanjutan dari silsilah Ahlul Bait yang suci. Dia dilahirkan di Madinah Al-Munawwarah, pada hari Jum‟at tanggal 17 atau 15 Ramadhan tahun 195
H/811 M. Ibunya adalah seorang Umm al-Walad yang bernama Sabikah,
ada pula yang mengatakannya Durrah. Kemudian suaminya mengganti
nama Khaizaran karena berasal dari kota Naubah (Naubiyyah) dan
ayahnya bernama Imam Ali ar-Ridha a.s.1
Ahlul Bait a.s. adalah pemimpin-pemimpin oposisi, lambang
perjuangan politik, tempat berlindung pemimpin-pemimpin pergerakan,
1
tokoh-tokoh politik, serta tumpuan cita para pemikir dan rakyat banyak.
Para Imam Ahlul Bait a.s. mempunyai kedudukan yang luhur serta
terhormat dan tak tersaingi dalam hati umat. Mereka semua mencurahkan
rasa cinta dan penghormatan, kecuali mereka yang menakutkan lepasnya
kekuasaan, kedudukan politik dan sumber rezeki pribadinya.
Setiap orang dari Imam-Imam Ahlul Bait a.s. – sejak Ali bin Abi Thalib hingga Imam terakhir dari rangkaian keturunan yang penuh berkah
ini melakukan perjuangan politik yang panjang dan perlawanan terhadap
penguasa yang ada. Mereka adalah pemegang kepemimpinan politik
oposisi yang penuh beban tanggung jawab, perbaikan dan pengarahan,
setelah para penguasa menyimpang dari khittah Islam yang asli dan
menindas segenap lapisan masyarakat, khususnya Ahlul Bait a.s. dan
pengikut-pengikut mereka.
Para penguasa di setiap masa menganggap para Imam Ahlul Bait
sebagai sumber gerakan politik dan simbol perlawanan, tempat berlindung
para oposan. Oleh karena itu, tak seorang pun dari Imam-Imam Ahlul Bait
a.s. yang selamat dari pengejaran, perlakuan buruk, kesulitan dan incaran
pengawasan mata-mata, pemenjaraan atau pembunuhan.
Imam Al-Jawad lahir pada periode yang sarat dengan peristiwa
politik dalam keadaan kacau dan silih bergantinya kekuasaan kekhalifahan
Khalifah dan saudaranya al-Amin dima‟zulkan. Tapi tetap memegang sebagian dari kekuasaan tertentu.2
Kondisi kehidupan yang tidak kondusif memaksa Imam ar-Ridha
a.s. untuk pindah dari Madinah ke Khurasan dan meninggalkan anak
bungsunya. Imam ar-Ridha a.s. sangatlah mengetahui tentang rencana
jahat yang akan dilakukan oleh raja yang berkuasa, dan Imam ar-Ridha a.s.
mengetahui bahwa dia tidak akan kembali ke Madinah untuk
selama-lamanya. Jadi sebelum keberangkatannya dia mengangkat anaknya Imam
al-Jawad a.s. sebagai penggantinya.
Imam Ali ar-Ridha a.s. diracun pada tanggal 17 safar 203 H dan
bersamaan dengan itu, Allah mengangkat Imam al-Jawad a.s. bertanggung
jawab pada posisi Imamah. Pada umur yang masih sangat muda, 8 tahun
tidaklah terlihat bahwa Imam al-Jawad yang masih muda tersebut
memiliki ketinggian ilmu dan pengetahuan. Tetapi setelah beberapa hari
berlalu, Imam al-Jawad tidak hanya sering menang berdebat dengan ulama‟-ulama‟ tentang fiqih, hadis, tafsir dan sebagainya. Tetapi juga
meraih respect dan penghargaan mereka dalam kemampuannya. Sejak saat
itulah dunia menyadari bahwa Imam al-Jawad memiliki ilmu pengetahuan
yang sangat luas dan ilmu tersebut bukanlah dipelajari dan didapat. Tetapi
merupakan pemberian dari Allah SWT.
Umur Imam Muhammad al-Jawad a.s. lebih pendek dari umur
ayahnya, maupun putera-puteranya. Dia diangkat menjadi Imam pada
2 Sirhan Ibn Sa‟id Azkawi,
umur 8 tahun, kemudian ia diracun pada umur 25 tahun. Tetapi
karya-karyanya sangatlah banyak dan ketinggian ilmunya diakui oleh orang
banyak. Imam al-Jawad a.s. mewakili sifat ramah & santun Nabi
Muhammad SAW dan kelihaian dari Imam ar-Ridha a.s. Warisan
kehidupannya antara lain kejujuran, keramahan, kesantunan, ketegasan,
pemaaf dan toleransi. Dalam dirinya yang sangat bersinar adalah
karakternya yang selalu menunjukkan keramahan kepada siapapun tanpa
kecuali membantu yang membutuhkan, menjaga keadilan dalam situasi
apapun, hidup sederhana, menolong yatim piatu, fakir miskin dan tuna
wisma, mengajarkan kepada yang tertarik untuk belajar dan membimbing
rakyat ke jalan yang benar.
Al-Ma‟mun, raja Abbasiyah menyadari bahwa untuk kesuksesan kerajaannya, dia harus memenangkan simpati rakyat Baghdad yang selalu
bersahabat terhadap Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW. Akibatnya al-Ma‟mun terpaksa, dari segi politik, untuk berhubungan dengan anggota
dari Bani Fatimah dengan mengorbankan ikatan keluarganya dengan Bani
Abbas untuk meraih simpati kaum Syi‟ah. Dia mengumumkan bahwa Imam ar-Ridha a.s. sebagai pewarisnya, walaupun tanpa persetujuan Imam
ar-Ridha a.s. dan al-Ma‟mun menikahkan Imam ar-Ridha dengan Ummu Habibah.
Al-Ma‟mun berharap bahwa Imam ar-Ridha a.s. akan memberikan bantuan dalam urusan politik resmi. Tetapi dia menyadari bahwa Imam
kebanyakan semakin dekat kepada Imam ar-Ridha a.s. karena ketinggian
ilmunya, dia meracuni Imam ar-Ridha a.s.
Demi kepentingan politik, al-Ma‟mun sebagai penguasa Bani Abbas pada masa itu mengundang Imam al-Jawad yang berada di Madinah
untuk datang ke pusat pemerintahannya di Baghdad. Kemudian al-Ma‟mun berniat untuk menikahkan puterinya yang bernama Ummu Fadhl
dengan Imam al-Jawad a.s yang masih sangat muda belia. Niatnya itu
diketahui oleh keluarga dari Bani Abbas dan mereka semua tidak
menyetujui bahkan menantangnya. Karenanya, al-Ma‟mun mengadakan rapat keluarga dan memaparkan sebab niatnya itu yang dianggap akan
melanggengkan kekhalifahan Bani Abbas dengan mempersatukan darah
dagingnya dengan Ahlul Bait, serta meyakinkan semua bahwa al-Jawad
adalah sosok yang paling alim dan akan mempunyai pengaruh sangat kuat
atas masyarakat, karena berdasarkan investigasi, dia sudah mengetahui
bahwa al-Jawad adalah Imam pengganti ayahnya, walaupun usianya masih
di bawah umur. Imam Jawad pun datang ke Baghdad dan al-Ma‟mun sudah mengundang para ulama‟ dan hakim-hakim paling alim untuk
menguji keilmuan Imam al-Jawad. Dalam acara perdebatan dengan Imam
al-Jawad a.s, al-Ma‟mun mempersiapkan acara ini dan mengumumkannya secara besar-besaran. Selain untuk kalangan kerajaan dan pejabat, telah disediakan sekitar 900 kursi untuk para ulama‟.3
Dunia terpana ketika
seorang kecil dihadapkan untuk berdebat dengan para ulama‟-ulama‟
3
veteran di Baghdad. Imam al-Jawad duduk di samping al-Ma‟mun berhadap-hadapan dengan Yahya bin Aktsam, yang kemudian bertanya, ”Apakah kau izinkan aku untuk bertanya?”
“Tanyalah apa saja yang engkau mau” Jawab Imam al-Jawad a.s.
Kemudian sesi ini dilanjutkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepada Imam al-Jawad a.s. yang dijawab dengan sangat baik oleh Imam
al-Jawad a.s. Pada akhirnya Imam al-Jawad a.s. bertanya balik kepada
Yahya bin Aktsam. Namun dia tidak bisa menjawab kemudian al-Ma‟mun berkata, “Tidakkah aku sudah mengatakan bahwa Imam al-Jawad datang
dari keluarga yang telah dipilih oleh Allah sebagai tempat penyimpanan
ilmu pengetahuan? Apakah ada satu orang di dunia ini yang bahkan
mampu untuk menyaingi seorang anak kecil dari keluarga ini?” Lalu semuanya menjawab, ”Tidak diragukan lagi bahwa tidak ada yang menyamai Muhammad bin Ali al-Jawad”. Akhirnya, sesuai permintaan al-Ma‟mun berlangsunglah perayaan akad nikah Imam al-Jawad dengan
Ummu Fadhl, puteri al-Ma‟mun di Majelis itu juga. Satu tahun setelah pernikahannya, Imam al-Jawad a.s. memutuskan untuk kembali ke
Madinah dengan istrinya. Namun harapan al-Ma‟mun dari pernikahan itu gagal karena ternyata puterinya mandul dan sampai 15 tahun pernikahan
pelayan Mu‟minah asal Maroko yang bernama Sumanah dan mendapat
kemuliaan besar dengan menjadi Ibu Imam Ali al-Hadi.4
Al-Ma‟mun meninggal dunia di tahun 218 H, dan kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama al-Mu‟tashim. Ia menunjukkan sifat kebencian kepada Ahlul Bait, seperti juga para pendahulunya.
Penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan terjadi lagi, hingga
pemberontakan terjadi dimana-mana dan semua mempergunakan atas nama “Ahlul Bait Rasullulah SAW”. Melihat pengaruh Imam al-Jawad
yang sangat besar di tengah masyarakat, serta kemuliaan dan perannya dalam bidang politik, ilmiah serta kemasyarakatan, maka Mu‟tashim tidak
berbeda dengan para pendahulunya dalam hal takutnya terhadap
keimaman Ahlul Bait Rasulullah SAW.
Pada tahun 219 H karena kekhawatirannya al-Mu‟tashim meminta Imam Jawad a.s. pindah dari Madinah ke Baghdad sehingga Imam
al-Jawad a.s. berada dekat dengan pusat kekuasaan dan pengawasan.
Kepergian Imam al-Jawad dielu-elukan oleh rakyat disepanjang jalan.
Tidak lama kemudian, tepatnya pada tahun 220 H, Imam al-Jawad a.s. wafat melalui rencana pembunuhan yang diatur oleh Mu‟tashim yaitu
dengan cara meracuninya. Menurut riwayat, dia diracun oleh istrinya
sendiri, Ummu Fadhl, puteri al-Ma‟mun atas hasutan Mu‟tashim. Imam Al-Jawad wafat dalam usia relatif muda yaitu 25 tahun dan dimakamkan
4 Ali Reza, “Al
di samping kakeknya, Imam Musa Kazim, di Kazimah perkuburan Qurays
di daerah pinggiran kota Baghdad. Meskipun dia syahid dalam umur yang
relatif muda, namun jasa-jasanya dalam memperjuangkan dan mendidik
umat sangatlah besar sekali.5
Untuk membahas lebih dalam mengenai kehidupan dan peran
Imam Muhammad bin Ali al-Jawad, perlu dikaji lebih mendalam dengan
kemasan penelitian. Dari konsep inilah penulis ingin mengungkap
“GERAKAN POLITIK IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD
(195-220 H/811-835 M) PADA MASA KHALIFAH AL-MA’MUN”.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas mengenai Gerakan Politik
Imam Muhammad bin Ali al-Jawad (195-220 H/811-835 M) pada masa
Khalifah al-Ma‟mun, penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut : 1. Bagaimana latar belakang kehidupan Imam Muhammad al-Jawad?
2. Bagaimana pandangan Imam Muhammad al-Jawad tentang konsep
Imamah?
3. Bagaimana gerakan politik Imam Muhammad al-Jawad?
5
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan judul yang diangkat di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui latar belakang kehidupan Imam Muhammad
al-Jawad.
2. Untuk mengetahui pandangan Imam Muhammad al-Jawad tentang
konsep imamah.
3. Untuk mengetahui gerakan politik yang terjadi saat Imam Muhammad
al-Jawad menjadi putera mahkota pada masa Khalifah al-Ma‟mun.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang Gerakan Politik Imam Muhammad bin Ali
al-Jawad (195-220 H/811-835 M) pada masa Khalifah al-Ma‟mun, masih belum begitu terekspos ke publik, padahal tokoh ini sangat besar
perjuangannya pada masa Khalifah al-Ma‟mun. Demikian juga peninggalan dari pemikiran ataupun karya-karyanya, mampu memberikan
manfaat bagi kemajuan di Baghdad.
Penelitian mengenai Gerakan Politik Imam Muhammad bin Ali
1. Bagi penulis merupakan wadah untuk mengetahui lebih jauh tentang
biografi dan Gerakan Politik Imam Muhammad bin Ali al-Jawad
(195-220 H/811-835 M) pada masa Khalifah al-Ma‟mun.
2. Manfaat secara akademis dan teoritis dalam penelitian ini adalah untuk
menambah khazanah keilmuan dalam bidang sejarah Islam di
Indonesia khususnya Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan
Ampel Surabaya Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) dan
masyarakat peminat sejarah pada umumnya.
3. Dapat dijadikan pijakan atau pertimbangan dalam mempelajari sejarah
khususnya pembahasan tentang Sejarah Ahlul Bait.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan
historis dan politik. Pendekatan historis yaitu penelitian sejarah tidak
hanya sekedar mengungkap kronologis kisah semata, tetapi merupakan
suatu pengetahuan tentang bagaimana peristiwa masa lalu terjadi.6
Sedangkan pendekatan politik menyoroti struktur kekuasaan, jenis
kepemimpinan, pertentangan kekuasaan dan lain sebagainya.
Kedua pendekatan tersebut akan dapat mengungkap latar belakang
sejarah tentang gerakan politik yang dipimpin oleh Imam Muhammad
Jawad bersama para pengikutnya, pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma‟mun.
6
Dari gerakan politik Imam Muhammad al-Jawad di atas, penulis
mengambil teori dari Max Weber tentang jenis kepemimpinan, yaitu :
a. Kepemimpinan Kharismatik : Kepemimpinan yang didasarkan pada
kemampuan alami, secara mukjizat, kharisma atau kewibawaan di luar
rasio. Kepemimpinan ini adalah kemampuan atau kekuatan batin yang
ada padanya dan didukung oleh kondisi masyarakatnya, kekayaan,
umur, kesehatan, profil bahkan pendidikan formal tidak menjadi
kriteria.
b. Kepemimpinan Tradisional : Kepemimpinan yang diterima
berdasarkan tradisi yang berlaku dalam komunitas masyarakat atau
dinasti tertentu, yang dominan dan diterima masyarakat. Seseorang
diangkat menjadi pemimpin secara turun temurun dari satu keluarga
atau dinasti tertentu.
c. Kepemimpinan Rasional : Kepemimpinan yang mendasarkan
wewenangnya pada kekuatan formal dan legalistic yang memperoleh
kedudukan atau diterima bawahannya secara rasio, maka pengangkatan
seseorang menjadi pemimpin berdasarkan persetujuan sebagian besar
masyarakat atau diangkat berdasarkan kewenangan atasan dan diterima
berdasarkan hukum.7
Dengan tiga jenis teori kepemimpinan tersebut, maka akan
memudahkan penulis untuk memberikan makna pada kepemimpinan
Imam al-Jawad dalam gerakan politiknya. Penulis mengkategorikan
7
kepemimpinan tersebut, termasuk kategori yang pertama yaitu seseorang
yang diangkat menjadi pemimpin karena kemampuan dia dalam
memimpin dan kewibawaan dia dalam masyarakat sebagai seorang
keturunan Ahlul Bait.
F. Penelitian Terdahulu
Pembahasan tentang gerakan politik Imam Muhammad al-Jawad,
belum pernah ditulis sebelumnya.
1. Beberapa penelitian yang akan saya lakukan terdapat di buku yang ditulis oleh Ali Muhammad Ali, berjudul “Imam Muhammad al-Jawad
a.s. dan Imam Ali bin al-Hadi a.s.”
Membahas tentang sejarah kehidupan Ahlul Bait a.s. yaitu : Imam
Muhammad al-Jawad a.s. dan Imam Ali bin al-Hadi a.s.
2. Buku lain adalah ditulis oleh Hamid Enayah, berjudul : “Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah”.
Buku ini secara spesifik mencoba melakukan studi perbandingan tentang pemikiran politik antara Sunni dan Syi‟ah. Kendatipun tidak
secara khusus membahas Wila>yat al-Faqi>h, namun buku ini relatif
detail dalam mengupas pemikiran politik dan hukum ketatanegaraan Syi‟ah modern.
3. Tulisan yang cukup menarik adalah ditulis oleh Multazam, Fakultas
Adab, Jurusan SKI pada tahun 2001, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
nampak pada judulnya, tulisan Multazam, mencoba menelusuri
peranan al-Husain dan kesyahidannya.
4. Ada pula tulisan skripsi ditulis oleh : Hery Noordiansyah, Fakultas
Adab, Jurusan SKI, pada tahun 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
berjudul : Perebutan Kekuasaan Khalifah al-Amin dan al-Ma;mun
(810-813 M) & Dampaknya bagi Dinasti Abbasiyah. Membahas
tentang : Biografi Khalifah al-Amin & al-Ma‟mun, pertentangan antara Khalifah al-Amin & al-Ma‟mun, dampak perebutan kekuasaan antara Khalifah al-Amin dan al-Ma‟mun bagi Dinasti Abbasiyah.
5. Ada pula tulisan skripsi ditulis oleh : Hasim Asroni, Fakultas Syari‟ah & Hukum, Jurusan Perbandingan Madzhab & Hukum, pada tahun
2012, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berjudul : Bentuk
Pemerintahan dalam Pemikiran Muammmar Qadhafi & Imam
Khomaeni. Membahas tentang : Seputar sistem pemerintahan dalam
Islam, pemikiran politik Muammar Qadhafi & Imam Khomaeni
tentang sistem pemerintahan Islam, analisis bentuk karakter
pemerintahan menurut Muammar Qadhafi & Imam Khomaeni.
Dari tulisan di atas, berbeda dengan tulisan yang akan dipaparkan
dalam pembahasan skripsi ini, karena pembahasan dalam skripsi ini hanya
berpusat pada sejarah kehidupan Imam Muhammad al-Jawad dan gerakan
politik. Sedangkan, tulisan di atas tidak membahasnya secara khusus
yang benar-benar terpusat pada sejarah Imam Muhammad al-Jawad ini,
sebagai skripsi.
G. Metode Penelitian
Penulisan ini adalah sebuah studi sejarah, maka metode yang
digunakan adalah metode penelitian historis. Menurut Kuntowijoyo,
setelah menentukan topik ada empat tahapan dalam penelitian sejarah,8
yaitu : pengumpulan sumber (Heuristik), kritik sumber (Verifikasi),
analisis atau sintesis (Interpretasi), dan penulisan sejarah (Historiografi).
Lebih jelasnya langkah-langkah tersebut akan dipaparkan sebagai berikut:
1. Heuristik
Yaitu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan
sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Sejarah tanpa sumber
maka tidak bisa bicara. Maka sumber dalam penelitian sejarah adalah
hal yang paling utama yang akan menentukan bagaimana aktualitas
masa lalu manusia bisa dipahami oleh orang lain.
Dalam tahap ini, penulis berusaha mengumpulkan sumber-sumber
yang relevan dengan melalui studi kepustakaan, yaitu bertujuan
mengumpulkan data informasi dengan bantuan macam-macam
material yang ada di perpustakaan.9
8
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 69. 9
Dalam hal ini penulis memperoleh sumber melalui riset
kepustakaan meliputi buku-buku karangan ilmiah yang ditulis oleh
para ahli yang relevan dengan masalah yang diteliti. Hal ini
berdasarkan pada pertimbangan bahwa melalui penelusuran dan
penelaahan kepustakaan, dapat dipelajari bagaimana mengungkap
buah pikiran secara sistematis dan kritis. Di samping itu data juga
diperoleh dari sumber lain yang terkait dengan
permasalahan-permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder digunakan untuk
membantu dan melengkapi data yang tidak diperoleh dari sumber
primer.
Adapun sumber primer dan sekunder antara lain :
a. Sumber Primer
Sumber primer merupakan sumber pertama dimana sebuah data
dihasilkan.10 Maka dalam penelitian ini sumber primer yang
digunakan adalah sebagai berikut :
1) The Life Of Muhammad al-Jawad oleh Baqir Sahrif (tahun
1383)
2) Ali Muhammad Ali, Para Pemuka Ahlul Bait Nabi 11-12:
Imam Muhammad al-Jawad a.s. dan Imam Ali al-Hadi a.s. terj.
Absin Muhammad dan Afif Muhammad. Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1993.
10
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kualitatif dan Kuantitatif
b. Sumber Sekunder
Selain sumber primer yang diperoleh dari berbagai literatur antara
lain :
1) Sirajuddin Abbas, Syi’ah. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
2) Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulah Abbasiyah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
3) Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 3. Jakarta: PT.
Pustaka al-Husna Baru, 2003.
2. Kritik
Merupakan bagian yang sangat penting dalam penulisan sejarah.
Dari data yang terkumpul dalam tahap heuristik diuji kembali
kebenarannya melalui kritik guna memperoleh keabsahan sumber.
Dalam hal ini keabsahan sumber tentang keasliannya (otentisitas) yang
dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang keshahihannya
(kredibilitasnya) ditelusuri lewat kritik intern.11 Sedangkan kritik
ekstern adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang
didapatkan autentik atau tidak.
3. Interpretasi atau penafsiran
Seringkali disebut juga dengan analisis sejarah berarti
menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang
berarti menyatukan. Di dalam proses interpretasi sejarah, seorang
peneliti harus berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang
11
menyebabkan peristiwa. Data sejarah kadang mengandung beberapa
sebab yang membantu mencapai hasil dalam berbagai bentuknya.
Walaupun suatu sebab kadangkala dapat mengantarkan pada hasil
tertentu, tetapi mungkin juga sebab yang sama dapat mengantarkan
pada hasil yang berlawanan dalam lingkungan lain. Dalam hal ini
penulis akan menganalisis hasil informasi dari sumber yang
berhubungan dengan gerakan politik Imam Muhammad bin Ali
al-Jawad (195-220 H/811-835 M) pada masa Khalifah al-Ma‟mun. 4. Historiografi
Sebagai fase terakhir dalam metode sejarah, historiografi
merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian
sejarah yang dilakukan. Layaknya laporan penelitian ilmiah, penulisan
hasil penelitian sejarah itu hendaknya dapat memberikan gambaran
yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase
perencanaan) sampai dengan akhirnya (penarikan kesimpulan).
Dalam buku lain historiografi merupakan tahap terakhir sejarah,
yang mana historiografi itu sendiri adalah menyampaikan hasil yang
diperoleh dalam bentuk suatu kisah yang dipaparkan secara sistematis
dan terperinci dengan menggunakan bahasa yang baik.12 Dalam hal ini
penulis mencoba menuangkan laporan penelitian ke dalam suatu karya
yang berupa skripsi. Penulisan ini diharapkan memberikan gambaran
yang jelas mengenai proses penelitian ini dari awal hingga akhir
12
tentang gerakan politik Imam Muhammad bin Ali al-Jawad (195-220
H/811-835 M) pada masa Khalifah al-Ma‟mun.
H. Sistematika Bahasan
Penelitian ini nantinya akan di susun dalam lima bab. Bab pertama,
merupakan bab pendahuluan, yang di dalamnya mencakup beberapa sub
bahasan, meliputi : Latar belakang masalah untuk memberikan penjelasan
secara akademis mengapa penelitian ini perlu dilakukan dan apa yang
melatar belakanginya.
Kemudian rumusan masalah yang dimaksudkan untuk
mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti agar lebih terfokus.
Setelah itu, dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian untuk
menguraikan pentingnya penelitian ini. Sedangkan Penelitian Terdahulu,
untuk memberikan gambaran tentang letak kebaruan penelitian ini bila
dibandingkan penelitian-penelitian yang telah ada. Kemudian kerangka
teoritik yang dilanjutkan dengan metode penelitian untuk
mensistematiskan metode dan langkah-langkah penelitian dimaksudkan
untuk menjelaskan bagaimana cara yang dipergunakan penulis dalam
penelitian ini. Dan terakhir sistematika bahasan.
Bab kedua, membahas tentang Biografi Imam Muhammad
al-Jawad, yang terbagi dalam beberapa sub bahasan sebagai berikut:
Genealogi Imam Muhammad al-Jawad, Kedermawanan Imam Muhammad
Bab ketiga, membahas tentang Pengertian Imamah, Konsep Imamah menurut Syi‟ah, Konsep imamah menurut Imam Muhammad
al-Jawad a.s.
Bab keempat, adalah bahasan inti dari skripsi ini yang akan
membahas tentang gerakan politik Imam Muhammad al-Jawad yang
terbagi dalam beberapa sub bahasan sebagai berikut : Situasi pemerintahan
Khalifah al-Ma‟mun, Pemberontakan Alawiyyin pada masa Imam al-Jawad, Hadis-hadis dan wasiat-wasiat Imam al-Jawad.
Bab kelima, adalah penutup yang diberisikan kesimpulan,
BAB II
BIOGRAFI IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD
A. Genealogi Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad
Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW yang akan dibahas kali ini
adalah Imam Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja‟far al-Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin Ibn
al-Husain keturunan dari Ali bin Abi Thalib dan Ibundanya Fatimah puteri
Rasulullah SAW.
Imam Al-Jawad a.s. adalah keluarga dari Nabi Muhammad yang
selama 8 generasi telah melahirkan para ulama‟ terkemuka dan kelanjutan dari silsilah Ahlul Bait yang suci. Dia dilahirkan pada bulan Ramadhan,
tahun 195 H di Madinah Al-Munawwarah. Dia adalah putera dari Imam
Ali ar-Ridha a.s. dan Ibunya bernama Sabikah. Perawi lain menyebutkan
riwayat lain tentang kelahiran Imam Muhammad al-Jawad yang mengatakan bahwa dia dilahirkan pada hari Jum‟at, tanggal 17 atau 15
Ramadhan tahun 195 H.
Dalam riwayat Ibn „Abbas disebutkan bahwa dia dilahirkan pada hari Jum‟at, pertengahan bulan Rajab. Ibunya adalah seorang Umm
kemudian Imam ar-Ridha memberinya nama Khaizaran, karena berasal
dari kota Naubah (Naubiyyah).1
Para sejarawan dan ahli riwayat menuturkan bahwa Imam al-Jawad
dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 195 H, dan sebagian lainnya
mengatakan bahwa dia dilahirkan pada bulan Rajab tahun yang sama.2
Di masa kanak-kanaknya dia dibesarkan, diasuh dan dididik oleh
ayahandanya sendiri selama 4 tahun kemudian ayahnya diharuskan pindah
dari Madinah ke Khurasan. Itulah pertemuan terakhir antara dia dengan
ayahnya, sebab ayahnya mati diracun. Sejak tanggal 17 Safar 203 H, Imam
Muhammad al-Jawad memegang tanggung jawab keimaman atas
pernyataan ayahandanya sendiri serta perintah dari Allah.3
Imam Al-Jawad lahir pada periode yang sarat dengan berbagai
peristiwa politik dalam keadaan kacau, dan silih bergantinya kekuasaan
antara al-Amin dan al-Ma‟mun, dua putera Harun ar-Rasyid. Tahun kelahirannya, 195 H adalah tahun saat al-Ma‟mun dibai‟at sebagai Khalifah, dan saudaranya, Amin dima‟zulkan. Tapi, tetap memegang
sebagian dari kekuasaan tertentu. Dia juga mendengar pengangkatan
ayahnya sebagai putera mahkota kemudian terdengar kabar tentang
kematian ayahnya.
Sejak kecil, dia telah menunjukkan sifat-sifat yang mulia serta
kecerdasan yang tinggi. Dikisahkan bahwa ketika ayahnya dipanggil ke
1
Al-Bahbudi, Kitab Shahih al-Kafi Jilid 1 (Iran: Haidari Printings, 1988), 56.
2
Al-Kulainiy, Al-Ushul al-Kafi Jilid 1 (Teheran: Dar al-Kitab al-Islamiyah, 1388), 492. 3
Baghdad, dia ikut mengantarkannya sampai ke Mekkah untuk berziarah ke
Baitul Haram kemudian Imam ar-Ridha a.s. melakukan thawaf di sekeliling Ka‟bah diikuti oleh puteranya, al-Jawad yang saat itu baru
menginjak usia 4 tahun, dengan digendong oleh pembantunya. Tentang
peristiwa ini, Abu al-Fath al-Irbili, dalam kitabnya yang berjudul Kasyf
al-Ghummah ‘An Hayat al-A’immah, mengatakan, “Dari Dala‟il al-Humairi,
dari Umayyah bin Ali, yang berkata, “Saya berada bersama Abu al-Hasan
(Imam ar-Ridha) di Mekkah pada saat ia menunaikan ibadah haji. Dari
Mekkah dia melanjutkan perjalanan ke Khurasan bersama puteranya, Abu Ja‟far (Imam al-Jawad). Imam Abu al-Hasan berpamitan kepada Baitullah.
Ketika ia menyelesaikan thawafnya, dia berdiri di Maqam, dan shalat di situ. Sementara, Imam Abu Ja‟far berada di atas pundak Muwwafiq yang
membawanya thawaf, kemudian Imam Abu Ja‟far masuk ke dalam Ka‟bah dan duduk di sana berlama-lama. Karena itu Muwaffiq berkata kepadanya, „Tuan, ayo berdirilah.‟ Tetapi Imam al-Jawad menjawab, ‟Aku tidak akan
berdiri kecuali bila dia menghendakinya.‟ Saat itu mendung terlihat membayangi wajahnya.
Karena itu Muwaffiq lalu menemui Imam Abu al-Hasan, dan berkata kepada dia, “Tuan, Imam Abu Ja‟far duduk terus di dalam Ka‟bah, dan tidak mau beranjak”. Mendengar itu Imam Abu al-Hasan bangkit dan
“Kalau begitu, baiklah” kata Imam Abu al-Hasan. Saat itu
berkatalah Imam al-Jawad, ”Bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan tempat ini kalau ayah sudah berpamitan dengan Baitullah ini untuk tidak kembali kemari?”
“Berdirilah, Nak,” pinta Imam Abu al-Hasan pula. Dan berdirilah Imam Abu Ja‟far dari duduknya.4
Dengan otaknya yang cerdas dan kesadarannya yang kuat, Imam
al-Jawad bisa merasakan tanda-tanda perpisahan dan berada jauh dari
ayahnya. Dia merasakan bahwa, sejak saat itu dia dan ayahnya tidak akan
bertemu lagi. Mendung pun membayang-bayangi wajahnya yang bening
itu, dan tergambarlah di depan matanya kepergian ayahnya yang tidak
akan kembali lagi, saat ayahnya melakukan salam perpisahan kepada
Baitullah. Perpisahan terakhir untuk tidak bertemu lagi.
Dalam bidang keilmuan Imam al-Jawad sangat dikenal, karena seringkali berbincang dengan para ulama‟ di zamannya. Dia mengungguli
mereka semua, baik pada bidang fiqih, hadis, tafsir dan lain-lainnya. Demi
kepentingan politik, al-Ma‟mun sebagai penguasa Bani Abbas pada masa itu mengundang Imam al-Jawad yang berada di Madinah untuk datang ke
pusat pemerintahannya di Baghdad. Kemudian al-Ma‟mun berniat untuk menikahkan puterinya yang bernama Ummu Fadhl dengan Imam al-Jawad
a.s yang masih sangat muda belia. Niatnya itu diketahui oleh keluarga dari
Bani Abbas dan mereka semua tidak menyetujui bahkan menantangnya.
4 Sirhan Ibn Sa‟id Azkawi,
Karenanya, al-Ma‟mun mengadakan rapat keluarga dan memaparkan sebab niatnya itu yang dianggap akan melanggengkan kekhalifahan Bani
Abbas dengan mempersatukan darah dagingnya dengan Ahlul Bait, serta
meyakinkan semua bahwa al-Jawad adalah sosok yang paling alim dan
akan mempunyai pengaruh sangat kuat atas masyarakat, karena
berdasarkan investigasi, dia sudah mengetahui bahwa al-Jawad adalah
Imam pengganti ayahnya, walaupun usianya masih di bawah umur. Imam
Jawad pun datang ke Baghdad dan al-Ma‟mun sudah mengundang para ulama‟ dan hakim-hakim paling alim untuk menguji keilmuan Imam
al-Jawad. Dalam acara perdebatan dengan Imam al-Jawad a.s, al-Ma‟mun mempersiapkan acara ini dan mengumumkannya secara besar-besaran.
Selain untuk kalangan kerajaan dan pejabat, telah disediakan sekitar 900 kursi untuk para ulama‟. Dunia terpana ketika seorang kecil dihadapkan untuk berdebat dengan para ulama‟-ulama‟ veteran di Baghdad. Imam
al-Jawad duduk di samping al-Ma‟mun berhadap-hadapan dengan Yahya bin Aktsam, yang kemudian bertanya, ”Apakah kau izinkan aku untuk bertanya?”5
“Tanyalah apa saja yang engkau mau” Jawab Imam al-Jawad a.s.
Kemudian sesi ini dilanjutkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepada Imam al-Jawad a.s. yang dijawab dengan sangat baik oleh Imam
al-Jawad a.s. Pada akhirnya Imam al-Jawad a.s. bertanya balik kepada
Yahya bin Aktsam. Namun dia tidak bisa menjawab kemudian al-Ma‟mun
5
berkata, “Tidakkah aku sudah mengatakan bahwa Imam al-Jawad datang
dari keluarga yang telah dipilih oleh Allah sebagai tempat penyimpanan
ilmu pengetahuan? Apakah ada satu orang di dunia ini yang bahkan
mampu untuk menyaingi seorang anak kecil dari keluarga ini?” Lalu semuanya menjawab, ”Tidak diragukan lagi bahwa tidak ada yang menyamai Muhammad bin Ali al-Jawad”. Akhirnya, sesuai permintaan al-Ma‟mun berlangsunglah perayaan akad nikah Imam al-Jawad dengan
Ummu Fadhl guna memisahkan hubungannya dengan umat. Dengan
pernikahan ini, al-Ma‟mun telah menanamkan mata-mata keluarga dalam rumah Imam Muhammad al-Jawad a.s. yang akan mengawasi segala
gerak-geriknya. Satu tahun setelah pernikahannya Imam al-Jawad kembali
ke Madinah bersama istrinya dan kembali mengajarkan agama Allah.
Namun harapan al-Ma‟mun dari pernikahan itu gagal karena ternyata puterinya mandul dan sampai 15 tahun pernikahan tidak dikaruniai anak.
Imam al-Jawad menikah lagi dengan seorang pelayan Mu‟minah asal Maroko yang bernama Sumanah dan mendapat kemuliaan besar dengan
menjadi Ibu Imam Ali al-Hadi. Karena pernikahan itu, Ummu Fadhl
menjadi cemburu sampai dia menulis surat menyampaikan kesedihan dan
kecemburuan kepada ayahnya. Tapi, al-Ma‟mun malah menjawabnya dengan begini, “Wahai puteriku, sabar dan bertahanlah karena dia adalah putera Rasulullah SAW!”6
6
Meskipun di zaman al-Ma‟mun, Ahlul Bait merasa lebih aman dari zaman sebelumnya. Namun beberapa pemberontakan masih juga terjadi.
Itu semua dikarenakan adanya perlakuan-perlakuan yang semena-mena
dan para bawahan al-Ma‟mun dan juga akibat politik yang tidak lurus kepada umat.
Setelah al-Ma‟mun meninggal, pemerintahan dipimpin oleh Mu‟tashim. Dia menunjukkan sifat kebencian kepada Ahlul Bait, seperti
yang dilakukan para pendahulunya. Penyiksaan, penganiayaan dan
pembunuhan terjadi lagi hingga pemberontakan terjadi dimana-mana dan
semua mempergunakan atas nama “Ahlul Bait Rasulullah SAW”. Melihat pengaruh Imam al-Jawad yang sangat besar di tengah masyarakat, serta
kemuliaan dan peranannya dalam bidang politik, ilmiah serta kemasyarakatan, maka Mu‟tashim tidak berbeda dengan para
pendahulunya dalam hal takutnya terhadap keimaman Ahlul Bait
Rasulullah SAW. Pada tahun 219 H karena kekhawatirannya al-Mu‟tashim meminta Imam Jawad pindah dari Madinah ke Baghdad
sehingga Imam Jawad berada dekat dengan pusat kekuasaan dan
pengawasan. Kepergiannya dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang jalan.
Tidak lama kemudian, tepatnya pada tahun 220 H, Imam al-Jawad wafat melalui rencana pembunuhan yang diatur oleh Mu‟tashim yaitu
dengan cara meracuninya. Menurut riwayat, dia diracun oleh istrinya
kakeknya, Imam Musa al-Kadzim, di Kazimah, perkuburan Qurays di
daerah pinggiran kota Baghdad. Meskipun dia syahid dalam umur yang
relatif muda, namun jasa-jasanya dalam memperjuangkan dan mendidik
umat sangatlah besar sekali.7
B. Kedermawanan Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad
Di akhir bulan Dzul Qa‟dah kita memperingati hari Syahadah
Imam Muhammad al-Jawad, anak Imam ar-Ridha a.s. Pada tahun 220 H
Imam Jawad berpulang ke pangkuan Allah SWT dan dunia Islam meratapi
dalam kepergian pemimpin besarnya. Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW
bertindak sebagai pengasas perubahan pemikiran budaya dan sosial umat
dalam menyukseskan risalah Ilahi. Bila dibahas sejarah kehidupan Ahlul
Bait, dengan mudah peran besar dan nilai mereka dalam melindungi
prinsip-prinsip agama dapat kita pahami.
Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan mereka
terkenal menghadapi kedzaliman. Dengan usaha keras dan jihad yang
dilakukan mereka mampu melindungi substansi Islam agar agama besar ini
tetap hidup untuk selamanya. Imam Jawad a.s. termasuk Ahlul Bait Nabi
Muhammad SAW yang selama 17 tahun mengemban tanggung jawab
sebagai Imam dan penuntun umat Islam. Selama itu pula dia senantiasa
berusaha menyebarkan Islam dan memperkaya khazanah pemikiran Islam.
7
Imam Jawad a.s. dalam salah satu ucapannya mengatakan, “Bila
manusia memiliki 3 ciri khas ini, dia bakal mencapai keridhoan Allah :
Pertama, banyak meminta ampunan kepada Allah, Kedua bersikap lemah
lembut dengan masyarakat dan Ketiga, banyak memberikan shodaqoh.
Imam Jawad menilai melayani dan membantu masyarakat akan
menurunkan Rahmat Ilahi. Sekaitan dengan hal ini dia berkata, ”Saat nikmat Allah banyak diturunkan kepada seseorang, itu berarti semakin
banyak masyarakat yang membutuhkannya. Bila orang tersebut tidak
berusaha memenuhi kebutuhan orang lain, niscaya nikmat Allah berada dalam kondisi bahaya dan akan musnah.”
Imam Jawad a.s. adalah anak dari Imam ar-Ridha a.s. Dia
dilahirkan di kota Madinah tahun 195 H. Namun dalam masa yang singkat
ini, dia sangat berperan dalam meningkatkan pemikiran masyarakat waktu
itu. Imam Jawad a.s. pada usia 8 tahun diangkat sebagai Imam umat.
Dengan alasan usianya yang masih muda ini membuat sebagian orang
meragukannya, sementara sebagian lainnya malah semakin takjub.
Alasan keraguan sebagian orang kembali pada cara berpikir
materialis dalam mengamati fenomena alam. Padahal Allah yang Maha
Bijaksana punya kemampuan untuk mengembangkan akal seseorang
sekalipun usianya yang masih sangat muda. Hal ini sesuai dengan apa
yang dinukilkan oleh al-Qur‟an mengenai umat-umat terdahulu. Kenabian Nabi Yahya as terjadi saat dia masih kecil dan Nabi Isa as yang berbicara
Imam Jawad a.s. semasa kecil hingga menginjak usia remaja telah
dikenal akan keilmuan, kefasihan, kesabaran dan ketaqwaan. Dia memiliki
kecerdasan dan cara penyampaian yang lugas. Meskipun usianya masih
sangat muda. Tetapi dari sisi keilmuan dan keutamaan dia telah
disejajarkan dengan tokoh-tokoh masa itu. Dalam sejarah disebutkan, saat
musim haji sekitar 80 orang ahli fiqih dari Baghdad dan kota-kota lain
menuju Madinah untuk bertemu dengan Imam Jawad a.s. Mereka
mencecar Imam Jawad dari berbagai pertanyaan ilmiah. Namun Imam
Jawad a.s. dengan tenang dan mantap menjawab semua yang ditanyakan.
Kejadian ini memupuskan segala keraguan yang selama ini menggelayut
benak mereka.8
Di masa keimaman Imam al-Jawad, Islam menyebar ke berbagai
kawasan secara luas. Kondisi ini telah menyebabkan terbukanya peluang
perpindahan pemikiran dari luar ke dalam kalangan umat Islam. Pada
zaman itu juga terjadi berkali-kali dialog antara pemikir Islam dan non
Islam. Imam Jawad memainkan peranan yang sangat penting pada saat itu.
Dia berhasil membimbing umat sekaligus mencegah terjadinya infiltrasi
pemikiran-pemikiran luar yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Salah
satu hadis dari dia adalah “Berpegang teguh kepada Allah adalah sebuah tangga untuk menuju derajat yang tinggi. Siapapun yang berpegang teguh
8
kepada Allah, Dia pasti membebaskannya dari segala keburukan sekaligus
menjaganya dari ancaman-ancaman musuh.”9
Imam Abu Ja‟far Jawad a.s. adalah orang yang paling bermurah
hati dan paling banyak berderma. Karena kemurahannya terhadap orang
lain itu, Imam al-Jawad sampai dijuluki al-Jud (kedermawanan). Para
sejarawan mencatat banyak riwayat mengenai kedermawanannya.
Diriwayatkan para sejarawan bahwa Ahmad bin Hadid beserta rombongan
pergi menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba mereka diserang sekelompok
penyamun. Harta mereka dirampok. Ketika mereka tiba di Madinah,
Ahmad pergi menemui Imam Jawad. Dia menceritakan apa yang mereka
alami. Lalu Imam Jawad menyuruhnya membawa sebuah kain dan ia pun
diberi sejumlah dinar untuk dibagi-bagikan kepada rombongannya itu.
Nilainya sama besar dengan apa yang dirampok dari mereka.
Dengan demikian, Imam al-Jawad telah menyelamatkan mereka
dari cobaan. Dengan kedermawanan yang besar, dia telah mengembalikan
milik mereka yang hilang.
Kedermawanan Imam Jawad dan kebaikan hatinya meliputi semua
makhluk, termasuk hewan. Muhammad bin Walid al-Kirmani meriwayatkan, “Aku makan di tempat Abu Ja‟far a.s. selesai makan, meja
makan diangkat dan pelayan pun datang untuk membersihkan
potongan-potongan makanan. Imam al-Jawad berkata kepadanya, ”Tinggalkan apapun di sahara meski sepaha domba. Imam al-Jawad menyuruhnya
9
untuk meninggalkan makanan yang ada di sahara agar dapat dimakan
burung dan semua hewan yang tidak mempunyai makanan.10
Kemurahan hati dan kebaikan perbuatan terhadap manusia
termasuk salah satu kedermawanan Imam Jawad dan sifatnya yang paling
menonjol. Para sejarawan banyak yang menulis riwayat tentang
kemurahan hatinya, yang antara lain : Ahmad bin Zakaria ash-Shaidalani
meriwayatkan dari seorang lelaki asal Bani Hanifah, penduduk Bast dan
Sajastan. Dia berkata, “Aku menemani Abu Ja‟far Jawad pada tahun ketika dia pergi haji di awal masa kekhalifahan Mu‟tashim. Di depan meja makan, aku berkata kepadanya, “Tuanku, gubernur kami mengakui kepemimpinan kalian, Ahlul Bait dan mencintai kalian. Namun aku
dibebani untuk membayar pajak. Sudikah Anda membayarnya? semoga
Allah menjadikan diriku sebagai tebusan untuk Anda menulis surat
kepadanya untuk bermurah hati terhadapku. “Aku tidak mengenalnya” tegas Imam al-Jawad.
Aku mengatakan, ”Tuanku, sebagaimana yang telah aku katakan, dia itu termasuk para pecinta Ahlul Bait. Dan surat Anda akan bermanfaat
bagiku. Imam al-Jawad mengabulkan dan menulis surat kepadanya.
Setelah basmalah, Imam al-Jawad menyampaikan, “Amma ba‟du! Sesungguhnya penyampai suratku ini menyebutkan sebuah kepercayaan
yang indah tentang Anda. Tiada yang Anda lakukan melainkan perbuatan
yang baik. Maka berbuat baiklah terhadap saudara-saudara Anda.
10Iran Indonesia Radio,”Al
Ketahuilah bahwa Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban Anda
tentang amal perbuatan yang sekecil-kecilnya.”
Sampai di Sajastan, sang gubernur, Husain bin Abdullah
An-Naisaburi, mengetahui bahwa Imam Jawad telah menulis surat kepadanya.
Maka, ia pun menyambut kedatangan surat itu dari jarak 2 farsakh. Ia raih
surat itu dan menciumnya. Ia juga menghormati lelaki tersebut dan
menanyakan keperluannya. Maka lelaki itu menyampaikan hajatnya. Sang
gubernur pun berkata kepadanya, ”Anda jangan membayar pajak selama aku bertugas.” Kemudian gubernur menanyakan pula tentang keluarganya.
Lelaki itu menyampaikan jumlah keluarganya. Gubernur menyuruhnya
agar mereka datang untuk bersilaturahim. Semua itu berkat kasih sayang
Imam al-Jawad.
Kehidupan manusia-manusia suci Ahlul Bait a.s. merupakan
teladan bagi seluruh umat Islam. Dalam kehidupan mereka meski dipenuhi
pahit dan getir akibat kedzaliman para penguasa yang takut akan
keberadaan mereka, namun begitu masih menyisakan ajaran dan teladan
berharga bagi kita semua. Dalam hal ini, kehidupan yang relatif singkat
Imam Jawad a.s. pun tak lepas dari koridor ini. Sisi kedermawanan dia
yang kita nukil dalam berbagai kisah kehidupan dia merupakan contoh
bagi umat Islam yang mulai pudar rasa solidaritas mereka terhadap sesama
saudaranya.
Pesan-pesan dan ajaran yang diajarkan manusia suci dari Ahlul
dalam kehidupan umat Muslim.11 Mereka inilah mentari Ilahi yang
menerangi alam semesta, tanpa keberadaan mereka alam akan gelap gulita
dan manusia akan tersesat. Keberadaan mereka di bumi sebagai hujjah
Ilahi. Risalah berat untuk membimbing umat supaya tidak tersesat berada
dipundak manusia-manusia suci ini.
Sifat dermawan yang merupakan salah satu ajaran Islam, tersemat
kuat dalam pribadi Imam Muhammad Taqi al-Jawad. Imam inilah yang
menjadi simbol kedermawanan bagi umat Islam, sifat yang mulai pudar
dan dilupakan oleh mereka yang mengaku sebagai pengikut Nabi
Muhammad SAW. Solidaritas dan keprihatinan menyaksikan penderitaan
umat manusia dengan baik telah ditanamkan oleh Rasulullah SAW selama
beliau mengemban risalah Ilahi. Namun sepeninggal beliau, nilai-nilai ini
mulai luntur dan perlu ada seseorang yang mengajak manusia untuk
kembali menerapkan nilai-nilai luhur ini. Dan Imam al-Jawad adalah
seseorang yang mengingatkan kembali umat Islam akan ajaran Allah.
Di akhir ini, kami mengingatkan kepada Anda sebuah wasiat Imam
al-Jawad a.s. Dia berpesan, “Jiwa dan seluruh harta kita adalah anugerah Allah yang sangat berharga dan pinjaman dari-Nya yang telah dititipkan
kepada kita. Segala yang dianugerahkan kepada kita adalah pembawa
kebahagiaan dan kesenangan, dan segala yang diambil-Nya (dari kita),
pahalanya akan tersimpan. Barang siapa yang kemarahannya mengalahkan
11
kesabarannya, maka pahalanya telah sirna. Dan saya berlindung kepada
Allah dari hal itu.12
C. Keulama’an Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad
Kedua belas Imam yang disucikan serta para ulama‟ yang
memperoleh pendidikan dalam madrasah serta pengkajian mereka, yang
mengambil dari ilmu-ilmu Islam, telah menciptakan madrasah ini dan
meneguhkan tiang-tiang keilmuannya, memperluas cakrawalanya, dalam
ilmu tauhid dan tafsir, fiqih dan hadis, filsafat dan kalam serta ushul fiqih
dan lain-lain, dari ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam, sehingga madrasah
ini menjadi terkemuka sepanjang zaman di antara madrasah-madrasah
berbagai madzhab dan firqah Islam yang lain, karena kekayaan ilmunya
dan kelestarian akar-akarnya dalam ilmu tauhid, fiqih dan ushul dan hadis
serta metode penelitian, pemikiran dan istinbath,dan sebagainya.
Di masa kini, madrasah ini merupakan madrasah yang paling
terkemuka, metode yang paling mandiri serta paling kaya dalam ilmu dan
pengetahuan Islam. Imam Jawad a.s. sepanjang masa keimamannya yang
berlangsung selama kurang lebih 17 tahun telah memberikan andil dalam
memperkaya madrasah ilmiah ini dan memelihara khazanahnya. Masa dia
merupakan masa yang menonjol dengan metodenya yang berdasar pada
penyandaran kepada nash dan riwayat dari Rasulullah SAW. Serta
pemahaman dan istinbath dari al-Kitab dan Sunnah dengan istinbath yang
12
Bukhori Supriyadi, ”Imam Muhammad al-Jawad a.s.”, dalam
teliti dan bertanggung jawab, dan mengungkapkan hakikat ruang lingkup
ilmiah dari kedua sumber ini (al-Kitab dan Sunnah) serta hikmah realistik
yang terkandung di dalamnya, dengan menekankan bahwa keduanya
sangat mementingkan ilmu-ilmu dan pengetahuan aqliyah, para Imam dan
murid-murid mereka telah memberikan sahamnya dalam
menumbuhkannya, memperkayanya, memperluas daerahnya hingga
jadilah dia monumen yang agung dan benteng yang kokoh bagi pemikiran
Islam dan syari‟at Islam.13
Di antara landasan-landasan ilmiah yang di atasnya madrasah ini
ditegakkan adalah :
1. Pelestarian warisan nubuwwah dan apa yang dikandungnya berupa
riwayat, sirah dan pengutipannya dengan cara yang terpercaya dan
sempurna, melalui mata rantai para Imam sejak Imam Ali a.s. dan
kedua puteranya As-Sibthain Asy-Syahidain al-Hasan dan al-Husain
a.s. hingga Imam yang terakhir dari mereka, serta penyebar luasnya di
kalangan seluruh kaum Muslimin, khususnya karena kaum Muslimin
semuanya bersepakat atas kepercayaan dan ketsiqatan Ahlul Bait serta
kebenaran segala yang bersumber dari mereka.
2. Penghormatan terhadap peranan akal pemahaman dan penafsiran, serta
penggunaannya dalam pemahaman dan pengambilan kesimpulan yang
disertai dengan al-Kitab dan Sunnah dan dalam bidang ilmu-ilmu
aqliyah, seperti ilmu kalam dan filsafat, untuk mempertahankan Islam
13
dan menolak pemikiran musuh-musuhnya, serta memelihara
kemurnian keasliannya.
Dalam melaksanakan metodenya ini mereka bersandar pada sejumlah
cara, di antaranya yang termasyhur adalah :
Pertama, cara pengajaran dan pendidikan kepada murid-murid dan para ulama‟ yang mampu menguasai ilmu-ilmu syari‟at dan
pengetahuan-pengetahuannya, dan mendorong mereka untuk menuliskan dan
mendokumentasikannya, serta memelihara apa yang bersumber dari para
Imam Ahlul Bait a.s. atau memerintahkan kepada mereka untuk
mengarang dan menulis karya serta menyebarluaskan apa yang mereka
pelihara untuk menjelaskan ilmu-ilmu syari‟at, serta mengajar kaum Muslimin dan menjadikan mereka paham (faqih), atau untuk menolak
pemikiran-pemikiran yang menyimpang serta konsep-konsep yang keliru
yang ke dalamnya banyak orang telah terjerumus.14
Dari lingkungan setiap Imam dari para Imam Ahlul Bait a.s. telah
terbentuk kelompok murid-murid, perawi-perawi yang menjadi sumber
rujukan dan yang meriwayatkan, menyusun kitab serta menulis karangan.
Imam Al-Jawad a.s. telah menjalankan peranan ini, sebagaimana ayahnya juga telah menjalankannya. Para ulama‟ yang paham rijal dan
hadis telah menyebutkan sejumlah sahabat Imam Jawad a.s. yang
memperoleh pendidikan ditangannya dan mengambil darinya, atau dari
14
ayahnya, ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam. Mereka semua lalu menjadi
mata rantai yang menghubungkan antara Imam-Imam dengan umat.
Dalam kitab Rijalnya, Syaikh Ath-Thusi telah menghitung
sahabat-sahabat Imam Jawad a.s. serta perawi-perawinya yang mengambil ilmu,
meriwayatkan hadis dan belajar dari Imam Jawad a.s. sebanyak kira-kira
seratus orang perawi yang tsiqat, dua di antaranya wanita.
Para ulama‟ ini telah meriwayatkan dari Imam Jawad a.s. dan
menyusun kitab-kitab serta mengarang dalam berbagai bidang ilmu dan
pengetahuan Islam. Mereka memperkaya bidang-bidang ilmu tersebut,
menyuburkan kebangkitan pemikiran dan menanamkan pengaruh dalam
madrasah Islamiyah.
Di bawah ini saya sebutkan contoh sebagian dari apa yang diriwayatkan oleh para ulama‟ Rijal dan para muhaqqiq dari mereka :
1. Di antara sahabat-sahabat Imam Jawad a.s, ia adalah Ahmad bin
Muhammad bin Khalid al-Barqy. Para ulama‟ rijal telah membicarakannya. Diriwayatkan bahwa dia telah mengarang banyak
kitab, kemudian disebutkan sejumlah kitab dari padanya. An-Najasyi
menyebutkan namanya dalam kitab Rijalnya dan menghitung
kitab-kitab karangannya, yang jumlahnya lebih dari 90 buah kitab-kitab.15
2. Ali bin Mahziyar al-Ahwazi, yang dibicarakan oleh Syaikh Ath-Thusi dengan ucapannya : “Ali bin Mahziyar al-Ahwazi, seorang yang
berkedudukan tinggi, luas riwayatnya, telah menulis 13 buah kitab,
15
seperti al-Hasan bin Sa’id, Ziyadah Kitab Huruf al-Qur‟an dan kitab al-Anbiya‟serta ats-Tsaaraat.16
3. Di antara mereka juga terdapat Shafwan bin Yahya, yang digambarkan
oleh Syaikh Ath-Thusi dengan kata-katanya : “Orang yang paling tsiqatpada zamannya menurut para ahli hadis, dan yang paling banyak beribadah. Setiap hari dia mengerjakan shalat sebanyak 150 raka‟at,
dan dalam satu tahun berpuasa 3 bulan. Dia juga mengeluarkan zakat mal dalam 1 tahun 3 kali. “Shafwan meriwayatkan hadis dari Imam
Ridha dan Imam Jawad a.s dan meriwayatkan hadis 40 orang sahabat
Abu Abdullah (Imam Shadiq a.s.). Dia juga memiliki koleksi
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Abul Hasan (Imam Musa
al-Kadzim a.s.) dan riwayat-riwayat yang berasal darinya.17
4. Di antara sahabat-sahabat Imam Jawad a.s. yang lain adalah paman ayahnya, yaitu Ali bin Ja‟far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin
Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata al-Hafizh ar-Razi
dalam kitab Rijalnya yang menceritakan tentang para perawi. Dalam
bab tentang Imam Musa bin Ja‟far, kakek Imam Jawad, dia mengatakan : “Musa bin Ja‟far bin Muhammad bin Ali bin al-Husain
bin Ali bin Abi Thalib meriwayatkan hadis dari ayahnya, dan anaknya, Ali bin Musa, serta saudaranya, Ali bin Ja‟far, meriwayatkan darinya.
16
Syaikh Ath-Thusi, Al-Fihrasat (Beirut: Dar Ihya Turath al-„Arabi, 1970), 745. 17
Kata al-Hafizh ar-Razi : “Dia adalah seorang yang tsiqat dan benar, seorang Imam di antara Imam-Imam kaum Muslimin.18
Demikian kita mengetahui madrasah Imam Jawad a.s. telah menghasilkan ulama‟-ulama‟ dan murid-murid dan perawi serta ulama‟
mengambil riwayat dari padanya dan memberikan saham dalam
membangun istana pemikiran dan ilmu pengetahuan Islam.
Adapun cara Kedua yang dijadikan sandaran oleh Imam Jawad a.s.
adalah menyebarkan ilmu pengetahuan dan memperluas wilayah dakwah
Islam serta jangkauan perkenalan pemikiran Islam, serta meneguhkan
tiang-tiang aqidah dan syari‟at Islam dalam sinaran madrasah Ahlul Bait a.s. dan apa-apa yang diriwayatkan dan diambil dari padanya.
Para Imam Ahlul Bait a.s. menyandarkan diri pada cara menunjuk
wakil-wakil dan mengirimkannya ke setiap penjuru dunia Islam untuk menjadi penyeru syari‟at Islam dengan lisan dan amal perbuatan. Banyak dari para da‟i itu yang melaksanakan tanggung jawab ilmiah dan politik
serta kemasyarakatan mereka secara rahasia, karena pertimbangan adanya
mata-mata penguasa dan pertentangannya dengan peran yang dijalankan
oleh Ahlul Bait a.s. dan mereka yang mengikuti jejaknya menghadapi
kedzaliman dan kerusakan politik-sosial serta tersia-siakannya hukum syari‟at.
Dari korespondesi Imam Jawad a.s. dan dikemukakannya beberapa
nama murid dia berikut jumlahnya dalam uraian di atas, kita mengetahui
18
bahwa dia mengandalkan wakil-wakilnya dan menyebarkan mereka ke
berbagai daerah di dunia Islam setelah mereka menyempurnakan
pemahaman dan pendidikan di tangannya. Dia juga mengandalkan
orang-orang yang belajar dari ayahnya, para Imam membawa petunjuk, agar mereka melaksanakan peran sebagai da‟i-da‟i dan mubaligh yang
menyampaikan hukum-hukum syari‟at dan pemikirannya yang asli. Dengan cara demikian, madrasah Ahlul Bait a.s. memiliki organ ilmiah
yang sistematis dan menjadikannya tersebar di setiap penjuru dunia
Islam.19
Cara Ketiga, yang penting dan berpengaruh yang ditempuh oleh Ahlul
Bait a.s. untuk menyebarkan pemikiran Islam dan mendidik umat serta menjaga keaslian dan kemurnian syari‟at Islam adalah diskusi ilmiah.
Kitab-kitab hadis dan riwayat telah menceritakan kepada kita banyak
contoh argumentasi, pertukaran pandangan dan diskusi dalam berbagai
cabang ilmu dan pengetahuan, bagi upaya mempertahankan Islam dan
meneguhkan tiang-tiangnya dalam bidang tauhid, fiqih, riwayat dan
sebagainya.
Diskusi-diskusi ilmiah yang bersumber dan diriwayatkan dari para
Imam Ahlul Bait a.s. ini dibagi dalam beberapa kategori, yakni :
1. Diskusi yang dikhususkan oleh para Imam a.s. untuk mempertahankan
Islam dan menolak pemikiran kaum ateis dan zindiq serta
19
pemeluk agama yang menyimpang, dan pemikiran-pemikiran yang
sesat, filsafat dan teori-tori yang asing bagi Islam.
2. Diskusi yang dikhususkan oleh para Imam a.s. untuk menolak
pemikiran dan aqidah menyimpang yang tumbuh di kalangan sebagian
kaum muslimin, seperti aliran ghulat, tajsim (anthropomorfisme),
tafwidh (qadiriyyah) dan gagasan beberapa bagian aliran tasawuf dan
filsafat serta mutakallimin.
3. Diskusi yang dikhususkan untuk mengungkapkan noda-noda
penyimpangan yang masuk ke dalam Islam dan menjelaskan
kekeliruan ilmiah serta kelemahan pemikiran dalam mengungkapkan
hakikat ilmiah dan menentukan metode yang benar.20
4. Diskusi yang terjadi antara para Imam a.s. dengan ulama‟-ulama‟ di masa mereka, dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepada para Imam tersebut atau inisiatif para Imam a.s. untuk
berdiskusi dengan orang lain dalam masalah tauhid, fiqih, ushul, tafsir
dan lain-lain.
Cara Keempat adalah melalui kitab-kitab yang dikarang oleh para
sahabat Imam a.s. Kita telah melihat peran ilmiah penulisan kitab dalam
perkenalan kita dengan beberapa orang sahabat Imam Jawad a.s, betapa
banyak macam dan jumlah kitab karangan mereka yang telah memperkaya
20
pemikiran dan kepustakaan serta kehidupan Islam sampai masa kita
sekarang ini.21
21
BAB III
PENGERTIAN IMAMAH DAN MENURUT SYI’AH SERTA
PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP KEIMAMAHAN IMAM MUHAMMAD BIN ALI AL-JAWAD
A. Pengertian Imamah
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata amma,
menurut Ibnu Mandzur berarti yang berada di depan atau ketua.1 Serupa
dengan penjelasan dalam Al-mu’jam Asy-syamil limustholahat al-falsafah
karya Dr. Abdul Mun‟im al-Hifny, Imam adalah yang memiliki kekuasaan
tertinggi di dalam agama dan dunia, yang harus diikuti oleh seluruh umat.2
Jadi, orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani
sebagai contoh. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan
umat.3 Sedangkan Muhammad Rasyid Ridho dalam bukunya al-Khilafah,
kata Imamah, Khilafah, serta Amirul Mukminin ketiganya mempunyai
makna yang sama yaitu kepemimpinan satu pemerintahan Islam yang
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya.
Adapun pengertian Imamah menurut ulama‟ Syi‟ah, bahwa kepemimpinan spiritual atau rohani, pendidikan, agama dan politik bagi
umat Islam telah ditentukan Allah secara turun temurun sampai Imam
1
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir, 1355),12-26. 2Abdul Mun‟im al
-Hifny, Al-Mu’jam Asy-Syamil Limustholahat al-Falsafah (Mesir: Maktabah al-Madbuly, 2000), 35.
3
kedua belas.4 Sementara menurut al-Hilly, salah seorang ulama‟ Syi‟ah, Imamah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan dunia dan agama,
oleh seseorang maupun beberapa orang, sebagai pengganti kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW. Muhammad al-Husein Ali Kasyiful Ghita‟, juga mengatakan dalam bukunya Ashlusy Syi’ah wa Ushuluha, masalah Imamah merupakan dasar utama yang hanya dimiliki oleh Syi‟ah Imamiyah dan menjadikan Syi‟ah Imamiyah berbeda dari aliran-aliran
dalam Islam lainnya. Ia adalah perbedaan yang bersifat dasar atau asasi, perbedaan lainnya hanya furu‟iyah, tak ubahnya dengan perbedaan antar Madzhab (Hanafi, Syafi‟i dan lain-lain). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan
bahwa Imamah semata-mata ialah anugerah Tuhan yang telah dipilih
Allah dari zaman azali terhadap hambaNya, seperti Allah memilih Nabi
dan memerintahkan kepada Nabi untuk menyampaikan kepada umat agar mereka mengikutinya. Syi‟ah Imamiyah berkeyakinan bahwa Allah telah
memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menentukan Ali r.a
dan mengangkatnya sebagai pemimpin umat manusia setelah beliau.5
Berdasarkan tinjauan di atas dapat dikatakan bahwa konsepsi
mengenai kepemimpinan dalam Islam memiliki makna lebih dari sekedar
memimpin pada tataran konsepsi duniawi. Imamah ini menjadi prinsip dan
dasar yang pokok dalam madzhab Syiah dua belas, seperti halnya pokok
agama karena menurut mereka masalah tersebut adalah rangkaian kalimat
tauhid (Laa ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah). Barang siapa tidak
4
Ali Ibrahim Hasan, Ath-Tarikh al-Islamy al-‘Am (Quwait: Maktabah al-Falah, 1977), 230-231. 5
percaya kepada Imamah, ia sama dengan orang tidak percaya kepada
kalimat syahadat.
Dengan dimasukkannya Imamah (kepala negara dan pemerintahan)
dalam bagian keimanan yang harus diyakini kebenarannya, tentu saja berlainan dengan Ahlussunnah wal Jama‟ah. Karena sesuai metode pemahaman Ahlussunnah wal Jama‟ah bahwa penetapan dasar aqidah
menggunakan At-Taufiq bainan-naqli wal-‘aqli (al-Qur‟an, hadist dan An -Nazhar), maka dasar-dasar keimanan yang enam itu diambil sepenuhnya
dari nash al-Qur‟an dan hadist-hadist Nabi Muhammad SAW.
B. Konsep Imamah menurut Syi’ah
Dalam al-Qur‟an, Syi‟ah mempunyai arti golongan pengikut firqah. Golongan Syi‟ah adalah suatu golongan dalam Islam yang mempunyai pendirian bahwa sayyidina Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya lebih berhak untuk menjadi Khalifah dari pada orang lain.
Sebab menurut mereka, Nabi Muhammad SAW telah menjanjikan demikian. Syi‟ah dapat pula diartikan sebagai suatu golongan yang
mempunyai keyakinan faham Syi‟ah dengan kata lain pengikut suatu golongan/aliran yang menta‟ati pemimpin-pemimpin yang diangkat oleh
para keluarga (ahlul bayt) dan keturunannya.6
Dengan demikian, pengertian Syi‟ah dapat kita pahami bahwa suatu golongan aliran paham yang berpegang kepada Ali bin Abi Thalib,
baik di masa Nabi Muhammad SAW masih hidup maupun setelah wafatnya. Menurut Mahmud Syalabi, kata Syi‟ah yang berarti pengikut
atau partai yang telah diterima sebagai julukan suatu golongan muslimin
yang menjadi pengikut Ali r.a.7
Pengertian Imamah dalam madzhab pemikiran Syi‟ah adalah
kepemimpinan dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim
politik lainnya, guna membimbing manusia serta membangun masyarakat
di atas pondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju
kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan.8 Kaum Syi‟ah memandang adanya Imamah dalam suatu wilayah sangat
penting. Karena hal ini menyangkut prinsip agama dan turut menentukan status seseorang disebut sebagai pengikut Syi‟ah atau tidak.
Dalam kulfur safawi, Imamah sama artinya dengan beriman kepada
kedua belas Imam yang suci dan setiap orang harus memuja dan
memuliakannya dan mengikutinya dan menjadikan mereka sebagai suri
teladan dalam segenap perilaku individu dan sosial mereka.
Seorang Imam berhak menuntut ketaatan dari para pengikutnya
kendatipun ia tidak memiliki kekuasaan politis. Dalam hal ini terlihat jelas
dalam kemampuan seorang imam untuk menginterpretasikan wahyu Ilahi
secara otoritatif. Apa yang diputuskan para imam, wakil-wakil yang dapat
membangkitkan suatu kepercayaan baik di kalangan biasa (awam) maupun
7 Mahmud Syalabi, Syi’ah dalam Keneth Margan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), 166. 8
elit (alim) Syi‟ah untuk mencapai otoritatif dalam kosmologi mereka yaitu
sistem keagamaan mereka.9
Persoalan keimaman menurut Syi‟ah harus bersandarkan kepada
pokok-pokok dasar agama yaitu iman kepada Allah, keadilan Allah dan
Nabi-Nya, iman kepada Rasulullah setelah itu kepada Ali ra. Iman kepada
hari kebangkitan dan iman kepada kedua belas Imam. Kata imam menurut
mereka berarti pemimpin dan itu hanya ditujukan kepada kedua belas
imam saja.10
C. Pandangan Masyarakat Terhadap Keimamahan Imam Muhammad
bin Ali Al-Jawad
Persoalan Imamah dan politik Islam merupakan persoalan yang
paling penting. Sebab Islam adalah suatu sistem dan hukum, metode
politik, kepemimpinan umat dan undang-undang hidup.
Bahkan di dalam politik, umat diarahkan kepada tujuan-tujuan syari‟at yang berupa kemaslahatan kemanusiaan, memberantas kerusakan
dan kemerosotan dan mendidik manusia dengan pendidikan. Oleh karena
itu, Islam dan kaum muslimin sangat menaruh perhatian dalam persoalan
Imamah, kewenangan menangani urusan (wilayah amr) ka