• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya suku bangsa di Indonesia yang mendiami berbagai pulau yang ada.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. banyaknya suku bangsa di Indonesia yang mendiami berbagai pulau yang ada."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa di Indonesia yang mendiami berbagai pulau yang ada. Mereka tersebar di kepulauan nusantara yang berjumlah sekitar 13.677 pulau, terdiri dari 300 suku bangsa atau kelompok etnis dengan bahasa komunikasi berbeda-beda yang jumlahnya lebih dari 250 bahasa. Budaya yang berbeda melahirkan standar masyarakat yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga dalam mengatur hubungan perkawinan adat istiadat. Namun diantara berbagai bentuk yang ada, perkawinan merupakan salah satu contoh yang dapat dilihat secara adat istiadat suku setempat yang dapat diterima serta diakui secara universal (Duvall& Miller, 1985).

Perkawinan adalah hubungan yang diketahui secara sosial antara seorang pria dan wanita untuk memberikan hubungan seksual, berproduksi (memiliki anak) dan membuat pembagian tugas (Duvall & Miller, 1985).Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sunarto (2004) menyatakan dalam hubungan perkawinan berlaku aturan eksogami dan endogami.Perkawinan endogami adalah perkawinan dengan

(2)

anggota dalam kelompok yang sama. Ada bermacam-macam jenis endogami, diantaranya endogami agama, suku, maupun ras. Perlawanan dari endogami adalah eksogami. Eksogami adalah jenis perkawinan dengan anggota diluar kelompok. Yang menarik dari perkawinan eksogami adalah adanya upaya dari homo sapiens (manusia modern) dalam masyarakat yang akumulatif untuk membuat persekutuan dengan kelompok lain sebagai pemberi kemungkinan pemerataan kebudayaan. Hal ini semakin terkait dengan konsep Global Culture yang semakin memudahkan penyebaran globalisasi budaya dengan adanya perkawinan eksogami.Dengan demikian perkawinan campuran yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda tergolong ke dalam perkawinan eksogami.

Salah satu contoh perkawinan campuran antara orang Indonesia dan etnis lain adalah dengan etnis Tionghoa. Menurut Suryadinata (1984) etnis Tionghoa merupakan etnis mayoritas non pribumi yang ada di Indonesia,sebagai kaum minoritas, sikap terhadap mereka pun tidak menentu dalam keadaan tertentu disenangi, dalam keadaan lainnya dibenci. Hal ini berhubungan dengan stereotype, yaitu sikap, keyakinan, atau pendapat yang baku (fixed) tentang orang-orang yang berasal dari budaya lain (Matsumoto, 2004).Keberadaan Tionghoa yang terbentuk melaluigelombang-gelombang imigrasi semakin mempercepat akulturasi Cina rantau. Dalam misi penyebaran budaya mereka berusaha untuk menjadi bagian dari pribumi dalam pembentukan kehidupan bermasyarakat. Usaha yang dilakukan diantaranya berdagang, melalui perkawinan campuran, dan masuk ke dalam kegiatan-kegiatan lain bersama orang Indonesia.

(3)

Hubungan antara etnis Tionghoa dan orang Indonesia di Indonesia tidak luput dari keberadaan stereotype. Menurut Suryadinata (1984) salah satu pencetus stereotype terhadap etnis Tionghoa adalah disebabkan selain jumlahnya yang makin lama makin besar, juga disebabkan peranan mereka yang menonjol dalam kehidupan ekonomi di negara Indonesia, akibat kelebihan itu maka persepsi terhadap etnis Tionghoa selalu bersifat negatif. Etnis Tionghoa seringkali dipandang sebagai etnis yang cenderung hanya berorientasi pada keuntungan dirinya (opportunistdan profit-oriented), pelit, memeras tenaga orang, tidak patriotis, memiliki loyalitas rendah terhadap negara Indonesia, dan bersifat eksklusif dalam pergaulan dengan masyarakat etnis lain (Suryadinata, 1984). Sebaliknya, orang-orang keturunan Tionghoa memandang orang Indonesia sebagai orang-orang yang malas, bodoh, dan memiliki kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dari mereka (Sunarto, 2004).

Perkawinan antara etnis Tionghoa dan Indonesiasuatu fenomena unik. Etnis Tionghoa yang dikenal agak tertutup dan kurang mau bergaul dengan suku lain, berbanding terbalik dengan orang Indonesia yang lebih suka bersosialisasi dan berkelompok.Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan. Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan, sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga. (Purnomo dalam Natalia & Iriani, 2002).Hal ini terkait dengan ungkapan responden C (wanita, 30 tahun, Tionghoa) :

“ sebelum memutuskan untuk menikah, saya dan suami sadar hubungan perkawinan kami pasti akan penuh dengan masalah karena budaya kami yang sangat berbeda. Apa yang diajarkan oleh sukunya berbeda dengan yang saya

(4)

orang yang nikah satu suku atau etnis saja kan pasti punya perbedaan pendapat dan kami yakin seburuk-buruknya masalah yang ada nanti pasti kami akan dapat menyelesaikannya dengan baik.

(Komunikasi Personal, 27 Juni 2012)

Pruitt & Rubin (2004) menyatakan pandangannya tentang istilah konflik sebagai perbedaan persepsi mengenai kepentingan. Konflik didefinisikan sebagai suatu perbedaan persepsi mengenai kepentingan dan bukan sebagai perbedaan kepentingan yang sesungguhnya.

McGonagle dkk (dalam Sears dkk, 1994) menyatakan bahwa pada pasangan yang sudah menikah, konflik merupakan keadaan yang sudah biasa terjadi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gurin dkk (dalam Sears, 1994), yang menyimpulkan bahwa konflik akan senantiasa terjadi dalam kehidupan perkawinan. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil penelitiannya dimana 45% orang yang sudah menikah mengatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan selalu muncul berbagai masalah, dan 32% pasangan yang menilai perkawinan mereka sangat membahagiakan melaporkan bahwa mereka juga pernah mengalami pertentangan.

Umumnya konflik adalah sesuatu yang sangat dihindari, dengan berbagai efek yang ditimbulkannya, konflik apapun bentuknya akan merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Apabila terdapat dua orang yang dalam hubungannya terdapat konflik maka hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan yang terjalin tersebut terdapat masalah. Konflik memiliki potensi untuk merusak hubungan, selain itu konflik merupakan sesuatu yang buruk. Sebab, konflik menunjukkan sisi negatif diri kita (DeVito, 2004).

(5)

Ada bebearapa cara yang dapat dilakukan pasangan untuk mempertahankan perkawinannya jika terjadi konflik. Pertama, melawan konflik dengan percekcokan menggunakan emosi yang tinggi. Kedua, menghindari masalah dan menolak memecahkan situasi konflik. Ketiga, mengajukan suatu resolusi konflik yang mengarah kearah perdamaian (Duvall & Miller, 1985). Dari beberapa pilihan tersebut, hal yang paling baik dilakukan adalah melakukan resolusi konflik, agar konflik tidak semakin parah dan memberikan dampak negatif terhadap perkawinan.

Berikut adalah salah satu resolusi konflik pada perkawinan yang dipaparkan oleh responden S (wanita, 30 tahun) :

“ dulu di etnis saya wanita tionghoa itu harus tunduk dan patuh terhadap suaminya, itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada saat itu. Tetapi sekarang kan zaman sudah berubah, yaa walaupun begitu yang namanya istri harus patuh terhadap suami, jadi ya kalau kami ada malasah biasanya saya lebih memilih diam dan mengalah karena saya gak mau membantah suami saya karena itu tidak sesuai dengan ajaran yang diajarkan kepada saya “

(Komunikasi Personal, 27 Juni 2012)

Resolusi konflik yang berbeda disampaikan oleh subjek R (pria, 38 tahun):

“ kalau ada masalah dirumah saya biasanya diam karena gak mau ambil pusing sama masalah itu toh nanti bakal beres juga. Biasanya kalau saya diam, istri saya juga diam. Kami gak mau nambah masalah jadi yauda diam sama diam aja, nanti baik sendiri. “

(Komunikasi Personal, 4 September 2013) Resolusi konflik memiliki dampak pada hubungan perkawinan. Resolusi konflik yang efektif dapat meningkatkan ketrampilan pada problem solving, kemampuan komunikasi, saling pengertian serta meningkatkan rasa percaya diri satu sama lain dan meningkatkan kepuasan perkawinan. Tetapi jika penyelesaian

(6)

meningkatnya interpersonal distress, rendah diri, menurunnya kualitas hubungan positif dengan orang lain serta menurunkan kualitas perkawinan yang menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan pada perkawinan yang berakibat perceraian (Killis, 2006).

Kepuasan dalam hubungan perkawinan dapat ditentukan oleh sikap masing-masing pasangan atau bagaimana cara mereka mengelola konflik. Bahagia atau tidaknya pasangan perkawinandapat dilihat bagaimana mereka dapat mengelola konflik yang terjadi diantara mereka (Olson & Defrain, 2006). Keberhasilan dalam menyelesaikan konflik dapat memperkuat ikatan hubungan dan meningkatkan solidaritas antar pasangan. Gotmann megatakan bahwa pengelolaan konflik yang tidak efektif akan menyebabkan kualitas hubungan yang memburuk dan emotional distress. Metode untuk menghindari konflik mempengaruhi tingkat kepuasan dalam perkawinan dan akhirnya dapat berakibat kearah perpisahan atau perceraian. Dalam waktu yang sama, tingkat kebahagiaan atau ketidakbahagiaan dalam suatu perkawinan mempengaruhi bagaimana mereka bekomunikasi selama konflik berlangsung.

Setiap orang tentu memiliki gaya resolusi konflik yang berbeda untuk menangani masalahnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan responden oleh N (wanita, 36 tahun)

“ ya biasanya kalau ada pertengkaran sih seringnya karena beda pendapat. Suami saya itu kan rada pendiam, jadi saya kadang susah buat tau mau dia itu apa. Kalo misalnya saya uda ngelakuin ini eh ternyata dia gak suka jadi dia bisa marah, jadi itulah kadang yang buat kami berantam. Tapi kalau sudah bertengkar yaa itu tadi suami saya lebih memilih diam dan mengalah dengan sikap saya yang keras, kayaknya dia gak mau aja mempersulit keadaan atau memperpanjang masalah, tepi kalo saya mau masalah harus tuntas saat itu juga, saya juga kadang gak suka dengan sikap dia yang kek gitu kesannya gak mau tahu kalo bagi saya. Mungkin

(7)

sikap saya yang seperti ini karena ajaran dari keluarga saya yang selalu bilang kalo ada masalah itu jangan dibiarkan berlarut-larut harus diselesaikan saat itu juga. “

(Komunikasi Personal, 3 Juni 2012)

Hal yang sama disampaikan oleh responden pasangan yang lain yaitu H (pria, 30 tahun)

“ Saya sebagai orang batak tentu memiliki perwatakan yang keras, tetapi kalau ada konflik atau ada pertentangan diantara kami biasanya yaa karena salah paham saja atau ada hal-hal yang lakukan istri saya tidak suka dan begitu juga sebaliknya, kalau sudah seperti itu saya lebih memilih diam. Karena saya tidak mau memperpanjang masalah. Istri saya juga orangnya penurut jadi sebenarnya kami tidak terlalu bermasalah dengan konflik, karena saat saya sudah mulai diam saja saat kami ada masalah dia tahu kalau saya sedang marah, jadi ya biasanya dia meminta maaf dan kami menganggap permasalahan selesai“

(Komunikasi Personal, 27 Juni 2012)

Burgess dan Houston (dalam Counts, 2003) menyatakan bahwa resolusi konflik muncul ketika terdapat negoisasi ulang akan kewajiban dan kepuasan. Untuk memulai resolusi konflik, pasangan harus berkomunikasi secara efektif. Pasangan akan membicarakan penyebab dari perdebatan dan pentingnya mengekspresikan sudut pandang mengenai cara perdebatan tersebut. Pasangan mengambil aspek terbaik dari masing-masing sudut pandang, mengkombinasikannya, dan memutuskan hal yang harus dilakukan. Saat sumber konflik telah diidentifikasi dengan jelas, pasangan perlu mencari pendekatan terbaik untuk mengatasinya (Borisoff & Victor, dalam Counts, 2003).

Setiap orang memiliki cara atau gaya tersendiri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, begitu juga dengan pasangan dalam perkawinan. Killman dan Thomas (dalam Olson & DeFrain, 2006) merumuskanbeberapa gaya resolusi

(8)

menjadi fokus perhatian saat individu mengusahakan tujuannya, yaitu: perhatian pada diri sendiri dan orang lain. Perhatian pada diri sendiri diukur dengan sejauh mana tingkat asertivitas atau agresivitas seseorang. Perhatian terhadap orang lain ditekankan kepada tingginya kerjasama. Gaya pemecahan konflik ini mengidentifikasi 5 gaya resolusi konflik, yaitu: competitive style, collaborative style, compromise style, accommodating styledan avoidance style

Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti atau melihat gambaran gaya resolusi konflik pada perkawinan campuran Tionghoa dan Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran gaya resolusi konflikpada pasangan perkawinan campuran Tionghoa - Indonesia.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa - Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidangPsikologi Perkembangan.

2. Manfaat Praktis

a. Dengan adanya penelitian ini, maka dapat membantu para pasangan perkawinan campuran Tionghoa - Indonesia untuk menemukan gaya resolusi konflik yang sesuai pada perkawinan mereka.

(9)

b. Bagi peneliti selanjutnya, dapat digunakan sebagai masukan dan acuan sehingga dapat menjadi rujukan dalam melakukan penelitian selanjutnya.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun berdasarkan suatu sistematika penulisan yang teratur sehingga lebih mudah untuk dipahami.

a. Pada Bab I akan dikemukakan mengenaipendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuanpenelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

b. Pada Bab II akan di utarakan mengenai landasan teori yang terdiri dariteori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian.

c. Pada Bab III mengenai metode penelitian. Pada bagian ini berisi uraian yang menjelaskan mengenai pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, teknik pengambilan sampel, alat ukur penelitian, validitas dan reabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

d. Pada bab IV akan dibahas mengenai analisa data hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan mengenai hasil berkenaan dengan penelitan.

e. Bab V akan membahas mengenai kesimpulan peneliti mengenai hasil penelitian serta saran penelitian berupa saran metodologis dan saran praktis bagi penelitian selanjutnya

Referensi

Dokumen terkait

(Faktor fundamental yang terdiri dari : nilai buku, keuantungan dan PER saham secara serempak atau simultan tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham properti di

Dari uraian Knowledge–based strategy, dapat disimpulkan bahwa perpaduan antara knowledge yang dimiliki, kapabilitas dan resources yang ada, digabungkan dengan strategi

a) Melakukan identifikasi kurikulum berjalan untuk memahami aspek, teknik serta indikator materi lingkungan yang telah tercakup di dalam kurikulum SMA IT Nur Hidayah. b)

Secara Umum, Pengertian Sistem Operasi adalah perangkat lunak (software) pada komputer yang bertugas dalam menggontrol dan memanajemen perangkat keras dan sebagai

Lebih lanjut menurut Arends (2008:13), "dalam metode jigsaw, masing-masing anggota tim bertanggung jawab untuk menguasai salah satu bagian materi belajar dan

Setelah dilakukan penyuluhan ini diharapkan Adanya peningkatan pengetahuan tentang SDIDTK dan bagaimana cara menggunakan Instrumen yang valid dan yang relatif mudah

Berdasarkan penelitian terdahulu (Putri dan Ferdinand; 2016) bahwa harga kompetitif berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian, begitu juga pada penelitian Reven

Kegiatan yang telah dilaksanakan mendapatkan hasil: (1) egiatan dapat berjalan sesuai rencana program; (2) mahasiswa peserta pelatihan nampak sangat antusias; (3)