• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN Status Gizi Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan Karakteristik Anak Jenis Kelamin.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBAHASAN Status Gizi Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan Karakteristik Anak Jenis Kelamin."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN

Status Gizi

Secara keseluruhan, prevalensi anak usia 6-14 tahun di Provinsi Sumatera Selatan yang tidak gemuk adalah 87,3% dan yang gemuk adalah 12,7%. Jika ditelusuri lebih jauh, prevalensi gemuk pada anak laki-laki dan perempuan masing-masing adalah 14,6% dan 10,6%. Prevalensi anak yang gemuk ini adalah lebih besar daripada data nasional, yaitu 9,5% untuk anak laki-laki dan 6,4 % untuk anak perempuan (Depkes 2008). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegemukan pada anak, antara lain adalah disebabkan interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan berupa aktifitas fisik, social ekonomi dan gizi (Hidyati et al. 2006).

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan Karakteristik Anak

Jenis Kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki yang gemuk (14,6%) lebih banyak daripada anak perempuan yang gemuk (10,6%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata (p=0,000) antara jenis kelamin dengan kegemukan pada anak (Tabel 23). Hal ini terjadi karena anak laki-laki umumnya lebih banyak meluangkan waktu untuk santai dibandingkan perempuan seperti lebih banyak menghabiskan waktu didepan televisi, internet, dan play station. Sedangkan perempuan sudah mulai banyak membantu pekerjaan orang tua seperti mencuci, memasak, dan mengurus rumah. Selain itu pada usia 6-14 tahun, anak perempuan sudah memperhatikan penampilan (bady image). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Suryana (2002) di Kota Bogor diacu dalam Kusumajaya (2007), yakni terdapat hubungan yang nyata antara jenis kelamin dengan kegemukan. Hasil yang serupa juga diperoleh pada penelitian di Jakarta (Kusumajaya, 2007) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara jenis kelamin dengan status gizi. Ketiga kajian tersebut memperkuat hasil temuan Paul et al.(2005) yang menunjukkan bahwa prevalensi overweight pada anak laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Hasil kajian ini memperkuat pernyataan Apriadji (1986) yang menyatakan bahwa

(2)

jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi, sehingga terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi.

Umur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak umur 6-9 tahun yang gemuk lebih bayak (19,0%) dibandingkan umur 10-14 tahun (7,8%). Hasil uji Chi Square Menunjukkan bahwa ada hubungan nyata antara umur dengan kegemukan anak (p=0,000). Hal ini dimungkinkan karena anak usia 10-14 tahun sudah mulai banyak aktifitasnya baik yang tergolong aktifitas berat maupun aktifitas sedang seperti, mencuci, bemain bola, mengikuti klub olahraga, senam, dan membantu orang tua ke sawah dan ke ladang. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Aritaki (1993) yaitu bahwa kegemukan paling sering terjadi pada pada umur 5-6 tahun dan pada masa remaja. Namun Hui (1985) menyatakan bahwa anak - anak dapat bertambah berat badannya secara nyata pada semua tingkatan umur.

Karakteristik Keluarga

Pendidikan Orang Tua (ayah). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang gizi, khususnya gizi lebih. Salah satu faktor pemicu terjadinya masalah gizi lebih adalah karena ketidaktahuan atau kurang informasi. Faktor pendidikan berperan dalam menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diberikan (Apriadji 1986). Selain itu, tingkat pendidikan ayah yang lebih tinggi dapat memberi peluang lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan lebih baik dengan gaji lebih tinggi. Pendapatan yang lebih tinggi berpeluang untuk menyediakan makanan dengan kuantitas dan kualitas lebih baik. Namun jika tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang memadai, maka kesempatan untuk makan secara berlebih juga lebih besar, sehingga kemungkinan terjadinya kegemukan pada keluarga yang pendapatannya lebih besar adalah lebih tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (37,2%) pendidikan ayah adalah SD dan SLTP (20,2%). Hasil analisis korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p > 0,05) antara pendidikan ayah dengan kegemukan (Tabel 39) pada (p<0,05). Ini berarti bahwa pendidikan ayah

(3)

tidak berhubungan dengan kegemukan. Hal ini terjadi karena sebagian besar ayah berpendidikan SD dan SLTP. Tingkat pendidikan umumnya berkaitan dengan pekerjaan dan penghasilan lebih baik. Penghasilan berkaitan dengan kemampuan untuk penyediaan pangan di rumah. Menurut Engel et al. (1994), menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar. Menurut WHO (2000), sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita, kecenderungan pola makan pun berubah, yaitu terjadi peningkatan dalam hal asupan lemak dan protein serta gula. Peningkatan pendapatan juga berhubungan dengan peningkatan frekuensi makan diluar rumah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitan Indraaryani (2009 ) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata antara tingkat pendidikan orang tua (ayah) dengan kegemukan anak. Hal ini juga sejalan dengan Riyanti (2002), yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata antara IMT anak dengan tingkat pendidikan ayah. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001) di Denpasar, yang menunjukkan bahwa anak sekolah yang memiliki ayah berpendidikan SMA dan pendidikan tinggi berisiko 1,3 kali untuk menjadi obes dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah berpendidikan SMA kebawah. Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Semakin tinggi pendidikan ayah semakin mudah untuk mendapat pekerjaan lebih baik sehingga dapat menghasilkan pendapatan lebih tinggi, dan anggaran untuk penyediaan konsumsi pangan pun akan semakin meningkat. Menurut Sediaoetama (1987) menunjukkan bahwa pengetahuan kesehatan dan gizi menjadi faktor yang menonjol dalam mempengaruhi pola konsumsi makan.

Pekerjaan Orang Tua (ayah). Pekerjaan orang tua akan menentukan besarnya pendapatan keluarga dalam sebuah keluarga. Hasil analisis korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p > 0,05) antara pekerjaan orang tua dengan kegemukan. Hasil ini mengindikasikan bahwa tidak adanya hubungan nyata antara pekerjaan orang tua dengan kegemukan. Hal ini

(4)

diduga karena pekerjaan orang tua anak paling banyak (70,2%) ada pada kategori petani, nelayan dan buruh dengan pendapatan yang relatif homogen. Padahal tingkat pendapatan keluarga sangat berpengaruh terhadap penyediaan makanan yang lebih lanjut berpengaruh terhadap konsumsi.

Penyediaan makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas ditentukan oleh pendapatan dan daya beli yang dimiliki. Sedangkan pendapatan pada penelitian ini ternyata tidak berhubungan nyata. Hasil ini tidak sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan, dapat mempengaruhi kebiasaan makan (Suhardjo 1989a). Pekerjaan orang tua juga secara tidak langsung, melalui pendapatan dapat menentukan fasilitas yang dimiliki keluarga sehingga dapat menentukan tipe aktifitas fisik anggota keluarga. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Holman (1987) diacu dalam Novitasari (2005) bahwa sesuai hukum Bennet semakin meningkat pendapatan seseorang maka konsumsi akan bergeser ke arah konsumsi pangan dengan harga yang lebih mahal. Hal ini berarti ketika seseorang mempunyai pekerjaan yang baik, maka kemungkinan akan bisa memilki penghasilan yang lebih besar, sehingga akan mempunyai kemampuan untuk mengadakan makanan yang bergizi. Tapi sebaliknya ketika pekerjaan tidak ada maka akan sedikit mempunyai penghasilan, sehingga pengadaan makanan baik kuantitas maupun kualitas akan menjadi berkurang.

Jumlah Anggota Keluarga. Berdasarkan kategori BKKBN (1998), jumlah anggota keluarga dibagi dua yaitu keluarga kecil, jika jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, sedangkan jika > 4 orang tergolong jumlah keluarga besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada anak gemuk maupun tidak, proporsi jumlah anggota keluarga kecil maupun besar adalah tidak jauh berbeda. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab tidak ada korelasi yang nyata antara jumlah anggota keluarga dengan kegemukan (Tabel 39). Hal ini sejalan dengan penelitian Adiningrum (2008), yang menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara jumlah anggota keluarga dengan kejadian kegemukan.

Apriadji (1986) menyatakan bahwa keluarga dengan banyak anak dan kelahiran dekat akan menimbulkan banyak masalah. Seharusnya, dengan lebih

(5)

banyaknya anggota keluarga akan memperkecil kemungkinan seseorang menjadi gemuk. Hal ini terjadi karena terlalu banyaknya jumlah angota keluarga selain menyulitkan dalam mengurusnya, juga bisa menciptakan suasana tidak tenang dirumah, khususnya bagi keluarga yang berpenghasilan rendah. Penelitian ini berbeda dengan pernyatan Suhardjo (1989) bahwa terdapat hubungan sangat nyata antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi anggota keluarga tersebut.

Penghasilan Keluarga. Hasil analisis korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p > 0,05 ) antara penghasilan keluarga dengan kegemukan (Tabel 39). Pada penelitian ini proporsi keluarga yang pengeluarannya diatas kuintil 3 lebih besar daripada keluarga dengan penghasilan dibawah kuintil 3. Seharusnya, dengan lebih banyaknya keluarga pada kuintil 3 keatas menyebabkan kegemukan anak semakin besar, tapi kenyataanya anak yang tidak gemuk lebih banyak daripada yang gemuk. Hal ini mengindikaikan bahwa penghasilan yang tinggi belum tentu digunakan untuk menyediakan makanan yang ber gizi. Padahal menurut Holman (1987) diacu dalam Novitasari (2005) bahwa sesuai hukum Bennet semakin meningkat pendapatan seseorang maka konsumsi akan bergeser kearah konsumsi pangan dengan harga yang lebih mahal dan bergizi.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Indraaryani (2009), yang menyatakan tidak ada hubungan yang nyata antara penghasilan keluarga dengan status gizi. Walaupun hal ini berbeda dengan hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2003), yang menunjukkan bahwa kejadian obesitas terdapat pada keluarga yang mempunyai pendapatan yang tinggi atau golongan menengah ke atas.

Sosial Ekonomi Keluarga.Keadaan sosial ekonomi kaitannya dengan gizi dapat ditinjau dari tingkat pendidikan formal, pengetahuan gizi, pendapatan dan besar keluarga. Hasil penelitian tentang sosial ekonomi memperlihatkan bahwa anak yang gemuk pada status sosial keluarga tinggi adalah lebih rendah (11,2%) dibandingkan status sosial ekonomi keluarga yang rendah yaitu 12,9% (Tabel 28). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p > 0.05) antara status sosial ekonomi keluarga dengan kegemukan anak (p=0,169).

(6)

Padahal dengan status sosial ekonomi tinggi seharusnya kemungkinan kegemukannya lebih tinggi karena memiliki kemampuan untuk menyediakan pangan cukup bahkan biasanya berlebih. Hasil ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Meilany (2001), yang menujukkan bahwa anak obes berasal dari keluarga dengan tingkat pendapatan menengah keatas, karena semakin tinggi sosial ekonomi seseorang semakin mudah untuk mengakses pangan.

Genetik Orang Tua (IMT Ayah).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase anak gemuk dengan IMT orang tua kategori gemuk adalah lebih besar (15,0%) dibandingkan dengan orang tuanya tidak gemuk (12,3%). Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan nyata (p=0,048) antara status IMT orang tua dengan kegemukan anak (Tabel 29). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Purwati e al. (2005) bahwa anak-anak dari orang tua dengan berat badan normal mempunyai peluang 10 % menjadi gemuk, apabila salah satu orang tuanya menderita kegemukan, maka peluangnya menjadi 40-50%. Bila kedua-duanya menderita kegemukan maka peluangnya menjadi 70-80%. Ebbeling et al. (2002), menyatakan bahwa seseorang sering menghubungkan berat badannya dengan faktor genetik, karena gen dapat mempengaruhi kecenderungan peningkatan berat badan. Akan tetapi pengaruh gen itu hanya sedikit, karena tidak hanya genetik tapi juga faktor kebiasaan dan lingkungan berperan dalam terjadinya obesitas.

Status Kesehatan

Hasil penelitian (Tabel 30) menunjukkan bahwa proporsi anak gemuk yang sakit dan sehat adalah hampir sama yaitu masing-masing 12,9% dan 12,7%. Hasil uji chisquare menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p= 0,972) antara status kesehatan anak dengan kegemukan anak. Pada penelitian ini proporsi anak gemuk antara yang sehat dan yang sakit hampir sama, padahal seharusnya anak yang selalu sehat kemungkinan untuk menjadi gemuk lebih besar, karena tidak terkena sakit yang menyebabkan nafsu makan berkurang, sehingga asupan gizi menjadi rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa anak yang gemuk juga sering sakit. Selain itu, hal ini dimungkinkan pula karena pada kuesioner pertanyaan tentang penyakit tidak menyatakan tingkat keparahan, dan hanya

(7)

bersifat kualitatif, yakni pernah sakit atau tidak pernah sakit dalam sebulan terakhir. Oleh karena itu status kesehatan tidak menujukan perbedaan yang nyata antara anak gemuk dengan tidak gemuk. Menurut Depkes RI (2005). Bahwa pada anak yang mendapat makanan cukup, tetapi sering terkena diare atau demam akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya dapat melemah dan dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi.

Aktifitas Fisik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anak yang gemuk dengan aktifitas fisik kurang adalah lebih banyak (9,8%) daripada aktifitas fisiknya cukup (6,8%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan nyata (p=0,005) antara aktifitas fisik dengan kegemukan anak. Rissanen et al. (1991) menyatakan bahwa rendahnya dan menurunya aktifitas fisik merupakan faktor yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya kegemukan. Sebagai contoh para atlet yang berhenti melakukan latihan olah raga lebih sering mengalami kenaikan berat badan dan kegemukan. Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumajaya (2007) yang menunjukkan bahwa kejadian kegemukan adalah lebih banyak pada responden yang kebiasaan olahraganya kurang dari 3 kali seminggu dibandingkan dengan paling tidak 3 kali seminggu. Demikian pula hasil kajian Paul et al. (2005) yang menunjukkan ada hubungan nyata antara aktifitas fisik dengan overweight dan obesitas. Lebih lanjut Sadoso (1992) menyatakan bahwa orang yang tidak aktif berolah raga cenderung terjadi penambahan berat badan, dibandingkan dengan orang yang melakukan olahraga .

Institut of Medicine of the National Academies (2001) menyatakan bahwa risiko utama aktfitas fisik kurang adalah terjadinya obesitas pada anak-anak dan dewasa. Frekuensi berolahraga empat kali seminggu dengan waktu 10 menit setiap hari adalah lebih efektif untuk menurunkan berat badan daripada berolahraga sesekali selama 30-40 menit. Aktifitas fisik merupakan komponen penting dalam pengeluaran energi dalam tubuh, disamping metabolisme faal dan spesifik dynamic action (Suyono 1986). Aktifitas fisik yang teratur akan membantu untuk mencegah peningkatan kembali berat badan (Klein et al. 2004).

(8)

Aktivitas fisik merupakan komponen yang penting dalam manajemen pengaturan berat badan. Penurunan aktifitas fisik pada saat ini sangat berpengaruh pada perubahan keseimbangan energi positif dan peningkatan berat badan pada masyarakat industri (Institut of Medicine of the National Academies 2001). Anak dengan kegemukan atau obes biasanya kurang melakukan aktifitas fisik. Orang yang selalu aktif ternyata dapat mencegah pertambahan berat badan sesuai pertambahan umur (WHO 1995).

Anak-anak yang menonton televisi lebih dari empat jam sehari, lebih mudah menjadi gemuk daripada anak yang menonton televisi dua jam sehari atau kurang (Gavin 2005). Penelitian di Amerika pada anak-anak menunjukkan bahwa anak dengan lama waktu menonton televisi 5 jam per hari, memiliki risiko obesitas sebesar 5.3 kali lebih besar, daripada anak dengan lama waktu menonton 2 jam per hari (Hidayati et al 2006).

Perilaku Konsumsi

Kebiasaan Makan Buah. Kebiasaan makan menurut Khumaidi (1989) adalah tingkah laku individu atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya, meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Hasil penelitian (Tabel 32) menunjukkan bahwa proporsi anak gemuk yang mengkonsumsi buah dengan kategori kurang adalah lebih banyak (8,6%) dibandingkan dengan yang mengkonsumsi buah cukup (6,6%). Hal ini mengindikasikan bahwa anak yang gemuk mempunyai perilaku konsumsi buah yang kurang baik.

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan nyata (p=0,045) antara kebiasaan makan buah dengan kegemukan anak (Tabel 32). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin sedikit seseorang mengkonsumi buah, maka semakin besar kemungkinannya untuk menjadi gemuk karena buah merupakan pangan yang mengandung serat yang bisa menurunkan resiko kegemukan. Menurut Newby et al. (2005 bahwa pola makan tinggi serat, seperti sayuran, buah-buahan, serat dan kacang-kacangan berhubungan terbalik dengan IMT. Hal ini berarti bahwa kejadian overweight dan obesitas akan berkurang dengan semakin sering orang mengkonsumsi buah. Selain itu, penelitian Drapeau et al.

(9)

(2004) menunjukkan bahwa konsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi dapat menurunkan berat badan atau mencegah kenaikan berat badan. Penelitian ini juga sejalan dengan pernyataan Hui ( 1985) bahwa sayur dan buah juga mengandung serat kasar yang dapat membantu melancarkan pencernaan dan mencegah konstipasi. Walaupun demikian hasil ini berbeda dengan penelitian Kusumajaya (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi buah dengan kegemukan.

Kebiasaan Makan Sayur. Hasil penelitian (Tabel 33) menunjukkan bahwa proporsi anak gemuk yang mengkonsumsi sayur kurang adalah lebih besar (8,4%) dibandingkan kategori cukup (7,6%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p=0,517) antara kebisaan makan sayur dengan kegemukan anak. Penelitian ini mengindikasikan perbedaan konsumsi antara yang cukup dan kurang adalah tidak berbeda jauh. Keadaan ini dimungkinkan karena jumlah dan porsi sayuran yang dikonsumsi masih kurang kurang. Hasil ini sejalan dengan penelitian Kusumajaya (2007) dan Irawati (2000) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan nyata antara konsumsi sayuran dengan kegemukan.

Hasil tersebut berbeda dengan peryataan Newby et al. (2005) bahwa pola makan tinggi serat , seperti sayuran, buah-buahan, serat dan kacang-kacangan, berhubungan terbalik dengan IMT, kejadian overweight dan obesitas. Lebih lanjut Hui (1985) menyatakan bahwa sayuran dan buah-buahan dapat mencegah kejadian obesitas karena dapat mengurangi rasa lapar tetapi tidak menimbulkan kelebihan lemak.

Kebiasaan Makan/Minum Manis. Hasil penelitian (Tabel 34) menunjukkan bahwa proporsi anak gemuk yang makan minum manis dengan kategori jarang lebih kecil (7,5%) dibandingkan kategori sering (8,6%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p=0,311) antara kebiasaan makan minuman manis dengan kegemukan anak. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan antara konsumsi makanan manis yang gemuk dan tidak gemuk adalah tidak begitu jauh. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001) bahwa kasus obesitas antara lain disebabkan oleh konsumsi energi

(10)

yang tinggi. Konsumsi energi yang diperoleh dari makanan dan minuman sehari -hari jika berlebihan tanpa diimbangi dengan aktifitas fisik yang tinggi akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan energi. Lebih lanjut Humayrah (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara kebiasaan makan/minuman manis dengan kegemukan.

Kebiasaan Makan Makanan Berlemak. Hasil penelitian (Tabel 35) menunjukkan bahwa proporsi anak yang gemuk dan mengkonsumsi makanan berlemak kategori sering adalah lebih tinggi (8,1%) dibanding kategori jarang (5,2%). Hal ini mengindikasikan bahwa anak yang sering mengkonsumsi makanan berlemak cenderung lebih banyak. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan nyata (p=0,037) antara kebiasaan makan makanan berlemak dengan kegemukan (Tabel 35). Pada penelitian ini anak cenderung banyak mengkonsumsi sumber makanan berlemak, khususnya lemak jenuh, seperti dari minyak goreng, santan dan mentega, seperti kebiasaan makan pempek, krupuk/kemplang, celimpungan, gulai, celimpungan dan lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwati et al (2005), bahwa minyak dan santan dapat menyebabkan kegemukan, karena selain tinggi kalori, lemak juga dapat diajangkau pembeliannya oleh sebagian masyarakat. Hasil ini sejalan dengan penelitian Suryana (2002) diacu dalam Kusumajaya (2007), di Kota Bogor yang menyatakan bahwa ada hubungan nyata antara konsumsi makanan berlemak dengan kegemukan.

Di Indonesia konsumsi lemak per orang per hari dibatasi 25 % dari kebutuhan AKG sesuai dengan anjuran PUGS (Depkes 1996). Berdasarkan laporan WHO (1995) bahwa lemak berkontribusi terhadap penambahan berat badan orang dewasa. Makanan berlemak merupakan sumber kalori paling besar. selain itu lemak juga berfungsi sebagai pelarut vitamin A, D, E dan K. Bila makanan berlemak dikonsumsi secara berlebihan dengan tidak diiringi aktifitas fisik yang cukup dapat mengakibatkan berat badan naik, atau terjadinya kegemukan.

Kebiasaan Makan Jeroan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anak kategori gemuk yang sering konsumsi jeroan adalah lebih tinggi (7,8%)

(11)

dibandingkan dengan yang jarang (4,9%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p=0,457) antara kebiasaan makan jeroan dengan kegemukan (Tabel 36) . Hal ini dimungkinkan karena konsumsi jeroan yang sering belum tentu porsinya banyak. Keadaan ini ditunjang oleh kemampuan untuk membeli jeroan relatif rendah baik dalam bentuk ketersediaan jeroan yang jarang maupun daya belinya yang rendah. Hal ini berbeda dengan penelitian Humayrah (2009) yang menunjukkan ada hubungan nyata antara konsumsi jeroan dengan kegemukan.

Konsumsi Energi. Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anak gemuk yang konsumsi energi kategori lebih adalah lebih banyak (13,9%) dibandingkan konsumsi energinya normal (10,9%). Hasil uji chi square menyatakan bahwa ada hubungan nyata (p=0,000) antara konsumsi energi perkapita dengan kegemukan anak (Tabel 37 ). Hal ini dimungkinkan bahwa dengan ketersedian energi ditingkat rumah tangga yang cukup, kemungkinan anggota keluarga untuk mengakses makanan juga tercukupi.

Provinsi Sumatera Selatan sebagai daerah lumbung pangan, untuk ketersediaan pangan bisa diakses sampai ketingkat rumah tangga dan individu, khususnya berkaitan dengan sumber energi. Terbukti salah satu budaya konsumsi pangan masyarakat Sumatera Selatan adalah terbiasa mengkonsumsi makanan-makanan sumber energi, selain makanan-makanan pokok nasi adalah makanan-makanan seperti kerupuk, kemplang, pempek, yang merupakan makanan yang berasal dari tepung terigu dan ikan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Padmiari dan Hadi (2003). bahwa obesitas pada kasus disebabkan konsumsi energi yang tinggi. Hardinsyah dan Tambunan (2004) menyatakan bahwa makan berlebih dapat menyebabkan akumulasi energi yang disimpan sebagai cadangan energi. Menurut Depkes (2002) bahwa kebutuhan energi dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat, protein dan lemak.

Konsumsi Protein Proporsi anak gemuk yang konsumsi proteinnya lebih adalah lebih banyak (14,2%) dibandingkan yang normal (11,9%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan nyata (p=0,015) antara konsumsi

(12)

protein dengan kegemukan anak. Kelebihan konsumsi protein ini diduga ketersedian sumber protein di Provinsi Sumatera Selatan cukup berlimpah. Sebagaimana di ketahui Provinsi Sumatera Selatan merupakan daerah yang mempunyai banyak sungai dan rawa-rawa sebagai habitat ikan seperti ikan gambus, seluang, patin, belida dan jenis lainnya, sehingga akses masayarakat terhadap pemenuhan sumber protein dapat terpenuhi dengan mudah. Kemudahan mengakses sumber protein dengan murah dan mudah menjadikan masyarakat Provinsi Sumatera Selatan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan proteinnya. Gambaran tersebut menjadikan anggota keluarga termasuk anak-anak lebih banyak yang mengkonsumsi sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka produk turunannya (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Hal ini dimungkinkan karena konsumsi protein yang melebihi kebutuhan akan terakumulasi menjadi energi yang tersimpan.

Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kegemukan

Faktor-faktor yang mempunyai peluang untuk meningkatkan risiko terjadinya kegemukan antara lain adalah jenis kelamin, aktifitas fisik, dan kebiasaan makan buah. Peluang risiko kegemukan pada anak dengan jenis kelamin perempuan 0,454 kali (CI=0,414-0,721) lebih rendah dibanding laki-laki. Hal ini berarti bahwa anak laki-laki mempunyai peluang risiko kegemukan lebih besar dibandingkan perempuan. Anak yang mempunyai aktifitas kurang mempunyai peluang risiko mengalami kegemukan 1,491 kali lebih besar dibanding yang aktifitasnya cukup (CI : 1,135 – 1,958). Anak yang kebiasaan makan buahnya kurang mempunyai peluang risiko mengalami kegemukan 1,420 kali lebih besar dibandingkan yang cukup (CI=1,070-1,883).

Dari tiga variabel independen yang mempengaruhi kegemukan, maka aktifitas fisik anak merupakan faktor dominan terhadap kejadian kegemukan pada anak usia 6-14 tahun di Sumatera Selatan dengan OR = 1,491 (95% CI : 1,135 – 1,958). Aktifitas fisik menjadi faktor dominan pada penelitian ini dimungkinkan karena anak gemuk pada usia 6-14 tahun aktifitas fisiknya masih kurang. Hal ini terjadi karena kurang melakukan aktifitas fisik berat dan sedang serta mulainya mengikuti perilaku sedentary life seperti banyak menghabiskan waktu menonton

(13)

TV atau menggunakan internet serta main game/PS. Padahal aktifitas fisik merupakan komponen penting dalam pengeluaran energi dalam tubuh, disamping metabolisme faal dan spesifik dynamic action (Suyono 1986). Aktifitas fisik yang teratur akan membantu untuk mencegah peningkatan kembali berat badan (Klein et al.2004).

Anak-anak yang menonton televisi lebih dari empat jam sehari, lebih mudah menjadi gemuk, daripada anak yang menonton televisi dua jam sehari atau kurang (Gavin 2005). Penelitian di Amerika pada anak-anak menunjukkan bahwa anak dengan lama waktu menonton televisi 5 jam per hari, memiliki risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar, daripada anak dengan lama waktu menonton TV 2 jam per hari (Hidayati et al 2006).

Aktivitas fisik merupakan komponen yang penting dalam manajemen pengaturan berat badan. Penurunan aktifitas fisik pada saat ini sangat berpengaruh pada perubahan keseimbangan energi positif dan peningkatan berat badan pada masyarakat industri (Institut of Medicine of the National Academies 2001). Anak dengan kegemukan atau obesitas biasanya kurang melakukan aktifitas fisik. Orang yang selalu aktif ternyata dapat mencegah pertambahan berat badan sesuai pertambahan umur (WHO 1995).

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, sehingga hanya dapat memberikan gambaran adanya hubungan faktor resiko dengan kegemukan. Desain ini tidak dapat menggambarkan adanya hubungan sebab akibat (kausal) antar variabel independen dengan variabel dependen. Hal ini disebabkan karena kedua variabel tersebut diukur pada saat yang bersamaan. Namun dengan dilakukannya analisis multivariat diharapkan masih dapat memberikan hasil yang baik untuk mengatahui faktor-faktor yang mempengaruhi kegemukan pada anak usia 6-14 tahun di Sumatera Selatan.

Berdasarkan teori dan hasil studi yang ada, banyak faktor penyebab yang mempengaruhi kegemukan. Namun penggunaan data sekunder mempunyai keterbatasan variabel, sehingga peneliti tidak dapat menganalisis semua faktor penyebab tersebut, misalnya saja, seseorang yang ditanyakan tentang kebiasaan

(14)

konsumsi buah pada saat menjawab belum tentu benar-benar kurang konsumsi buahnya, karena hanya didasarkan pada data recall tanpa disertai informasi yang memadai. Untuk konsumsi, data ini lebih menggambarkan ketersediaan tingkat rumah tangga bukan gambaran konsumsi individu.

Bias informasi juga dapat terjadi pada saat wawancara, misalnya saja pertanyaan enumerator tidak dapat dimengerti oleh responden. Kemungkinan lain, sampel bisa menutup-nutupi jawaban dari pertanyaan yang ditanyakan karena dianggap hal terlalu pribadi misalnya pengeluaran rumah tangga. Penulis menyadari bahwa data yang diperoleh sudah melalui proses verifikasi, editing dan cleaning, sehingga bias penelitian baik pada pengumpulan data sampai cleaning dapat terjadi karena penulis tidak terlibat langsung dalam survei ini.

Referensi

Dokumen terkait

Yang paling sederhana keseimbangan pada sistem jaringan jalan; setiap pelaku perjalanan ketika sudah menemukan rute perjalanan terbaik akan berusaha mencari waktu

“ Masyarakat Salatiga belum mengetahui sejarah atau lahirnya Batik Plumpungan

Pada kasus, hasil pemeriksaan DIF tidak dijumpai deposit IgA linear di membran basalis sehingga diagnosis banding CBDC dapat disingkirkan.. Patofisiologi terbentuknya bula

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

Secara teoritis dapat dijadikan sumbangan informasi dan keilmuan yang yang berarti bagi lembaga yang berkompeten mengenai pentingnya kondisi fisik atlet, khususnya atlet

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat

KONTRIBUSI POWER TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN DINAMIS TERHADAP HASIL DRIBBLE-SHOOT DALAM PERMAINAN FUTSAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Lloyd sangat bersimpati pada kebutuhan pekerja untuk beristirahat “kita semua telah bekerja pembongkaran di sini,” katanya, tapi cepat menjepit pada orang-orang yang tidak sah..