• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan suatu kegiatan yang kompleks dan juga dapat dilakukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan suatu kegiatan yang kompleks dan juga dapat dilakukan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Belajar merupakan suatu kegiatan yang kompleks dan juga dapat dilakukan dimana dan kapan saja. Skinner (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 9) berpandangan bahwa ‘belajar adalah suatu perilaku’. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya bila ia tidak belajar maka responnya menurun. Kegiatan belajar mengajar (KBM) secara formal dapat dilakukan di sekolah sebagai pelaksana kegiatan.

Sekolah adalah tempat mempelajari ilmu pengetahuan seperti berhitung, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, dan lain sebagainya. Salah satu hal yang tak kalah penting untuk dipelajari adalah pendidikan seks. Pendidikan seks adalah membimbing serta mengasuh seseorang agar mengerti tentang arti, fungsi, dan tujuan seks sehingga ia dapat menyalurkan secara baik, benar, dan legal.

(http://manadoinfoment.wordpress.com/2009/10/08/pengertian-sex-education-pendidikan-seks/).

Seks merupakan bahan pembicaraan yang sangat peka. Dalam kehidupan sehari-hari apabila kita mendengar kata seks diperbincangkan di khalayak umum, secara otomatis pikiran kita berpikir tentang hal yang hanya pantas dibicarakan oleh orang dewasa. Informasi mengenai seks rasanya masih tabu untuk dibicarakan di depan anak-anak maupun remaja. Orang dewasa beranggapan seks tidak boleh

(2)

dibicarakan kepada anak-anak, remaja atau siapapun yang belum menikah. Hal ini disebabkan karena seks selalu dikonotasikan dengan hubungan kelamin, sehingga dianggap tabu untuk dibicarakan. Selain itu kata “seks” itu sendiri selalu dikonotasikan dengan hal-hal negatif, seperti jorok, tidak sopan, atau porno. Pandangan atau pendapat seperti itulah yang menyebabkan informasi yang diperoleh anak-anak, atau remaja mengenai seks tidak sepenuhnya benar.

Pendidikan seks seharusnya diberikan sejak dini atau sejak masa kanak-kanak. Pendidikan seks yang diberikan sejak dini akan berpengaruh terhadap kehidupan anak, terutama ketika mulai memasuki masa remaja. Selain itu, anak-anak zaman sekarang memiliki rasa keingintahuan yang besar, yang menyebabkan mereka kritis baik dari segi pertanyaan maupun perilaku.

Menurut Singgih, D. Gunarsa (1991: 199) dikemukakan bahwa ‘penyampaian materi pendidikan seks seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak.’ Apa yang dipelajari pada waktu masa anak-anak akan terbawa sampai remaja, pada masa ini remaja sedang mengalami beberapa perubahan biologis, fisik, dan psikis, akibat peralihan masa anak-anak menuju masa remaja. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seks sangat besar. Oleh karena itu, pendidikan seks pada masa remaja sudah seharusnya diberikan, agar remaja tidak mencari dari orang lain atau sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali.

(3)

Meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan sedang berada dalam potensi seksual yang aktif, menyebabkan remaja berusaha mencari berbagai informasi mengenai hal tersebut. Dari sumber informasi yang berhasil mereka dapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang mendapatkan seluk beluk seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu remaja mencari atau mendapatkan dari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya seperti di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, media masa atau internet. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Synovate sejak September 2004 bahwa ”sekitar 65% informasi tentang seks remaja dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya hanya 5% responden remaja ini mendapatkan informasi tentang seks dari orang tuanya.” (http://situs.kesrespo.info).

Di Sekolah Luar Biasa (SLB) pendidikan seks lebih dikenal dengan pembelajaran kesehatan reproduksi. Pembelajaran ini bertujuan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan siswa, serta untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menjalankan kehidupan yang bahagia dan juga bertanggung jawab terhadap dirinya dan orang lain seperti yang disepakati dalam interpersonal conference of sex education and family planning pada tahun 1962.

Pendidikan kesehatan reproduksi remaja sebagai salah satu upaya untuk “mengerem” beberapa perilaku seksual yang sering terjadi pada masa remaja. Berdasarkan penelitian perilaku seksual remaja menyebutkan, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan angka remaja yang sudah pernah berhubungan seks. Survei yang

(4)

dilakukan BKKBN tahun 2008 menyebut 63% remaja di beberapa kota besar di Indonesia telah melakukan seks pra-nikah. (http://www.seksehat.info/kesehatan-reproduksi/seks-pranikah-sejak-usia-dini memicu-kanker-serviks.html).

Sebagian orang tidak menyadari atau pura-pura tidak tahu tentang resiko yang diperoleh dari perilaku seks bebas. Penting bagi para orangtua, pemerintah, dan pihak sekolah, untuk memberikan informasi yang tepat tentang seks kepada remaja. Diharapkan dengan adanya pembelajaran kesehatan reproduksi siswa dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan dengan tepat. Pemahaman pendidikan seks bagi siswa/siswi SMPLB dan SMALB di SLB sangat perlu diteliti. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui sampai sejauh mana pengetahuan dan sikap siswa/siswi tunanetra tersebut tentang pendidikan seks.

Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis terdorong untuk menggali dan menelaah Hubungan antara Pendapat Siswa Tunanetra tentang Pembelajaran Kesehatan Reproduksi dengan Pemahaman Pendidikan Seks.

B. Identifikasi Masalah

Kebutuhan akan pendidikan kesehatan reproduksi saat ini sangat penting karena permasalahan remaja kian kompleks dan memprihatinkan. Penanganan ini tidak dapat dilakukan oleh orang tua atau pemerintah, namun diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Salah satunya adalah sekolah, dimana remaja lebih banyak beraktivitas setiap harinya. Pemberian pendidikan kesehatan reproduksi bukan berarti membuka peluang untuk perilaku seks bebas, melainkan lebih menekankan

(5)

perbedaan lelaki dan perempuan secara seksual, kapan terjadi pembuahan, apa dampaknya jika berprilaku seks tanpa dilandasi tanggungjawab, termasuk resiko terkena infeksi menular seksual.

Tujuan pembelajaran kesehatan reproduksi adalah menumbuhkan kesadaran akan perlunya menjaga kesehatan organ reproduksi seksual dan perlunya membina relasi seksual yang sehat. Apabila peserta didik memahami tujuan dan manfaat pembelajaran kesehatan reproduksi, maka akan terjadi perubahan positif dalam bentuk perilaku pada diri peserta didik.

Hambatan yang dialami oleh remaja dengan gangguan penglihatan akan berakibat pada terhambatnya pemahaman materi. Oleh karena itu, komponen-komponen pembelajaran haruslah disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan mereka, jika tidak, informasi yang mereka peroleh akan setengah-setengah atau tidak utuh. Penting sekali memperhatikan konsep dasar pembelajaran bagi tunanetra yaitu dari abstrak ke konkrit.

C. Batasan Masalah

Penelitian ini akan mengungkapkan seberapa besar hubungan antara pendapat siswa tunanetra tentang pembelajaran kesehatan reproduksi dengan pemahaman pendidikan seks. Dalam penelitian ini pembelajaran kesehatan reproduksi dibatasi pada aspek tujuan, materi, pendekatan, metode, media, alat peraga, siswa, dan evaluasi. Sedangkan pemahaman pendidikan seks dibatasi pada materi ajar yang telah diberikan kepada peserta didik.

(6)

D. Rumusan Masalah

Penelitian ini bertitik tolak dari permasalahan berikut:

“Adakah hubungan yang positif dan signifikan antara pendapat siswa tunanetra tentang pembelajaran kesehatan reproduksi dengan pemahaman pendidikan seks?

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Seperti yang diungkapkan oleh Margono (2005:67) bahwa “hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoritis dianggap paling mungkin atau paling tinggi tingkat kebenarannya”. Lebih lanjut Margono menjelaskan bahwa secara teknik, “hipotesis adalah penyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya melalui data yang diperoleh dari sampel penelitian. Sedangkan secara statistik, hipotesis merupakan pernyataan keadaan parameter yang akan diuji melalui statistik sampel.”

Berdasarkan pada pernyataan di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

“Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pendapat siswa tunanetra tentang pembelajaran kesehatan reproduksi dengan pemahaman pendidikan seks.”

(7)

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang hubungan antara pendapat siswa tunanetra tentang pembelajaran kesehatan reproduksi dengan pemahaman pendidikan seks. Sedangkan secara khusus peneliti ingin mengetahui seberapa besar hubungan antara pendapat siswa tentang pembelajaran kesehatan reproduksi dengan pemahaman pendidikan seks.

2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis

Penelitian ini secara teoritis dapat memberikan pengetahuan dan wawasan keilmuan bagi penulis dan juga pembaca sekalian.

b. Secara Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara langsung maupun tidak langsung kepada berbagai pihak mengenai pentingnya pendidikan seks bagi remaja.

2) Bagi peneliti, penelitian ini sangat bermanfaat. Karena peneliti dapat secara langsung mempraktekkan apa yang peneliti dapatkan selama kuliah, serta mengetahui bagaimana pembelajaran kesehatan reproduksi diterapkan di sekolah pada anak tunanetra.

3) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) dan dapat dijadikan sebagai referensi

(8)

atau pencerahan dalam penyusunan skripsi. Sedangkan bagi Jurusan Pendidikan Luar Biasa semoga dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.

Referensi

Dokumen terkait

2.5.6 Cakupan Pelayanan Kesehatan Neonatus 0-28 hari (KN Lengkap) Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar paling sedikit tiga kali dengan

Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan sains dalam berbagai disiplin ilmu pada masa dinasti Umayyah Andalusia menjadi salah satu pemantik kemajuan peradaban

Terlaksananya kegiatan  peningkatan kapasitas  pelayanan administrasi  kependudukan  pemerintah kota  setidaknya diikuti 20 ...

Alat Analisis : Regresi Linier Berganda Variabel Dependen : Keputusan Pembelian Variabel Independen : Produk, Harga, Promosi, Tempat, Partisipan, Proses, Bukti Fisik Variabel

Mengacu setiap tahapan dari analisis, perancangan, implementasi, dan pengujian telah dilewati maka dapat selanjutnya diurasikan dari analisis iterasi 1 yang dilakukan

(4) Pengangkatan kembali dalam Jabatan Fungsional Penata Pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan dengan menggunakan Angka Kredit terakhir yang dimiliki

kesibukan mereka, dan untuk mendapatkan hiburan saja. Motif ini kabanyakan dialami oleh informan remaja desa Gampang yang berprofesi sebagai buruh pabrik, kuli

Pada skor tertinggi dapat dilihat pada Tabel 2, siswa yang mendapatkan skor tertinggi yaitu pada frekuensi antara 19 – 20 sebanyak 4 siswa di kelas X-MIPA 3 yang menggunakan