• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Para pelaku ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Para pelaku ekonomi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perekonomian nasional, usaha yang dijalankan oleh para pelaku ekonomi dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Para pelaku ekonomi melakukan kegiatan ekonomi dengan menggunakan bentuk usaha yang bervariasi, dan menjalankan usaha yang bervariasi pula. Hal ini diungkapkan oleh Sri Redjeki Hartono.

Kegiatan ekonomi masyarakat pada hakikatnya dilaksanakan oleh para pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi terdiri atas perorangan dan institusi yang bertujuan komersial dengan istilah badan usaha atau korporasi. Kegiatan ekonomi dilaksanakan dalam berbagai skala dan berbagai bentuk kegiatan. Kegiatan dimaksud dapat meliputi baik dalam bentuk produksi (barang dan/atau jasa), perdagangan (barang atau jasa), maupun perantara. Baik berskala lokal, nasional, maupun internasional.1

Salah satu pelaku usaha dalam perekonomian nasional adalah pengusaha yang mengadakan perjanjian pemborongan pekerjaan, yang dikenal juga sebagai kontraktor, atau dalam prakteknya oleh masyarakat luas juga sering disebut sebagai pemborong. Para pengusaha ini ikut ambil bagian dalam kegiatan bisnis baik nasional maupun internasional. Sekaligus, juga merupakan salah satu elemen yang penting dalam pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Kegiatan bisnis yang dijalankan oleh pemborong ini tentunya memiliki bidang-bidang

1

Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, dalam Neni Sri Imaniyati,

Hukum Bisnis Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta,

(2)

tertentu, tergantung kebutuhan pembangunan yang akan dilakukan pemerintah. Kebanyakan dari pemborong ini bergerak dalam bidang jasa pembangunan atau konstruksi, seperti pembangunan gedung, pembangunan jalan, serta pembangunan sarana dan prasarana untuk masyarakat. Juga termasuk pengadaan barang dan/atau jasa tertentu, baik untuk pihak pemerintah maupun swasta.

Para pemborong dalam menjalankan usahanya dilakukan melalui suatu bentuk badan usaha yang didirikan oleh pemborong tersebut. Badan usaha ini, ditinjau dari segi bentuknya, terdiri atas dua macam, yaitu badan usaha berbadan hukum dan badan usaha tidak berbadan hukum. Badan usaha yang berbentuk badan hukum contohnya adalah Perseroan Terbatas (PT). Sementara badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum contohnya adalah Usaha Dagang (UD), Persekutuan Komanditer/Commanditaire Venootschaap (CV), Firma (Fa). Untuk pemborong yang berkiprah langsung tanpa melalui suatu badan usaha dalam praktek sudah jarang dilakukan. Hal ini mengingat pemborongan pekerjaan yang dapat dilakukan dengan cara demikian hanyalah untuk pekerjaan yang beresiko kecil, berteknologi sederhana, dan berbiaya kecil. Untuk pemborongan pekerjaan yang diberikan oleh pemerintah hampir tertutup kemungkinan bagi pemborongan secara individu tanpa badan usaha.

Hubungan hukum antara pemborong dengan pemberi pekerjaan/borongan timbul melalui sebuah perjanjian, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan ini mengikat kedua belah pihak mulai kontrak ditandatangani sampai berakhirnya perjanjian pemborongan tersebut, yang dalam situasi normal adalah sampai berakhirnya

(3)

pekerjaan atau borongan. Kontrak borongan inilah yang menjadi dasar bagi pemborong untuk memenuhi prestasi sesuai kontrak, juga untuk melakukan tindakan lain yang diperlukan. Dalam kontrak pemborongan ada beberapa aspek yang penting dan harus diperhatikan, diantaranya adalah pihak-pihak dalam pemborongan, tenaga kerja, cara pemborongan, jaminan dalam pemborongan, dan juga pembiayaan.

Masalah pembiayaan atau pendanaan adalah satu aspek yang penting dalam pemborongan pekerjaan. Pihak pemborong yang akan melakukan pemborongan pekerjaan tentunya diwajibkan untuk memiliki sumber finansial yang akan menopang kegiatan pemborongan oleh pihak pemborong. Kebiasaan yang ada dalam praktek, perjanjian pemborongan pekerjaan antara pemberi pekerjaan (bouwheer) dengan pemborong (annemer) dilaksanakan dimana pemborong terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan, kemudian pemberi pekerjaan membayar nilai/harga pemborongan kepada pemborong setelah pekerjaan selesai. Namun ada juga bentuk yang berbeda dari kebiasaan umum tersebut. Ada pemberi pekerjaan yang terlebih dahulu membayarkan nilai pekerjaan untuk kemudian dilaksanakan oleh pemborong. Ada juga pemberi pekerjaan yang hanya membayar setengah dari nilai pemborongan yang disepakati dan sisanya dilunaskan pada akhir kontrak. Terlepas dari metode bagaimanapun yang digunakan, pada akhirnya pemborong tetap memerlukan peran lembaga pembiayaan, baik untuk mengantisipasi keadaan terpaksa dalam pembiayaan pekerjaan, maupun untuk memulai pemborongan pekerjaan dari awal tanpa bantuan modal dari pemberi pekerjaan.

(4)

Pembiayaan bagi pemborong dapat berasal dari berbagai macam lembaga pembiayaan. Salah satu lembaga pembiayaan yang umum menjadi sumber pendanaan bagi para pemborong adalah bank. Selain bank, dalam masyarakat sebenarnya terdapat lembaga pembiayaan yang secara lebih spesifik oleh Munir Fuady dibagi dalam model-model lembaga pembiayaan yang terpenting2, yaitu :

1. Model Pembiayaan Lewat Lembaga Pembiayaan, yaitu : a) Sewa Guna Usaha (Leasing)

b) Anjak Piutang (Factory)

c) Modal Ventura (Venture Capital)

d) Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) e) Pembiayaan dengan Kartu Kredit

2. Model Pembiayaan Lewat Pasar Modal

3. Model Pembiayaan Lewat Pendanaan Langsung (private placement) 4. Model Pembiayaan Lewat Pasar Uang

5. Model Pembiayaan Project (Project Finance) 6. Model Pembiayaan Dagang dan Ekspor-Impor

Khusus bagi pemborong yang mendapat borongan dari pemerintah, aspek pembiayaan ini merupakan salah satu aspek yang penting. Sebelum pemborongan dimulai, masalah pembiayaan ini bahkan sudah harus diperhatikan, seperti dalam hal kontrak pemborongan yang bernilai di atas Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) menurut Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diwajibkan untuk memberikan jaminan penawaran dan

2 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis : Menata Bisnis Modern di Era Global, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 121

(5)

jaminan pelaksanaan yang salah satu bentuk bentuknya dapat berupa garansi bank. Setelah perjanjian pemborongan disepakati, pembiayaan tetap harus diperhatikan, agar pemborongan pekerjaan dapat berjalan lancar sesuai dengan kontrak yang disepakati. Untuk itulah maka pemborong memerlukan sumber pembiayaan yang salah satunya adalah kredit dari bank.

Pembiayaan yang dilakukan oleh bank dalam hal ini adalah melalui program kredit. Kredit merupakan salah satu kegiatan bank yang merupakan output dari penghimpunan dana dari masyarakat. Kredit oleh bank diberikan kepada berbagai macam lapisan usaha dalam masyarakat, mulai dari usaha kecil atau usaha rumah tangga, hingga kepada pengerjaan proyek pembangunan yang bernilai ratusan juta dan milyaran. Keberadaan kredit ini bagi para pelaku usaha sangat membantu, mengingat tidak semua pelaku usaha yang ada di Indonesia memiliki harta atau aset dalam jumlah yang besar sebagai modal untuk memulai usaha. Sebagian besar malah memulai dari nol atau tanpa modal usaha sehingga hal-hal yang demikian perlu mendapat bantuan tangan agar mereka dapat produktif dan mengembangkan roda perekonomian.

Sebagai salah satu pelaku usaha yang ada dalam masyarakat, pemborong juga merupakan pihak yang tersentuh dengan kredit. Dalam masyarakat berkembang pemikiran bahwa pemborong adalah pelaku usaha yang tergolong berpenghasilan besar. Pemikiran yang demikian oleh sebagian besar masyarakat timbul dari citra para pemborong, dimana profile para pemborong terlihat begitu meyakinkan dan hampir tidak tampak gambaran orang yang sedang membutuhkan bantuan modal usaha. Padahal hal tersebut dilakukan oleh pemborong untuk

(6)

memenuhi salah satu unsur penilaian yang dilakukan oleh bank dalam memberikan kredit, yaitu penilaian karakter (character). Pada kenyataan, pemborong yang berpenampilan menarik sekalipun adalah pihak yang membutuhkan bantuan pembiayaan untuk mengerjakan proyeknya. Apalagi nilai proyek yang akan dilaksanakan pemborong adalah dalam jumlah yang besar, pada kisaran ratusan juta hingga mencapai milyaran. Angka demikian tentunya bukanlah nilai yang sedikit bagi pemborong dalam bentuk badan usaha apa pun. Terlebih bagi pemborong dalam kualifikasi yang paling rendah, tanpa bantuan modal kerja akan menjadi hal yang sulit untuk terlibat dalam pemborongan. Bentuk badan usaha yang dibuat oleh pemborong dalam bentuk Usaha Dagang dan Persekutuan Komanditer merupakan badan usaha yang paling memerlukan bantuan pendanaan. Sementara bentuk badan usaha seperti Perseroan Terbatas relatif lebih mampu dibandingkan badan usaha lainnya. Sekalipun demikian tidak menutup kemungkinan bagi Perseroan Terbatas untuk mendapatkan kredit, mengingat nilai pekerjaan mereka yang akan lebih besar dibandingkan badan usaha lainnya, sehingga ditempatkan pada kelas kualifikasi yang berbeda pula dan membutuhkan modal kerja yang cukup besar.

BRI sendiri dengan melihat pada perkembangan masa pembangunan seperti sekarang ini, dimana masih dibutuhkan pembangunan di berbagai bidang dalam jumlah besar, memandang jasa konstruksi masih dapat berkembang dan merupakan peluang pasar bagi BRI untuk meningkatkan jasa kreditnya. Oleh karena itu BRI mengembangkan fungsi perbankannya dengan memberi kredit

(7)

bagi kontraktor yang mengadakan perjanjian pemborongan, yaitu melalui paket Kredit Modal Kerja Konstruksi (KMK Konstruksi).

Namun pemberian kredit kepada pemborong atau kontraktor yang telah mendapat borongan baik dari pemerintah maupun dari pihak swasta, layaknya perjanjian lainnya juga memiliki aspek-aspek hukum yang harus diperhatikan, seperti kesepakatan dalam kontrak, resiko dalam pemberian kredit, juga jaminan pemberian kredit. Aspek-aspek dalam pemberian kredit tersebut harus diperhatikan karena dapat menimbulkan masalah. Sebagai contoh, apabila pemborong gagal menyelesaikan borongan sesuai target fisik dan waktu, siapakah yang harus dipertanggungjawabkan?

Pada dasarnya, pemberian kredit kepada pemborong tidak jauh berbeda dengan kredit yang diberikan kepada pelaku usaha di bidang lain dari usaha jasa konstruksi dan/atau pengadaan barang dan jasa. Namun salah satu hal yang menjadi perbedaan prinsipil yang membedakan kredit kepada pemborong dengan kredit-kredit lainnya yang diberikan kepada pelaku usaha adalah dalam hal jaminan dalam memperoleh kredit. Kredit yang diterima pemborong dari bank salah satu syaratnya adalah dengan penjaminan kontrak pemborongan itu sendiri. Hal ini tentunya berbeda dengan jaminan kredit untuk usaha lainnya. Apabila melihat ketentuan pemberian kredit

Secara khusus di daerah Tarutung, yang merupakan ibukota kabupaten Tapanuli Utara, daerah ini merupakan daerah yang masih sangat membutuhkan pembangunan di segala bidang, terutama dalam pembangunan infrastruktur. Di bandingkan dengan daerah Kabupaten lain di Sumatera Utara, pembangunan di

(8)

daerah ini tergolong lambat, dapat dilihat dari tata kotanya yang amat sederhana, jumlah penduduk yang tergolong sedikit untuk ukuran ibukota kabupaten, dan juga kehidupan ekonomi penduduk yang masih bercorak agraris dengan perdagangan dan industri yang minim, serta segi lain yang masih perlu mendapat perhatian lebih. Cukup ironis mengingat Kabupaten ini sebelumnya telah mengalami proses pemekaran yang kemudian memunculkan daerah tingkat II yang baru, yaitu Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Humbang Hasundutan. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara perlu lebih gencar lagi mengadakan pembangunan dengan bantuan pemborong sebagai pelaksana di lapangan. Tentunya pembangunan yang dilakukan pemborong ini tidak dapat terlepas dari bantuan modal kerja dari lembaga pembiayaan, termasuk bank.

Dengan melihat keadaan tersebut, maka dipilihlah judul “ASPEK HUKUM PEMBERIAN KREDIT KEPADA KONTRAKTOR YANG MENDAPAT BORONGAN PEKERJAAN DARI PEMERITAH (STUDI PADA BANK RAKYAT INDONESIA CABANG TARUTUNG) untuk kemudian diteliti dan ditulis dalam skripsi ini.

B. Rumusan Permasalahan

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini yang selanjutnya akan dibahas dalam bab-bab berikutnya adalah :

1. Apa kaitan pemberian kredit dengan perjanjian pemborongan pekerjaan antara kontraktor dengan pemerintah?

(9)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini, selain sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana hukum adalah :

a) Untuk mengetahui kaitan antara pemberian kredit dengan perjanjian pemborongan pekerjaan antara kontraktor dengan pemerintah.

b) Untuk mengetahui proses pemberian kredit kepada kontraktor telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku

2. Manfaat Penulisan

Sementara manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini diantaranya adalah :

a) Manfaat secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum sehingga dapat semakin dikembangkan, terutama mengenai perjanjian kredit dan perjanjian pemborongan pekerjaan dengan pemerintah. Selain itu juga untuk mengetahui secara konkrit bagaimana pengaturan dan prosedur pemberian kredit bagi pemborong yang mengadakan perjanjian pemborongan pekerjaan dengan pemerintah.

b) Manfaat secara praktis, penulisan skripsi ini secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembaca, terutama bagi mahasiswa yang kelak berminat menjadi pemborong dan juga pemborong itu sendiri, terutama yang tinggal di daerah Tarutung dan sekitarnya. Bagi pemborong, adanya skripsi ini diharapkan mampu memberi

(10)

pengetahuan mengenai prosedur pemberian kredit di BRI Cabang Tarutung, dan dengan demikian pemborong dapat semakin meningkatkan usahanya. Bagi mahasiswa terkhusus mahasiswa hukum, skripsi ini diharapkan semakin menambah luas pengetahuan hukum bagi mahasiswa sehingga dapat mengembangkan pemikirannya tentang hukum dan juga tentang dunia usaha. Dapat juga sebagai bahan diskusi tentang kredit untuk pemborong, serta menjadi bahan acuan bagi peneliti lain yang memiliki topik yang sama atau berkaitan.

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan maksud agar tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan nilai ilmiahnya, maka diusahakan memperoleh dan mengumpulkan data-data dengan mempergunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengelola dan mempergunakan data sekunder. Namun dalam penelitian hukum deskriptif yang dimaksudkan penelitian itu juga termasuk dilakukannya survey ke lapangan, dalam hal ini adalah bank dan instansi pemerintah serta para pemborong untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu.

(11)

Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi wawancara dengan pihak bank dan kumpulan peraturan BRI mengenai kredit. Sementara data sekunder meliputi:

a. Bahan hukum primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan didapat dari peraturan perundang-undangan yaitu :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, 5) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi,

6) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

b. Bahan hukum sekunder

Yaitu bahan dari buku hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian; informasi ysng diperoleh dari seminar, jurnal hukum, majalah, koran, dan karya tulis ilmiah; serta pendapat dari pakar hukum.

(12)

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Dalam hal ini penulis mencari, mengumpulkan, dan mempelajari data dengan melakukan penelitian dan pengembangan atas sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis berupa buku-buku karangan para sarjana dan ahli hukum yang bersifat teoretis ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penulis melakukan studi kasus terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, sebagai melengkapi bahan yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan di atas.

E. Keaslian Penulisan

“ASPEK HUKUM PEMBERIAN KREDIT KEPADA PENGUSAHA YANG MENGADAKAN PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN DENGAN PEMERINTAH (STUDI PADA BANK RAKYAT INDONESIA CABANG TARUTUNG)”

Judul tersebut di atas belum pernah diteliti dan ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Tarutung. Kalaupun ada judul yang mirip namun permasalahan serta materi yang

(13)

dibahas benar-benar berbeda. Penulisan skripsi ini didasarkan pada penelitian dengan referensi buku-buku dan juga sarana penunjang seperti bahan elektronik (internet) dan disertai studi pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Tarutung berupa data-data mengenai regulasi BRI serta proses pemberian kredit selama beberapa tahun terakhir. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

“ASPEK HUKUM PEMBERIAN KREDIT KEPADA PENGUSAHA YANG MENGADAKAN PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN DENGAN PEMERINTAH (STUDI PADA BANK RAKYAT INDONESIA CABANG TARUTUNG)”

Dari judul tersebut terdapat beberapa hal yang perlu ditegaskan pengertiannya, yang akan diuraikan di bawah ini.

Kredit yang diberikan kepada pemborong dituangkan dalam suatu perjanjian, yaitu perjanjian kredit. Perjanjian kredit ini berhubungan erat dengan perjanjian pemborongan pekerjaan yang mengikat pemborong dengan pemberi pekerjaan, yang dalam hal ini adalah pemerintah. Maka yang menjadi sentra dalam skripsi ini adalah perjanjian.

Dalam KUHPerdata, perjanjian merupakan bagian dari perikatan yang memiliki hubungan sangat erat.Pasal 1233 KHPerdata menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang, dan pasal Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

(14)

satu orang lain atau lebih. Sementara Subekti menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu menerbitkan perikatan3.

Sementara kredit pada dasarnya merupakan suatu bentuk pinjam-meminjam uang dalam kegiatan perbankan di Indonesia. Kredit perbankan disalurkan bank kepada masyarakat sesuai dengan fungsi utamanya menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Pemberian kredit biasanya dikaitkan dengan berbagai persyaratan, antara lain mengenai jumlah maksimal kredit, jangka waktu, tujuan penggunaan, suku bunga, cara penarikan, jadwal pelunasan, dan jaminan4.

Menurut Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia 20015, disebutkan bahwa Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam (debitur) untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Pengertian yang hampir sama didapati dalam pasal 1 butir 11 UU No. 10 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain

3

Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 1

4

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 73

5

Irham Fahmi, Analisis Kredit dan Fraud : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Penerbit Alumni, Bandung, 2008, hal. 4

(15)

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yangh diizinkan oleh bank atau badan lain.

Oleh karena kredit merupakan suatu bentuk peminjaman uang, maka atas suatu kredit juga dibebankan suatu jaminan. Benar bahwa kredit didasarkan pada kepercayaan, namun demi pengamanan pelunasan kredit, maka jaminan atau agunan tetap diperlukan6.

Sementara mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan, perjanjian ini dalam aturan KUHPerdata merupakan bagian dari perjanjian kerja yang diatur dalam Bab VIIA KUHPerdata tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan ini dibagi dalam 3 macam, yaitu :

1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; 2. Perjanjian kerja/perburuhan; dan

3. Perjanjian pemborongan pekerjaan.

Yang difokuskan dalam skripsi ini adalah mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan. Dalam pasal 1601b, disebutkan bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak yang pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan

6

(16)

yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan7.

Pengusaha yang mengadakan perjanjian pemborongan pekerjaan dengan pemerintah, yang selanjutnya disebut sebagai pemborong adalah pihak pelaku usaha yang mengadakan perjanjian pemborongan pekerjaan dengan pemerintah untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, termasuk pengadaan barang dan/atau jasa.

Menurut UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana diubah dengan UU No 10 Tahun 1998, dalam pasal 8 dan penjelasannya dikatakan bahwa pemberian kredit selalu mengandung resiko, salah satu resiko adalah menetapkan jaminan (collateral) dalam analisis pemberian kredit. Mengenai jaminan, dalam pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1998 tentang Jaminan Pemberian Kredit, jaminan adalah suatu keyakinan bank atau kesanggupan debitur untyuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan

Sementara pemerintah dalam hal ini adalah Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang ibukotanya adalah Tarutung.

Bank BRI merupakan Bank Rakyat Indonesia Cabang Tarutung yang merupakan bagian dari Bank BRI Kantor Wilayah Medan yang daerah kerjanya meliputi satu kabupaten Tapanuli Utara.

G. Sistematika Penulisan

7

(17)

Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan karya tulis ilmiah. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang dibagi dalam beberapa bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar dari pembahasan selanjutnya yang terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu: Latar Belakang Penulisan, Rumusan Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

Berisikan uraian berupa tinjauan umum tentang Perjanjian Kredit, seperti Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit, Jenis-Jenis Kredit, Tujuan dan Fungsi Kredit, Asas-Asas atau Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit, Bentuk-Bentuk Perjanjian Kredit, dan Sahnya Perjanjian Kredit.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANIJAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA PENGUSAHA DENGAN PEMERINTAH

Berisikan uraian tentang tinjauan umum tentang perjanjian pemborongan pekerjaan antara pengusaha dengan pemerintah yang meliputi pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan, pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan antara Pengusaha dengan Pemerintah, serta Asas-Asas atau Prinsip-Prinsip Dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

(18)

BAB IV ASPEK HUKUM PEMBERIAN KREDIT KEPADA KONRAKTOR YANG MENDAPAT BORONGAN PEKERJAAN DARI PEMERINTAH DI BRI CABANG TARUTUNG

Berisikan uraian tentang pemberian kredit kepada pengusaha yang mengadakan perjanjian pemborongan pekerjaan dengan pemerintah di BRI Cabang Tarutung, yang meliputi : kedudukan kontrak borongan dalam pemberia kredit, resiko dalam pemberian kredit, prosedur untuk memperoleh kredit, pihak-pihak yang terkait dalam pemberian kredit, pelaksanaan kredit, dan tata cara penyelesaian kredit macet.

BAB V PENUTUP

Berisikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dalam skripsi ini, disertai dengan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Anak dapat melakukan gerakan tangan seperti kangguru sambil mengangguk- anggukan kepala Anak melakukan gerakan tangan seperti kangguru sambil mengangguk- anggukan

guru pada SD Negeri Lamklat Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan

° Dari uraian diatas maka nampak terjadi adanya perbedaan perhitungan saat Matahari terbenam antara sistem Almanak Nautika dan Newcomb, dimana pada sistem Newcomb

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak - kanak , Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,

Hasil refleksi dari observasi pada tahap pra siklus, menjadi acuan dalam melaksanakan pembelajaran dengan model cooperative script untuk meningkatkan motivasi

Mahasiswa juga mampu menjelaskan epidemiologi karies gigi, perilaku menyikat gigi dan peranan zat gizi yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut sebagai penunjang

Terlaksananya kegiatan  peningkatan kapasitas  pelayanan administrasi  kependudukan  pemerintah kota  setidaknya diikuti 20 ...

Dalam hal dipandang perlu Bank Indonesia dapat menyetujui permohonan perubahan akses PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 melalui pemberitahuan secara tertulis kepada Anggota