• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuncup Berseri, Javanese Norms and the Globalization

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kuncup Berseri, Javanese Norms and the Globalization"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Kuncup Berseri, Javanese Norms and the Globalization

Yuli Christiana Yoedo

yulichy@peter.petra.ac.id Sutorejo Tengah 14/6 Surabaya 60113

Petra Christian University English Department Faculty of Letters Surabaya Indonesia Abstract

Every Indonesian citizen, including young generation, will be engaged with the effects of globalization. Teachers, therefore, are responsible for preparing the students to grasp with the positive effects and to cope with the negative ones during such era in order to survive the globalization. One of the negative effects is the degradation of local norms. Introduction to

Gender Studies, one of the courses offered to all students of Petra Christian University, often

discusses the works of literature in relation to Javanese norms,

One of them is Kuncup Berseri, written by Nh. Dini. The question arises is “How the Javanese norms in Kuncup Berseri can effectively be used to materialize the students as the future generation so that they are ready for globalization?” Defined as the process of embracing whole parts of the world, the discussion connects the struggle of the main female character with the process of globalization by involving the role of the principles of feminism and the norms of Javanese culture. In Kuncup Berseri, it is obvious that the Javanese norms Toto Urip, Toto

Kromo and Toto Laku, play an important role in the life of the main female character who is

Javanese. Those norms which encourage the main female character to bravely face the challenge in her life will possibly give enlightenment to the students to do the same things—as in Kuncup

Berseri —and even more. There is, therefore, a very tight connection between cultural norms and

the process of globalization. That is, cultural norms help prepare human being ready for globalization.

Keywords: connect, globalization, Javanese norms, ready, survive

Pendahuluan

Indonesia yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia, mau tidak mau juga akan terkena dampak atau ledakan globalisasi. Oleh karena itu, bangsa Indonesia dalam menyikapi keberadaannya di abad XXI ini harus benar-benar lebih mewaspadai kemungkinan berbagai fenomena globalisasi. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, betapapun derasnya arus

(2)

globalisasi yang terjadi dan mempunyai potensi mengancam eksistensi bangsa Indonesia, namun sesungguhnya semua itu tetap dapat diantisipasi. Globalisasi yang telah, sedang dan akan terus menggejala, memang berbahaya. Agar kita tidak terseret menjadi korban, bahkan dapat tampil sebagai pemenang diperlukan usaha untuk meningkatkan kemampuan diri dan berjejaring. Indonesia akan dapat menjadi negara yang maju pada tahun 2050 dengan memperhatikan lima paradigma, yaitu: bagaimana dapat melaksanakan pembangunan nasional yang tertib dan terpadu, serta berdimensi kewilayahan dan kelestarian lingkungan. Kedua, bagaimana agar dapat memadukan resource-based dan knowledge-based secara baik.. Tiga, bagaimana agar semua proses pembangunan nasional kita dapat mewujudkan terjadinya pertumbuhan yang diikuti oleh pemerataan. Keempat, bagaimana memperkokoh ketahanan dan kemandirian bangsa dalam kerjasama internasional yang konstruktif. Kelima, mendorong peranserta dan kontribusi semua elemen dan warga bangsa [Sudjono, 2008: 3-5, 35].

Sebelum membahas globalisasi lebih mendalam, sebaiknya kita perlu mengetahui arti globalisasi terlebih dahulu. Kata “globalisasi”berasal dari kata “global” yang berarti “internasional” atau “universal”. Karena luasnya cakupan yang termasuk globalisasi, sampai saat ini belum ada definisi yang bisa diterima di berbagai bidang. Salah satu definisi yang sering dipakai, globalisasi adalah “Suatu proses yang bersifat alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia ini semakin terkait dan terikat satu sama lain untuk kemudian dari proses itu melahirkan suatu tatanan kehidupan yang serba baru dengan menyingkirkan berbagai bentuk batas-batas geografis, sosial, ekonomi, budaya, keagamaan, pandangan politik, tradisi, keyakinan dan lain sebagainya”. Menurut Thomas L. Friedman, wartawan dan redaktur senior suratkabar The New York Times Amerika, globalisasi memang merupakan fenomena pasca Perang Dingin yang kehadirannya tidak akan dapat dihindari. Meskipun globalisasi tidak memiliki bentuk yang dapat dilihat, seperti halnya peluru kendali dengan hulu ledak nuklir, namun globalisasi memiliki “daya ledak” yang justru lebih hebat. Dalam era globalisasi ini, negara industri maju akan senantiasa berusaha terus menerus untuk memaksakan kehendaknya terhadap negara yang miskin dan ini menyebabkan negara-negara yang makmur semakin bertambah makmur, sementara yang miskin akan terus kalah bersaing dengan negara makmur [Sudjono, 2008: 10-1, 35].

Ledakan akibat globalisasi ini tidak pandang bulu, para mahasiswa sebagai generasi muda yang akan melanjutkan kepemimpinan di negeri tercinta ini juga akan terkena dampaknya, baik yang positif maupun negatif. Oleh karena itu, kita, para dosen bertanggungjawab untuk mempersiapkan mahasiswa agar dapat memanfaatkan semua kemungkinan peluang yang ada dalam pengertian yang positif, sekaligus mengurangi atau menghilangkan semua ancaman yang mungkin akan timbul, sehingga pada saatnya dapat memperkuat atau memanfaatkan dampak positif dan mengatasi dampak negatifnya agar mahasiswa dapat tetap bertahan dalam menghadapi segala tantangan akibat globalisasi. Salah satu dampak negatif tersebut adalah terkikisnya budaya lokal. Karena itu perlu dipikirkan cara agar mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa dapat memanfaatkan budaya lokal untuk dapat bertahan dalam era globalisasi.

Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengajak mahasiswa untuk mendiskusikan karya sastra yang sarat dengan nilai-nilai budaya lokal dan perjuangan pantang menyerah menghadapi tantangan kehidupan. Cerita kenangan Kuncup Berseri, karya Nh. Dini misalnya, tepat untuk dipakai karena sarat dengan nilai-nilai budaya Jawa serta mengisahkan perjuangan gigih seorang wanita dalam menghadapi tantangan dalam hidupnya. Selain itu, cerita kenangan ini merupakan kisah nyata. Mahasiswa biasanya lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau nyata bukan khayalan. Seperti diketahui bersama dalam era globalisasi, tantangan bukan

(3)

hanya semakin sedikit, melainkan semakin banyak dan semakin bervariasi. Jadi, dengan mendiskusikan Kuncup Berseri, setidaknya ada dua manfaat yang dapat dipetik mahasiswa, yaitu: mengenal budaya Jawa dan belajar bagaimana memperlakukan tantangan hidup sehingga dapat bertahan bahkan keluar sebagai pemenang.

Topik feminisme perlu ditampilkan di sini karena topik tersebut memang masih menarik untuk dibicarakan dikarenakan sistem Patriarki yang masih lekat di budaya Indonesia pada umumnya. Topik yang berkaitan dengan perjuangan wanita tersebut perlu juga ditampilkan karena mayoritas penduduk Indonesia adalah wanita. Tokoh utama wanita dalam cerita kenangan ini dapat menjadi contoh teladan bagi wanita lainnya untuk berani menghadapi tantangan hidup dan keluar sebagai pemenang. Bila kaum wanitanya kuat, negarapun akan kuat. Bila kaum wanitanya maju, negarapun akan maju. Selain wanita, laki-lakipun perlu mempelajari apa yang dilakukan tokoh utama wanita tersebut agar laki-laki pun dapat memahami penderitaan wanita dan akhirnya ikut bersama-sama memajukan wanita karena perjuangan tersebut bukan hanya milik wanita saja tetapi juga milik laki-laki.

Perjuangan wanita dalam cerita kenangan Kuncup Berseri ini merupakan salah satu materi pembelajaran dari mata kuliah Introduction to Gender Studies yang merupakan mata kuliah pilihan di UK Petra. Mata kuliah dengan bobot 2 sks tersebut dapat diambil oleh mahasiswa dari semua Jurusan. Perlu diketahui bahwa mayoritas mahasiswa UK Petra adalah keturunan Tionghoa yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia yang tidak terlalu memahami budaya Jawa bahkan ada dari mereka yang sama sekali tidak mengetahui budaya Jawa meskipun dilahirkan di pulau Jawa. Dengan demikian, apa yang dilakukan selama proses belajar mengajar dapat dikatakan merupakan salah satu usaha untuk melestarikan budaya Jawa. Mereka bukan hanya diperkenalkan dengan budaya Jawa tetapi juga diajak melihat norma-norma mana yang cocok dan tidak cocok dalam menyambut globalisasi. Lebih tepatnya, mereka perlu mengenal norma-norma mana yang merugikan dan norma-norma mana yang menguntungkan wanita dalam menyongsong globalisasi.

Sistem Patriarki

Dalam masyarakat yang menganut sistem Patriarki seperti suku Jawa, posisi laki-laki dianggap lebih tinggi dari wanita sehingga mereka mendapatkan hak-hak dan perlakuan yang lebih baik [Williams, 2000: 6, 105; Hellwig, 1997: 14]. Bahkan menurut Richardson dan Taylor, sejak dilahirkan laki-laki telah memperoleh perlakuan istimewa tersebut [Richardson dan Taylor, 1989a:1]. Mereka dianggap lebih penting dan lebih berharga daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap paling penting dan paling berharga sehingga mendapat perhatian istimewa. Di pundaknya terletak semua harapan orang tua untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di kemudian hari karena itu orang tua berusaha keras untuk memberikan yang terbaik untuknya sebagai bekal di masa depan [Dini, 1994: 120]. Sebagai anak laki-laki tertua, Nugroho selalu diperlakukan dengan lebih baik daripada saudara-saudaranya yang lain karena dia diharapkan dapat mengangkat derajat orang tua di kemudian hari.

Dibandingkan dengan wanita, mereka mendapatkan lebih banyak perhatian dan kebebasan. Mereka menerima cinta kasih yang tak putus-putusnya, pendidikan, makanan dan perawatan yang lebih baik. Kebebasan yang mereka terima bukan hanya kebebasan jasmani, tetapi juga kebebasan, baik untuk mengungkapkan diri maupun memilih [Bhasin dan Khan, 1995:

(4)

55]. Salah satu contoh perlakuan istimewa tersebut, yaitu: anak laki-laki dapat tertawa terbahak-bahak sedangkan anak perempuan tidak.

Pembatasan gerak wanita juga terjadi dalam bidang pekerjaan. Laki-laki dapat berkarya di lebih banyak bidang pekerjaan dari wanita. Sementar itu, pekerjaan yang pantas dilakukan oleh wanita, diantaranya: guru, sekretaris dan penyiar [Dini, 1996: 166]. Wanita dianggap tidak pantas untuk berprofesi sebagai dokter hewan atau pengemudi lokomotif [Dini, 1994: 58].

Kuncup Berseri, norma Jawa dan globalisasi

Dalam bagian ini kita akan melihat hubungan antara cerita pendek Kuncup Berseri dengan sistem patriarki, norma-norma yang ada dalam budaya Jawa dan globalisasi. Selain itu, pembahasan juga terkait dengan apa saja yang diharapkan dari mahasiswa selama dan setelah proses pembelajaran. Di sini dua kata, yaitu: Nh. Dini dan Dini dipakai untuk menunjukkan dua peran yang berbeda. Nh. Dini menunjukkan peran sebagai pengarang dan Dini menunjukkan peran sebagai tokoh.

Menurut penulis, perbuatan sewenang-wenang empat tokoh laki-laki terhadap Dini dipengaruhi oleh sistem patriarki yang memposisikan laki-laki lebih tinggi dari wanita [lihat: Hellwig, 1997: 14]. Menurut Bhasin dan Khan, perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu penindasan [lihat: Bhasin dan Khan, 1995: 5-6]. Penindasan tersebut dapat terjadi karena mereka menganggap bahwa kedudukan mereka sebagai laki-laki lebih tinggi dari Dini. Nampak sekali bahwa mereka merasa berhak melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa mempedulikan perasaan Dini.

Surat hinaan dan tuduhan berisi fitnah, kartu pos berisi kata-kata kotor dan pisau silet berkarat yang dikirimkan dua pengarang tanpa terlebih dahulu menanyakan pada Dini kebenaran beritanya serta pemasangan iklan pertunangan palsu oleh sang sahabat pena dalam sebuah surat kabar di Jawa Timur mencerminkan bahwa ketiga laki-laki tersebut tidak menjalankan prinsip

toto kromo dan toto laku karena mereka tidak menghormati orang lain dan mereka tidak

mengatur kelakuan mereka. Apa yang mereka perbuat hanya menyakiti atau merugikan orang lain. Mereka lupa bahwa sebagai orang Jawa, mereka harus menjunjung tinggi kesopanan dalam berbicara dan bertindak [Williams, 1995: 6]. Bila kedua pengarang memang bermaksud untuk mengalahkan Dini, mereka harus berkompetisi dengan sehat. Apa yang dilakukan ketiga laki-laki ini bagi mahasiswa merupakan sebuah model untuk tidak diikuti. Kita dapat menekankan bahwa sebagai warga Indonesia tidak seharusnya mereka menjatuhkan sesama warga Indonesia. Justru semua bangsa Indonesia harus bersatu padu melawan kekuatan negara lain. Jikalau arena kompetisi internal tidak dapat dihindari, kompetisi harus dilakukan secara sehat. Satu hal lagi yang perlu disampaikan kepada mahasiswa bahwa apa yang kita lakukan selalu dipantau oleh Allah sang pencipta, termasuk ketika kita memfitnah orang lain.

Ketiga laki-laki ini tidak menyadari bahwa kemenangan sesaat mereka sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali. Cara-cara tidak jujur yang mereka pakai hanya membuat orang lain tidak mempercayai mereka. Tentu saja hal ini sangat tidak menguntungkan ketika mereka berjejaring atau berkarir karena orang tidak lagi percaya kepada mereka. Seperti yang dikatakan bapak Presiden di atas, untuk dapat berhasil dalam era globalisasi, kita harus berjejaring dan hal itu hanya bisa diwujudkan kalau ada kepercayaan. Jadi, unsur kepercayaan mendasari suatu hubungan yang baik.

(5)

Ditinjau dari teori feminisme, reaksi Dini menentang empat laki-laki tersebut dapat terjadi karena dia sadar adanya penindasan terhadap dirinya dan adanya kemauan yang kuat untuk menolak penindasan tersebut atau adanya keinginan yang kuat untuk menolak diperlakukan sebagai objek [lihat: Bhasin dan Khan, 1996: 6]. Tindakan mereka dapat dikategorikan sebagai suatu penindasan karena tindakan mereka bertujuan untuk membatasi kebebasan dan kemajuan wanita secara tidak adil serta menganggap wanita hanya sebagai objek. Menurut Darma, perbuatan semacam itu dapat dikategorikan sebagai suatu penindasan [Phiri, 1996: ix-x].

Reaksi menentang merupakan akibat dari keinginan Dini untuk mendapatkan penghargaan dan kebebasan mengatur dirinya sendiri atau, dengan kata lain, menjadi subjek. Seperti diketahui, salah satu cara untuk menjadi subjek sebagaimana dijelaskan oleh Hellwig, adalah berusaha untuk membuat dirinya didengar, yaitu: dengan berani berbicara atau menulis untuk menyatakan pendapatnya sendiri [Hellwig, 1997: 15]. Tindakan Dini membalas surat, melabrak dan beragumentasi sengit merupakan upayanya untuk dapat didengar.

Dari sudut pandang Leclerc, tindakan ”buka mulut” Leclerc ini memang harus dilakukan karena pembebasan wanita dari penindasan hanya mungkin terjadi apabila mereka berani ”bicara” dari sudut pandang mereka sendiri mengenai pekerjaan, kehidupan, masyarakat dan sebagainya. Dan tidak harus menerima pendapat yang tidak sesuai dengan kehendak mereka [Leclerc, 2000: vi]. Jika Dini tidak berani membalas surat, melabrak atau mendebat, dapat dipastikan bahwa keempat laki-laki tersebut akan semakin bersikap sewenang-wenang terhadapnya karena menganggap bahwa perbuatan mereka diterima atau tidak mendapatkan perlawanan.

Aksi menentang Dini disebabkan juga karena dia tidak dapat menerima pembatasan pekerjaan bagi wanita dengan alasan pekerjaan tersebut tidak pantas atau tidak aman bagi wanita. Dini berpendapat bahwa seperti laki-laki, wanita pun mempunyai hak untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan potensinya bukan yang pantas dan aman menurut masyarakat. Ada beberapa pekerjaan yang menurut masyarakat pantas dan aman bagi wanita, yaitu: guru, sekretaris dan penyiar. Menurut Dini, alasan tidak aman tentang suatu pekerjaan, seperti pekerjaan pramugari, tidak dapat diterima karena pekerjaan lainnya juga tidak dapat menjamin bahwa wanita tidak akan mengalami pelecehan seksual atau perkosaan [Dini, 1996: 165-6]. Singkatnya, keputusan untuk memilih pekerjaan seharusnya berada di tangan tiap-tiap individu wanita.

Di era globalisasi, kalau Indonesia benar-benar ingin maju, penggolongan pekerjaan seperti ini harus ditiadakan. Dengan kata lain, wanita harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkarya di berbagai bidang pekerjaan yang diminati, termasuk di militer dan politik.

Penyebab terakhir timbulnya reaksi menentang adalah keinginan yang kuat untuk menolak tekanan yang dirasakannya sebagai wanita pengarang. Dini menyadari bahwa tekanan tersebut lahir sebagai akibat dari penghinaan dan iri hati. Ada kelompok laki-laki pengarang menganggap bahwa mutu karya wanita pengarang berada di bawah mutu karya laki-laki pengarang sehingga mereka merasa pantas untuk merendahkan wanita pengarang. Sementara itu, ada kelompok laki-laki pengarang yang menyadari potensi wanita pengarang dan merasa terancam.Yang membahayakan adalah kedua kelompok ini berusaha keras untuk dapat menyingkirkan wanita pengarang [Dini, 1996: 92]. Sulit untuk mengatakan masuk ke dalam kelompok yang mana kedua pengarang laki-laki tersebut, tetapi keduanya memang tidak dapat menerima kehadiran Dini. Sebaliknya Dini juga tidak dapat menerima ”pengusiran” mereka dari dunia kepengarangan. Sesungguhnya, apa yang ingin disampaikan Nh. Dini di sini adalah bahwa

(6)

kedua jenis kelamin pengarang Indonesia sebenarnya dapat bekerjasama untuk membangun Indonesia dengan cara masing masing, dengan gaya penulisan masing-masing yang unik tanpa merasa salaing terancam atau mengancam karena masing-masing diciptakan dengan talenta yang berbeda. Dalam era globalisasi, peran para pengarang sebenarnya sangat besar. Mereka mempunyai kemampuan untuk bermain di arena kata-kata guna mengubah pola pikir masyarakat sehingga tercipta keadilan seperti yang didambakan semua pihak. Dengan pena sebagai senjata, mereka berjuang untuk menunjukkan ketidakadilan sehingga ada tindakan untuk mengubahnya [lihat: Dini, 1984: 15].

Dari konteks ini, mahasiswa diharapkan dapat meneladani apa yang telah dilakukan Dini remaja. Meskipun usianya relatif masih muda, bahkan mungkin lebih muda dari mereka, dia tidak takut menghadapi intimidasi. Keberanian Dini ini seharusnya dapat memacu mereka untuk meningkatkan percaya diri karena kepercayaan diri seperti ini sangatlah dibutuhkan dalam arena kompetisi di masa kini maupun akan datang. Diharapkan juga konflik pengarang ini membukakan mata mahasiswa bahwa dunia di luar kampus bukanlah dunia yang aman. Hal-hal buruk dapat saja menimpa mereka, termasuk fitnah.

Berdasarkan teori feminisme, tindakan Dini untuk menjauhkan diri dari kedua pengarang, si pembuat iklan pertunangan palsu dan Nugroho adalah karena tindakan tersebut merupakan tindakan terbaik agar lepas dari penindasan mereka. Menurut Bhasin dan Khan, keputusan Dini untuk menjauhkan diri karena tidak mau dihina tersebut merupakan salah satu cara untuk menentang penindasan [lihat: Bhasin dan Khan, 1995: 5-6]. Bila Dini tidak menjauhkan diri dari mereka, akan terbuka kesempatan lagi bagi mereka untuk melakukan penindasan. Tindakan Dini tersebut identik dengan jalan perceraian dalam sebuah perkawinan ketika sang istri tidak lagi dapat menanggung beban penderitaannya. Dalam hubungan sebatas pertemanan atau persaudaraan, langkah terbaik yang dapat ditempuh Dini adalah menjauhkan diri dari sumber penderitaan, yaitu orang-orang yang mencoba membatasi ruang geraknya dan orang-orang yang hanya menganggapnya dengan sebelah mata saja.

Ditinjau dari norma budaya Jawa, tindakan Dini tersebut jelas dipengaruhi oleh prinsip

toto laku. Dia sadar bahwa agar tidak mengalami kekecewaan atau sakit hati lagi karena tingkah

laku keempat laki-laki tersebut, dia harus melakukan suatu tindakan. Tindakan yang menurutnya tepat untuk dilakukan adalah menjauhi mereka.

Kemarahan Dini bukan hanya terhadap keempat laki-laki di atas saja melainkan juga terhadap tradisi yang berpihak kepada kepentingan laki-laki. Salah satu tradisi yang dianggap merugikan wanita adalah pembedaan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki mendapat perhatian istimewa karena mereka diyakini dapat mengangkat derajat orang tua di kemudian hari [Dini, 1994: 129]. Karena keyakinan demikian, anak laki-laki mendapatkan yang terbaik dari orang tua mereka, misalnya: kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi dari anak perempuan [Dini, 1996: 165]. Dini sangat tidak setuju dengan pembedaan tersebut karena menurutnya, anak perempuan sama berharganya dengan anak laki-laki. Anak perempuan tidak kalah pandainya dengan anak laki-laki dan mereka juga mempunyai kemampuan untuk dapat mengangkat derajat orang tua di kemudia hari asalkan diberi kesempatan dan perlakuan yang sama dengan anak laki-laki.

Dalam Kuncup berseri, Nh. Dini sengaja menampilkan figur dua orang anak yang berbeda untuk menjadi bahan perenungan pembacanya. Pembaca diajak untuk menyadari bahwa anak perempuan sama pentingnya dengan anak laki-laki. Sudah bukan jamannya lagi untuk melakukan pembedaan-pembedaan. Salah satu fakta yang coba ditampilkan Nh.Dini adalah bahwa Nugroho yang mendapat fasilitas lebih baik dari Dini ternyata tidak lebih baik dari Dini

(7)

sedangkan Dini yang mendapat fasilitas serba terbatas dapat berprestasi lebih. Nugroho mendapatkan dukungan untuk menempuh pendidikan di universitas sedangkan Dini hanya mengenyam pendidikan menengah atas. Tidak adanya dukungan bagi Dini tersebut karena adanya pemikiran bahwa wanita, apalagi yang cantik, tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi karena pada akhirnya akan menikah, melayani suami, mengurus anak dan berkutat di dapur.

Pemikiran seperti itu sebenarnya adalah pemikiran yang sangat tidak masuk akal. Sebagai wanita yang mempunyai tugas melahirkan dan mendidik anak, wanita justru harus berpendidikan tinggi agar dapat melahirkan anak-anak yang sehat dan mendidik anak-anak dengan baik. Tidak ada salahnya menjadi cantik tetapi tidak ada salahnya pula menjadi cantik dan pandai. Meskipun nantinya wanita tidak bekerja setelah menikah atau hanya menjadi ibu rumah tangga saja, mereka tetap perlu diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi agar dapat menghasilkan generasi manusia yang unggul.

Apa yang dilakukan Dini remaja untuk menulis cerita pendek dan naskah sandiwara radio guna mendapatkan uang bukan hanya membuktikan bahwa anak perempuan sanggup berprestasi dan berpikir logis melainkan juga cerminan dari prinsip hidup yang dianutnya, yaitu toto urip. Logikanya menuntunnya untuk melakukan sesuatu dengan bakatnya agar hidupnya kelak tidak terlunta-lunta serba kekurangan karena tidak adanya dukungan finansial yang cukup dari ibunya. Apa yang bisa dipelajari mahasiswa di sini adalah bahwa dalam keterbatasan, manusia tidak boleh putus asa lalu bergantung kepada manusia lainnya tetapi harus memaksimalkan kemampuan dirinya dan jeli melihat peluang. Di era globalisasi tingkat persaingan tentu saja akan semakin tajam, kita tentu harus bermental baja atau tidak menjadi manusia yang mudah patah semangat jika ingin berhasil. Mahasiswa juga dapat belajar bahwa meskipun berkat itu datangnya sedikit tetapi kalau terus disimpan atau tidak dihambur-hamburkan, lama-kelamaan juga akan menjadi bukit, lama kelamaan juga akan sangat bermanfaat. Sekali lagi, Dini remaja betul-betul mengerti bagaimana dia harus menata hidupnya, yaitu dengan merintis karir sebagai penulis sejak dini. Diharapkan toto urip yang dilakukan Dini remaja tersebut dapat memotivasi mahasiswa yang berusia lebih tua dari Dini ini untuk mulai mengatur hidupnya agar sukses di masa kini dan di masa yang akan datang.

Tradisi lainnya yang merugikan adalah anak laki-laki diberi lebih banyak kesempatan dari anak perempuan, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk memilih. Tradisi demikian tidak dapat diterima berdasarkan pertimbangan keadilan dan kelogisan [Dini, 1996: 15]. Menurut kaca mata Dini, anak laki-laki dan perempuan seharusnya diberi kebebasan yang sama. Sebagai contoh, kalau anak perempuan tidak diijinkan untuk tertawa terbahak-bahak dengan alasan tidak pantas karena melanggar kesopanan, anak laki-laki seharusnya juga tidak diijinkan melakukan hal yang sama. Ketidakadilan lainnya adalah adanya larangan bagi anak perempuan untuk memotong rambut setelah mencapai umur belasan tahun sebaliknya tidak bagi anak laki-laki padahal tidak ada dampak negatif jika pemotongan rambut dilakukan. Larangan tersebut dikatakan tidak logis karena tidak ada alasan yang kuat kenapa larangan tersebut diberlakukan dan tidak ada dampak negatif yang ditimbulkan bila larangan tersebut dilanggar. Larangan-larangan yang tidak dapat dijelaskan secara logis ini tentu saja dapat menghambat langkah para wanita di era globalisasi. Ketidakadilan juga dapat membuat wanita tidak percaya diri. Padahal kepercayaan diri sangat diperlukan dalam memenangkan persaingan.

Penindasan dalam keluarga tidak hanya terjadi pada anak perempuan saja tetapi pada wanita dewasa, dalam hal ini para istri. Dini menentang para suami yang menggunakan keunggulan dan kelebihannya untuk menindas istrinya. Dini dapat menerima perbedaan antara laki-laki dan wanita sebagai makhluk ciptaan Tuhan tetapi dia tidak dapat menerima ”nurture”

(8)

bahwa laki-laki dianggap mempunyai posisi lebih tinggi dari wanita. Kedudukan suami sebagai kepala keluarga tidak berarti bahwa suami dapat berbuat sewenang-wenang terhadap istrinya [Dini, 1996: 159].

Selain menentang perbedaan posisi laki-laki dan wanita, Dini juga menentang pembedaan posisi dalam dunia kepengarangan. Dia menentang sikap laki-laki pengarang yang tidak dapat menerima wanita pengarang sebagai mitra sejajar mereka. Menurut Dini, laki-laki dan wanita pengarang sebenarnya bukanlah dua kubu yang harus bermusuhan. Karena itu, kehadiran wanita pengarang seharusnya bukanlah merupakan ancaman bagi laki-laki pengarang tetapi justru membantu memperkaya khasanah sastra Indonesia [Dini, 1996: 10,92-3,148].

Perlakuan yang merugikan wanita terjadi juga di lingkungan sekolah. Murid perempuan kala itu sulit untuk menjadi pemimpin karena mereka dianggap tidak mampu [Dini, 1996: 13,115]. Bagi Dini, perlakuan tersebut tentu saja tidak dapat diterima karena bagaimana dapat menunjukkan kemampuannya kalau wanita tidak diberi kesempatan untuk memimpin.

Selain hal-hal di atas, Nh. Dini juga mengkritisi sikap masyarakat yang membuat penggolongan profesi laki-laki dan wanita. Profesi tertentu dianggap sebagai milik wanita sementara profesi yang lain dianggap sebagai milik laki-laki. Contoh profesi yang dianggap pantas bagi wanita adalah: guru, sekretaris dan penyiar. Penggolongan tersebut dianggapnya tidak tepat karena hanya membatasi ruang gerak wanita saja. Lebih tepatnya, penggolongan tersebut tidak memberi kesempatan bagi wanita untuk beraktualisasi diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya [Dini, 1996: 165-6].

Dalam kaitannya dengan dampak globalisasi, Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa betapapun derasnya arus globalisasi terjadi dan mempunyai potensi mengancam eksistensi bangsa Indonesia, namun sesungguhnya semua itu tetap dapat diantisipasi. Globalisasi yang telah, sedang dan akan terus menggejala, memang berbahaya. Agar kita tidak terseret menjadi korban, bahkan dapat tampil sebagai pemenang diperlukan usaha untuk meningkatkan kemampuan diri dan berjejaring. Beliau menambahkan bahwa Indonesia akan dapat menjadi negara yang maju pada tahun 2050 dengan memperhatikan lima paradigma, yaitu: bagaimana dapat melaksanakan pembangunan nasional yang tertib dan terpadu, serta berdimensi kewilayahan dan kelestarian lingkungan. Kedua, bagaimana agar dapat memadukan

resource-based dan knowledge-based secara baik. Ketiga, bagaimana agar semua proses

pembangunan nasional kita dapat mewujudkan terjadinya pertumbuhan yang diikuti oleh pemerataan. Keempat, bagaimana memperkokoh ketahanan dan kemandirian bangsa dalam kerjasama internasional yang konstruktif. Kelima, mendorong peranserta dan kontribusi semua elemen dan warga bangsa [Sudjono, 2008: 3-5, 35].

Apa yang telah Nh. Dini lakukan dalam Kuncup Berseri adalah suatu hal yang tepat. Kenyataan di masyarakat berkaitan dengan pembatasan-pembatasan gerak wanita sesungguhnya bukanlah hal yang menguntungkan, baik wanita maupun laki-laki sendiri dalam konteks sempit, yaitu keluarga, dan konteks lebih luas, yaitu negara. Dapat dibayangkan betapa besarnya kerugian yang dialami oleh bangsa ini bila gerak wanita dibatasi dan potensi wanita tidak dikembangkan atau diakui. Sebaliknya, kita pun dapat membayangkan keuntungan besar yang kita peroleh bila wanita-wanita mempunyai kebebasan untuk beraktualisasi diri, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Jika dicermati, ada kaitan antara visi Nh. Dini dengan kelima paradigma yang diusulkan Bapak presiden di atas. Nh. Dini menyuguhkan realita dalam bentuk fiksi, terutama untuk mengubah pola pikir masyarakat agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan tertib,

(9)

negara dan kemandirian bangsa dalam kerjasama internasional menjadi kokoh serta terbentuknya kesatuan hati dari semua warga masyarakat untuk membangun negara. Nh. Dini telah menunjukkan fakta, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan pengarahan dan sekarang tinggal kita bersepakat kapan akan bersatu padu menggalang kekuatan untuk menjadi bangsa yang siap berkata “ Ayo songsong globalisasi’.

Proses Belajar Mengajar di kelas Introduction to Gender Studies.

Tujuan instruksional umum dari kelas Introduction to Gender Studies adalah agar mahasiswa mempunyai pola pikir tentang peran laki-laki dan wanita yang sesuai dengan Alkitab. Para dosen dan mahasiswa membahas tingkah laku manusia, baik laki-laki maupun wanita, dan mengaitkannya dengan kemajuan manusia. Materi bahasan diantaranya melingkupi iklan, acara televisi dan karya sastra. Mahasiswa, dari semua jurusan di UK Petra, diajak untuk berperan aktif membahas materi-materi tersebut dan tidak lupa merefleksikan dengan kehidupan mereka sendiri. Pada akhirnya apa yang coba diraih adalah adanya perubahan pola pikir yang berguna bagi kemajuan manusia. Dengan kata lain, mahasiswa diharapkan tidak hanya mempunyai pengetahuan melainkan juga tekad yang kuat untuk menjadi agen perubahan di masa kini dan akan datang.

Inilah poin-poin yang menjadi bahan bahasan dalam proses belajar mengajar di kelas

Introduction to Gender Studies:

a. Bagaimana Kuncup Berseri dapat mempersiapkan mahasiswa menyambut globalisasi. b. Anggapan masyarakat bahwa wanita yang telah berpacaran atau bertunangan dan

kemudian putus adalah ”barang bekas”.

c. Bagaimana mahasiswa menata hidup mereka agar dapat sukses di masa depan. d. Hubungan antara Toto Kromo dengan globalisasi

e. Hubungan antara Toto Laku dengan globalisasi.

f. Adanya peran Patriarki yang masih terasa dominan dalam cerita kenangan Kuncup

Berseri.

g. Adanya norma-norma negatif dalam masyarakat Jawa yang disebabkan oleh sistem Patriarki.

h. Adanya norma-norma positif dalam masyarakat Jawa yang disebabkan oleh sistem Patriarki.

Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut: Kegiatan pertama, mahasiswa mendiskusikan poin-poin di atas dalam kelompok yang terdiri atas laki-laki dan wanita agar tinjauan dapat dilakukan dari dua sudut pandang yang berbeda. Diskusi akan menjadi lebih menarik karena dilakukan oleh laki-laki dan wanita yang mempunyai sudut pandang yang berbeda dimana satu sama lain dapat saling melengkapi.

Kegiatan kedua, mahasiswa dapat diminta untuk memberikan komentar terhadap pernyataan tokoh. Salah satu pernyataan yang dapat diambil adalah bahwa wanita yang telah berpacaran dengan laki-laki dianggap sebagai “sisa” sehingga sulit untuk berhubungan dengan laki-laki lain tetapi tidak sebaliknya. Tentu saja di dalam memberikan komentar, mahasiswa diminta untuk memberikan argumentasi yang kuat. Singkatnya, mahasiswa diajak untuk berpikir

(10)

secara kritis. Komentar-komentar yang diberikan harus didasarkan pada pertimbangan yang benar.

Kegiatan ketiga, mahasiswa dipersiapkan untuk suatu kegiatan debat. Mereka dibagi dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah kelompok yang setuju mendukung keberadaan Patriarki sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang menentang eksistensi Patriarki. Sebelum mereka mulai berdebat, mereka mendapat tugas untuk benar-benar mempelajari sistem yang disebut Patriarki agar perdebatan dapat dilakukan secara mendalam.

Kegiatan keempat, mahasiswa memberikan presentasi yang berkaitan dengan komparasi norma-norma budaya Jawa dalam Kuncup Berseri dengan norma-norma budaya daerah atau negara lain. Sebagai contoh, mahasiswa dari Jurusan Sastra Tionghoa dapat berbicara banyak tentang kesamaan dan perbedaan norma-norma yang ada dalam budaya Tionghoa dan budaya Jawa. Akan menarik juga bila ada mahasiswa yang berasal dari daerah Minangkabau yang menganut sistem Matriarki.

Kegiatan kelima, mahasiswa menulis refleksi dari materi yang didiskusikan atau pengalaman yang diperoleh berkaitan dengan ketidakadilan yang diterimanya. Mereka dapat menuangkan perasaan atau pendapatnya dalam refleksi tersebut. Kemudian refleksi ini diberikan ke mahasiswa lainnya untuk dipakai sebagai bahan renungan agar dapat memetik hikmahnya dan bahkan dapat memberi masukan atau komentar yang dapat membangun. Pada akhirnya, refleksi tersebut kembali kepada mahasiswa yang menulisnya. Masukan atau komentar dari teman diharapkan dapat menjadi masukan yang sangat berarti baginya untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Kegiatan keenam, meskipun tidak semua mahasiswa berasal dari Jurusan Sastra, mereka diminta untuk berimajinasi dengan menulis cerita pendek tentang kaum muda Indonesia di era globalisasi beberapa puluh tahun ke depan. Apa yang ditulis sebetulnya adalah impian mereka. Di sini mahasiswa dilatih untuk berani mempunyai impian karena, seperti kita ketahui, banyak kesuksesan berawal dari impian.

Kegiatan ketujuh, mahasiswa diminta mengganti bagian tertentu dalam Kuncup Berseri yang tidak mereka sukai. Jika mereka tidak suka tindakan tokoh tertentu, mereka dapat menggantinya dengan tindakan yang mereka anggap lebih tepat. Kemungkinan yang lain, jika mereka tidak menyukai bagian akhir dari ceritanya, mereka dapat mengubah bagian akhir tersebut. Pada intinya mereka bebas mengekspresikan ide mereka.

Simpulan

Ada hubungan yang kuat antara norma-norma budaya yang tersirat di dalam cerita kenangan Kuncup Berseri dengan proses globalisasi. Beberapa norma tersebut dapat dijadikan acuan sebagai persiapan manusia dalam menghadapi era globalisasi. Persiapan itu penting terutama bagi generasi muda yang merupakan pemimpin di masa depan, untuk menghadapi dampak negatif dari globalisasi. Nilai agung dalam norma-norma yang telah berakar kuat sejak lama dalam masyarakat tersebut dapat menjadi alat untuk menyiapkan manusia agar tampil sebagai pemenang dalam menghadapi tantangan globalisasi yang telah, sedang dan akan terus menggejala ini. Apa yang sudah ada di masa lampau ternyata berguna untuk menghadapi bahaya di masa kini dan masa depan.

Salah satu norma budaya yang ampuh untuk menangkal bahaya globalisasi tersebut adalah norma budaya Jawa. Prinsip toto urip, toto kromo, dan toto laku dapat diperkenalkan

(11)

kepada generasi muda, dalam hal ini mahasiswa UK Petra yang berlatar belakang dari suku yang berbeda di Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut mengajarkan kepada manusia untuk menghormati sang pencipta, menyayangi orang lain dan diri sendiri. Adanya unsur keseimbangan membuat manusia tetap waspada dan siap menghadapi goncangan globalisasi.

Nh. Dini, penulis Indonesia yang mempunyai wawasan global, secara jeli dapat melihat peluang tersebut. Melalui cerita kenangannya Kuncup Berseri, beliau telah mencoba mengingatkan manusia Indonesia akan pentingnya memperhatikan nasib wanita demi kemajuan Indonesia secara menyeluruh. Nh. Dini juga mengingatkan akan pentingnya usaha manusia, baik laki-laki maupun wanita untuk selalu meningkatkan diri, pentingnya membangun hubungan dengan berbagai pihak dan berharganya norma-norma budaya Jawa dalam mempersiapkan manusia Indonesia untuk menghadapi ancaman globalisasi. Bisa dikatakan bahwa pelajaran-pelajaran dalam cerita kenangan merupakan materi yang sangat bermanfaat untuk didiskusikan dengan mahasiswa dalam usaha memperkenalkan materi Introduction to Gender Studies.

Sinopsis Kuncup Berseri

Buku kelima dari seri ”cerita kenangan” ini menceritakan pengarang Nh. Dini (selanjutnya disebut Dini) ketika remaja atau ketika berada di masa Sekolah Menengah Atas. Di saat itu bakat seninya berkembang, dia mulai menulis cerita pendek dan naskah sandiwara radio serta berkecimpung di bidang teater (yang waktu itu disebut sandiwara) dan kesenian tradisional (gamelan, tembang, dan tari Jawa). Bahkan, anak seorang janda tanpa pesangon ini akhirnya dapat memperoleh penghasilan dari bakatnya tersebut.

Dalam cerita kenangan ini terekam kemarahan Dini terhadap ketidakadilan dan penindasan laki-laki terhadap kaum wanita. Kemarahannya tersebut ditujukan terhadap dua pengarang laki-laki yang mengirim surat hinaan kepadanya, seorang sahabat pena pemasang iklan pertunangan palsu dan Nugroho.

Dua pengarang muda dari Jakarta, seorang sahabat pena dan Nugroho dianggap bersikap sewenang-wenang karena mereka telah berbuat apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan atau menghargai perasaan dan pendapat Dini. Mereka berempat menganggap bahwa sebagai laki-laki, mereka lebih hebat dari Dini sehingga mereka dengan seenaknya merendahkannya. Surat hinaan dan tuduhan berisi fitnah, kartu pos berisi kata-kata kotor dan pisau silet berkarat yang dikirimkan tanpa menanyakan pada Dini kebenaran beritanya merupakan bukti kesewenang-wenangan dari dua pengarang. Pemasangan iklan pertunangan palsu dalam sebuah surat kabar di Jawa Timur adalah bukti kesewenang-wenangan sang sahabat pena karena hal tersebut dapat menghalangi Dini untuk berhubungan akrab dengan laki-laki lain karena dia dianggap sebagai barang bekas. Jadi, pemasangan iklan tersebut jelas merugikan pihak Dini karena dapat mencemarkan nama baiknya. Dini pun dengan berani segera melabrak laki-laki tersebut. Sementara itu, kesewenang-wenangan Nugroho nampak dalam bentuk pemaksaan kehendaknya kepada Dini untuk memilih pekerjaan yang dianggapnya pantas. Dia selalu menganggap bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Karena diperlakukan seperti itu, Dini memutuskan untuk melawan.

Selain itu, Dini juga menunjukkan kemarahannya terhadap pengabaian dan pengecilan peran wanita, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Dia tidak setuju terhadap

(12)

larangan-larangan atau teguran-teguran yang hanya ditujukan kepada anak-anak perempuan, kebebasan yang diperoleh hanya oleh anak laki-laki dan kemutlakan yang dikuasai oleh kaum laki-laki. Di matanya kedudukan wanita begitu rapuh, baik sebagai manusia maupun sebagai pekerja apapun. Dia juga mengulas ketidaksetujuannya terhadap tradisi yang lebih mementingkan anak laki-laki, penggolongan pekerjaan bagi wanita dan laki-laki serta pembatasan pendidikan bagi anak perempuan.

Daftar Pustaka

Bhasin, Kamla dan Nighat Said Khan. 1995. Feminisme dan Relevansinya (diterjemah- kan oleh S. Herlinah). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dini, Nh. 1984. “Sikap saya Sebagai pengarang”. Dalam Dewan Kesenian Jakarta (Ed).

Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar harapan, h. 11-20.

Dini, Nh. 1994. Sekayu. Jakarta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dini, Nh. 1996. Kuncup Berseri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hellwig, Tineke. 1997. In the Shadow of Change: Women in Indonesian Literature. Berkeley: Centers for South and Southeast Asia Studies University of California. Leclerc, Annie. 2000. Kalau Perempuan Angkat Bicara (diterjemahkan oleh Rahayu S.

Hidayat). Yogyakarta: Kanisius.

Phiri, Tsitsi V. Himunyanga..1996. Warisan. [diterjemahkan oleh Budi Darma]. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Richardson, Laurel dan Verta Taylor. 1989a. “Learning Sex and Gender”. Dalam Laurel Richardson dan Verta Taylor (Ed). Feminist Frontiers II. 1989. New York. Random House, Inc. h 1-2.

Sudjono, Haridadi. 2008. Globalisasi: Perkembangan Serta Kemungkinan Bencananya

Bagi Indonesia. Jakarta: Lembaga Humaniora.

Williams, Walter L. 1995. Mozaik Kehidupan Orang Jawa: Wanita dan Pria dalam

Masyarakat Indonesia Modern (diterjemahkan oleh Ramelan). Jakarta: Pustaka

(13)

Referensi

Dokumen terkait

dan stiker menggunakan slogan “ yuk rame-reme coblos nomor 4 ” .Dengan strategi tersebut Dedi Humadi berhasil menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

1 Dengan menggunakan Blok Aljabar dengan model pembelajaran Course Review Horay saya menjadi lebih memahami materi faktorisasi bentuk aljabar. 2 Saya lebih percaya diri

lahan keikhlasan pun akan tumbuh. Implikasi tradisi Nyepi Adat terhadap kehidupan masyarakat yaitu dengan diadakannya Nyepi Adat disini maka segala interaksi tidak bsa

Dengan sifat-sifat tersebut di atas, terlihat bahwa penggunaan komponen induktor untuk tapis pasif ( terutama untuk frekuensi yang rendah ) kurang efektif, setelah adanya

Yaitu dengan membeli perusahaan yang telah didirikan atau dirintis dan diorganisir oleh orang lain dengan nama dan organisasi usaha yang sudah ada.. Hal ini dilakukan karena

Aplikasi ini akan diimplementasi pada saat perancangan SKSO dengan metode Optical Drafter dengan mengambil parameter keluaran dari metode tersebut. Keluaran yang

produk KUBE, juga bertindak sebagai agen bank untuk aktivasi dan pencairan bantuan sosial. +Target pembangunan e-warong 300 tahun 2016 dan 3.500 di

Bila pertanggungjawaban hukum itu berdasarkan hukum perdata maka unsur terkait adalah ada tidaknya suatu perbuatan melawan hukum atau wan prestasi dan bila bersumber