• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu permasalahan utama bidang kehutanan di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu permasalahan utama bidang kehutanan di Indonesia."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingginya laju degradasi serta lambatnya laju rehabilitasi kawasan hutan merupakan salah satu permasalahan utama bidang kehutanan di Indonesia. Laju degradasi hutan periode tahun 1997-2003 sebesar 2,83 juta hektar, sedangkan periode tahun 2000-2005 rata-rata sebesar 1,09 juta hektar. Luas lahan kritis dari tahun ke tahun semakin meningkat, pada tahun 2000 tercatat seluas 23,2 juta hektar, tahun 2006 seluas 77,8 juta hektar, dan pada tahun 2007 meningkat hingga 100,6 juta hektar dengan rincian 59,2 juta hektar berada di dalam kawasan hutan dan 41,5 juta hektar di luar kawasan hutan. Upaya reboisasi yang dilakukan selama periode 2003-2007 hanya seluas 743.651 hektar, atau rata-rata 148.730 hektar per tahun. Kegiatan rehabilitasi lahan kritis pada periode tahun yang sama hanya seluas 766.602 hektar di dalam kawasan hutan dan 1,3 juta hektar di luar kawasan hutan (Anonimous, 2007).

Dalam rangka upaya mengurangi tekanan terhadap hutan alam serta untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kehutanan, pemerintah mendorong pembangunan hutan tanaman (industri) yang menjadi salah satu kebijakan prioritas Kementerian Kehutanan. Pembangunan hutan tanaman merupakan salah satu bentuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang diharapkan dapat mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan, selain untuk mendukung penyediaan bahan baku kayu baik industri maupun pertukangan dari hutan alam yang semakin menyusut. Meskipun berjalan lambat, pembangunan hutan tanaman di Indonesia terus digalakkan, dan ke depan diharapkan mampu menggantikan pasokan kayu dari hutan alam (KepMenhut,

(2)

2004). Kementerian Kehutanan bahkan menargetkan pada tahun 2014 kebutuhan kayu tidak lagi dipenuhi dari hutan alam tetapi beralih ke hutan tanaman.

Pembangunan hutan tanaman khususnya untuk industri (HTI) sebenarnya telah digalakkan mulai tahun 80-an, yang bertujuan sebagai upaya mempercepat laju pembaharuan sumber daya hutan. Dalam perkembangannya, hutan tanaman juga diharapkan dapat memainkan peran penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi pedesaan (fungsi sosial-ekonomi), serta mengembalikan fungsi hutan yang telah rusak sebagai pengatur lingkungan (fungsi ekologis).

Berdasarkan perhitungan perimbangan antara pasokan dan permintaan kayu oleh industri perkayuan, memberi peluang yang sangat strategis bagi pembangunan hutan tanaman di Indonesia. Laporan dari Badan Litbang Kehutanan dan International

Tropical Timber Organization (ITTO) tahun 2004, menyebutkan kebutuhan minimal

kayu bulat untuk industri perkayuan nasional sekitar 58,87 juta m3 per tahun. Pada tahun 2007 diperkirakan pasokan kayu hanya sekitar 30,11 juta m3, yang berarti ada kesenjangan sebesar 28,76 juta m3 kayu bulat yang dapat dipenuhi dari pengusahaan hutan tanaman.

Secara lebih khusus, pembangunan hutan tanaman untuk mendukung industri pulp dan kertas (HTI pulp) memiliki prospek yang sangat baik karena besarnya kebutuhan pulp baik dalam negeri maupun luar negeri. Total kebutuhan pulp dunia tahun 2007 mencapai 200 juta ton pertahun sedangkan kebutuhan kertas mencapai 370 juta ton pertahun dan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk dunia. Konsumsi kertas per kapita dalam negeri memang masih sangat rendah yaitu sekitar 25 kg/kapita/tahun, lebih kecil bila dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 35 kg/kapita/tahun, Malaysia 106 kg/kapita/tahun, dan Singapura mencapai 180 kg/kapita/tahun (APKI, 2007). Namun demikian, pesatnya pertumbuhan jumlah

(3)

penduduk Indonesia merupakan peluang pasar yang sangat menjanjikan bagi industri pulp dan kertas dalam negeri.

Sampai saat ini, negara produsen pulp terbesar di dunia masih didominasi oleh Amerika Serikat, Brazil, China, Jepang, Indonesia dan Rusia. Namun demikian, kebutuhan pulp dalam negeri bagi Amerika Serikat, China dan Jepang sangat besar, sehingga mereka juga merupakan negara pengimpor pulp. Lokasi strategis Indonesia yang berada di daerah beriklim tropis memiliki curah hujan yang tinggi serta matahari yang bersinar sepanjang tahun, membawa keunggulan alami tanah untuk dapat menumbuhkan tanaman secara lebih baik. Hal tersebut ditunjukkan oleh tanaman HTI di Indonesia yang memiliki riap volume tinggi serta daur tanaman yang lebih pendek dibandingkan di daerah sub tropik (temperate).

Pembangunan HTI pulp di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, di antaranya terbatasnya jenis tanaman yang sesuai beserta teknik silvikulturnya, terbatasnya ketersediaan lahan yang siap untuk membangun hutan, serta adanya sorotan isu negatif lingkungan akibat penanaman hutan tanaman. Jenis tanaman unggulan yang dikembangkan untuk HTI pulp di Indonesia sampai saat ini terbatas pada jenis Acacia spp., Eucalyptus spp., Pinus dan Gmelina. Jenis-jenis alternatif lainnya masih sangat minim informasi silvikulturnya. Luas lahan yang clear and clean untuk pembangunan hutan tanaman masih sangat terbatas karena banyaknya permasalahan konflik dan manajemen lahan. Di samping itu, dalam memenuhi kriteria kelola lingkungan yang baik, masih belum tersedia banyak data pendukung yang menjelaskan aspek dampak hutan tanaman terhadap kelestarian lingkungan.

Keterbatasan data dan informasi pendukung dapat menjadi masalah dalam proses pembangunan HTI pulp, karena akan menjadi kendala bagi pengelola hutan tanaman. Untuk memenuhi kriteria kelola ekologis dalam kerangka pengelolaan hutan lestari

(4)

(sustainable forest management), disyaratkan bahwa pengelolaan HTI pulp yang dilakukan harus ramah lingkungan. Selain berguna dalam mendukung proses pembangunan hutan tanaman, data dan informasi tersebut juga berguna sebagai justifikasi ilmiah yang menerangkan bahwa hutan yang dibangun tidak berbahaya bagi lingkungan. Lebih jauh lagi, informasi ilmiah tersebut dapat dijadikan dasar dalam penentuan tindakan pengelolaan dan manipulasi lingkungan pertumbuhan secara tepat sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman.

Penelitian ini dilakukan untuk ikut memecahkan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan hutan tanaman di Indonesia, khususnya dari aspek lingkungan hutan tanaman penghasil kayu pulp. Pembangunan hutan tanaman di Indonesia sering mendapat sorotan dari para aktivis lingkungan terkait terjadinya ketidakseimbangan fungsi ekologis yang ditimbulkan. Pemanfaatan jenis cepat tumbuh yang ditanam pada tanah marjinal yang miskin hara disinyalir telah mengakibatkan berbagai ancaman degradasi kawasan hutan dan lahan. Bahaya degradasi lahan tersebut akan lebih besar karena pengusahaan hutan tanaman sebagian besar dilakukan di wilayah beriklim tropika basah yang potensial terhadap tingginya tingkat erosi tanah dan hara.

Dalam penelitian ini akan digunakan dua pendekatan, yaitu kajian neraca air dan kajian neraca hara di kawasan hutan tanaman. Kedua pendekatan tersebut saling berhubungan dalam kerangka siklus biogeokimia pada ekosistem hutan tanaman. Analisis dilakukan dengan pendekatan model sistem dinamik untuk mempelajari dan memahami perilaku sistem berikut bagian-bagiannya (air dan hara) serta mengidentifikasi dan mengevaluasi proses/interaksi yang terjadi.

Penelitian ini ingin mengetahui perilaku air pada ekosistem hutan tanaman serta mekanisme unsur hara di dalam siklus air yang terjadi melalui pendekatan sistem dinamik. Informasi ini sangat penting karena siklus air merupakan bagian yang tidak

(5)

terpisahkan dari siklus hara dalam suatu ekosistem hutan tanaman. Keberadaan air berperan dalam proses-proses bio-kimia dalam ekosistem baik di dalam tanah maupun di atas tanah (Chapin, et al., 2002). Dalam pengelolaan hutan tanaman, paling sering ditemui kendala terkait ketersediaan air dan hara dalam ekosistem, dan menjadikan kedua faktor tersebut sebagai faktor pembatas (limiting factor) yang harus manjadi pertimbangan utama dalam strategi pengelolaan (Beadle, 1997; Folster dan Khanna, 1997).

B. Perumusan Masalah

Secara ekologis, pembangunan hutan tanaman merupakan gangguan terhadap stabilitas yang ada pada ekosistem alaminya yaitu hutan alam. Hal tersebut bukan hanya disebabkan karena hutan tanaman sebagai ekosistem buatan (man-made ecosystem) yang tidak lagi alami (Marsono, 2001), tetapi juga penggunaan jenis fast growing spesies yang ditanam secara monokultur dengan teknik silvikultur intensif akan memberikan tekanan yang berat terhadap stabilitas ekosistem terutama tanah. Orientasi timber management yang diterapkan dengan sistem rotasi tanaman akan merubah struktur dan fungsi penyusun ekosistem dan menurunkan produktivitas lahan.

Pembangunan hutan tanaman jenis kayu penghasil pulp di Indonesia sebagian besar dilakukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan, yang secara khusus untuk tanah mineral didominasi oleh Ultisols. Jenis tanah ini diketahui memiliki permasalahan tingkat keasaman tinggi, miskin hara serta rawan terjadi erosi-sedimentasi jika kondisinya terbuka (Brady dan Buckman, 1969; Lal, 1997). Kesuburan alami tanah Ultisols umumnya terdapat pada horison A yang tipis dengan kandungan bahan organik tanah yang rendah. Unsur hara makro seperti fosfor dan kalium sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam, serta kejenuhan aluminium dan besi yang tinggi sering

(6)

menghambat pertumbuhan tanaman. Unsur nitrogen dan kalium dapat mengalami pelindian dari ekosistem akibat rendahnya kapasitas pertukaran kation (KPK) dan kapasitas pertukaran anion (KPA) (Lodge, 1993). Kondisi tanah yang demikian rentan akan menemui banyak kendala jika dikelola dengan tidak ramah lingkungan.

Berbagai penelitian mengenai perubahan ekologis akibat pembangunan hutan tanaman telah banyak dilakukan. Pembangunan hutan tanaman akan memengaruhi karakteristik hidrologi seperti hasil air (water yield) baik kuantitas maupun kualitas, respon aliran permukaan serta hasil sedimen (sediment yield). Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman akan menurunkan debit sungai terutama pada musim kemarau (Waterloo, 1994; Bruijnzeel, 1997; 2004; Colin et al., 2004; Wei et al., 2008; Zegre, 2011). Dilihat dari dimensi keseimbangan hara, penebangan tanaman hutan tropika basah dan diubah menjadi hutan tanaman akan menurunkan produktivitas lahan (Jordan, 1993), juga menyebabkan perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah serta ketidakseimbangan hara dalam siklusnya (Folster dan Khanna, 1997; Goncalves et al. 1997; Feller, 2005).

Fenomena ketidakseimbangan siklus air dan hara di atas disinyalir juga terjadi pada pengembangan jenis tanaman Eucalyptus pellita F.Muell. Spesies ini banyak ditanam di Indonesia dalam skala yang luas, khususnya di Provinsi Riau. Spesies E. pellita ini merupakan jenis andalan kedua setelah Acacia mangium yang dikembangkan untuk HTI pulp terutama di wilayah Provinsi Riau. Jenis tanaman E. pellita telah menjadi sorotan para aktivis lingkungan khususnya di wilayah pengembangan di Riau, karena diduga berkontribusi pada kejadian fenomena banjir dan kekeringan di Provinsi Riau yang terjadi akhir-akhir ini. Bencana banjir dan kekeringan yang terjadi di Provinsi Riau selama dua dekade terakhir dan telah menimbulkan kerugian ratusan milyar rupiah, dikaitkan erat dengan adanya perubahan tutupan kawasan hutan alam menjadi hutan

(7)

tanaman dan perkebunan sawit secara luas terutama di wilayah hulu DAS (Walhi Riau, 2003; Walhi Riau dan Greenomic, 2004).

Tanaman Eucalyptus spp. sebenarnya sudah dikenal sejak abad 18, dan mengalami perkembangan pesat di Indonesia pada tahun 1980 setelah Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII di Jakarta tahun 1978. Namun, pada tahun 1988 timbul kritik dan protes terhadap tanaman ini karena adanya indikasi pengaruh negatif terhadap lingkungan (Pudjiharta, 2001). Di India, dilaporkan bahwa jenis tanaman Eucalyptus spp. telah menyebabkan bencana kekurangan air karena memiliki konsumsi air yang tinggi untuk pertumbuhannya (Shiva dan Bandyopadhyay, 1983. dalam Bruijnzeel, 1997). Spesies E.

pellita masih relatif baru dikembangkan di Indonesia dibandingkan Eucalyptus yang lain

(Leksono dan Mashudi, 2003), sehingga dari aspek lingkungan masih belum banyak data pendukung yang tersedia.

Hasil penelitian terhadap beberapa spesies Eucalyptus antara lain E. urophylla, E.

trianta dan E. deglupta menyimpulkan bahwa kekhawatiran pengaruh buruk dari Eucalyptus spp. pada aspek hidrologi tidak seluruhnya benar (Calder, 1992; Pudjiharta,

2001). Hal tersebut terlihat dari kehilangan air hujan oleh intersepsi tajuk relatif kecil, air lolos dan aliran batang relatif besar sedang erosinya relatif kecil (Pudjiharta, 2001). Beberapa hasil penelitian terhadap Eucalyptus spp. menyebutkan bahwa nilai konsumsi air jenis tanaman tersebut tergolong cukup tinggi dibandingkan jenis tanaman yang lain, namun demikian nilainya sangat tergantung pada besarnya curah hujan dan jenis tanah (ketersediaan air tanah) di lokasi penelitian (Smith et al., 1974; Feller, 1981; Lima et al., 1990; Calder, 1992; Pudjiharta, 2001; Farley, 2005).

Dalam pengelolaan hutan tanaman terutama di daerah tropis, hara dan air merupakan dua faktor utama yang memengaruhi produktivitas lahan. Oleh karenanya, untuk mengembangkan strategi pengelolaan hutan tanaman yang berkesinambungan

(8)

(sustainable), diperlukan dukungan berbagai riset, di antaranya keterkaitan antara hara dan air yang bersiklus dalam ekosistem (Folster dan Khanna, 1997; Goncalves et al., 1997). Dalam konteks atribut fungsional dalam ekosistem, siklus biogeokimia yang terjadi berkaitan erat dengan siklus air dan siklus hara, yaitu sebagai fungsi penyediaan hara bagi tanaman hutan. Meskipun siklus air sebenarnya bukan termasuk siklus biogeokimia karena perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya adalah perubahan fisis, tetapi siklus air merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus hara dalam suatu ekosistem hutan tropika (Chapin, et al., 2002).

Terkait dengan penelitian aspek hidrologi jenis tanaman, informasi besaran parameter-parameter neraca air dari suatu jenis perlu diketahui, sehingga dapat dijelaskan respon jenis terhadap input air hujan yang jatuh. Dengan kata lain, dapat diterangkan bagaimana dampak pembangunan hutan tanaman jenis tersebut terhadap karakteristik tata airnya. Asdak (2002) mengatakan bahwa dampak lingkungan hidrologi dari pembangunan hutan tanaman dalam skala daerah aliran sungai (DAS) dapat dievaluasi melalui komponen hidrologi (tata air) antara lain koefisien limpasan (air larian), koefisien rejim sungai (KRS) atau nisbah debit maksimum-minimum, kadar lumpur, frekuensi banjir, dan keadaan air tanah.

Informasi kondisi keseimbangan unsur hara (nutrient budget) menjadi bagian penting yang harus diketahui dalam pengelolaan HTI. Sifat tanaman yang cepat tumbuh seperti E. pellita disinyalir akan memacu terkurasnya hara dalam tanah akibat proses fisiologis tanaman yang dialami. Dampak dari kegiatan pembangunan hutan tanaman tersebut dalam skala luas dikhawatirkan akan mengakibatkan perubahan negatif terkait produktivitas dan kesuburan tanah yang semakin menurun. Pemiskinan hara akibat ketidakseimbangan siklus hara dikhawatirkan akan semakin besar pada saat tanaman memasuki rotasi kedua dan seterusnya, terutama terjadi pada tanah yang miskin hara

(9)

seperti Ultisols. Informasi neraca hara pada ekosistem hutan tanaman dapat dipelajari melalui evaluasi kandungan hara (nutrient content) melalui input air hujan, akumulasi hara (nutrient fluxes) dalam biomas hutan serta kehilangan hara melalui panen, erosi dan aliran permukaan (Waterloo, 1994; Ntonga et al., 2002).

Perilaku yang terjadi antara air, hara dan tanaman dalam pengusahaan hutan tanaman akan mempengaruhi pada pemilihan jenis tanaman, pengelolaan hara dan pertumbuhan tanaman (Bruijnzeel, 1997). Hubungan siklus hidrologi dan neraca (input-output) hara dalam ekosistem hutan dapat dievaluasi dengan menggunakan daerah aliran sungai (DAS) berukuran kecil sebagai satuan unit pengamatan (Bormann dan Likens, 1967. dalam Bruijnzeel, 1997).

Perumusan dalam pengambilan keputusan rekomendasi pengelolaan hara dan air di hutan tanaman akan dilakukan melalui pendekatan model sistem. Model sistem dinamik merupakan model yang paling efektif untuk memahami secara umum suatu sistem berikut bagian-bagiannya, serta mengidentifikasikan dan mengevaluasi proses/interaksi yang terjadi antar komponen, dalam rangka menyelesaikan permasalahan/tujuan penelitian (Grant, et al., 2003; Voinov, 2008). Usulan teknis pengelolaan air dan hara diperoleh melalui penggunaan model sistem dinamik, yaitu dengan simulasi dan pembuatan skenario-skenario sebagai alternatif dalam rangka menghasilkan rekomendasi yang paling tepat terhadap penyelesaian masalah penelitian.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang ingin dijawab melalui penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana perilaku air pada ekosistem hutan tanaman E. pellita?

2. Bagaimana perilaku unsur hara dalam siklus air di hutan tanaman E. pellita?

3. Bagaimana pengelolaan yang lebih baik terhadap aspek lingkungan sumber daya air dan hara pada ekosistem hutan tanaman E. pellita?

(10)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui karakteristik air dan unsur hara di lahan hutan tanaman E. Pellita F.Muell. Secara khusus, tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui perilaku hidrologis (neraca air) pada ekosistem hutan tanaman E.

pellita

2. Untuk mengetahui perilaku unsur hara dalam siklus air pada ekosistem hutan tanaman E. pellita

3. Untuk merumuskan rekomendasi teknis pengelolaan yang lebih baik terhadap lingkungan hutan tanaman E. Pellita dari aspek sumber daya air dan hara, guna mendukung pengelolaan hutan tanaman lestari (PHTL)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan penerapan konsep neraca air dan neraca hara yang terjadi pada ekosistem hutan tanaman. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dasar dalam melakukan pengelolaan lingkungan pada kawasan hutan tanaman, khususnya jenis E. pellita di tanah Ultisols. Model dinamik yang dibangun dapat diaplikasikan pada lokasi lain yang memiliki kemiripan karakteristik ekologisnya.

Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai status besaran parameter-parameter hidrologi sebagai respon penanaman jenis tanaman E. pellita. Informasi tersebut beserta rekomendasi upaya untuk menjaga tata air (kuantitas, kualitas dan kontinyuitas) di hutan tanaman E. pellita dapat dijadikan dasar dalam pengambil kebijakan terkait kelola ekologi yang akan dilakukan.

(11)

Neraca hara yang akan dihasilkan akan dapat memberikan informasi status keharaan pada ekosistem hutan tanaman E. pellita pada tanah Ultisols. Informasi ini dapat memberikan gambaran faktor-faktor nutrisi yang menjadi limitasi bagi pertumbuhan tanaman. Data dan rekomendasi teknis dari hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi pengelola dalam penerapan manipulasi lingkungan pertumbuhan secara tepat bagi pertumbuhan tanaman yang optimal.

Data besaran parameter-parameter tata air dan neraca hara, serta keterkaitan hara dan siklus air yang diperoleh dapat menjadi data dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hidrologi hutan, nutrisi dan tanah hutan. Selain itu, juga dapat dijadikan referensi bagi penelitian lain maupun lanjutan pada aspek yang sejenis.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang hidrologi hutan maupun neraca hara hutan telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Metode penelitian terkait kedua aspek tersebut juga telah banyak dipakai dan dikembangkan oleh para peneliti di bidang terkait. Berbagai spesies tanaman dan jenis tanah yang berbeda juga telah banyak diambil sebagai lokus penelitian serupa pada ekosistem hutan tanaman.

Penelitian neraca air hutan tanaman telah banyak dilakukan, diantaranya pada jenis

Eucalyptus spp. (Lima et al., 1990; Pudjiharta, 2001; Soares dan Almeida, 2001; Laclau et al., 2005 dan Almeida et al., 2007), jenis Pinus spp. (Waterloo, 1994; Bruijnzell,

1997; Soedjoko et al., 1998; Pudjiharta, 2001 dan Arifjaya et al., 2002), Tectona grandis (Hendrayanto et al., 2002; Supangat dan Putra, 2012), dan jenis Acacia mangium (Pudjiharta, 1986; Supangat et al., 2008). Penelitian neraca hara di hutan tanaman yang pernah dilakukan antara lain pada tanaman Eucalyptus spp. (Lugo et al., 1990; Ruhiyat, 1993; Folster dan Khanna, 1997; O’Connell dan Sankaran,1997; duToit et al., 2008;

(12)

Goncalves et al., 2008; Sankaran et al., 2008; Mendham et al., 2008; Xu et al., 2008; dan Sankaran et al., 2008). Jenis lain yaitu Acacia spp. (Caldeira et al., 2002; Hardiyanto et

al., 2004; Nurwahyudi dan Tarigan, 2004; Huong et al., 2004 dan Yamada et al., 2004),

serta Pinus spp. (Poggiani et al., 1985; Waterloo, 1994 dan Goncalves et al., 1997). Beberapa penelitian yang menggabungkan analisis hidrologi hutan serta neraca hara antara lain dilakukan oleh Waterloo (1994) pada tanaman Pinus caribaea di Fiji, serta Ntonga et al. (2002) di kawasan hutan alam di Kamerun.

Keaslian dari penelitian ini dapat dilihat dari substansi serta metodologi penelitian. Berdasarkan dimensi substansinya, penelitian ini menggabungkan dua konsep yang berbeda, yaitu konsep hidrologi dan konsep neraca hara yang terjadi pada ekosistem hutan tanaman, khususnya pada jenis tanaman E. pellita pada tanah Ultisols di Indonesia. Kedua konsep tersebut digunakan untuk mengungkap fenomena ekologis yang terjadi, yang disinyalir dianggap sebagai dampak negatif atas pembangunan hutan tanaman.

Berdasarkan dimensi metodologis, peneliti melakukan penelitian hidrologi dan keharaan pada ekosistem hutan tanaman, dan mempelajari hubungan fungsional (linkages) yang terjadi pada dua konsep tersebut melalui pendekatan model sistem dinamik. Peneliti mempelajari respon hidrologis dari ekosistem hutan tanaman E. pellita terhadap input air hujan, serta neraca hara yang terjadi pada ekosistem termasuk di dalamnya hara yang terlarut dalam air yang bersiklus pada ekosistem. Analisis dilakukan dengan penggunaan model sistem dinamik untuk merumuskan rekomendasi pengelolaan optimal terhadap sumber daya air dan hara, untuk mendukung pengelolaan hutan tanaman lestari.

Referensi

Dokumen terkait

panjang 20x12 meter persegi, sawah seluas satu petak dan kapal atau bagan. g) Nur sebagai anak perempuan memperoleh tanah dengan panjang 20x14 meter persegi, sawah satu

Pertemuan secara kelembagaan juga menjadi bagian penting dalam mengatasi hambatan komunikasi, setiap kegiatan yang berhubungan dengan komunikasi, FJS dan Pemkot Salatiga

Manfaat, peran dan fungsi Teknologi Pendidikan adalah sebagai peralatan untuk mendukung konstruksi pengetahuan, informasi untuk menyelidiki pengetahuan yang mendukung

Peran istri dalam membantu suami mencari nafkah menjadikan istri melakukan peran ganda dalam rumah tangganya.Kontribusi istri nelayan terhadap pendapatan rumah tangga

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyusun laporan Tugas Akhir dengan “Tinjauan Metoda Pelaksanaan Dan Perencanaan

Dalam hasil penelitiannya, Namkung dan Jang (2010) juga menjelaskan bahwa pelanggan yang senang cenderung untuk tetap loyal dengan perusahaan dan memberitahu orang

Hasil kreasi Memuat gambar, keterangan gambar, tulisan tentang cara kerja peredaran darah manusia, dan sesuai dengan materi atau teori Hanya memuat 3 dari 4 hasil yang

Interaksi antara kapur dolomit dan kompos kotoran kambing pada pemberian perlakuan dengan dosis yang besar tidak menunjukkan hasil yang signifikan pada parameter