• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

547 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN yang dikaji dari dua prinsip keadilan, berdasarkan pengaturannya maupun pelaksanaannya diperoleh hasil, yaitu :

1.1 Pengaturan berbentuk peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan hak kasasi yang bersifat obyektif dalam sistem peradilan TUN hanya diatur dalam satu pasal, yakni ketentuan Pasal 45A Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Meskipun ketentuan Pasal 45A ayat (5) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada MA untuk mengatur lebih lanjut berkenaan dengan pembatasan hak kasasi, akan tetapi pada kenyataannya produk hukum yang diterbitkan hanya sebatas SEMA, dan yang masih berlaku hingga saat ini adalah SEMA No. 11 Tahun 2010 dan SEMA No. 8 Tahun 2011.

1.1.1 Pengaturan pembatasan hak kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c, Pasal 45A ayat (3), dan Pasal 45A ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, SEMA No. 11 Tahun 2010 dan SEMA No. 8 Tahun 2011 tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan

(2)

548

prosedural. Prinsip-prinsip dimaksud dan yang harus dipenuhi dalam norma pembatasan hak kasasi adalah hak untuk memperoleh pemberitahuan atau informasi, adanya perlakuan yang sama atau seimbang bagi para pihak, perlakuan tidak bias dari pengadilan, partisipasi para pihak dalam berproses, adanya pembuktian yang dipertimbangkan, dan diberlakukan secara konsisten.

1.1.2 Norma pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN secara konteks dan kontekstual sudah sesuai dengan prinsip keadilan substansial, yaitu sudah memenuhi prinsip adanya keseimbangan antara hak asasi dan kewajiban asasi, persamaan dihadapan hukum, adanya kepastian hukum bagi pencari keadilan, dan responsif terhadap masyarakat pencari keadilan. Namun secara tekstual, pengaturan tersebut bersifat multi-tafsir, sehingga berdampak negatif terhadap prinsip-prinsip keadilan substansial.

1.2 Pelaksanaan pembatasan hak kasasi menurut keadilan prosedural dan substansial di empat satuan kerja PTUN (PTUN Yogyakarta, PTUN Semarang, PTUN Bandung, dan PTUN Medan), diperoleh hasil bahwa implementasi ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c, Pasal 45A ayat (3), dan Pasal 45A ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, SEMA No. 11 Tahun 2010, dan SEMA No. 8 Tahun 2011, bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan prosedural dan keadilan substansial.

(3)

549

2. Faktor-faktor yang menjadi hambatan pembatasan hak kasasi dalam sistem Peradilan TUN terdiri dari hambatan peraturan dan hambatan pelaksanaan : 2.1 Hambatan berupa peraturan terdiri dari :

2.1.1 Norma pembatasan hak kasasi di peradilan TUN, yaitu sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 bersifat multi-tafsir. Tidak ada ketegasan dan kejelasan pengertian keputusan TUN pejabat daerah yang jangkauan berlakunya di wilayah daerah bersangkutan, sehingga tolok-ukur pembatasan hak kasasi menjadi ambigu.

1.1.2 Tidak konsistennya pengaturan pembatasan hak kasasi mengenai keputusan TUN pejabat daerah yang digugat di peradilan TUN. Ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tidak diberlakukan terhadap sengketa informasi publik, sengketa penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, dan sengketa TUN pemilihan antara calon kepala daerah kabupaten/kota/provinsi dengan KPU kabupaten/kota/provinsi sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU kabupaten/kota/provinsi.

1.1.3 Tidak diaturnya hukum acara pembatasan kasasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan hanya berupa SEMA yang merupakan guidance atau beleidsregels bagi internal Mahkamah Agung. SEMA tersebut tidak bersifat dwingenrecht dan tidak

(4)

550

mempunyai kekuatan hukum yang kuat serta mengikat secara umum sebagaimana peraturan perundang-undangan.

1.2 Hambatan dalam pelaksanaan pembatasan hak kasasi terdiri dari :

2.2.1 Hambatan yang bersifat kelembagaan (struktur hukum), adalah tidak adanya lembaga khusus di peradilan TUN yang menangani permasalahan pembatasan hak kasasi. Namun, memberi kewenangan penuh kepada Ketua PTUN untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara diajukan upaya hukum kasasi. Hal ini dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang Ketua PTUN, bahkan terjadi pelanggaran asas nemo judex in causa sua atau nemo judex idoneus in propria causa est.

2.2.2 Ketidakjelasan mekanisme penanganan perkara yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, mengakibatkan hak-hak para pencari keadilan tidak diperhatikan dan mengabaikan prinsip due process of law.

2.2.3 Kurang optimalnya yurisprudensi terhadap perkara yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, mengakibatkan para pencari keadilan diperlakukan tidak sama (parsial) ketika mengajukan upaya hukum kasasi. Bahkan putusan MA sendiri inkonsisten dalam menangani perkara yang objeknya sama (terhadap pembatasan upaya hukum kasasi). Keadaan yang demikian dapat menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan tidak terciptanya suatu kepastian hukum bagi para pencari keadilan.

(5)

551

1.3 Konsekuensi hukum pembatasan hak kasasi bagi pencari keadilan, dapat berwujud :

2.3.1 Para pencari keadilan kehilangan satu tahap pengujian dari segi hukum (judex juris) terhadap perkara yang dialaminya. Sampai saat ini belum ada solusi terhadap konsekuensi hukum yang dialami para pencari keadilan yang dirugikan kepentingannya akibat perkaranya tidak diajukan upaya hukum kasasi, meskipun perkara tersebut sesungguhnya termasuk perkara yang dapat diajukan kasasi. Jadi, dapat dikatakan norma pembatasan upaya hukum kasasi tersebut bersifat lex imperfecta. 2.3.2 Asas res judicata proveri tate habetur menjadi suatu konsekuensi hukum

bagi para pihak yang berperkara. Artinya, setiap putusan pengadilan harus dianggap sah, benar, dan mengikat sepanjang tidak ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan demikian, putusan kasasi MA tentu harus dianggap sah dan benar sepanjang tidak ada pembatalan dari upaya hukum yang lebih tinggi, yakni PK. Meskipun ada upaya PK, para pencari keadilan tetap akan dirugikan, baik dari segi waktu, biaya, dan keadilan yang seharusnya sudah di dapat pada tingkat banding menjadi berlarut-larut dan tidak adanya kepastian hukum (onrechtszekerheid). 3. Langkah hukum agar pengaturan dan pelaksanaan pembatasan hak kasasi

(6)

552

3.1 Responsif terhadap perkembangan pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN, sebagai perwujudan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, yaitu dengan cara :

3.1.1 Tolok-ukur pengaturan pembatasan upaya hukum kasasi harus dilihat dari aspek kualitas maupun jenis perkaranya. Perlu adanya ketegasan dalam mengatur kedua aspek ini, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dengan tidak melanggar hak-hak dari pencari keadilan itu sendiri. Muaranya mengarah pada paradigma sistem peradilan TUN yang harus “menyelesaikan” perkara, bukan hanya sekedar “memutus” perkara.

3.1.2 Perlu adanya harmonisasi beberapa ketentuan penyelesaian sengketa TUN yang objek sengketanya bersifat kedaerahan (apabila keputusan dan/atau tindakan yang bersifat kedaerahan tetap dipertahankan sebagai objek sengketa TUN yang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi). Artinya, UU sektoral yang mengatur penyelesaian sengketa TUN yang objek sengketanya bersifat kedaerahan, perlu diharmonisasikan dengan UU MA dan UU PTUN yang bersifat khusus mengatur penyelesaian sengketa TUN. Begitu juga apabila norma pembatasan hak kasasi nantinya bukan yang objek sengketanya bersifat kedaerahan, maka yang menjadi acuan tetap UU MA dan UU PTUN yang mengatur objek sengketa yang dibatasi diajukan upaya hukum kasasi.

(7)

553

3.1.3 Adanya pengaturan hukum acara yang “speedy, fair, dan just trial” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Perlu diwacanakan mengenai adanya norma hukum yang mengatur percepatan penyelesaian perkara dengan menggunakan acara prorogasi dan proses berperkara yang sederhana adalah dengan adanya “full pre trial disclosure” yang diimbangi dengan adanya “court calendar” yang rasional dan proporsional yang dibuat oleh majelis hakim atau hakim yang menangani perkara tersebut.

3.2 Dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi para pencari keadilan, maka :

3.2.1 Perlu dibentuk lembaga pembatasan upaya hukum kasasi, selain dalam rangka merespons adagium “justice delay, justice denied”, juga menjamin bahwa adanya pembatasan upaya hukum kasasi tetap pada koridor nilai-nilai hukum dan keadilan.

3.2.2 Adanya akses keadilan terhadap upaya hukum di lingkungan peradilan TUN, yang berkenaan dengan beberapa hal sebagai berikut : terbentuknya prosedur hukum yang lebih sensitif bagi pencari keadilan (khususnya terhadap masyarakat rentan secara ekonomi dan sosial), mampu menciptakan pengadilan yang lebih responsif, mendorong peningkatan kualitas pelayanan secara prima kepada pencari keadilan, mengimplementasikan keterbukaan informasi di

(8)

554

jajaran peradilan TUN, dan membuat kebijakan terhadap akses keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan prosedural dan substansial.

3.2.3 Adanya pengaturan wewenang Mahkamah Agung dalam hal untuk menentukan layak atau tidaknya penyelesaian perkara di tingkat kasasi. Nantinya, dibentuk Tim Khusus di masing-masing Kamar MA yang menyeleksi atau menyaring perkara, seperti Parket General di Hoge Raad Belanda yang memberikan advisory opinion atau conclusie kepada Hakim Agung. Dengan demikian, pertimbangan hukum tersebut diharapkan dapat dijadikan rujukan, bahkan menjadi precedent penerapan ke depan bahwa objek gugatan tersebut tidak lagi dapat diajukan upaya hukum kasasi.

3.3 Perlu adanya pembaharuan fungsi dan proses upaya hukum dalam sistem peradilan TUN.

3.3.1 Mengoptimalkan sistem kamar di MA. Dengan dibentuknya sistem kamar di MA, selain dapat mengurangi beban menumpuknya jumlah perkara, juga dapat menghasilkan kualitas putusan karena hakim agung yang menangani perkara sesuai dengan spesialisasinya. Secara efektif, juga diharapkan meniadakan atau setidak-tidaknya meminimalisir inkonsistensi putusan yang objek gugatannya seharusnya terkena pembatasan upaya hukum kasasi sehingga dapat terealisir kepastian

(9)

555

hukum, terlebih dengan di dukung sistem administrasi perkara yang efektif dan efisien.

3.3.2 Norma pembatasan hak kasasi merupakan alternatif di hulu. Sebagai alternatif di hilir, perlu diatur mengenai norma yang memberikan kewenangan hakim TUN untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa melalui jalur mediasi. Meskipun tidak ada satu pun norma yang mengatur adanya mediasi dalam sistem peradilan TUN, hal ini dimungkinkan melalui lembaga dismissal proses dan pemeriksaan persiapan di pengadilan TUN. Adanya lembaga mediasi, sejalan dengan maksud dibentuknya norma pembatasan hak kasasi, yaitu mengurangi beban penumpukan perkara di tingkat kasasi. Pada saat ini, ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah membuka ruang bagi PTUN untuk menerapkan mediasi sesuai Perma tersebut, oleh karenanya dalam revisi undang-undang Peradilan TUN nantinya juga perlu mengatur mediasi sebagai “payung hukum” Perma No. 1 Tahun 2016.

3.3.3 Ketentuan pembatasan upaya hukum kasasi akan lebih efektif, apabila diiringi dengan adanya perangkat teknologi informasi yang mendukung penyelesaian sengketa TUN di Mahkamah Agung. Oleh karenanya perlu pengaturan berbentuk norma hukum, yang mengatur sistem teknologi informasi yang terintegrasi dalam sistem peradilan TUN (dari

(10)

556

tingkat pertama sampai dengan Mahkamah Agung). Dengan adanya payung hukum dalam sistem teknologi informasi peradilan ini (semacam e-Courts di negara-negara maju), maka proses penyelesaian perkara relatif terkontrol dan estimasi jadwal persidangan dapat dipastikan. Selain itu, sistem ini dapat membentuk wadah semacam “Bank Putusan” dalam wujud basis data (database) yang sewaktu-waktu dapat diambil dan digunakan sebagai rujukan, dapat membantu pelaksanaan one day publish dan terwujud clearance rate (jumlah perkara yang selesai setiap tahunnya setidaknya sama dengan jumlah perkara yang masuk), sehingga mencegah penumpukan perkara yang ditangani dan hasilnya cepat diterima oleh para pihak yang berperkara. Hal ini dikarenakan sudah mulai berkembangnya paradigma hukum berbasiskan digital, yang didahului adanya model jurimetri, dan sudah adanya pengaturannya dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

B. Saran

1. Perlu adanya perubahan paradigma hukum acara penyelesaian sengketa TUN, yaitu peradilan dua tahap atau two-tier system (pengadilan TUN dan/atau pengadilan tinggi TUN dan/atau Mahkamah Agung), sehingga tidak ada lagi kewajiban upaya hukum yang harus ditempuh, yaitu melalui 4 (empat) tahapan : tingkat pertama (pengadilan TUN), tingkat banding (pengadilan tinggi TUN),

(11)

557

tingkat kasasi (MA), dan peninjauan kembali (MA). Tujuan peradilan dua tahap ini, bukan hanya untuk meningkatkan kualitas putusan di tingkat pertama dan banding sebagaimana maksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, melainkan juga untuk meningkatkan kualitas putusan MA yang selama ini terkesan memutus perkara hanya untuk menyelesaikan kuantitasnya. Selain itu juga, sebagai wujud penyesuaian penyelesaian sengketa TUN pasca diberlakukannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-undang ini menginginkan adanya satu tahap proses penyelesaian sengketa TUN melalui upaya administratif di internal pemerintahan terlebih dahulu, sebelum diselesaikan oleh lembaga peradilan TUN. Dengan demikian, proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa TUN di PTUN merupakan upaya hukum lanjutan dari upaya administratif. Konsekuensinya, perlu ada pemahaman pengujian di tingkat banding (pengadilan tinggi TUN), bukan hanya dari aspek fakta (judex facti) tetapi juga aspek penerapan hukumnya (judex juris), agar pencari keadilan tidak kehilangan tahapan pengujian judex juris.

2. Norma pembatasan upaya hukum kasasi terhadap sengketa TUN dalam ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang MA bersifat multi-tafsir, sehingga harus direvisi dengan membuat norma baru yang mengatur jenis dan kriteria yang jelas dan tegas terhadap objek sengketa yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, sebagaimana pengaturan dalam ketentuan Pasal 21 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Administrasi

(12)

558

Pemerintahan, yang secara tegas membatasi upaya hukum kasasi dan PK terhadap perkara penyalahgunaan wewenang dan membatasai upaya hukum banding, kasasi, dan PK terhadap perkara keputusan fiktif-positif.

3. Selain diperlukan adanya mekanisme dan kelembagaan khusus baik di PTUN ataupun Mahkamah Agung yang menangani perkara yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, Mahkamah Agung juga harus ada Tim Khusus Kamar TUN yang membentuk yurisprudensi yang mempunyai nilai richt-lijn terkait objek sengketa yang terkena pembatasan hak kasasi. Dengan demikian, dapat meminimalisir konsekuensi hukum yang berdampak negatif bagi para pencari keadilan.

4. Perlu adanya revisi Undang-Undang Peradilan TUN, karena belum mengatur hukum acara pembatasan upaya hukum kasasi. Undang-Undang Peradilan TUN tersebut nantinya harus mempedomani asas-asas peradilan yang baik, terutama dari aspek keadilan prosedural dan keadilan substansial sebagaimana telah diuraikan, sehingga tidak melanggar hak asasi para pencari keadilan. 5. Dalam mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan,

Mahkamah Agung diberi kewenangan sebagaimana penanganan perkara di banyak negara anglo saxon yang menerapkan konsep certiorari dan prohibition. Konsekuensinya, pembatasan upaya hukum ke MA bukan hanya Kasasi saja, melainkan juga Peninjauan Kembali. Selain itu, perlu didukung dengan sistem peradilan TUN yang berbasis teknologi informasi (misalnya: e-PTUN atau e-Peradilan Administasi).

(13)

559

6. Perlu adanya kajian untuk merevisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (Undang-Undang Advokat). Ke depan perlu norma yang mengatur bahwa setiap upaya hukum kasasi harus melalui advokat bersertifikasi kasasi dan PK. Dengan adanya sertifikasi dari pendidikan dan pelatihan (diklat) yang berkompeten, advokat tersebut akan memahami makna dan hakikat pengujian kasasi dan PK, sehingga dapat memberi advice kepada kliennya terutama mengenai layak atau tidaknya perkara itu diajukan dan diselesaikan ke MA. Adapun bagi masyarakat yang kurang mampu, advokat tersebut ada yang ditempatkan di masing-masing Pos Bantuan Hukum (Posbakum) PTUN dengan tanpa dikenakan biaya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dan SEMA No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Selain data tersebut, MaPPI FHUI juga akan menyajikan data 17 perkara yang dipantau sejak sidang pertama (pembacaan dakwaan) namun tidak sampai sidang terakhir

Dari hasil sintesis didapatkan senyawa N-(2-nitrobenzil)-1,10- fenantrolinium klorida yang berupa padatan amorf berwarna dengan rerata rendemen yang optimal sebesar 37%+5%,

Dengan metode pengikatan ke muka untuk survey hidrografi dapat dilakukan penentuan posisi kapal yang memanfaatkan pengukuran jarak dan sudut dari dua buah titik yang telah

Gambar 3: Live Entertaining Project – Pawon Ing Majapahit (Sumber: data diolah) Ketika menghadirkan makanan tradisional Majapahit, mahasiswa mampu menampilkan sejarah dibalik

Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan tentang (1) Pemerintahan Daerah dan Otonomi Daerah; (2) Peraturan yang mencakup

(2) Apabila di kemudian hari ternyata terdapat pulau-pulau terluar, atol, karang kering terlua elevasi surut terluar, teluk, muara sungai, terusan atau kuala dan pelabuhan, yang

Berdasarkan pembahasan tentang Standar Nasional Perpustakaan yang dirujuk melalui UU No 43 tahun 2007. Setelah menyajikan hasil data penelitian diatas maka

Adapun ketentuan besarnya dana tabarru’ didasarkan atas tabel penentuan iuran tabarru takaful dana investasi setelah dikurangi biaya pengelolaan (loading),