• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV BLADBADAN DAN GEGURITAN SEBAGAI PEMBANGUN STRUKTUR GEGURITAN KASMARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV BLADBADAN DAN GEGURITAN SEBAGAI PEMBANGUN STRUKTUR GEGURITAN KASMARAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV BLADBADAN DAN GEGURITAN SEBAGAI

PEMBANGUN STRUKTUR GEGURITAN KASMARAN

(2)
(3)

30

BAB IV BLADBADAN DAN GEGURITAN SEBAGAI PEMBANGUN STRUKTUR GEGURITAN KASMARAN

4.1 Posisi Bladbadan dalam Kesusastraan Bali Sejarah kesusastraan Bali telah dimulai pada zaman Bali Kuna. Paling tidak tradisi bersastra telah berkembang saat itu, walaupun bentuknya tidak sama seperti bentuk yang sekarang. Menurut I Gusti Ngurah Bagus, sejarah kesussastraan Bali dapat dibagai menjadi dua babak yaitu zaman klasik dan zaman modern (1990:4). Pada zaman klasik bila dilihat dari cara penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sastra lisan dan sastra tulis. (1) Sastra lisan adalah karya sastra yang disampaikan secara oral dari mulut ke mulut, dalam bahasa Bali disebut sastra pegantiani (Bagus; 1990:5). Sastra pegantian ini seperti dongeng rakyat yang di Bali disebut dengan satua berjenis pribahasa seperti: wangsalan, seloka, dan sebagainya. Sastra lisan agaknya telah berkembang sejak masa prasejarah, seiring dengan berkembangnya bentuk-bentuk kesenian yang lain pada zaman itu. Hanya saja jenis sastra yang ada pada saat itu belum diketahui dengan jelas. (2) Sastra tulis secara historis agaknya telah berkembang pada zaman Bali Kuna. Menurut Bagus, diperkirakan sekitar abad ke-9, yakni zaman Dinasti Warmadewa. Menurut prasasti zaman, itu telah ada pertunjukan wayang yang disebut perbwayang yang mempertunjukkan cerita-cerita tertentu yang diambil dari khazanah kesusastraan Bali pada waktu itu (1990:6).

30

31

Dalam sejarah kebudayaan Hindu-Jawa, hubungan Bali dengan Jawa telah terjadi sejak abad ke-10 melalui perkawinan Udayana dengan Gunapriya, sampai akhirnya Bali betul-betul jatuh ke tangan Gajah Mada 1343 M (Tim, 1980:56). Sejak saat itu, tradisi keraton Jawa yang mengembangkan tradisi tulis atau sastra dilajutkan di Bali pada keraton-keraton di Bali. Hal ini terjadi sekitar abad ke-16, yakni pada zaman Gelgel di bawah raja Dalem Waturenggong, yang memerintah tahun 1460—1550 M. Zaman ini kesusastraan Bali mencapai masa puncak keemasan, yang ditandai oleh datangnya pujangga besar Danghyang Nirartha pada tahun 1489 M. Beliau bukan saja ahli agama, namun juga seorang pujangga besar yang banyak muridnya. Sejak saat itu kesusastraan Kawi berkembang dengan pesat, di samping itu munculnya cipta sastra Bali yang subur. Salah seorang murid Danghyang Nirartha adalah Ki Gusti Dauh Bale Agung. Sekitar abad ke-17, mulailah diperkenalkan sastra tembang (macepat) dalam tradisi sastra keraton yang terus berkembang sampai sekarang. Pada pemerintahan Dalem Bekung 1550—1580 M, ada pengarang bernama Pangeran Telaga. Selanjutnya, pada zaman Dalem Sagening tahun 1580—1605 M terkenal Arya Manguri. Pada zaman Klungkung 1710—1775, pengarang-pengarang Bali hampir muncul di seluruh pelosok Pulau Bali. Pada zaman modern lahirlah karyakarya yang memiliki karakter dan bentuk yang sama sekali lain dari bentuk sastra klasik. Sastra semacam inilah yang disebut sastra Bali modern. Apabila bertitik tolak dari sejarah kelahirannya, maka lahirnya sastra Bali modern merupakan akibat langsung dari rangsangan sastra Indonesia modern (Eddy, 1991:19). Secara

32

historis, sastra Bali Modern lahir pada tahun 1931 sejak terbitnya sebuah roman yang berjudul Nemu Karma oleh I Wayan Gobiah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Secara historis kesusastraan Bali telah tumbuh sejak kelisanan menjadi ciri sastra Bali tradisional yang disebut sastra lisan (baca: sastra gentian). Dalam sastra tradisi lisan maupun tradisional tertulis, peran bahasa sebagai medium menjadi penting. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi menurut Roman Jakobson memiliki 6 fungsi yaitu emotive, referential, poetic, phatic, metalingual dan conative (dalam Teeuw, 1988:53). Poetic

(4)

function adalah salah satu fungsi bahasa yang berkaitan dengan bentuk-bentuk ekspresi manusia melalui seni berbahasa. Bentuk penyampaian bahasa ada yang tertulis ada juga yang lisan (tuturan). Konsekuensi penyampaian secara lisan adalah munculnya bentuk ekspresi seni berbahasa lewat nyanyian, ungkapan tradisonal, puisi lisan, pantun, dan sebagainya. Semua itu termasuk sastra lisan atau kesussastran gantian1 Sastra lisan adalah yang dituturkan secara lisan. Sastra ini di Indonesia pada umumnya berbentuk prosa seperti dongeng-dongeng, ada juga yang berbentuk prosa liris seperti sastra kaba (Minangkabau), sastra pantun (Sunda), sastra kentrung dan jemblung (Jawa) dan lain-lain (Hutomo, 1991:60). Sastra lisan dilahirkan di kalangan rakyat yang tidak mengentahui tulisan. Oleh karena itu, sastra lisan disebut juga sastra rakyat. Sastra rakyat ini merupakan sebagaian budaya rakyat

1

Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa, 1978. Kembang Rampe Kasusastran Bali Purwa, Buku I. Hal:4. Kesusastran Gantian adalah untuk menyebut Sastra Rakyat atau sastra lisan di Bali. Lihat juga Bagus, I Gusti Ngurah Bagus,1979. “Penerjemahan Karya Sastra Tradisional Ke Dalam Bahasa Indonesia” Dalam Bahasa dan Sastra. Tahun V. No.5. Ha:13.

33

yang merangkumi semua aspek tentang kehidupan masyarakat. Sastra ini hanya bertumpu pada hasil kesusastraan yang bercorak pertuturan atau verbal arts yang terdapat dalam suatu bangsa. Sastra lisan ini dapat disampaikan dalam bentuk puisi seperti jampi, mantera, pantun, paribhasa, bahasa berirama, teka-teki dan lain-lain (Hamid, 1986:1). Dalam khasanah kesusastraan Bali tradisional atau sastra lisan, pantun disebut dengan baldbadan. Bladbadan sebagai ungkapan atau ekspresi seni berbahasa di Bali, sering digunakan dalam hubungan dengan kegiatan kesenian di samping digunakan sebagai sisipan dalam percakapan sehari-hari yang disampaikan sambil bersenda-gurau. Bladbadan diunngkapkan melalui bahasa tutur, dalam hal ini bahasa daerah Bali, memang perkembangannya antara hidup dan mati. Hal ini disebabkan oleh semakin sempitnya ruang gerak bahasa daerah dalam hubungan dengan politik kebahasaan di Indonesia. Meskipun landasan yuridis (UUD,45) telah meletakkan hubungan bahasa Daerah dengan bahasa Nasional yang harmonis terutama dijabarkan lewat motto “Bhinneka Tunggal Ika”. Namun, pada realitasnya terjadi sebaliknya, yakni makin terpinggirnya bahasa-bahasa daerah di Indonesia, yang berimbas makin sulitnya ditemukan penggunaan sastra lisan seperti Bladbadan dalam masyarakat yang multilingual saat ini. Berdasarkan paparan singkat kesusastraan Bali di atas, khususnya sastra gentian, posisi bladbadan dalam kesusastraan Bali secara luas termasuk sastra Bali tradisional menurut bentuk penyajiannya digolongkan ke dalam bentuk

34

terikat tanpa tembang. Menurut Ginarsa (1982), yang termasuk golongan ini adalah: (1) Sesonggan (pepatah), (2) Bladbadan (metafora), (3) Sesenggakan (ibarat), (4) Wewangsalan (tamsil/pantun), (5) Sesawangan (perumpamaan), (6) Seloka (bidal), (7) Cecimpedan (teka-teki), (8) Sesimbing

(sindiran), (9) Sipta (firasat), dan (10) Peparikan (saduran).

4.2 Bladbadan dan Geguritan sebagai Struktur GK GK adalah sebuah karya sastra dengan memakai Geguritan untuk mengkemas aspek blabadan. Aspek blabadan untuk mengemas isi, melalui kata yang dituangkan sebagai kunci blabadan sekaligus kunci pengungkapan perasaan pengarang pada karyanya. Jadi, dalam satu karya sastra, terdapat dua jenis karya sastra, yaitu puisi lisan dan puisi tulisan. Puisi lisan (basita paribasa) diwakili oleh blabadan dan puisi tulisan diwakili oleh geguritan, yang sama-sama bersinergi untuk mengungkapkan rasa asmara (baca:smara, ksmaran). Oleh karena

(5)

terdapat dua jenis karya sastra, maka struktur bentuk/format juga dapat dibedakan menjadi dua kelompok sebagai berikut.

4.4.1 Struktur Formal Blabadan Berdasarkan pejelasan di atas, bladbadan termasuk ke dalam ruang lingkup pengertian paribahasa, basita parihasa, maupun peribahasa (dalam arti yang terbatas). Secara umum bladbadan dimasukkan ke dalam bahasa kias. Ketut Ginarsa (1971:66:1980:i) menyatakan bahwa bladbadan berasal dari kata dasar badbad yang berarti ulur atau mulur, kemudian mendapat sisipan (infix) -el-,

35

sehingga menjadi beladbadan atau bladbadan yang artinya peribahasa yang terdiri atas kalimat yang dimulurkan atau dipanjangkan, sehingga dapat melukiskan katakata yang jitu sesuai dengan maksud pembicara. Simpen A.B. (1982:39) lebih condong menggunakan istilah bladbadan daripada istilah beblabadan. Mungkin itu pula sebabnya, ia mengatakan bahwa bladbadan berasal dari kata babad (bukan badbad), yang berarti tutur jati sane sampun kelampahan riin (suatu cerita yang dianggap betul-betul pada jaman dulu). Kata babad kemudian mendapat sisipan (infix) -el-, sehingga menjadi belabad atau blabad, kemudian mendapat akhiran –an, menjadi bladbadan. Setelah itu, kata bladbadan mengalami proses reduplikasi sehingga menjadi beblabadan yang berarti kata-kata dalam bahasa kias dan mengandung kesamaan bunyi atau bersajak Kersten (1984:193) secara singkat memberikan pengertian bladbadan adalah peribahasa yang memainkan kesamaan bunyi dalam kata-kata yang berlainan artinya. Kamus Bali - Indonesia yang diterbitkan Dinas Pengajaran Dati I Bali, memberikan pengertian blabadan sebagai peribahasa yang terdiri atas kalimat-kalimat yang dipanjangkan sehingga dapat melukiskan apa yang dimaksudkan oleh pembicara (Tim, 1978:94). Simpen A.B, mengatakan aspek persamaan bunyi (purwakanti) juga merupakan aspek penting dalam bladbadan. Hal ini sejalan dengan pengertian yang diberikan oleh Kersten, dan Ginarsa (1971:66).

36

Berdasarkan uraian tentang bladbadan di atas, dapat diperoleh suatu pengertian bahwa bladbadan adalah suatu bentuk kias berupa kalimat atau untaian kalimat tidak lengkap yang bagian tertentu dari kalimat tersebut 'dipanjangkan' dengan cara memainkan persamaan bunyi dan permanan kata-kata yang terselubung dan berlaianan artinya, sehingga dapat melukiskan kata-kata-kata-kata yang jitu (tepat) sesuai dengan maksud pembicara. Blabadan biasanya disampaikan dalam untaian suatu kalimat atau untaian kalimat tidak lengkap. Misalnya: Ngudiang cening majempong bebek, ngambul dini? atau jika diucapkan lebih singkat: Ngudiang cening majempong bebek dini? Jika kalimat tersebut tidak mengandung unsur kiasan atau bladbadan, maka kalimatnya akan berbentuk: Ngudiang cening ngmbul dini? Untuk menjadikanya kalimat yang mengandung unsur kiasan atau bladbadan, bagian tertentu kalimat tersebut ' di panjangkan' (dibabad). Pada contoh kalimat di atas kata ngambul dipanjangkan atau dimulurkan sehingga menjadi majempong bebek. Selanjutnya, dalam proses terbentuknya bladbadan, katiga tahapan pembentukanya saling mempengaruhi. Artinya, dalam proses terbentuknya sebuah bladbadan bisa aja ide itu timbul pertama-tama dari arti peribahasa, kemudian barulah dicarikan giingnya. Demikian seterusnya, sehingga jika dilihat secara keseluruhan dari ketiga tahapan tersebut dapat dikenali sebagai bladbadan. Menyikapi berbagai bentuk blabadan seperti yang digunakan di masyarakat, Simpen A.B. (1982:39) menyatakan, bahwa blabadan atau bladbadan pada dasarnya berupa kalimat yang dibentuk dengan bentukan sebagai berikut.

37

" Bebladbadan puniki kawangun antuk lengkara utawi kruna tigang palet. Krunane sane pinih riin apalet dados giing (bantang), Krunane sane kaping kalih apalet, arti sane sujati (bebasanipun),

(6)

sukadi sampiran, sane ngwangun purwa kanti (sajak), krunane sane kaping tiga, arti peribasa, wiadin suksemanipun, upami: a.Giing (bantang) : Majempong bebek b. Arti sejati (bebasanipun) : Jambul c. Arti paribasa (Suksemanipun) : ngambul Dados kecap ' mbul' ring kruna ' jambul'

mapurwakanti ring kecap ' mbul' sane ring kruna ngambul' (1982:39). Berdasarkan kutipan di atas tampak bahwa bladbadan dikatakan dibentuk oleh kalimat atau kata yang tersusun dalam tiga tahap. Tahap pertama disampaikan untaian kata majempong bebek, merupakan dasar terbentuknya pengertian dimaksud, yaitu ngambul. Sesungguhnya (arti sajati) dari untaian kata kias tersebut, yaitu jambul, disampaikan secara implisit, karena dalam memainkan bladbadan

(mablabadan) setiap orang dianggap sudah mengerti arti

sesungguhnya, sehingga dengan mudah mengasosiasikan dengan pengertian yang dimaksudkan yang dibantu pula oleh unsur kesamaan bunyinya. Berdasarkan uraian konsep bladbadan tersebut di atas, berbagai pertimbangan pangarang untuk mambangun karya sastra Geguritan Kasmaran

menjadi menarik. Hal ini disebabkan oleh penggunaan sastra tradisi ini belum merupakan kelaziman di dalam sastra tradisional yang berupa Geguritan. Ketidaklaziman ini justru merupakan bahan yang menggelitik untuk mengetahui ada apa di balik struktur Geguritan yang dibangun dengan model seperti ini. Perpaduan antara pola persajakan (pupuh) sinom sewagati, pengarang mencoba melukiskan sebuah fenomena alam dan kemanusiaan yang sering menimbulkan pemahaman yang sempit sebuah sisi kehidupan manusia. Perhatian terpenting

38

karya sastra ini adalah keunggulan pengarang yang mampu memilih kata-kata (diksi) yang

dipadukan dengan lagu (tembang) persajakan (pola padalingsa) dalam membentuk sebuah konsep universal. Inilah menariknya sebuah struktur bangun Geguritan Kasmaran yang menjadi perhatian peneliti.

4.4.2 Struktur Formal Geguritan Geguritan sebagai bentuk karya sastra Bali memiliki suatu konvensi tersendiri. Konvensi dalam Geguritan berupa konvensi tembang dan kaidah pembentukannya

disebut pupuh. Geguritan yang dibentuk oleh pupuh tersebut menurut Granoka termasuk ke dalam sastra paletan tembang. Sebagai sastra paletan tembang, memiliki tiga unsur pokok, yaitu: (1) unsur bunyi, (2) unsur lambang, dan (3) unsur isi. (Granoka, 1981:2). Pada dasarnya aspek bentuk dan isi geguritaan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama mempengaruhi penggunaan bahasa maupun pemilihan kata atau diksi geguritan tersebut. Hal ini disebabkan karena pengarang geguritan harus taat kepada aturan padalingsa, dan di lain pihak karena geguritan itu terikat

dengan isinya, sehingga seringkali tidak tepat pemilihan katanya untuk memenuhi aturan padalingsa tersebut (Ginarsa, 1980:v). Oleh sebab itu, antar konvensi bentuk dan isi tersebut secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri mempengaruhi pemilihan kata atau diksi dalam karya sastra geguritan.

(7)

Ketidaksesuaian antara konvensi bentuk dan isi dalam melahirkan kata atau diksi yang tepat mungkin terjadi. Secara bentuk terdapat aturan bahwa bunyi akhir baris sebuah pupuh harus berakhiran i misalnya, tetapi pengarang ternyata

39

merasa tidak terwakili perasaannya dengan penggunaan kata yang mempunyai bunyi akhir i

tersebut. Akhirnya, terjadi suatu penyimpangan antara konvensi bentuk yang sudah mapan dengan isi yang mengandung suatu gagasan pengarang, yang harus memilih kata dengan tepat. Gorys Keraf (1981:73) menyatakan, persoalan pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan di amanatkan. Kedua, kesesuaian dan kecocokan dalam mempersoalkan

kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imginasi pembaca atau pendengar, seprti apa yang di pikirkan atau di rasakan oleh penulis atau pembicara. Oleh sebab itu persoalan ketepatan pilihan kata seseorang pengarang geguritan, mungkin lebih erat kaitanya dengan padalingsa di samping struktur kalimat. Pada dasarnya, pengertian diksi yang digunakan adalah pemilihan kata yang tepat mengungkapkan pikiran dan gagasan secara tepat dan jelas pula. Sebagimana diketahui, bahwa sebuah pupuh diikat oleh aturan padalingsa, yaitu: (a) banyaknya baris dalam tiap bait; (b) banyaknya suku kata dalam tiap baris; dan (c) bunyi akhir setiap baris. Setiap pupuh mempunyai

aturan padalingsa sendiri-sendiri. GK sebagaimana telah

dikemukakan dalam pendahuluan dibangun hanya menggunakan satu jenis pupuh, yaitu pupuh sinom sewagati. Aturan padalingsa, besar sekali pengaruhnya terhadap pemilihan kata atau diksi. Seorang pengarang di samping disadari memiliki kebebasan yang disebut dengan istilah licentia poetica, tetapi juga dituntut untuk memenuhi kaidah-kaidah

40

atau aturan-aturan tertentu yang berlaku dalam suatu karya sastra, lebih-lebih bentuk sastra yang terikat, seperti geguritan. Perlu juga dikemukakan di sini, bahwa dominanya aspek bladbadan dalam GK ini juga mempengaruhi aturan padalingsanya. Oleh sebab itu, pengaruh blabadan dalam

pembentukan atau pemenuhan aturan padalingsa dalam kaitanya dengan diksi juga di bicarakan. Berdasarkan atas kenyataan yang ada, pemilihan kata yang mengandung unsur bunyi a pada suku terakhir suatu baris (sesuai dengan aturan padalingsa) dilakukan oleh pengarang dengan ketat. Hal ini terbukti dari sedikitnya data penyimpangan yang ditemukan dalam GK ini. Pada Geguritan ini tampak bahwa blabadan mempunyai pengaruh yang dominan untuk menentukan pilihan kata atau diksi. Agaknya pengarang mengalami kesulitan besar jika mengganti blabadan yang mengandung unsur bunyi a dengan bladbadan yang mengandung unsur bunyi u tanpa melihat konteks

(8)

bersama-sama maupun sendiri-sendiri mempengaruhi penggunaan bahasa maupun pemilihan kata (diksi) dalam sebuah karya sastra geguritan yang dibentuk dengan pupuh. Secara formal, setiap pupuh yang digunakan untuk membentuk geguritan memiliki irama tersendiri yang disebut dengan

tembang. Secara tradisional membaca geguritan biasanya dilakukan pula dengan menyanyikan atau menembangkan dengan suatu irama sangat khas. Irama tembang tersebut ada yang terasa gembira,

ceria, sedih, duka, menakutkan, kemarahan, dan sebagainya.

41

Irama tersebut ditentukan oleh aturan padalingsa yang berlaku dalam suatu pupuh. Sehingga bagi orang yang ahli di dalam menembangkan pupuh akan segera dapat mengetahui jenis tembang yang digunakan dalam suatu pupuh (Granoka, 1981:15).

4.1.3 Struktur Formal Geguritan Kasmaran GK dibangun oleh satu pupuh, yaitu pupuh sinom (baca: sinom sewagati). Penggunaan pupuh sinom ini sesungguhnya merupakan implementasi dari karakter pupuh sinom yang digunakan untuk membangun suasana ceria, penuh canda, bercinta, romantis, dan sebagainya. Jika dilihat dalam konteks itu, maka pertimbangan penggunaan satu pupuh untuk melukiskan suasana hati sang pengarang terhadap objek telah memiliki logika yang tepat. Dengan demikian tidak usah dipertentangkan penggunaan satu pupuh dalam membangun geguritan ini. GK dibangun oleh pupuh sinom yang berjumlah 39 bait (baca: pada). Bentuk penyajiannya adalah parafrase karena mengikuti pola persajakan dan tradisi penulisan naskah Bali yang berjajar ke samping, bukan ke bawah. Karakteristik GK ini adalah: (1) menggunakan satu jenis pupuh (sinom sewagati); (2) menggunakan tembang (sinom), tidak memiliki unsur naratif yang ketat sebagaimana pada karya yang lain; (3) kemampuan pengarang memilih kata-kata yang memiliki makna kias; (4) kemampuan pengarang merangkai unsur diksi dan lagu dan aturan pupuh; dan (5) penggambaran objek yang multitafsir.

42

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali yang dapat ditafsirkan dengan konsep dasanama. Dalam pengertian bahwa penggunaan pilihan kata dalam geguritan terkait dengan konsep-konsep

kebudayaan dan kehidupan masyarakat Bali umumnya, karena bahasa Bali adalah sub unsur kebudayaan Bali yang masih hidup sampai saat ini. Dalam kaitan bahasa Bali sebagai sub-unsur kebudayaan Bali, Joshua A. Fishman sebagaimana dikutip Adam Kuper, dan Jessica Kuper

(2000:547—548) menyatakan sebagai berikut. Bahasa sebagai bagian dari budaya: sebagaian besar perilaku manusia dilingkupi oleh bahasa, sehingga bahasa adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Upacara, ritual, nyanyian, ceritera, mantera, kutukan, doa, dan hukum, semuanya adalah tindak atau kejadian bahasa. Kawasan budaya kompleks tertentu seperti sosialisasi, pendidikan, pertukaran dan negosiasi juga tercakup dalam bahasa. Dengan demikian bahasa tidak hanya bagian dari budaya tetapi juga menjadi unsur pentingnya. Bahasa sebagai indeks budaya; Peran bahasa sebagai indeks budaya adalah produk (pada tingkatan yang lebih abstrak0 dari perannya sebagai bagian dari budaya. Bahasa menyingkap cara berpikir dan cara mengorganisasi pengalaman dalam sebuah budaya. Tentu saja bahasa menyediakan istilah-istilah leksikal bagi beragam benda budaya, nilainilai dan perilaku yang diakui dalam budaya tersebut. Namun di luar itu, bahasa juga

menyediakan tipologi asli dimana acuan-acuan tersebut dikelompokkan. Warna, gejala penyakit, hubungan kekerabatan, makanan, tanaman, bagian-bagian tubuh, spesies binatang adalah tipologi berdasarkan ikatan budaya serta kualitas-kualitas sistematis yang mendapat pengakuan budaya diungkapkan oleh bahasa berdasarkan ikatan budaya terkait. Bahasa sebagai simbol kebudayaan; Bahasa adalah sistem simbol manusia yang paling lengkap; tidak heran jika bahasa tertentu menjadi simbol dari sebuah etnokultur. Ini bukan hanya kasus sebuah bagian mewakili keseluruhan (seperti

(9)

kaum Yiddish yang secara stereotif merasa mewakili orang Eropa Timur yang berasal dari budaya Ibrani

ultra-43

ortodoks) tetapi juga ketika bagian tersebut menjadi suatu rangkaian simbol bagi (atau menentang) keseluruhan, dalam beberapa kasus, menjadi penyebab (atau sasaran) dalam atau bagi dirinya sendiri. Berdasarkan pendapat di atas, maka penggunaan bahasa Bali yang merupakan kata-kata pilihan tersebut mengandung tiga klasifikasi yang disebutkan Adam Kuper di atas. Maksudnya, analisis terhadap eksplorasi bahasa itu tidak menutup kemungkinan memiliki simbol budaya secara konseptual. Di samping penggunaan bahasa, dalam geguritan ini juga tidak ditemukan identitas penulis yang jelas. Hal ini disebabkan oleh identitas naskah yang semestinya ada manggala (pendahuluan), corpus (isi) dan kolofon (akhir kata) tidak ditemukan di dalam naskah ini. Namun, sebagai sebuah kajian wacana sastra, persoalan itu bukanlah masuk wilayah kajian ini, tetapi yang paling penting adalah naskah itu diperlakukan sebagai sebuah wacana sastra atau teks yang sudah selesai.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian kalimat menurut Fokker (1960) ini dikutip oleh Parera (1988: 136) sebagai bentuk yang terdiri atas dua bagian yang isi mengisi dan yang satu tidak dapat dipikirkan tanpa

Dari bagian data tersebut peneliti menyusun rumusan pengertian secara singkat, berupa pokok-pokok temuan yang penting dalam pengertian beberapa pemahaman yang penting atau

Bentuk tunggal ragam hias di atas adalah Naga Asoq, yaitu suatu perpaduan dari bentuk naga dan anjing, pada bagian kepala berupa gambaran

Berdasarkan uraian jawaban di atas, diperoleh bahwa langkah AK dalam menyelesaikan persoalan nomor 2 ini masih kurang benar. Langkah yang ia tulis sama dengan MAZ. Ia

Kalimat merupakan untai berstruktur dari kata-kata (Samsuri, 1985:93). Berdasarkan batasan di atas dapat disebutkan bahwa kalimat merupakan bentuk ketatabahasaan yang

Bentuk data dari penelitian kualitatif berupa kalimat atau narasi dari subjek penelitian yang diperoleh melalui suatu teknik pengumpulan data yang kemudian data

Epidermis, Epidermis merupakan jaringan penyusun tubuh tumbuhan yang paling luar, umumnya terdiri atas selapis sel dan berfungsi untuk melindungi bagian dalam

Pada penelitian ini data yang diperoleh disajikan dalam bentuk narasi atau uraian kalimat sesuai dengan jawaban yang telah didapat dari responden berdasarkan wawancara dan lembar