• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENALARAN KONDISIONAL. A. Bentuk Umum dan Struktur Pernyataan Kondisional. Penalaran kondisional berhubungan dengan pernyataan: Jika...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PENALARAN KONDISIONAL. A. Bentuk Umum dan Struktur Pernyataan Kondisional. Penalaran kondisional berhubungan dengan pernyataan: Jika..."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENALARAN KONDISIONAL

A. Bentuk Umum dan Struktur Pernyataan Kondisional

Penalaran kondisional berhubungan dengan pernyataan: “Jika ..., maka ...,” yang dikenal dengan nama pernyataan kondisional atau pernyataan implikasi (selanjutnya disebut pernyataan kondisional). Contoh dari pernyataan kondisional adalah sebagai berikut;

Jika Susi menjadi juara kelas, maka dia akan memperoleh hadiah dari ayahnya. Jika setiap peraturan lalu lintas dipatuhi oleh para pemakai jalan raya, maka

kecelakaan lalu lintas dapat dihindari.

Jika pada suatu ruang Banach berlaku sifat paralelogram, maka ruang Banach tersebut adalah ruang Hilbert.

Berdasarkan tiga contoh tersebut maka bentuk dari suatu pernyataan kondisional dapat diperumum menjadi:

“Jika (klausa utama), maka (klausa subordinat).”

Untuk memudahkan dalam mengevaluasi kebenaran dari pernyataan kondisional tersebut, biasanya pernyataan tersebut diubah ke dalam bentuk simbol: “p⇒q,” dengan “p” sebagai klausa utama dan “q” sebagai klausa subordinat.

Bentuk pernyataan di atas merupakan bentuk umum dari pernyataan kondisional. Namun sering pula ditemukan bentuk pernyataan kondisional yang berbeda dari bentuk umumnya, yaitu:

(2)

Contoh: Kecelakaan lalu lintas dapat dihindari, jika setiap peraturan lalu lintas dipatuhi oleh para pemakai jalan raya.

Dengan melihat bentuk umum dari pernyataan kondisional, maka unsur-unsur (struktur) yang terdapat dalam pernyataan kondisional adalah sebagai berikut:

1. Klausa utama

Klausa utama disebut dengan anteseden atau protasis atau implikan (selanjutnya disebut anteseden). Anteseden merupakan syarat cukup atau penyebab terjadinya klausa subordinat. Pada umumnya anteseden selalu ditempatkan setelah kata “jika.”

2. Klausa subordinat

Klausa subordinat disebut dengan konsekuen atau apodosis atau implikeit (selanjutnya disebut konsekuen). Konsekuen merupakan akibat atau syarat perlu untuk anteseden. Pada umumnya konsekuen selalu ditempatkan setelah kata “maka.”

3. Kata penghubung

Pada umumnya di dalam pernyataan kondisional selalu terdapat kata penghubung “jika-maka,” namun dalam beberapa kasus sering terjadi bahwa dalam suatu pernyataan kondisional hanya terdapat kata penghubung “jika” saja atau “maka” saja. Kata penghubung “jika-maka” merupakan kata kunci sebagai salah satu cara untuk membedakan anteseden dan konsekuen.

Kata penghubung “jika-maka” ini bukan merupakan satun-satunya kata penghubung yang digunakan dalam pernyataan kondisional. Kata penghubung

(3)

“jika” dapat pula digantikan oleh kata penghubung: kalau, bila, seandainya, andaikan, dan kata-kata sejenis lainnya. Sedangkan kata penghubung “maka” dapat pula digantikan oleh kata penghubung “akibatnya” atau kata penghubung lain yang sejenis.

B. Nilai Kebenaran dan Negasi Pernyataan Kondisional

Suatu pernyatan kondisional memiliki nilai kebenaran yang sama dengan nilai kebenaran dari hasil penggabungan dua buah pernyataan yang digabungkan secara implikasi. Kemungkinan-kemungkinan nilai kebenaran dari suatu pernyataan kondisional dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Implikasi p q pq B B S S B S B S B S B B

Pernyataan kondisional “Jika p, maka q,” memiliki arti yang sama dengan “salah bahwa p dan tidak q.”

Pada definisi tersebut, negasi dari suatu pernyataan kondisional disamakan dengan suatu negajunksi, yaitu kombinasi dari negasi dan konjunksi. Sebagai interpretasi dari negajunksi maka pernyataan kondisional akan bernilai benar jika minimal salah satu komponennya (p atau tidak q) bernilai salah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa “p⇒q” equivalen dengan “¬(p

¬q)” atau “¬pq” dan negasi dari “p⇒q” adalah “p

¬q.”

(4)

C. Jenis-Jenis Pernyataan Kondisional

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa pernyataan kondisional memiliki bentuk umum “Jika (anteseden), maka (konsekuen).” Berdasarkan anteseden dan konsekuennya, pernyataan kondisional dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Subjunctive conditional

Subjunctive conditional adalah pernyataan kondisional yang anteseden dan

konsekuennya merupakan satu-kesatuan (ada hubungan satu sama lain), dengan kata lain pernyataan kondisional ini merupakan suatu hipotesis.

Contoh: Jika suatu besi dibakar, maka besi tersebut akan memuai. 2. Counterfactual conditional

Counterfactual conditional adalah pernyataan kondisional yang anteseden dan

konsekuennya tidak merupakan satu-kesatuan, dengan nilai kebenaran dari antesedennya adalah salah.

Contoh: Jika Bandung adalah ibu kota negara Indonesia, maka 2+2=4.

D. Syarat Cukup dan Syarat Perlu

Dalam suatu pernyataan kondisinal terdapat unsur yang sangat penting, yaitu: anteseden dan konsekuen. Sehingga sangat perlu diketahui mana klausa yang menjadi anteseden dan mana klausa yang menjadi konsekuen.

Jika terdapat kata penghubung “jika-maka,” maka dapat dengan mudah membedakan antara anteseden dan konsekuen. Namun ketika dalam pernyataan

(5)

sering terjadi kata penghubung tersebut tidak ditempatkan seperti pada bentuk umum pernyataan kondisional.

Contoh: Maka, ketika matahari terbit, ayam jantan mulai berkokok.

Pernyataan tersebut merupakan pernyataan kondisional dengan klausa “matahari terbit” sebagai anteseden dan klausa “ayam jantan mulai berkokok” sebagai konsekuen. Meskipun demikian pada pernyataan tersebut kata penghubung “maka” tidak diikuti oleh klausa “ayam jantan mulai berkokok.”

Oleh karena itu perlu diketahui cara yang lain untuk membedakan antara anteseden dan konsekuen. Caranya adalah dengan membedakan antara klausa mana yang menjadi syarat perlu atau menjadi syarat cukup bagi klausa yang lain.

Kebenaran dari suatu anteseden dalam pernyataan kondisional merupakan syarat cukup (meskipun tidak perlu) untuk kebenaran dari konsekuennya. Jadi, klausa yang menjadi syarat cukup merupakan fakta atau kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya sesuatu (klausa lainnya) meskipun itu tidak perlu.

Contoh: Jika gambar ini segitiga sama sisi, maka semua sisi segitiga ini memiliki panjang yang sama.

Kita dapat mengatakan bahwa: “ Gambar ini segitiga sama sisi merupakan syarat cukup untuk membuat semua sisi segitiga ini memiliki panjang yang sama”.

Pada contoh “Maka, ketika matahari terbit, ayam jantan mulai berkokok,” matahari terbit merupakan syarat cukup untuk menyebabkan ayam jantan mulai berkokok. Sedangkan kondisi “ayam jantan mulai berkokok” bukan merupakan syarat cukup untuk terjadinya “matahari terbit.” Sehingga jelas bahwa “matahari terbit” merupakan anteseden dan “ayam jantan mulai berkokok” merupakan konsekuen.

(6)

Kebenaran dari suatu konsekuen merupakan syarat perlu, tetapi belum cukup untuk menyebabkan kebenaran anteseden. Syarat perlu merupakan kondisi yang harus dipenuhi atau terjadi untuk terjadinya sesuatu (anteseden) , akan tetapi kondisi tersebut belum cukup untuk pasti menyebabkan terjadinya sesuatu itu. “Ayam jantan mulai berkokok” merupakan kondisi yang harus dipenuhi untuk terjadinya “matahari terbit,” akan tetapi kondisi tersebut belum cukup untuk menyebabkan terjadinya “matahari terbit.”

Jadi, dengan mengetahui klausa mana yang menjadi syarat cukup dan syarat perlu, maka kita dapat membedakan antara anteseden dan konsekuen. Karena klausa yang menjadi syarat cukup merupakan anteseden, dan klausa yang menjadi syarat perlu merupakan konsekuen.

E. Kontrapositif, Konvers, dan Invers

Jika kita memiliki suatu pernyataan kondisional, maka kita dapat membuat pernyataan lain yang equivalen (nilai kebenarannya sama) dengan pernyataan tersebut.

Contoh:

(1) Jika arus listrik terputus, maka komputer tidak akan menyala. (2) Jika komputer menyala, maka arus listrik tidak terputus.

Kedua pernyataan tersebut saling equivalen, dan pernyataan yang satu merupakan kontrapositif dari pernyataan lain. Nilai kebenaran dari kontrapositif suatu pernyataan sama dengan nilai kebenaran dari pernyataan itu sendiri. Kontrapositif dari suatu pernyataan kondisional dibuat dengan cara menjadikan

(7)

negasi konsekuen pernyataan awal sebagai anteseden baru dan negasi anteseden pernyataan awal sebagai konsekuen baru. Simbolnya adalah: “¬q⇒¬p.”

Pada pernyataan (1) di atas, “arus listrik terputus” merupakan anteseden dan “komputer tidak akan menyala” merupakan konsekuen. Jika kita menukar posisi antara anteseden dan konsekuen maka kita akan memperoleh pernyataan yang baru, yaitu:

(3) Jika komputer tidak menyala, maka arus listrik terputus.

Pernyataan (3) disebut konvers dari pernyataan (1), akan tetapi pernyataan (1) dan (3) bukan pernyataan yang saling equivalen, karena nilai kebenarannya tidak sama. Simbol untuk konvers dari suatu pernyataan kondisional adalah: “q⇒p.”

Kontrapositif dari pernyatan (3) yaitu:

(4) Jika arus listrik tidak terputus, maka komputer akan menyala.

Pernyataan (4) disebut juga sebagai invers dari pernyataan (1). Invers dari suatu pernyataan kondisional tidak equivalen dengan pernyataan tersebut, tetapi equivalen dengan konvers dari pernyataan tersebut. Invers dari suatu pernyataan kondisional dibuat dengan cara menjadikan negasi anteseden pernyataan awal sebagai anteseden baru dan negasi konsekuen pernyataan awal sebagai konsekuen baru. Simbolnya adalah: “¬p⇒¬q.”

Untuk melihat equivalensi pernyataan kondisional, kontrapositif, konvers, dan invers dari suatu pernyataan kondisional, dapat diketahui dari nilai kebenarannya pada Tabel 9.

(8)

Tabel 9. Kondisional, Kontrapositif, Konvers, dan Invers p q ¬p ¬q pq ¬q⇒¬p qp ¬p⇒¬q B B S S B S B S S S B B S B S B B S B B B S B B B B S B B B S B

F. Tipe-Tipe Penalaran Kondisional

Telah diketahui bahwa obyek dari suatu penalaran logis adalah argumen, akibatnya obyek dari penalaran kondisional pun berupa argumen. Berdasarkan situasi dari premis minornya, penalaran kondisional terdiri dari empat situasi, yaitu: 1. Mengesahkan anteseden: berarti bahwa bagian kalimat “jika...” adalah benar.

Contoh:

Jika kepala pemerintahan negara Amir seorang Presiden, maka Amir tinggal di negara Republik.

Premis Mayor

Kepala pemerintahan negara Amir seorang Presiden Premis Minor Jadi, Amir tinggal di negara republik. Konklusi

2. Mengesahkan konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka...” adalah benar. Contoh:

Jika operasi penjumlahan dua bilangan dilakukan pada basis 4, maka 2+2=0.

Premis Mayor

2+2=0. Premis Minor

Jadi, operasi penjumlahan dua bilangan tersebut dilakukan pada basis 4.

(9)

3. Menyangkal anteseden: berarti bahwa bagian kalimat “jika...” adalah salah. Contoh:

Jika air memiliki suhu 99o, maka air tersebut dalam keadaan menguap.

Premis Mayor

Suhu air bukan 99o. Premis Minor

Jadi, air tersebut tidak dalam keadaan menguap. Konklusi 4. Menyangkal konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka...” adalah salah.

Contoh:

Jika pinus adalah pohon, maka pinus memiliki akar. Premis Mayor

Pinus tidak memiliki akar. Premis Minor

Jadi, Pinus bukan pohon. Konklusi

Bentuk penalaran (1) dan (4) menuju kepada konklusi yang valid atau konklusi yang benar, sedangkan bentuk penalaran (2) dan (3) menuju kepada konklusi yang invalid atau konklusi yang tak benar (Jacob, 1997, h. 31-32).

G. Indikator-indikator Penalaran kondisional

Untuk memudahkan dalam mengenali tipe-tipe penalaran kondisional, maka harus diidentifikasi indikator-indikator yang ada dalam penalaran kondisional tersebut. Adapun indikator-indikator penalaran kondisional adalah sebagai berikut: 1. Secara umum

Dalam penalaran kondisional argumen yang akan dievaluasi terdiri dari tiga pernyataan.

(10)

Pernyataan kedua adalah premis minor berupa pernyataan tunggal yang merupakan penerimaan atau penolakan dari salah satu unsur (anteseden atau konsekuen) yang terdapat dalam premis mayor.

Pada premis minor ini, terdapat kata-kata kunci seperti: - bagaimanapun

- ternyata - karena - seperti untuk

- seperti telah ditunjukkan oleh - berdasarkan pada - diindikasikan oleh - menjadi bahwa - mengingingat bahwa - sedangkan - padahal - sebaliknya - diberikan bahwa - misalkan bahwa - dengan melihat bahwa - untuk alasan bahwa

- dengan melihat fakta bahwa - pada perkiraan yang benar bahwa - asumsikan bahwa

- mungkin disimpulkan dari - mungkin diperoleh dari - dan kata-kata sejenis lainnya

Pernyataan ketiga merupakan konsekuensi logis (atau yang dianggap logis) dari dua pernyataan pertama. Pernyataan ketiga ini disebut konklusi, biasanya pada konklusi terdapat kata-kata kunci:

(11)

- seharusnya - konsekuensinya - akibatnya

- yang menunjukkan bahwa - sehingga

- disimpulkan bahwa - jadi

- maka - jelas bahwa

- hal itu mengakibatkan - mengakibatkan bahwa

- dengan demikian

- fakta ini mengindikasikan - pembenaran ini memperlihatkan

_bahwa

- sehingga terlihat bahwa - dan kata-kata sejenis lainnya. - berdasarkan hal tersebut - ---disimpulkan menunjukkan saya ---percaya bahwa

2. Secara khusus

Secara khusus (berdasarkan masing-masing tipe penalaran) dapat diidentifikasi bahwa:

(1) Mengesahkan anteseden: berarti bahwa bagian kalimat “jika...” adalah benar.

Premis mayor berupa pernyataan kondisional.

Premis minor berupa pengesahan atau penerimaan terhadap anteseden pada premis mayor.

Pada premis minor sering terdapat kata-kata kunci: kita tahu bahwa, ternyata, karena, bagaimanapun, fakta bahwa dan kata-kata sejenis lainnya. Jika tidak terdapat kata-kata kunci tersebut maka premis minor adalah berupa anteseden dari premis mayor.

(12)

Pada konklusi sering terdapat kata-kata kunci: jadi, saya menyimpulkan bahwa, seharusnya, saya pikir bahwa, sehingga, dan kata-kata sejenis lainnya.

Simbol argumen yang digunakan: p⊃q

p q

Validitas: valid.

(2) Mengesahkan konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka...” adalah benar.

Premis mayor berupa pernyataan kondisional.

Premis minor berupa pengesahan atau penerimaan terhadap konsekuen pada premis mayor.

Pada premis minor sering terdapat kata-kata kunci: kita tahu bahwa, ternyata, karena, bagaimanapun, fakta bahwa dan kata-kata sejenis lainnya. Jika tidak terdapat kata-kata kunci tersebut maka premis minor adalah berupa konsekuen dari premis mayor.

Konklusinya berupa anteseden dari premis mayor.

Pada konklusi sering terdapat kata-kata kunci: jadi, saya menyimpulkan bahwa, seharusnya, saya pikir bahwa, sehingga, dan kata-kata sejenis

(13)

Simbol argumen yang digunakan: p⊃q

q p

Validitas: invalid.

(3) Menyangkal anteseden: berarti bahwa bagian kalimat “jika...” adalah salah. Premis mayor berupa pernyataan kondisional.

Premis minor berupa penyangkalan atau penolakan terhadap anteseden pada premis mayor.

Pada premis minor sering terdapat kata-kata kunci: tetapi, kita tahu bahwa, ternyata, karena, bagaimanapun, fakta bahwa dan kata-kata sejenis lainnya. Jika tidak terdapat kata-kata kunci tersebut maka premis minor adalah berupa negasi anteseden dari premis mayor. Konklusinya berupa negasi konsekuen dari premis mayor.

Pada konklusi sering terdapat kata-kata kunci: jadi, saya menyimpulkan bahwa, seharusnya, saya pikir bahwa, sehingga, dan kata-kata sejenis lainnya

Simbol argumen yang digunakan: p⊃q

¬p ¬q

Validitas: invalid.

(4) Menyangkal konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka...” adalah salah.

(14)

Premis minor berupa penyangkalan atau penolakan terhadap konsekuen pada premis mayor.

Pada premis minor sering terdapat kata-kata kunci: tetapi, kita tahu bahwa, ternyata, karena, bagaimanapun, fakta bahwa dan kata-kata sejenis lainnya. Jika tidak terdapat kata-kata kunci tersebut maka premis minor adalah berupa negasi konsekuen dari premis mayor. Konklusinya berupa negasi anteseden dari premis mayor.

Pada konklusi sering terdapat kata-kata kunci: jadi, saya menyimpulkan bahwa, seharusnya, saya pikir bahwa, sehingga, dan kata-kata sejenis lainnya.

Simbol argumen yang digunakan: p⊃q

¬q ¬p

Validitas: valid.

H. Validitas Penalaran Kondisional

Meskipun telah diketahui secara pasti validitas dari masing-masing tipe penalaran kondisional, namun kita dapat memeriksa sendiri validitas dari tipe-tipe penalaran kondisional tersebut. Dengan memeriksa tautologi dari pernyataan kondisional yang bersesuaian dengan bentuk argumennya, maka kita dapat dengan mudah memeriksa validitas dari tite-tipe penalaran kondisional tersebut. Akan tetapi cara ini tidak efektif.

(15)

Tabel 3. Implikasi p q p q B B S S B S B S B S B B

Karena suatu argumen yang valid harus merupakan tautologi, maka yang akan kita perhatikan adalah kemungkinan-kemungkinan dari nilai kebenaran “p dan q” yang mengakibatkan “p⊃q” bernilai benar.

1) Mengesahkan anteseden: berarti bahwa bagian kalimat “jika...” adalah benar. Berdasarkan Tabel 3, untuk memperoleh nilai B pada “p⊃q” dengan diketahui bahwa “p” benar, maka haruslah “q” juga benar. Sehingga bentuk penalaran ini valid.

2) Mengesahkan konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka...” adalah benar. Berdasarkan Tabel 3, untuk memperoleh nilai B pada “p⊃q” dengan diketahui bahwa “q” benar, maka nilai kebenaran “p” bisa benar bisa salah. Hal ini dapat terjadi karena mungkin saja “q” benar jika “p” terjadi (“p” benar) atau “q” benar disebabkan oleh sesuatu yang lain (bukan terjadi karena p atau p salah). Sehingga bentuk penalaran ini tidak valid.

3) Menyangkal anteseden: berarti bahwa bagian kalimat “jika...” adalah salah. Berdasarkan Tabel 3, untuk memperoleh nilai B pada “p⊃q” dengan diketahui bahwa “p” salah, maka nilai kebenaran “q” dapat benar juga dapat salah. Hal ini dapat terjadi karena mungkin saja tidak terjadinya “p” (“p” salah) tidak menyebabkan “q” tejadi (“q” salah) atau meskipun tidak terjadi “p” (“p” benar)

(16)

“q” tetap terjadi (“q” benar) karena disebabkan oleh sesuatu yang lain (bukan disebabkan oleh p). Sehingga bentuk penalaran ini tidak valid.

4) Menyangkal konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka...” adalah salah. Berdasarkan Tabel 3, untuk memperoleh nilai B pada “p⊃q” dengan diketahui bahwa “q” salah, maka haruslah “p” juga salah. Sehingga bentuk penalaran ini valid.

I. Perluasan Penalaran Kondisional

Berdasarkan perluasan dari premis mayor dan premis minornya, penalaran kondisional diperluas untuk memperoleh tipe-tipe penalaran baru, yaitu:

1. Hanya Jika (Only If)

Pada umumnya pernyataan kondisional berbentuk “Jika ..., maka ....” Akan tetapi sering ditemukan pernyataan kondisional dalam bentuk lain, yaitu: “..., hanya jika ....” Meskipun penggunaan kata penghubung tersebut berbeda namun ada kesamaan pada pernyataan yang menggunakan dua kata penghubung tersebut.

Sebagai contoh:

1) Si Manis adalah kucing, hanya jika Si Manis adalah binatang. 2) Jika Si Manis adalah kucing, maka Si manis adalah binatang.

Kedua pernyataan tersebut adalah pernyataan yang berbeda, tetapi juga serupa.

Suatu perbedaan yang sangat penting adalah: pernyataan pertama memberikan kita suatu asumsi untuk mengatakan bagaimana “Si manis

(17)

asumsi untuk mengatakan bagaimana “Si Manis adalah binatang.” Dengan kata lain pada pernyataan pertama, kita mencoba untuk menentukan bagaimana agar “Si Manis menjadi kucing” dan pada pernyataan kedua kita mencoba untuk mengatakan bagaimana “Si Manis menjadi seekor binatang.”

Meskipun berbeda, namun kedua pernyataan tersebut sama secara esensial. Pada masing-masing kasus “Si Manis menjadi seekor binatang” merupakan syarat perlu untuk “Si Manis menjadi kucing” dan “Si Manis menjadi kucing” merupakan syarat perlu cukup “Si Manis menjadi seekor binatang.”

Jadi, suatu penalaran kondisional yang premis mayornya berupa pernyataan kondisional yang berbentuk hanya jika (only if) sama dengan tipe-tipe penalaran kondisional yang telah dibahas sebelumnya. Dengan catatan klausa setelah kata “hanya jika” adalah konsekuen dari pernyataan tersebut. 2. Bikondisional

Kadang-kadang relasi antara dua pernyataan adalah saling berakibat satu sama lain. Sebagai contoh:

1) Andy adalah seorang jejaka.

2) Andy adalah seorang laki-laki yang belum menikah.

Kedua pernyataan tersebut saling berakibat satu sama lain. Kita dapat mengatakan bahwa:

“Jika Andy adalah seorang jejaka, maka Andy adalah seorang laki-laki yang belum menikah.”

(18)

Atau kita juga dapat mengatakan bahwa:

“Jika Andy adalah seorang laki-laki yang belum menikah, maka Andy adalah seorang jejaka.”

Kita tahu bahwa penggabungan dua pernyataan secara biimplikasi dinamakan pernyataan bikondisional.

Jika suatu penalaran kondisional premis mayornya berupa pernyataan bikondisional, maka validitas keempat tipe penalaran tersebut adalah valid. 3. Kondisional Berantai

Contoh:

Jika matahari tenggelam, maka hari menjadi gelap. Jika hari menjadi gelap, maka kejahatan sering terjadi.

---

Jika matahari tenggelam, maka kejahatan sering terjadi.

Contoh diatas merupakan salah satu contoh dari bentuk perluasan penalaran kondisional, yang dinamakan sebagai kondisional berantai. Kondisional berantai merupakan perluasan dari penalaran kondisional, yang dilakukan dengan cara mengubah premis minor dan konklusi dari suatu pernyataan tunggal menjadi sebuah pernyataan kondisional.

Pernyataan konditional pada premis minor adalah antaseden atau konsekuen (atau negasinya) dari premis mayor yang digabung dengan suatu pernyataan tunggal lain secara implikasi.

Sedangkan pernyataan konditional pada konklusi adalah antaseden atau konsekuen (atau negasinya) dari premis mayor yang tidak dipakai pada premis minor, kemudian digabung dengan pernyataan tunggal baru yang

(19)

terdapat pada premis minor, dengan cara implikasi. Penempatan anteseden dan konsekuen pada konklusi disesuaikan dengan premis-premisnya (akibat logis dari premis-premisnya).

Bentuk dari kondisional berantai ini tidak hanya terdari dari dua buah premis dengan satu konklusi, tetapi dapat terdiri dari beberapa premis yang semuanya merupakan pernyataan kondisional dengan sebuah konklusi. Contoh (dalam bentuk simbol):

p⊃q; q⊃r; r⊃s; s⊃t;

∴ p⊃t.

Bentuk-bentuk dari penalaran kondisional berantai ini sangat banyak, beberapa bentuk dari tipe penalaran kondisional berantai ini adalah sebagai berikut:

Tabel 10. Kondisional Berantai

No. Validitas Simbol No. Validitas Simbol 1 valid p⊃q; q⊃r; ∴ p⊃r. 3 invalid p⊃q; r⊃q ∴p⊃r. 2 valid p⊃q; r⊃p; ∴r⊃p. 4. invalid p⊃q; ¬q⊃r; ∴ p⊃r.

(20)

J. Contoh Penggunaan Penalaran Kondisional dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari, penalaran kondisional sering digunakan, setidaknya ada dua hal utama, yaitu:

Kita dapat menentukan validitas dari suatu argumen yang memiliki bentuk dan struktur yang sama (equivalen) dengan tipe penalaran kondisional. Sehingga kita dapat menolak atau menerima suatu argumen secara rasional atau logis. Jika kita mengetahui suatu aturan yang berbentuk kondisional atau dapat

diubah menjadi bentuk kondisional, dan kita juga mengetahui suatu fakta yang berhubungan dengan peraturan tersebut, maka kita dapat menarik suatu kesimpulan yang logis dari aturan dan fakta tersebut.

Berikut ini akan diberikan beberapa contoh pembuktian validitas argumen yang berbentuk penalaran kondisional.

Contoh 1: Argumen:

“Pohon bunga tersebut seharusnya memiliki duri. Saya tahu hal itu karena nama bunga tersebut adalah mawar; dan jika nama bunga tersebut adalah mawar, maka pohon bunga tersebut memiliki duri.”

Evaluasi:

Karena argumen tersebut terdiri dari tiga pernyataan yang memiliki pernyataan kondisional dan pernyataan yang merupakan penerimaan salah satu unsurnya maka argumen tersebut dapat dievaluasi dengan menggunakan penalaran kondisional. Berdasarkan argumen tersebut, kita peroleh:

(21)

Premis mayor: Jika bunga tersebut adalah mawar, maka pohon bunga tersebut memiliki duri.

Misalkan ‘p’ = ‘bunga tersebut adalah mawar’ dan ‘q’ = pohon bunga tersebut memiliki duri.’

Pernyataan ‘Pohon bunga tersebut seharusnya memiliki duri’ = ‘q’ merupakan konklusi, karena pada pernyataan tersebut terdapat kata ‘seharusnya.’

Pernyataan ‘Saya tahu hal itu karena nama bunga tersebut adalah mawar’ = ‘p’ merupakan premis minor, karena terdapat kata kunci: ‘saya tahu hal itu karena.’

Sehingga secara simbolis, argumen tersebut dapat dituliskan sebagai: p⊃q

p q

Karena argumen tersebut memiliki bentuk yang sama dengan penerimaan anteseden maka disimpulkan bahwa argumen tersebut valid.

Contoh 2 Argumen:

“Jika gambar ini merupakan suatu segitiga sama sisi, maka setiap sisi gambar ini memiliki panjang yang sama. Ternyata setiap sisi gambar ini memiliki panjang sama. Sehingga saya menyimpulkan bahwa gambar tersebut adalah segitiga sama sisi.”

Evaluasi:

Karena argumen tersebut terdiri dari tiga pernyataan yang memiliki pernyataan kondisional dan pernyataan yang merupakan penerimaan salah satu unsurnya maka

(22)

Berdasarkan argumen tersebut, kita peroleh:

Premis mayor: ‘Jika gambar ini merupakan suatu segitiga sama sisi, maka setiap sisi gambar ini memiliki panjang yang sama.’

Misalkan ‘p’ = ‘gambar ini merupakan suatu segitiga sama sisi’ dan ‘q’ = ’setiap sisi gambar ini memiliki panjang yang sama.’

Pernyataan ‘Ternyata setiap sisi gambar ini memiliki panjang sama’ = ‘q’ merupakan premis minor, karena terdapat kata kunci: ‘ternyata.’

Pernyataan ‘Sehingga saya menyimpulkan bahwa gambar tersebut adalah segitiga sama sisi’ = ‘p’ merupakan konklusi, karena pada pernyataan tersebut terdapat kata ‘sehingga saya menyimpulkan.’

Sehingga secara simbolis, argumen tersebut dapat dituliskan sebagai: p⊃q

q p

Karena argumen tersebut memiliki bentuk yang sama dengan penerimaan konsekuen maka disimpulkan bahwa argumen tersebut invalid.

Contoh 3, Argumen:

“Jika himpunan X adalah himpunan bagian dari bilangan rasional, maka anggota X adalah anggota bilangan real.

Anggota himpunan X bukan anggota bilangan real, karena X bukan merupakan himpunan bagian dari bilangan rasional.”

(23)

Evaluasi:

Karena argumen tersebut terdiri dari tiga pernyataan yang memiliki pernyataan kondisional dan pernyataan yang merupakan penolakkan salah satu unsurnya maka argumen tersebut dapat dievaluasi dengan menggunakan penalaran kondisional. Berdasarkan argumen tersebut, kita peroleh:

Premis mayor: ‘Jika himpunan X adalah himpunan bagian dari bilangan rasional, maka anggota X adalah anggota bilangan real.’

Misalkan ‘p’ = ‘himpunan X adalah himpunan bagian dari bilangan rasional’ dan ‘q’ = ’anggota X adalah anggota bilangan real.’

Pernyataan ‘karena X bukan merupakan himpunan bagian dari bilangan rasional’=‘¬p’ merupakan premis minor, karena terdapat kata kunci: ‘karena.’ Pernyataan ‘Anggota himpunan X bukan anggota bilangan real’ = ‘¬q’

merupakan konklusi.

Sehingga secara simbolis, argumen tersebut dapat dituliskan sebagai: p⊃q

¬p ¬q

Karena argumen tersebut memiliki bentuk yang sama dengan penyangkalan anteseden maka disimpulkan bahwa argumen tersebut invalid.

Contoh 4: Argumen:

“Jika 7 adalah bilangan yang habis dibagi oleh 2, maka 7 adalah bilangan genap. Tetapi 7 bukan bilangan genap. Jadi 7 tidak habis dibagi 2.”

(24)

Evaluasi:

Karena argumen tersebut terdiri dari tiga pernyataan yang memiliki pernyataan kondisional dan pernyataan yang merupakan penolakkan salah satu unsurnya maka argumen tersebut dapat dievaluasi dengan menggunakan penalaran kondisional. Berdasarkan argumen tersebut, kita peroleh:

Premis mayor: ‘Jika 7 adalah bilangan yang habis dibagi oleh 2, maka 7 adalah bilangan genap.’

Misalkan ‘p’ = ‘7 adalah bilangan yang habis dibagi oleh 2’ dan ‘q’ = ‘7 adalah bilangan genap.’

Pernyataan ‘Tetapi 7 bukan bilangan genap’ = ‘¬q’ merupakan premis minor, karena terdapat kata kunci: ‘tetapi.’

Pernyataan ‘Jadi 7 tidak habis dibagi 2’ = ‘¬p’ merupakan konklusi, karena terdapat kata kunci: ‘jadi.’

Sehingga secara simbolis, argumen tersebut dapat dituliskan sebagai: p⊃q

¬q ¬p

Karena argumen tersebut memiliki bentuk yang sama dengan penyangkalan konsekuen maka disimpulkan bahwa argumen tersebut valid.

Berikut ini akan diberikan contoh dalam mengaplikasikan penalaran kondisional untuk menarik kesimpulan dari suatu aturan dan fakta yang diketahui, sehingga tindakan yang kita lakukan tidak bertentangan dengan aturan tersebut

(25)

Contoh 1:

“Sebelum melaksanakan ujian, Amir berjanji bahwa jika dia lulus ujian dengan hasil yang memuaskan maka dia akan mentraktir teman-temannya. Ketika hasil ujian diumumkan, ternyata Amir lulus ujian, namun hasilnya tidak memuaskan.” Berdasarkan pernyataan tersebut, maka bila kita membuat argumen dengan menyimpulkan bahwa Amir tidak akan mentraktir teman-temannya, argumen tersebut tidak dapat diterima, karena argumen tersebut tidak valid. Hal ini dapat dilihat dari bentuk argumen yang disusun oleh pernyataan di atas dengan kesimpulan “Amir tidak akan mentraktir reman-temannya” yaitu:

Jika Amir lulus ujian dengan hasil yang memuaskan maka dia akan mentraktir teman-temannya.

Ternyata Amir lulus ujian, namun hasilnya tidak memuaskan. Amir tidak akan mentraktir teman-temannya.

Pada argumen di atas premis minor (Amir lulus ujian namun hasilnya tidak memuaskan) merupakan penyangkalan terhadap anteseden dari premis mayor (Amir lulus ujian dengan hasil yang memuaskan). Jadi argumen tersebut ekuivalen dengan bentuk penalaran kondisional tipe (3), yaitu menyangkal konsekuen.

Jadi kesimpulan yang tepat adalah Amir akan mentraktir teman-temannya atau Amir tidak akan mentraktir teman-temannya.

Contoh 2:

Hasan, Idrus, Jono, Karto, dan Lany duduk di sekeliling sebuah meja bundar. Mereka duduk sedemikian rupa hingga tak ada orang yang huruf pertamanya berurutan menurut abjad duduk berdampingan. Kakaknya Lany duduk disebelah Jono. Siapakah kakaknya Lany?

(26)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita dapat melakukannya dengan membuat argumen yang valid berdasarkan informasi yang telah diketahui. Dari wacana di atas, diperoleh suatu peraturan “tak ada orang yang huruf pertamanya berurutan menurut abjad duduk berdampingan”. Sehingga dapat dibuat suatu argumen sebagai berikut:

Jika Jono dan kakaknya Lany duduk berdampingan, maka Jono dan kakaknya Lany memiliki nama dengan huruf pertama yang tidak berurutan.

Kakaknya Lany duduk berdampingan dengan Jono

Jadi, kakaknya Lany dan Jono memiliki nama dengan huruf pertama yang tidak berurutan.

Argumen yang diberikan dengan konklusi “kakaknya Lany dan Jono memiliki nama dengan huruf pertama yang tidak berurutan“ merupakan argumen yang valid, karena ekuivalen dengan tipe penalaran kondisional untuk situasi pengesahan anteseden. Dengan konklusi dari argumen tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa kakaknya Lany adalah Hasan.

K. Contoh Penggunaan Penalaran Kondisional dalam Matematika

Penalaran kondisional digabung dengan penalaran matematis dan metode statistik digunakan dalam matematika diantaranya untuk:

1. Menganalisis bukti suatu pernyataan atau teorema yang berkaitan atau berhubungan dengan suatu definisi, aksioma, atau teorema lain yang telah terbukti kebenarannya. Bentuk penalaran kondisional yang dapat digunakan adalah penalaran kondisinal tipe (1) dan tipe (4).

(27)

2. Mencari metode dan membuat suatu algoritma untuk menyelesaiakan suatu permasalahan dalam bidang matematika khususnya matematika terapan (riset operasi atau program linear), metode numerik, matematika diskrit, dan lain-lain.

3. Memodifikasi teorema yang telah ada, dengan mengganti syarat cukup dari teorema tersebut dengan suatu fakta yang masih relevan dengan syarat cukup pada teorema awal.

4. Melakukan analisis empirik untuk menguji hipotesis, untuk menjelaskan hasil test statistik, dan untuk menentukan teknik statistik yang tepat untuk meneliti pertanyaan spesifik.

Berikut ini akan diberikan contoh dalam menganalisis bukti suatu pernyataan atau teorema.

Contoh:

Teorema 24. Jika S = {v1, v2, ...,vn} adalah himpunan ortogonal vektor taknol

dalam ruang hasilkali dalam, maka S bebas linear.

Bukti:

Anggaplah k1v1 + k2v2 +...+ knvn = 0 (1)

Untuk mendemonstrasikan bahwa S = {v1, v2, ...,vn} bebas linier, maka kita harus

buktikan bahwa k1 = k2 = ... = kn = 0.

Untuk setiap vi dalam S, jelaslah dari persamaan (1) bahwa <k1v1 + k2v2 +...+ knvn , vi> = <0,vi> = 0

Atau secara ekuivalen

(28)

Dari ortogonalitas S, <vi, vj> = 0 bila i ≠ j, sehingga persamaan ini direduksi

menjadi ki<vi, vi> = 0

Karena vektor-vektor S dianggap taknol, maka <vi, vi> ≠ 0 menurut aksioma

kepositifan untuk hasilkali dalam. Maka ki= 0. Karena indeks i sebarang, maka kita

peroleh k1 = k2 = ... = kn = 0, jadi S linear independent (Anton, 1987, h.194).

Analisis bukti:

(Analisis bukti ini hanya akan mengambil pada salah satu langkah dari pembuktian teorema di atas).

Anggaplah k1v1 + k2v2 + knvn = 0, merupakan pernyataan yang benar karena 0

dapat dinyatakan sebagai kombinasi linear dari setiap vektor.

Pada bukti di atas berdasarkan ki<vi, vi> = 0 dan <vi, vi> ≠ 0 disimpulkan bahwa

ki = 0. Hal ini sesuai denngan argumen:

Jika ki<vi, vi> = 0 maka ki = 0 atau <vi, vi> = 0 (sifat bilangan real).

Ternyata ki<vi, vi> = 0

Jadi pastilah ki = 0 atau <vi, vi> = 0.

Argumen di atas merupakan argumen yang valid karena ekuivalen dengan penalaran kondisional tipe pengesahan anteseden.

Pernyataan “ki = 0 atau <vi, vi> = 0” akan bernilai benar jika salah satunya benar.

Karena <vi, vi> ≠ 0, maka haruslahlah ki = 0.

(Untuk bukti teorema di atas, dapat ditunjukkan bahwa tahap lainnya disusun berdasarkan argumen yang valid).

Contoh lain yaitu mencari metode untuk menghampiri nilai akar dari suatu fungsi. Salah satu metode yang telah ada sekarang adalah metode bagi dua

(29)

(bisection’s method). Metode ini ditemukan berdasarkan pada sebuah argumen logis, yaitu:

Jika dalam suatu interval terdapat akar, maka nilai akar tersebut akan dihampiri oleh nilai tengah dari interval tersebut.

Pada interval [a,b] terdapat akar.

Jadi nilai akar pada interval [a,b] akan dihampiri oleh nilai (a + b)/2.

Argumen tersebut merupakan argumen logis yang bernilai valid. Berdasarkan argumen tersebut, maka dengan fakta yang terdapat dalam intermediet value’s

theorem dibuatlah suatu algoritma untuk mencari hampiran nilai akar dari suatu

Gambar

Tabel 3. Implikasi  p  q  p ⇒ q  B  B  S  S  B S B S  B S B B
Tabel 9. Kondisional, Kontrapositif, Konvers, dan Invers  p  q  ¬ p  ¬ q  p ⇒ q  ¬ q ⇒ ¬ p  q ⇒ p  ¬ p ⇒ ¬ q  B  B  S  S  B S B S  S S  B B  S  B S B  B S B B  B S B B  B B S B  B B S B
Tabel 3. Implikasi  p  q  p  ⊃  q  B  B  S  S  B S B S  B S B B
Tabel 10. Kondisional Berantai

Referensi

Dokumen terkait

Dalam sistem empat kawat, di mana titik netral sumber terhubung ke titik netral beban, harmonisa kelipatan tiga akan mengalir melalui penghantar netral.. Sistem

Disampaikan kepada seluruh keluarga besar Jemaat GPIB Pancoran Rahmat bahwa menyikapi perkembangan terakhir dengan telah banyaknya anggota Jemaat yang terpapar

Hasil pengujian hipotesis keenam ditemukan bukti empiris bahwa secara parsial Etika Auditor tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Kualitas Audit

Hasil penelitian menunjukan bahwa Prasarana yang terdapat di Sekolah Luar Biasa Negeri Tamansari seperti halnya dari 8 koridor, terdapat 2 koridor yang kurang sesuai dan 6

KEMATIAN BALITA AKIBAT GIZI BURUK Kurang penyuluhan Pengetahuan tentang kesehatan Pendidikan rendah Sosial ekonomi rendah Asupan Gizi Kurang PHBS Karena penyakit imunisasi Pemberian

dapat bekerja dengan baik pada pH 5-7 yang ditunjukan dengan adanya penyimpangan Faktor Nernst teoritis, Adanya penyimpangan Faktor Nernst ini dimungkinkan karena adanya

meghasilkan beberapa kurikulum yang pernah diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia diantaranya, Rencana Pelajaran Tahun 1947, Rencana Pelajaran Terurai