• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI PETERNAKAN YANG BERDAYA SAING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSPEK PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI PETERNAKAN YANG BERDAYA SAING"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI

PETERNAKAN YANG BERDAYA SAING

(Prospect for Developing Competitive Integrated Livestock Production

Systems)

DJAFAR MAKKA

Ditjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian

ABSTRACT

With high population and rate of growth about 1.5%, and high demand elasticity on livestock product, the demand for meat, milk and leather in Indonesia has increased. Recently, total livestock and frozen meat, milk and leather imports is increased. Due to larger gap between domestic demand and supply of livestock, Indonesia market is very attractive, especially if there is no serious work to increase domestic livestock production. Potency of ruminant development to be integrated with crops, fishery and forest is enormous that if the potency is well utilized, it is believed can fulfill in country supply, and the excess can be exported. Since almost all the livestock keepers are also farmers or fisherman, the combination of livestock activities and others is able to increase the efficiency, so that it can increase the competitiveness of the product. The integration of beef cattle and rice for example, the animal dung after fermentation can be used as organic fertilizer while rice straw can be fed, fresh or fermented, to the animal. In general, production cost will be reduced and income will increase. In turn, it is hoped to increase business capacity. Based on such big potency, the government has and continues to facilitate the integration of livestock and crops through pilot projects, capital aids, information, seminars and others. The right application of the systems is expected to fill the domestic gap of supply and demand especially ruminant’s meat, milk and leather.

Key words:

ABSTRAK

Dengan jumlah penduduk yang sedemikian besar dan laju pertumbuhannya sekitar 1,5% serta elastisitas permintaan akan hasil produksi peternakan yang tinggi maka kebutuhan akan produksi hasill ternak ruminansia berupa daging, susu dan kulit akan semakin besar. Akhir-akhir ini jumlah impor ternak hidup dan daging beku beserta susu dan kulit semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhan di dalan negeri. Oleh karena kesenjangan yang semakin besar antara kebutuhan dan kemampuan produksi di dalam negeri, maka pasar dalam negeri menjadi incaran negara-negara produsen terutama apabila tidak ada upaya serius untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Potensi pengembangan ternak ruminansia yang dapat diintegrasikan dengan berbagai jenis tanaman, ikan dan hutan sangat besar sehingga apabila potensi tersebut dapat dimanfaatkan akan dapat mengejar kekurangan pasokan di dalam negeri dan kelebihannya dapat diekspor. Mengingat hampir semua peternak merupakan petani sawah, pekebun, peladang dan nelayan maka kombinasi kegiatan usaha peternakan dengan usahatani lainnya akan dapat meningkatkan efisiensi usahanya sehingga dapat meningkatkan daya saing hasil produksinya. Dalam hal ternak sapi potong dengan tanaman padi, misalnya, kotoran ternak dapat menjadi pupuk organik yang sangat berguna memperbaiki struktur dan menambah unsur hara tanah sedangkan jerami padi dapat diberikan secara langsung atau setelah melalui proses fermentasi kepada sapi. Secara keseluruhan akan terjadi pengurangan biaya produksi dan peningkatan hasil penjualan produk akhir, atau dengan kata lain terdapat peningkatan pendapatan yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kapasitas usahanya. Menyadari potensi yang ada, pemerintah telah dan akan terus memfasilitasi pemanfaatan sistem integrasi ternak dengan tanaman melalui pelaksanaan pilot proyek, bantuan permodalan, penyediaan informasi, pelaksanaan seminar dan upaya lainnya. Diharapkan penerapan sistem ini dengan baik dan benar akan dapat mengejar kekurangan pasokan hasil peternakan di dalam negeri terutama daging, susu dan kulit yang berasal dari ternak ruminansia besar dan kecil.

(2)

PENDAHULUAN

Potensi permintaan akan daging di Indonesia sangat besar. Dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini lebih dari 220 juta dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1,5% per tahun dan elastisitas permintaan daging yang tinggi maka peningkatan pendapatan dan pertambahan penduduk akan meningkatkan jumlah permintaan akan daging setiap tahunnya. Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan kenaikan impor daging sapi dan susu dan ternak sapi hidup. Tidak heran jika negara-negara lain selalu mengincar Indonesia sebagai tempat memasarkan produksi dagingnya terutama apabila Indonesia masih belum juga dapat menghasilkan produk sejenis dengan harga lebih bersaing.

Pemerintah telah berupaya untuk terus mendorong pengembangan industri peternakan di Indonesia dengan menyediakan berbagai fasilitas dan dukungan serta menciptakan iklim yang mendorong tumbuh dan berkembangnya industri peternakan di Indonesia. Namun demikian, sejalan dengan kencenderungan yang terjadi akhir-akhir ini bahwa peran pemerintah dalam pembangunan semakin berkurang dan sebaliknya peran masyarakat dan pihak swasta diharapkan akan semakin meningkat. Pemerintah dewasa ini lebih berperan sebagai streering daripada rowing. Maksudnya, bahwa yang melakukan kegiatan pembangunan adalah masyarakat dan pihak swasta sedangkan pemerintah hanya mendorong dan menyiapkan kondisi dan lingkungan yang baik untuk tumbuh dan berkembangnya kegiatan agribisnis peternakan.

Dengan semakin terbatasnya kemampuan pemerintah dalam penyediaan dana pembangunan maka pemerintah akan lebih selektif dalam hal pemilihan bidang apa saja yang akan terus didorong dan difasilitasi agar hasil yang lebih optimal dapat dicapai dalam pembangunan peternakan. Kita harus dapat dengan cermat memilih jenis ternak yang akan dikembangkan. Misalnya, Sapi Bali yang merupakan sapi potong yang telah beradaptasi dengan baik dengan lingkungan alam dan iklim Indonesia perlu terus dikembangkan sehingga menjadi sapi andalan yang akan memberikan manfaat yang besar bagi peternak kita.

Demikian juga dengan pemilihan jenis usaha. Di pulau Jawa yang padat penduduk dan

lahan terbatas sebaiknya dilakukan usaha penggemukan sapi potong dengan jalan mengintegrasikannya dengan kegiatan pertanian lainnya. Selain itu kenyataan yang ada adalah bahwa setiap petani yang memelihara ternak selalu mempunyai kegiatan pertanian baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Sedangkan di kawasan Timur Indonesia dapat dijadikan sebagai daerah penghasil sapi bakalan untuk pulau Jawa. Dengan lahan padang pengembalaan yang luas di luar pulau Jawa maka biaya pemeliharaan sapi bakalan dapat ditekan sehingga diharapkan dapat bersaing dengan sapi bakalan impor.

Ke depan, tantangan yang dihadapi bidang peternakan di Indonesia semakin berat. Apabila kita tidak bersungguh-sungguh membangun peternakan yang tangguh, berbasis sumberdaya lokal dan berdaya saing maka jumlah impor hasil peternakan berupa daging, telur dan susu akan meningkat dengan pesat dari tahun ke tahun. Agar dapat menjadi tuan di rumah sendiri maka tidak ada jalan lain kecuali bersungguh-sungguh dan bekerja keras membangun industri peternakan yang dapat memenuhi permintaan dalam negeri dan sekaligus dapat mengekspor kelebihan hasil produksinya ke negara-negara yang memerlukan.

Terdapat kecenderungan bahwa negara-negara maju semakin sulit menerima produksi hasil pertanian dari negara berkembang seperti Indonesia dengan menetapkan syarat-syarat importasi yang lebih ketat terutama hambatan non-tarif. Hal ini dapat menjadi pemicu bagi rakyat Indonesia agar dapat menghasilkan produk yang dapat bersaing secara internasional. Untuk mencapai hal ini hanya dapat dicapai dengan kerja keras, disiplin, tidak mudah putus asa dan mau terus mempelajari dan menerapkan teknologi yang berkembang.

KONSEPSI UMUM PEMBANGUNAN PETERNAKAN

Visi pembangunan peternakan telah ditetapkan yaitu: Terwujudnya masyarakat

yang sehat dan produktif serta kreatif melalui pembangunan peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal.

(3)

• menyediakan pangan asal ternak yang cukup baik kuantitas maupun kualitas; • memberdayakan sumberdaya manusia

peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi;

• menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan peternak;

• menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan; dan

• melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya alam pendukung peternakan. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut

grand strategy yang ditempuh adalah melalui

pembangunan totalitas seluruh sistem dan usaha agribisinis peternakan mulai dari subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir dan subsistem jasa-jasa pendukung. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Otonomi Daerah maka peran pemerintah propinsi, kabupaten dan kota semakin penting dalam mewujudkan cita-cita pembangunan agribisnis peternakan di Indonesia.

Penjabaran lebih lanjut dari grand strategy tersebut dalam bidang peternakan adalah dengan melakukan kegiatan sebagai berikut: • Pengembangan wilayah berdasarkan

komoditas ternak unggulan

• Pengembangan kelembagaan petani peternak

• Peningkatan usaha dan industri peternakan • Optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan

serta perlindungan sumberdaya lokal • Pengembangan kemitraan yang lebih luas

dan saling menguntungkan

• Membangun teknologi tepat guna yang ramah lingkungan

Untuk menerapkan kebijakan yang tepat dalam pengembangan peternakan di Indonesia perlu uraian secara singkat tentang situasi dan kondisi peternakan kita saat ini, khususnya peternakan ruminansia besar dan kecil yang masih didominasi peternakan rakyat beskala kecil. Hampir 80% dari peternak sapi kita hanya memiliki satu sampai tiga ekor ternak saja. Mereka ini dapat kita kategorikan sebagai “pengguna” dan “pemelihara” dan belum dapat dikategorikan sebagai “produsen” atau “pembibit”. Peternak yang dikategorikan sebagai “pengguna” dan “pemelihara” akan sulit menerima atau mengadopsi teknologi yang akan meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan mereka sendiri. Kita berharap bahwa mereka akan cepat beralih menjadi peternak “produsen” atau “pembibit” oleh karena dari kelompok peternak semacam inilah percepatan produksi dapat dihasilkan.

Diharapkan sebagian kecil peternak akan menjadi peternak pembibit yang menghasilkan bibit ternak berkualitas dengan pemurnian bangsa sapi yang ada atau melakukan persilangan sehingga diperoleh keturunan yang sifat-sifat produksinya disukai peternak dan konsumen. Pemerintah terus mendorong tumbuh dan berkembangnya asosiasi atau himpunan peternak sehingga diharapkan asosiasi tersebut nantinya dapat menetapkan berbagai macam standar jenis ternak unggulan dan produk yang dihasilkan para anggotanya sehingga mutu produksinya lebih baik dan terjamin.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan sebagai pembina teknis bidang peternakan di Indonesia mengarahkan pengembangan peternakan di dalam kawasan, baik sebagai kawasan khusus peternakan maupun dalam kawasan yang merupakan integrasi perkebunan, hortikultura, tanaman pangan, kehutanan dan perikanan dengan ternak. Pengembangan peternakan dalam suatu kawasan akan mempunyai banyak keuntungan diantaranya adanya jaminan usaha apabila suatu kawasan sudah ditetapkan PERDAnya sebagai kawasan peternakan oleh pemerintah setempat. Selain itu itu akan diperoleh sinergi dari berbagai macam kegiatan yang diarahkan ke dalam suatu lokasi kawasan pengembangan pertanian. Potensi Produksi, Permintaan Domestik, Ekspor dan Perdagangan

Populasi ternak ruminansia

Perkembangan populasi ternak ruminansia dari tahun 1997 sampai 2003 dapat dilihat pada Gambar 1. Data populasi pada tahun 2003 masih merupakan angka sementara. Pada tahun 2002, populasi ternak sapi perah berjumlah 358 ribu ekor, sapi potong 11, 3 juta ekor, kerbau 2.403 ribu ekor, kambing 12.5 juta ekor, domba 7.6 juta ekor dan kuda 419 ribu ekor. Selama kurun waktu 1997-2003, jumlah populasi relatif stabil dengan kecenderungan terjadi sedikit kenaikan dan penurunan dari berbagai jenis ternak.

(4)

0 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 16,000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 (0 00 e ko r)

Sapi perah Sapi potong Kerbau Kambing Domba Kuda Gambar 1. Populasi ternak ruminansia, 1997-2003; Sumber: Buku Statistik Peternakan (2003)

Produksi daging ternak ruminansia

Sejalan dengan jumlah populasi yang relatif stabil selama periode 1997-2003, jumlah produksi daging dalam negeri juga relatif stabil selama periode tersebut. Jumlah produksi daging sapi pada tahun 2003 sudah mencapai jumlah produksi pada tahun 1997 yaitu masa awal krisis moneter dan ekonomi. Selama periode tersebut jumlah produksi daging kambing relatif stabil akan tetapi terdapat kecenderungan peningkatan produksi daging domba (lihat grafik). Secara proporsional, 66% daging ternak ruminansia dihasilkan oleh sapi, 14% daging domba dan 8% daging kerbau (Gambar 2 dan 3).

Produksi susu

Perkembangan jumlah produksi susu dalam negeri, impor, ekspor dan kebutuhan dalam negeri dapat dilihat pada Gambar 4. Terjadi kecederungan peningkatan impor susu dari 1997-2003 dan sebagian dari impor tersebut setelah diolah di dalam negeri diekspor kembali ke negara lain. Pada tahun 2002, produksi susu dalam negeri hanya dapat mensupplai 39% dari kebutuhan susu dalam negeri sedangkan selebihnya (61%) harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan domestik.

S a p i 6 6 % K e rb a u 8 % K a m b in g 1 2 % D o m b a 1 4 % K u d a 0 % S a p i K e rb a u K a m b in g D o m b a K u d a

(5)

0.0 50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 300.0 350.0 400.0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 ( 00 0 t on)

Sapi Kerbau Kambing Domba Kuda Gambar 3. Produksi daging, 1997-2003; Sumber: Buku Statistik Peternakan (2003)

Kebutuhan Susu Dalam Negeri, 1997-2003

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 (00 0 t on )

Produksi Impor Ekspor Kebutuhan DN

Gambar 4. Kebutuhan susu dalam negeri, 1997-2003; Sumber: Buku Statistik Peternakan(2003)

Produksi kulit, tulang dan tanduk

Kulit, tulang dan tanduk juga merupakan komoditi hasil peternakan yang semakin penting peranannya oleh karena dibutuhkan oleh berbagai macam industri sebagai bakunya. Data dalam tabel di bawah ini menunjukkan trend ekspor kulit yang meningkat dan sebaliknya impor kulit menurun pada tahun 2002 da meningkat lagi pada tahun 2003. Menurunnya impor kulit dapat diakibatkan oleh merebaknya penyakit PMK dan BSE beberapa tahun terakhir di sejumlah negara.

Namun demikian kebutuhan akan kulit di dalam negeri akan semakin meningkat mengingat kulit sangat dibutuhkan untuk berbagai macam kebutuhan seperti pembuatan tas, sepatu, jok, bola sepak dan lainnya.

Perdagangan Impor

Jumlah impor berbagai jenis daging dan ternak sapi hidup dalam kurun waktu 1997-2003 dapat dilihat pada tabel di bawah ini berikut tampilan grafiknya. Secara umum

(6)

terjadi kenaikan jumlah impor hati/jeroan yang berasal dari sapi secara mencolok, sedangkan impor daging sapi cenderung menurun. Dilain

pihak jumlah impor daging kambing/domba cenderung stabil.

VOLUME EKSPOR KULIT, TULANG DAN TANDUK

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Kulit (000 lembar) 9,407.0 36,125.4 39,068.2 43,884.7 37,149.9 31,169.1 30,196.3 Tulang dan tanduk (ton) 629.9 252.0 2,800.4 3,777.0 3,378.8 104.2 299.0 Volume Impor Kulit, Tulang dan Tanduk

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Kulit (000 lembar) 118,964.6 97,429.0 85,757.5 101,613.3 73,785.0 60,763.1 94,256.7

Tulang dan tanduk (ton) 17.5 99.8 112.1

(7)

VOLUME IMPOR DAGING (ton) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Daging sapi 23,315.3 8,813.8 10,552.9 26,962.3 16,516.6 11,473.8 10,671.4 Daging kb/db 675.4 412.2 434.7 591.8 691.7 482.6 475.5 Hati/jeroan 8,942.2 6,228.9 7,746.0 30,403.1 24,626.2 31,400.5 35,778.5 JUMLAH 32,932.9 15,454.9 18,733.6 57,957.2 41,834.5 43,356.9 46,925.4

JUMLAH IMPOR TERNAK HIDUP (ekor)

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Sapi bibit 4,400 1,900 200 500 4,600 558 173

Sapi bakalan 277,000 49,900 118,400 267,700 168,100 141,700 208,800

Kuda 1,900 100 3926

JUMLAH 281,400 51,800 118,600 268,200 174,600 142,358 212,899

Sumber: Buku Statistik Peternakan (2003)

Volume impor daging, 1997-2003

0.0 5,000.0 10,000.0 15,000.0 20,000.0 25,000.0 30,000.0 35,000.0 40,000.0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 V o lu m e ( to n )

Daging sapi Daging kb/db Hati/jeroan

Sumber: Buku Statistik Peternakan (2003)

Impor sapi, 1997-2003 0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 (eko r)

Sapi bibit Sapi bakalan Sumber: Buku Statistik Peternakan (2003)

(8)

Volume ekspor daging, 1997-2003 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 (t o n )

Daging sapi Daging kb/db Hati/jeroan

Sumber: Buku Statistik Peternakan (2003) Jumlah impor sapi bakalan pada tahun 2000

hampir mencapai jumlah pada tahun 1997, namun terjadi penurunan hingga tahun 2002 dan terjadi peningkatan lagi pada tahun 2003. Sedangkan jumlah impor sapi bibit relatif sedikit dibandingkan jumlah impor sapi bakalan. Jumlah impor sangat dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah, pada saat nilai tukar rupiah menurun jumlah impor daging dan sapi hidup cenderung menurun. Selain nilai tukar rupiah ketersediaan daging dan sapi hidup di negara eksportir juga sangat berpengaruh terhadap jumlah yang dapat diimpor ke dalam negeri. Oleh karena faktor tersebut akan mempengaruhi harga komoditi tersebut.

Ekspor

Selama kurun waktu 1997-2003 terdapat sejumlah kecil ekspor daging ternak ruminansia seperti dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Pada tahun 2001, jumlah ekspor daging sapi berjumlah 175 ton, daging kambing/domba 86 ton dan hati/jeroan 55 ton.

PENGEMBANGAN TERNAK RUMINANSIA DENGAN TANAMAN

Di kawasan pengembangan peternakan yang berintegrasi dengan subsektor lainnya pengembangan ternak ruminansia baik ruminansia besar seperti sapi dan kerbau maupun ruminansia kecil seperti kambing dan

domba dapat memanfaatkan limbah yang tersedia dari kegiatan di subsektor lainnya seperti tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, maupun kehutanan dan perikanan sebagai pakan ternak. Seperti diketahui biaya operasional terbesar dalam peternakan adalah biaya pakan dan tenaga kerja. Dengan jalan mengintegrasikan kegiatan pemeliharaan ternak dengan kegiatan usahatani lainnya akan dihasilkan efisiensi biaya produksi yang tinggi. Selain itu ternak ruminansia dapat menghasilkan kotoran ternak dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan pengolahan secara sederhana kotoran tersebut dapat diubah menjadi pupuk organik yang sangat bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah. Selain digunakan untuk kebutuhan sendiri pupuk kandang dapat dijual dengan harga yang lumayan. Sehingga secara keseluruhan kombinasi kegiatan pemeliharan ternak ruminansia dan bercocok tanam akan sangat menguntungkan petani dengan jalan pengurangan biaya produksi dan peningkatan penghasilan.

Secara terperinci manfaat sistem tanaman dan ternak antara lain: (i) meningkatkan akses terhadap kotoran ternak; (ii) peningkatan nilai tambah dari tanaman atau hasil ikutannya; (iii) mempunyai potensi mempertahankan kesehatan dan fungsi ekosistem; dan (iv) mempunyai kemandirian yang tinggi dalam penggunaan sumberdaya mengingat nutrisi dan energi saling mengalir antara tanaman dan ternak.

(9)

Pakan ternak dari tanaman dapat berupa residu dan hasil sampingan agroindustri yang dapat digunakan untuk ternak ruminansia dan non-ruminansia, meliputi: (i) jerami (padi dan jagung); (ii) pucuk tebu; (iii) biji-bijian (kacang tanah dan cowpea); (iv) umbi-umbian (ketela dan ubi jalar); (v) bungkil biji minyak (kelapa sawit, kapas, kopra); (vi) dedak; dan (vi) baggase. Kotoran ternak bermanfaat untuk: (i) memperbaiki struktur tanah; (ii) mendorong penyerapan kembaban yang lebih baik; (iii) mengurangi daya serap air; dan (iv) mencegah crusting permukaan tanah.

Contoh integrasi ternak dan tanaman antara lain: (i) pemeliharaan sapi di bawah poho kelapa, kelapa sawit dan pohonmangga; (ii) domba di bawah pohon kelapa, karet, kelapa sawit dan durian; (iii) kambing di bawah pohon

kelapa, karet dan kelapa sawit; (iv) dan ternak ruminansia di areal tanaman hutan.

Potensi luas areal perkebunan yang dapat dimanfaatkan dalam sistem integrasi ternak dan tanaman mencakup 4 juta ha perkebunan kelapa sawit (60 KIMBUN), 3,76 juta Ha perkebunan kelapa (51 KIMBUN), 560 ribu ha perkebunan jambu mente (22 KIMBUN), 1,13 juta Ha perkebunan kopi (36 KIMBUN) dan 366 ribu ha perkebunan tebu (10 KIMBUN).

Potensi limbah tanaman padi dan tanaman jagung yang dapat digunakan sebagai pakan ternak dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini. Jumlah jerami, sekam dan dedak secara nasional yang dapat digunakan sebagai pakan ternak masing-masing berjumlah 92 juta ton, 12,3 juta ton dan 4,9 juta ton. Sedang limbah jagung yang dapat digunakan sebagai pakan ternak secara nasional berjumlah 33 juta ton. Perkiraan produksi jerami, dedak dan sekam padi (000 ton)

Jerami Sekam Dedak

1996 92,560 12,150 4,860 1997 89,128 12,035 4,814 1998 93,840 12,003 4,801 1999 95,704 12,396 4,959 2000 94,344 12,650 5,060 2001 92,000 12,300 4,920

Sumber: Ditjen BP Tanaman Pangan

Perkiraan produksi brangkas jagung (batang, daun dan tongkol)

Luas panen Produksi Brangkas

(000 ha) (000 ton) (000 ton)

1996 3,744 9,307 37,440 1997 3,355 8,771 33,550 1998 3,848 10,169 38,480 1999 3,456 9,204 34,540 2000 3,500 9,677 35,000 2001 3,306 9,550 33,060

Sumber: Ditjen BP Tanaman Pangan

Fasilitasi pemerintah

Dalam pengembangan kawasan integrasi ternak dengan subsektor lainnya, pemerintah memberikan fasilitasi dalam bentuk

penyediaan informasi dan penciptaan lingkungan yang mendorong berkembangnya usaha dan sistem agribisnis. Diharapkan bahwa partisipasi masyarakat akan lebih berperan dalam pengembangan kawasan agribisnis berbasis peternakan.

(10)

Dukungan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan sebagai instansi penanggungjawab tertinggi program pembangunan peternakan antara lain berupa upaya mengarahkan paket-paket bantuan langsung pinjaman masyarakat ke kawasan agribisnis berbasis peternakan. Nilai rupiah bantuan ini tidaklah terlalu besar karena hanya dimaksudkan sebagai pemicu untuk menggerakkan kegiatan usaha peternakan di tingkat peternak yang berada di kawasan pengembangan peternakan.

Bantuan lainnya terutama dalam bentuk penyediaan informasi, penyuluhan, pendampingan, kajian dan bentuk-bentuk fasilitasi lainnya. Penyebarluasan informasi dilakukan melalui brosur, pelatihan, pertemuan secara berkala, penggunaan media seperti majalah, koran, radio, CD, TV dan sebagainya.

Berikut ini akan disajikan secara ringkas informasi potensi wilayah, bimbingan usaha, penguatan kelembagaan dan informasi pendukung lainnya.

Penyediaan informasi potensi wilayah

Ditjen BP Peternakan mempunyai informasi potensi wilayah dalam pengembangan peternakan. Bekerjasama dengan Pusat Pengembangan dan Penelitian Peternakan (Puslitbangnak), Deptan telah dihasilkan Analisa Potensi Wilayah (APW) untuk 24 propinsi. Pada tahun anggaran 2004 sedang dilakukan kajian APW untuk propinsi Kalimantan Barat.

Propinsi yang telah melakukan analisa potensi wilayah pengembangan peternakan adalah: Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku dan Papua.

Informasi yang tersedia dalam APW masing-masing propinsi antara lain:

• Klassifikasi kesesuaian lahan (tanaman) • Kesesuaian ekologis lahan untuk ternak • Kebijaksanaan daerah

• Keadaan umum wilayah propinsi

• Pertumbuhan peternakan • Daya dukung pakan

• Kemampuan wilayah dan kapasitas penambahan ternak ruminansia

Penyediaan informasi bimbingan usaha Ditjen Bina Produksi Peternakan secara aktif telah menyiapkan berbagai informasi menyangkut upaya pengembangan usaha di tingkat petani peternak. Informasi yang tersedia antara lain kajian-kajian mengenai tingkat skala usaha yang menguntungkan secara ekonomis untuk berbagai macam komoditi seperti sapi potong dan perah, kambing dan domba, itik dan sebagainya.

Informasi penting lainnya dalam upaya pemberdayaan usaha peternakan rakyat adalah ketersediaan berbagai macam skim kredit untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dari berbagai bank baik swasta maupun milik pemerintah. Pembiayaan untuk pengembangan agribisnis peternakan di kawasan agribisnis berbasis peternakan dapat dibedakan atas dua sumber yaitu dari perbankan dan non-perbankan.

Penguatan kelembagaan peternakan

Pembentukan kelembagaan petani seperti kelompok, gabungan kelompok, koperasi, asosiasi dan sebagainya merupakan instrumen penting dalam pengembangan suatu kawasan berbasis peternakan. Posisi tawar petani dalam rangka memasarkan hasil produksinya dapat ditingkatkan dengan berkumpulnya para petani peternak dalam wadah kelompok, gabungan kelompok tani, koperasi atau asosiasi.

Arah, prinsip, strategi dan pembinaan kelembagaan peternak di kawasan agribisnis berbasis peternakan adalah sebagai berikut. Arah kelembagaan peternak

• Memiliki rancangan kegiatan usaha

• Memiliki struktur organisasi (AD dan ART).

• Mampu memiliki akses dengan lembaga lain seperti permodalan, pemasaran, penyuluhan, informasi, penelitian dan teknologi terapan.

(11)

• Mampu menerapkan prinsip partisipasif dalam hal identifikasi masalah, solusi, evaluasi dan analisa hasil.

• Mampu menumbuhkan keterkaitan antar kelompok dengan usaha sejenis untuk mengelola sistem dan usaha agribisnis secara terpadu dari sejak hulu hingga hilir. • Mampu melaksanakan sistem dan usaha

agribisnis dari hulu sampai hilir meliputi pengamanan agroinput, penanganan budidaya, penangan pasca panen dan pemasaran.

Prinsip pengembangan kelembagaan peternak

• Kerjasama antar anggota yang timbul oleh karena kesamaan kepentingan dalam mengelola usaha sejenis dengan pola partisipasif secara berkelompok sehamparan.

• Mempermudah terlaksananya pendirian koperasi, informasi dan pemanfaatan teknologi pelaksanaan penyuluhan, penguatan modal, pengolahan produk, akses dan teknologi pemasaran, pemeliharaan infrastruktur.

Strategi pengembangan kelembagaan peternak

Keterpaduan komponen kelembagaan agribisnis:

• Kelembagaan yang bekerja di bidang penyaluran sapronak dan alsin;

• Kelembagaan yang bekerja di bidang pasca panen;

• Kelembagaan yang bekerja di bidang industri hasil pertanian (hilir)

• Kelembagaan yang bekerja di bidang niaga • Kelembagaan yang bekerja di bidang jasa Diversifikasi usaha

Bekerjasama dalam berupaya meningkatkan produktifitas usahataninya, memanfaatkan nilai tambah yang timbul dari usahataninya serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang ada di sekitarnya. Perkembangannya dapat dipacu dengan sistem usahatani terintegrasi antara tanaman dan ternak yang diarahkan menuju pertanian

berkelanjutan dengan input luar rendah (low external input sustainable agriculture/LEISA) Pendampingan

Untuk mempercepat kematangan kelompok diperlukan pendampingan oleh PPL, petugas dinas terkait maupun LSM berupa pelatihan, studi banding, advokasi manejerial kelembagaan, fasilitasi perkreditan, penerapan teknologi, pengembangan produk, peluang pasar dan sebagainya.

Penguatan modal

Kelembagaan peternak perlu didukung oleh modal yang kuat untuk meningkatkan skala usaha menuju skala usaha yang ekonomis. Kemitraan usaha

Pola kemitraan usaha berupa:

• Pola inti plasma, hubungan kelompok dengan perusahaan dimana perusahaan bertindak sebagai inti dan kelompok sebagai plasma

• Pola sub kontrak, hubungan kelompok dengan perusahaan dimana kelompok memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan

• Pola dagang umum, hubungan kelompok dengan perusahaan dimana perusahaan memasarkan hasil produksi kelompok atau kelompok memasok kebutuhan perusahaan • Pola keagenan, hubungan kemitraan

dimana kelompok diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitranya

• Pola kerjasama operasional agribisnis (KOA), kelompok menyediakan sarana produksi sedangkan perusahaan modal dan atau sarana lainnya

Pembinaan kelembagaan peternak • Pembinaan sumberdaya manusia (SDM) • Pembinaan unit produksi

• Pembinaan kerjasama antar kelompok • Pembinaan usaha

(12)

Penyediaan sarana dan prasarana

Selain sarana dan prasarana berupa jalan, fasilitas umum, pengadaan air bersih, listrik, telepon dan lainnya yang pengadaannya menjadi tugas pokok dan fungsi dari Kimpraswil, TELKOM, PLN dan Departemen lainnya, terdapat beberapa fasilitas khusus yang diperlukan dalam upaya pengembangan peternakan di suatu lokasi kawasan agribisnis berbasis peternakan. Fasilitas tersebut diantaranya:

• Laboratorium kesehatan hewan • Karantina hewan

• Pasar hewan

• Tempat penampungan hewan (holding

ground)

• Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan) • Klinik hewan

• Pos Inseminasi Buatan (Pos IB) • Rumah potong hewan/ayam (RPH/RPA) • Toko makanan dan obat hewan (Poultry

shop)

• Tempat pengolahan hasil produksi peternakan

• Pabrik obat/pakan • Perusahaan pembibitan

Pembangunan fasilitas pendukung di kawasan agribisnis berbasis peternakan dapat diusulkan pengadaannya melalui pembiayaan yang tersedia pada APBD dan APBN. Di tingkat Departemen Pertanian pengajuan pengadaan sarana dapat ditujukan kepada Ditjen Bina Sarana Pertanian (BSP). Di tingkat Departemen Kimpraswil pengajuannya dapat dilakukan kepada Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Perdesaaan. Sesuai dengan kecenderungan pembangunan yang ada sekarang, pengadaan sarana dan prasarana dapat juga dilakukan dengan jalan mengadakan kerjasama dengan pihak swasta sebagai investor. Ditjen BP Peternakan dapat memberikan fasilitasi dalam pengadaan sarana dan prasarana yang berhubungan dengan pengembangan peternakan.

Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM)

Pemerintah pusat melalui Ditjen BP Peternakan dapat mengarahkan sebagian dari Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat

(BPLM) atau lebih dikenal dengan BLM ke lokasi-lokasi pengembangan agribisnis berbasis peternakan. BLM tersebut merupakan dana penguatan modal yang merupakan stimulan dan masih memerlukan penggalian pertisipasi anggota untuk menambah modal usaha. Penggunaan dana penguatan modal didasarkan pada kepentingan kelompok melalui kesepakatan anggota kelompok. Anggota kelompok yang menerima harus mampu menggulirkan/mengembalikan modal pokok usaha kepada kelompok untuk disalurkan kepada anggota kelompok lain yang belum menerima. Paket penguatan modal dapat dimanfaatkan untuk usaha penggemukan sapi potong (sapi kereman), intensifikasi penggunaan Inseminasi Buatan (IB) dan pola kawin alam. Paket BLM tersebut terdiri dari: • Paket untuk penggemukan sapi potong

diperlukan dana sekitar Rp 300 juta per kelompok, dapat digunakan untuk: pengadaan bakalan/sapi jantan untuk IB; perbaikan kandang dan peralatan peternakan; pakan konsentrat; Pelayanan kesehatan hewan dan lain-lain sesuai kebutuhan kelompok.

• Paket untuk intensifikasi akseptor (untuk meningkatkan jumlah dan kualitas pemanfaatan IB) diperlukan dana sekitar Rp 300 juta per kelompok, dapat digunakan untuk: pengadaan sapi betina produktif; perbaikan kandang dan peralatan peternakan; pelayanan kesehatan ternak; pelayanan IB dan lain-lain tergantung kebutuhan kelompok • Paket untuk pola kawin alam diperlukan dana sebesar Rp 100 juta per kelompok, dapat digunakan untuk: pengadaan pejantan unggul/pemacek; perbaikan kandang dan peralatan peternakan; pakan konsentrat; Pelayanan kesehatan hewan dan lain-lain sesuai kebutuhan kelompok;

• Paket untuk pengembangan Hijauan Makanan Ternak (HMT) dan makanan suplemen serta vitamin bagi pengembangan ternak potong diperlukan dana sekitar Rp 100 juta per kelompok, dapat digunakan untuk: pengadaan pupuk; pembelian obat/vitamin. • Paket jasa Inseminasi Buatan (IB), adalah

pelayanan IB oleh Inseminator bagi akseptor yang membutuhkan pelayanan tersebut, diperlukan dana sekitar Rp 100 juta per kelompok.

(13)

• Paket jasa brucellosis dan jasa rabies, adalah pelayanan jasa kesehatan hewan brucellosis dan rabies diperlukan dana sekitar Rp 50 juta - Rp 150 juta per kelompok.

• Paket pengolahan hasil ternak berupa alat pengolah susu dan alat pengolah daging serta pemasaran hasil, diperlukan dana sekitar Rp 550 juta (untuk pengolah susu) dan Rp 75 juta (untuk pengolah daging) per kelompok, dapat digunakan untuk: pengadaan peralatan pengolahan susu, bahan baku susu sapi segar dan kemasan serta operasional pemasarannya; pengadaan peralatan pengolahan daging, bahan baku daging sapi dan kemasan serta operasional pemasarannya.

IMPLEMENTASI SISTEM INTEGRASI TERNAK-TANAMAN

Berikut ini akan disajikan secara ringkas implementasi sistem integrasi ternak dengan tanaman yang telah difasilitasi oleh pemerintah.

Ternak dengan padi (tanaman pangan)

Pada saat ini baik petani padi maupun peternak sapi mengalami beberapa hambatan. Para peternak menghadapi beberapa kendala, diantaranya: (i) keterbatasan modal petani; (ii) penyediaan pakan secara berkesinambungan; (iii) keterbatasan lahan; (iv) kesulitan pembuangan hasil limbah usaha (kotoran ternak); dan (v) masalah lingkungan. Di lain pihak para petani padi mengalami masalah, yaitu sawah yang “sakit” akibat penggunaan pupuk kimia dalam jangka waktu yang lama sehingga tanah mengalami kekurangan bahan organik dan produktifitas lahan sawah menjadi menurun.

Dalam implementasinya, sistem ini dapat berbeda (bervariasi) untuk setiap wilayah, bergantung pada kondisi geografis, ekologi dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Diharapkan setiap daerah dapat melakukan penyesuaian secara tepat, misalnya dalam hal pemilihan jenis ternak (sapi potong, sapi perah atau kerbau), budidaya (breeding, pembesaran atau penggemukan), pengandangan (kelompok, individu, atau perusahaan), maupun komponen teknologi dan sistem kelembagaannya.

Pengembangan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) diimplementasikan melalui kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan dan Dinas Pertanian /Peternakan propinsi dan kabupaten dengan melibatkan lembaga terkait lainnya termasuk lembaga kemasyarakatan dan swasta. Keberhasilan kegiatan ini bukan hanya diukur dari aspek teknis maupun ekonomis, tetapi juga dari aspek kelembagaan dan koordinasi serta kesejahteraan masyarakat setempat. Pada TA 2003, Sistim Integrasi Padi Ternak (SIPT) berlokasi di 25 kabupaten di 14 propinsi, 23 dibiayai oleh APBN dan tiga diantaranya dibiayai oleh APBD. Pada TA 2004 akan diadakan evaluasi terhadap program ini untuk dapat dikembangkan lebih lanjut. Permintaan dari daerah-daerah untuk menerapkan kegiatan ini di daerahnya masing-masing sangat besar oleh karena manfaat yang telah dirasakan di daerah percontohan. Pada sebagian daerah pelaksanaan SIPT dilakukan dengan menggunakan dana APBD.

Ternak dengan jagung (tanaman pangan)

Biaya pakan dalam pemeliharaan ternak yang intensif memiliki porsi yang sangat besar dari total biaya produksi sehingga apabila dilakukan upaya yang dapat menekan biayanya akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan peternak. Upaya pemanfaatan silase jagung sebagai pakan ternak merupakan suatu cara peningkatan produktifitas ternak di daerah produsen jagung. Dengan demikian, keterpaduan usahatani ternak dan jagung mempunyai efek ekonomi ganda. Disatu pihak, biaya produksi per unit menjadi lebih murah oleh karena optimalisasi sumberdaya lokal dan dilain pihak terjadi peningkatan produksi tanaman jagung dan penghematan biaya produksi sebagai akibat pemanfaatan pupuk kotoran ternak sehingga tidak ada limbah yang tidak termanfaatkan. Pada TA 2004 akan dilakukan lokasi percontoihan integrasi ternak sapi perah dengan tanaman jagung di Kabupaten Sukabumi, Garut dan Kuningan di Jawa Barat.

(14)

Ternak dengan sayuran dan buah (hortikultura)

Sistem pertanian terpadu antara ternak dengan tanaman sayuran dan buah-buahan sudah umum dilakukan terutama dengan ternak sapi perah. Hal ini disebabkan antara lain bahwa kedua komoditi tersebut cocok diusahakan di daerah dataran tinggi. Peternak sapi perah di daerah Pangalengan (Jabar) dan Batu (Jatim) sudah terbiasa memberikan wortel bersama dengan bagian sayuran yang tidak layak dijual sebagai makanan tambahan sapi perah.

Selain sayuran buah-buahan yang sudah diidentifikasi dapat diintegrasikan dengan ternak terutama kerbau, sapi, kambing dan domba adalah mangga, nenas, dan pisang.

Ternak dengan kelapa sawit (perkebunan)

Berdasarkan data dari Ditjen Bina Produksi Perkebunan, terdapat sekitar 4,1 juta Ha perkebunan kelapa sawit (PKS) yang terdiri dari 54% perkebunan besar swasta (PBS), 32% perkebunan rakyat (PR) dan 14% perkebunan besar negara (PBN). Dari segi penyebarannya, 73% terdapat di Sumatera, 22% Kalimantan, 3% Sulawesi, 1,4% Papua dan 0,6% Jawa. Berdasarkan kajian ketersediaan pakan yang berasal dari hijauan antar tanaman, pelepah kelapa sawit, bungkil kelapa sawit, lumpur sawit dan bahan lainnya maka satu ha lahan PKS dapat menampung 4 ekor ternak. Dengan luas lahan PKS di seluruh Indonesia sebesar 4,1 juta ha maka potensi pemeliharaan ternak di PKS adalah 16 juta ekor sapi.

Pada umumnya terdapat dua keuntungan utama dalam sistim integrasi sapi dan sawit (SISS), yaitu: (i) maksimisasi produksi kelapa sawit dan ternak sapi melalui optimalisasi penggunaan sumberdaya yang ada; dan (ii) gulma dapat dikontrol secara biologis dan mengurangi penggunaan herbisida

Pada tanggal 9-10 September 2003 yang lalu telah diadakan Seminar Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi di Bengkulu. Kegiatan ini dapat terlaksana berkat kerjasama tiga Eselon I lingkup Departemen Pertanian yaitu: Badan Litbang Pertanian, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Kegitan ini dilaksanakan bersama-sama dengan

ekspose inovasi teknologi pertanian lahan kering. Pembicara dalam seminar tersebut berasal dari pejabat lingkup Departemen Pertanian, pengusaha swasta perkebunan, perbankan dan satu orang pembicara dari Malaysia. Peserta yang hadir terdiri dari pejabat Dinas Peternakan dan Dinas Perkebunan dari lokasi terpilih, para pengusaha swasta di bidang perkebunan dan bidang peternakan, para peneliti dan perguruan tinggi serta masyarakat yang menaruh minat terhadap pengembangan ternak sapi di perkebunan sawit.

Sebagai tindak lanjut dari seminar tersebut, Gubernur Bengkulu telah menyatakan bahwa propinsi bengkulu akan menjadi penghasil ternak sapi potong terutama yang dikembangkan di perkebunan kelapa sawit. Selain itu pada tangal 13 Januari 2004 telah diadakan pertemuan dengan pengusaha-pengusaha perkebunan se-Sumatera di Medan yang membicarakan kemungkinan pengembangan sapi potong di perkebunan kelapa sawit. Pertemuan tersebut akan secara khusus membicarakan pengalaman PT Agricinal, Bengkulu Utara yang telah mempelopori pengembangan sapi potong di perkebunan kelapa sawit. PTP II di Sumatera Utara akan menjadi perusahaan negara perkebunan pertama yang akan menerapkan integrasi ternak di perkebunan kelapa sawit.

Ternak dengan kelapa (perkebunan)

Luas areal kebun kelapa di Indonesia mencapai 3,76 juta Ha dan Indonesia menjadi negara dengan luas areal tanaman kelapa terluas di dunia. Dari segi penyebarannya, 32,9% terdapat di Sumatera, 24,3% di Jawa, 8,2% di Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara dan 7,%% di Maluku, Papua dan Kalimantan. Namun demikian dari segi produktifitas Indonesia masih jauh dari Srilanka dan India yang merupakan negara urutan teras dalam ekspor komoditi kelapa. Salah satu cara meningkatkan produktifitas tanaman kelapa adalah dengan jalan mengintegrasikannya dengan pemeliharaan ternak.

Agropolitan (dengan semua subsektor)

Bekerjasama dengan Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPSDMP),

(15)

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan telah melakukan pembinaan terhadap dua lokasi rintisan agropolitan berbasis peternakan yang telah ditetapkan sejak TA 2002 yaitu di Kabupaten Agam (Sumatera barat) dan Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan). Pada TA 2003, sepuluh lokasi baru pengembangan agropolitan telah ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian. Selain dua lokasi rintisan (TA 2002) dan sepuluh lokasi baru (TA 2003) yang secara khusus memilih ternak (umumnya sapi potong) sebagai komoditi andalan yang utama masih terdapat banyak lokasi agropolitan yang memilih ternak sebagai komoditi andalan pendukung. Selain itu beberapa pemerintah daerah Kabupaten/Kota telah mengembangkan lokasi agropolitan dengan biaya sendiri (swakarsa) dan sebagian dari lokasi swakarsa ini juga memilih ternak sebagai komoditi andalannya. Saat ini lokasi agropolitan sudah menyebar di seluruh pelosok tanah air.

Lokasi agropolitan dapat dipandang sebagai lokasi integrasi ternak dengan tanaman dimana peran ternak menjadi sangat menonjol oleh karena kemampuannya memanfaatkan limbah bahan pertanian dan pupuk kandang yang dihasilkannya.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas beberapa hal dapat disimpulkan sebagai berikut:

• Sampai saat ini kebutuhan daging sapi, susu dan kulit yang semakin meningkat belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi di dalam negeri sehingga jumlah impor komoditi tersebut cenderung meningkat. Hal ini menjadi peluang bagi produsen di dalam negeri untuk meningkatkan produksinya sehingga kebutuhan di dalam negeri dapat terpenuhi. • Kombinasi antara pemeliharaan ternak dan

pengusahaan berbagai jenis tanaman, perikanan dan kehutanan telah terbukti dapat meningkatkan hasil usahatani sehingga kegiatan semacam ini perlu terus didorong di wilayah-wilayah pengembangan peternakan yang mempunyai potensi untuk integrasi ternak dengan tanaman. Peningkatan hasil usahatani diperoleh dengan jalan

pengurangan biaya produksi dan peningkatan jumlah produksi sehingga dihasilkan produksi yang berdaya saing. • Potensi lahan dan pakan ternak yang

tersedia dari subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan kehutanan tersedia cukup banyak dan melimpah. Dukungan teknologi sangat diperlukan agar potensi pakan yang berasal dari limbah tanaman dapat digunakan secara optimal. • Pemerintah secara aktif mendorong

pelaksanaan integrasi ternak dengan tanaman di kawasan pengembangan yang cocok dan sesuai dengan konsep tersebut.

PENUTUP

Demikianlah pokok-pokok pikiran yang dapat disampaikan dalam kesempatan yang berbahagia ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi Saudara-saudara sekalian peserta Seminar Nasional dengan Tema Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Berdaya Saing dan hendaknya dapat juga menjadi bahan bagi Saudara-saudara sekalian dalam diskusi yang akan dilaksanakan dalam Seminar ini. Diharapkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dapat memelopori berbagai penelitian yang mengarah kepada peningkatan hasil integrasi ternak dengan tanaman sehingga akan diperoleh efisiensi usaha yang lebih tinggi yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan.

Akhirnya saya mengucapkan selamat mengikuti Seminar dan besar harapan saya agar hasil-hasil rumusan yang akan dihasilkan dalam Seminar ini dapat membantu mewujudkan visi dan misi pembangunan peternakan di Indonesia.

Gambar

Gambar 1. Populasi ternak ruminansia, 1997-2003; Sumber: Buku Statistik Peternakan (2003)  Produksi daging ternak ruminansia
Gambar 3. Produksi daging, 1997-2003; Sumber: Buku Statistik Peternakan (2003)

Referensi

Dokumen terkait