• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tax Review Untuk Wajib Pajak Property Atau Developer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tax Review Untuk Wajib Pajak Property Atau Developer"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

TAX REVIEW UNTUK WAJIB PAJAK

PROPERTY ATAU DEVELOPER

Berikut ini saya coba bahas mengenai gambaran perpajakan (tax Review) untuk perusahaan yang

bergerak di bidang agen property atau Developer atau agen real estat.

Tax review ini didasari dalam koridor peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku

yang dapat berguna bagi pelaksanaan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak yang bergerak di

sektor bisnis ini.

I.

DASAR HUKUM (LEGAL BASIS)

1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

2)

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai

3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19

Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

5) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang perubahan ketiga Peraturan Pemerintah

Nomor 48 tahun 1994 tentang Pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan

6) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah

Nomor 146 Tahun 2000 tentang impor dan penyerahan BKP tertentu dan atau penyerahan JKP

tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN

7)

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan

terhadap pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah

(Built Operate and Transfer)

8)

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang

Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang kenai PPnBM Peraturan Pemerintah Nomor

38 Tahun 2003 tentang Impor atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan atau Penyerahan

Jasa Tertentu yang dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

9) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor 26/PJ/2010 tentang tata cara penelitian Surat Setoran

Pajak dari penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

II.

ASPEK PERPAJAKAN YANG TERKAIT

1.

Gambaran Umum Format Bisnis

Perusahaan yang bergerak di bidang jasa agen property atau developer perlu merencanakan

bentuk/format/formula bisnis yang akan dijalankannya. Adapun format bisnis secara umum di

sektor ini adalah sebagai berikut:

a. Proses produksi (pengadaan/pembebasan lahan, pelaksanaan pembangunan/konstruksi) sampai

pemasaran produk dilakukan sendiri

b. Proses produksi sampai pemasaran produk dilakukan melalui Kerja Sama Operasi (KSO) / Joint

Operation

c.

Proses pengadaan lahan dilakukan sendiri sedangkan pelaksanaan pembangunan/konstruksi &

pemasaran produk dilakukan oleh pihak lain atau membentuk badan usaha baru.

d. Proses pengadaan lahan dilakukan sendiri sedangkan proses produksi & pemasaran dilanjutkan

dalam format Build Operate Transfer (BOT) atau Bangun Guna Serah.

(2)

Perencanaan format bisnis ini sangatlah penting dan akan selalu terkait dengan aspek perpajakan

selanjutnya.

Kami tambahkan pula bahwa secara umum produk yang dihasilkan dalam bisnis ini adalah

sebagai berikut:

a.

Perumahan :

- Rumah Sederhana

o

Rumah Sangat Sederhana [ RSS]

o

Rumah Sederhana [ RS]

o

Rumah Sederhana Kecil [ RS (K)]

o

Rumah Sederhana Besar [ RS(B)]

o

Rumah Sederhana Sehat [ RS(S)]

- Rumah Menengah

o

Rumah Menengah Sedang [ RM (S)]

o

Rumah Menengah Besar [ RM (B)]

- Rumah Mewah

b.

Rumah Susun

- Rumah Susun Sederhana

- Rumah Susun Menengah

- Rumah Susun Mewah

c.

Non Perumahan

- Perkantoran

- Pertokoan/Pusat Belanja

-

Rukan/Ruko

- Kawasan Wisata

- Kawasan Industri Agro Estat

-

Villa & Resor

- Lain-lain

2.

Gambaran Umum Pemasaran Produk

Setelah format bisnis disusun, maka selanjutnya perlu direncanakan gambaran umum proses

bisnis yang akan dilakukan dan ini sangat terkait juga dengan aspek perpajakan nantinya.

Adapun secara umum proses bisnis ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Produk dijual langsung ke konsumen

b. Produk disewakan

c.

Produk dihasilkan melalui BOT

3.

Aspek Perpajakan Terkait

Berdasarkan uraian tentang format bisnis yang akan dijalankan di atas, aspek perpajakn terkait

usaha di bidang property dapat kami jelaskan sebagai berikut:

a.

Pengadaan Tanah (lahan)

Pengadaan tanah ( lahan) adalah kegiatan penguasaan tanah oleh perusahaan (developer) dari

tidak menguasai (tidak ada kepemilikan) menjadi menguasai (ada kepemilikan), yaitu ditandai

dengan adanya pengalihan hak atas tanah ke perusahaan (developer) yang bersangkutan.

(3)

1)

Pembebasan tanah, yaitu penguasaan tanah melalui pembebasan tanah dengan membayar ganti

rugi seluruhnya.

2) Tukar Menukar Tanah, yaitu penguasaan tanah (biasanya tanah kantong) melalui tukar menukar

antara tanah milik perusahaan (developer) dengan tanah pemilik dilokasi pembangunan

perusahaan. Tukar menukar bisa dilakukan terhadap seluruh lahan milik pemilik atau bisa juga

sebagian dilakukan tukar menukar dan sebagaian lagi dengan membayar ganti rugi.

Dari kedua cara pengadaan tanah (lahan) tersebut yang paling sering dan lazim terjadi adalah

melalui cara pembebasan tanah.

Aspek Perpajakan yang terkait dalam hal pembebasan atau tukar menukar tanah adalah:

Pajak penghasilan dari penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PPHTB)

bagi pihak yang mengalihkan hak (penjual tanah)

Bea Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (BPHTB) bagi pihak yang menerima pengalihan

hak (pembeli tanah)

Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi pihak yang memiliki atau mengusahakan.

Jika pengadaan lahan dilakukan dengan cara tukar menukar, perencanaan pajak harus dilakukan

lebih teliti mengingat atas transaksi tukar menukar tersebut terhutang PPN apabila pihak yang

mengalihkan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP).

b.

Pelaksanaan Pembangunan/Konstruksi

Setelah proses pembebasan tanah selesai dan tanah telah dikuasai, dimulailah proses

pembangunan (konstruksi). Pelaksanaan pembangunan (konstruksi) meliputi pekerjaan perataan

muka tanah (grading), yaitu mengolah tanah sesuai dengan rencana seperti memotong,

menimbun dan meratakannya sehingga menjadi tanah matang sampai pelaksanaan pekerjaan

pembangunan atas produk yang akan dijual.

Pelaksanaan pembangunan bisa dilakukan sendiri atau Kerja Sama Operasi (KSO) atau

diserahkan kepihak ketiga (kontraktor) atau membentuk badan usaha baru.

Jika dilaksanakan sendiri berarti mulai dari pengadaan bahan, sewa peralatan, rekrut tenaga kerja

dan pembayaran upahnya dilakukan sendiri oleh perusahaan.

Aspek perpajakan atas kegiatan ini yang bisa diidentifikasi, yaitu :

PPh Pasal 21 atas pembayaran upah pekerja proyek

PPh Psl 23/26 atas persewaan alat & pemakaian jasa

PPh Pasal 22 atas pembelian impor (bila ada)

PPN Masukan atas pembelian terkait pembangunan

Jika dilaksanakan dalam bentuk KSO, maka berarti merupakan kerja sama operasi dua badan

atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai

proyek tersebut selesai dikerjakan dan pembebanan biaya maupun pengakuan pendapatan atas

pengalihan ditentukan berdasarkan kesepakatan antar pihak yang bekerja sama. Misalkan atas

biaya pengadaan tanah dibebankan oleh pihak yang memiliki lahan untuk dibangun, sedangkan

biaya pembangunan disepakati dibebankan oleh pihak lain yang melaksanakan pembangunan.

Begitu pula untuk pengakuan pendapatan, harus disesuaikan dengan kesepakatan antar pihak

misalnya berdasarkan prosentase pembiayaannya.

(4)

Aspek perpajakan yang terkait dapat diidentifikasikan, yaitu :

Mengingat bahwa Kerjasama Operasi bukan merupakan Subjek Pajak, maka Kerjasama Operasi

tidak berkewajiban untuk menyampaikan laporan dan membayar PPh Pasal 25 serta PPh Pasal

29, sedangkan kewajiban yang ada hanya sebagai Wajib Pajak pemotong/pemungut PPh Pasal

21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26.

Untuk kewajiban PPN, sangat tergantung dengan atas nama pihak mana yang akan menjual

produk propertinya. Apabila hasil produksi dijual atas nama KSO maka KSO wajib dikukuhkan

sebagai PKP dan otomatis atas pelaksanaan pembangunan, PPN Masukan atas pembelian sangat

terkait. Sedangkan apabila hasil produksi dijual atas nama salah satu pihak yang bekerja sama

maka pihak tersebutlah yang melaksanakan segala kewajiban PPN termasuk

mengadministrasikan PPN Masukannya dan KSO tidak wajib dikukuhkan sebagai PKP.

Jika pembangunan dilaksanakan oleh pihak lain atau membentuk badan usaha baru yang khusus

melaksanakan pembangunan maka kewajiban perpajakan terkait masalah perpajakan seperti PPh

Pasal 21 atas pembayaran upah pekerja proyek, PPh Pasal 23/26 atas sewa alat & pemakaian

jasa, PPh Pasal 22 atas pembelian impor (bila ada) dan PPN Masukan atas pembelian berada di

pihak lain tersebut atau badan baru yang dibentuk.

Jika pembangunan dilaksanakan oleh pihak lain dalam format Bangun Guna Serah maka aspek

perpajakan yang terkait sesuai ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan

Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap pihak-pihak yang

melakukan kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer),

antara lain diatur bahwa:

1) Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer) adalah bentuk perjanjain kerjasama yang

dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang

hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa

perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada

pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir;

2) Biaya mendirikan bangunan di atas tanah yang dikeluarkan oleh investor merupakan nilai

perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan bangunan

tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi dalam

jumlah yang sama besar setiap tahun selama masa perjanjian bangun guna serah;

3) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada angka 2) dimulai pada tahun bangunan tersebut

mulai digunakan atau diusahakan oleh investor;

4)

Penghasilan investor sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah adalah penghasilan yang

diterima atau diperoleh investor dari pengusahaan bangunan yang didirikan;

5) Apabila dalam pelaksanaan bangun guna serah diberikan penggantian atau imbalan kepada

investor, maka penggantian atau imbalan tersebut adalah penghasilan bagi investor dalam tahun

diterimanya hak penggantian atau imbalan tersebut.

6) Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa

perjanjian bangun guna serah berakhir adalah merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas

tanah yang terutang PPh Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

c.

Pemasaran produk

Aspek perpajakan yang terkait akan berbeda sesuai dengan cara pemasaran produk yang

dijalankan.

(5)

Aspek perpajakan yang terkait apabila produk dijual langsung ke konsumen dapat diidentifikasi

sebagai berikut :

Pajak penghasilan dari penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PPHTB)

yang bersifat Final. Namun apabila format bisnis yang dijalankan dalam bentuk KSO maka PPh

dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima

masing-masing anggota KSO (Kesepakatan).

PPN Keluaran atas pemungutan PPN terhadap penjualan produk apabila dijual sendiri. Namun

apabila dalam bentuk KSO, maka kewajiban pemungutan PPN tergantung pihak mana yang

mengatasnamakan penjualan produk.

Aspek perpajakan yang terkait apabila produk disewakan dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

PPh Pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah dan/atau bangunan yang bersifat Final. Namun

apabila format bisnis yang dijalankan dalam bentuk KSO maka PPh dibayar oleh masing-masing

anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO

(Kesepakatan).

PPN Keluaran atas pemungutan PPN terhadap persewaan produk apabila dijual sendiri. Namun

apabila dalam bentuk KSO, maka kewajiban pemungutan PPN tergantung pihak mana yang

mengatasnamakan penjualan produk

Aspek perpajakan yang terkait apabila produk dihasilkan melalui BOT dapat diidentifikasikan

sebagai berikut :

Apabila perusahaan berlaku sebagai pihak pemegang hak atas tanah maka PPh Pasal 4 ayat (2)

(PPHTB) yang terutang atas penghasilan pengalihan bangunan apabila bangunan yang

diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa perjanjian bangun guna

serah berakhir.

Apabila perusahaan berlaku sebagai investor yang melakukan pembangunan maka aspek

perpajakannya adalah atas penghasilan yang diterima atau diperoleh investor dari pengusahaan

bangunan yang didirikan seperti disewakan, pengusahaan hotel, fasilitas oleh raga dll yaitu PPh

atas penghasilan badan (Pasal 17 UU PPh)

Perlu ditambahkan bahwa dalam pelaksanaan pemasaran produk property juga akan selalu terkait

dengan fasilitas perpajakan maupun pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

atas produk tertentu.

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 tentang Impor atau

Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan atau Penyerahan Jasa Tertentu yang dibebaskan

dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yang menyatakan rumah sederhana, rumah sangat

sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan

lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan

Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.

Penjualan yang dikategorikan barang mewah yang diatur lebih lanjut dalam

KMKNo.103/PMK.03/2009 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain

Kendaraan Bermotor yang kenai PPnBM dengan tarif 20% yaitu dalam lingkup bisnis ini

adalah Rumah dan town house dari jenis non strata title, dengan luas bangunan 350 m2 atau

lebih dan Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya, dengan

luas bangunan 150 m2 atau lebih.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor 26/PJ/2010 tentang tata cara penelitian

Surat Setoran Pajak dari penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, untuk

(6)

keperluan penelitian Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan, Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

atau kuasanya harus mengajukan formulir penelitian Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan

Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya.

III.

PENUTUP

Berdasarkan uraian pendapat hukum kami di atas, dapat kami simpulkan bahwa aspek

perpajakan yang terkait atas usaha jasa agen property atau developer adalah sebagai berikut :

Demikian sedikit gambaran umum (tax review) perusahaan yang bergerak di bidang

property/developer/real estat. Lebih kurangnya akan sangat terbuka bagi saya untuk menerima

(7)

saran maupun kritik yang dapat menambah wawasan kita terkait ketentuan perpajakn yang

berlaku khususnya sektor property.

Pajak Properti

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan properti? Secara umum properti dapat didefinisikan dengan segala sesuatu benda yang dapat kita miliki. Properti sendiri dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu real property, personal property, businesses property dan financial interests. Menurut Standar Penilaian Indonesia (SPI) properti didefinisikan sebagai konsep hukum yang meliputi seluruh kepentingan, hak dan keuntungan dari suatu kepemilikan. Terhadap pengertian tersebut maka kita dapat membedakan antara penguasaan fisik atas tanah dan atau bangunan yang dalam hal ini disebut dengan real estat serta kepemilikan secara hukum atau penguasaan yuridis yang disebut real property.

Bagi anda yang berkecimpung di dunia bisnis pasti tidak akan lepas dari masalah perpajakan. Demikian pula dalam setiap melakukan transaksi jual beli properti tentunya akan mengandung kewajiban pembayaran pajak. Pajak-pajak tersebut akan dikenakan kepada pembeli maupun penjual properti.

(8)

Mengapa penguasaan fisik dan penguasaan secara yuridis atas tanah dan atau bangunan perlu dipajaki? Hal ini tidak terlepas dari fungsi pajak properti sebagai salah satu bagian sumber penerimaan negara (fungsi bugeter) yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan fungsi regulasi dimana pajak properti digunakan sebagai alat untuk mengatur perkembangan pasar propeti.

Seperti kegiatan membeli properti baik yang dilakukan secara perorangan maupun melalui

developer atau pengembang properti, akan mengandung konsekuensi kewajiban yaitu adanya aspek pajak-pajak yang akan dikenakan pemerintah kepada Anda. Meskipun demikian biasanya pajak properti telah dimasukkan ke dalam harga jual jika anda membeli properti melalui

developer/pengembang properti. Besarnya pajak sangat tergantung jenis, nilai, luas dan lokasi properti yang akan ditransaksikan.

Di bawah ini adalah merupakan jenis-jenis pajak properti yang dibebankan baik kepada pembeli maupun penjual properti yang akan dibahas dalam buku ini meliputi antara lain:

1. PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

PBB merupakan pajak kebendaan yang melekat pada objeknya yang dipungut setiap tahun dan dikenakan kepada semua wajib pajak (pemilik properti). Pada awalnya pajak ini merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat namun demikian seluruh

penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya dengan diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD maka mulai tahun 2014 seluruh proses pengelolaan pajak ini akan dilakukan oleh pemerintah daerah.

2. BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).

Bea ini dikenakan terhadap semua transaksi properti, baik properti baru maupun lama yang dibeli dari developer atau perorangan. Pajak ini pun status pada awalnya sama dengan PBB yaitu

merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat namun demikian seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu, sedangkan dengan

diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD maka mulai tahun 2011 seluruh proses pengelolaan pajak ini akan dilakukan oleh pemerintah daerah.

3. PPh (Pajak Penghasilan).

(9)

4. PPN (Pajak Pertambahan Nilai).

Pajak ini hanya dikenakan satu kali pada saat membeli properti baru, baik dari developer maupun perorangan. Jika membeli properti dari developer, untuk pembayaran dan pelaporan biasanya dilakukan melalui developer. Tapi jika membeli dari peroarangan, pembayaran dilakukan sendiri setelah transaksi. Disamping itu pajak ini juga dikenakan terhadap pembangunan rumah yang dilakukan secara sendiri oleh orang pribadi atau badan.

5. PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)

PPnBM hanya dikenakan untuk properti yang dibeli dari developer dan memenuhi kriteria sebagai barang mewah. PPnBM tidak berlaku untuk transaksi antar perorangan.

Apabila properti tersebut ditransaksikan maka pajak nomor 2-3 akan berjalan. Untuk itu anda perlu memahami skema berikut sebelum melihat detail jenis-jenis pajak tersebut lebih mendalam.

Pembahasan mengenai ke 5 jenis pajak properti tersebut secara lebih mendetail akan anda temui pada bab-bab setelah ini.

Skema alur pajak transaksi properti di atas menjelaskan bahwa apabila terjadi transaksi pengalihan tanah, maka bagi pemilik tanah akan membayar PPh final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan (Pasal 4 ayat (2)) sebesar 5% dan pembeli baik perorangan atau developer akan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5% pula. Apabila kemudian pihak developer mengembangkan tanah tersebut menjadi:

1. Kavling siap bangun dan menjualnya ke konsumen A, maka konsumen A akan membayar BPHTB sebesar 5% dan PPN sebesar 10%,

2. Apartemen/town house dengan kriteria tertentu dan menjualnya ke konsumen B, maka konsumen B akan membayar BPHTB sebesar 5%, PPN sebesar 10% dan PPnBM 20%,

3. Perumahan dan menjualnya ke konsumen C, maka konsumen C akan membayar BPHTB sebesar 5%, PPN sebesar 10% dan PPnBM 20%(bila memenuhi kriteria yang dipersyaratkan).

Apabila kemudian konsumen A membangun bangunan dan masuk kriteria yang dipersyaratkan di atas kavling yang telah dibelinya dari developer tersebut secara sendiri maka wajib membayar PPN Kegiatan Membangun Sendiri sebesar 4%. Apabila kemudian konsumen B menyewakan

apartemen/town house yang telah dibelinya dari developer ke konsumen D, maka konsumen B wajib membayar PPh final Pasal 4 ayat (2) sebesar 10%. Sedangkan bila B kemudian tidak

(10)

menyewakannya tapi menjualknya ke konsumen E maka konsumen E akan membayar BPHTB sebesar 5% dan konsumen B akan membayar PPh sebesar 5%.

Namun demikian apabila kemudian pihak developer mengembangkan tanah tersebut menjadi perumahan dan masuk pada kriteria tertentu yang dipersyaratkan, serta kemudian menjualnya pada konsumen C, maka konsumen C akan membayar BPHTB sebesar 5%, PPN sebesar 10% dan PPnBM 20%.

Aspek Perpajakan dalam Jual Beli Properti

Latar Belakang

Bisnis jual beli properti telah banyak diminati oleh banyak orang. Dalam melakukan bisnis jual beli properti, tidak hanya dibutuhkan kesepakatan di antara penjual dan pembeli, namun juga terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak sebagai salah satu kewajiban kepada Negara. Kewajiban tersebut adalah pembayaran pajak dalam pengalihan properti yang harus dilakukan oleh pembeli dan penjual.

Di Indonesia, telah dikenal beberapa jenis pajak yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli dalam usaha jual beli properti, yaitu:

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pengaturan mengenai PBB terdapat dalam Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (“UU PBB”).

Berdasarkan Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU PBB, PBB adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada awalnya PBB merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat dan seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, diberlakukan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU

(11)

akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Besarnya tarif PBB yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 %.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya insentif PBB Properti adalah berupa:

NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) 20% untuk NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) < Rp 1 Milyar;pemberian NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak);

 pemberian pengurangan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.

2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Pengaturan mengenai BPHTB terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan(“UU BPHTB”).

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU BPHTB, BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. BPHTB tersebut dikenakan kepada pembeli (Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU BPHTB). Besarnya tarif pajak BPHTB adalah sebesar 5%.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.01/2005, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, insentif BPHTB properti berupa:

Pemberian NPOTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak);

 Pemberian pengurangan karena kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.

3. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPh Pasal 4 ayat 2)

Pengaturan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak

Penghasilan”).

Tarif PPh yang dikenakan terhadap penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan adalah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah atau bangunan. Tarif PPh atas

(12)

Pengalihan hak atas Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun Sederhana (RSS) yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, adalah sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan, penghasilan yang dapat dikenakan pajak final adalah:

a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;

b. penghasilan berupa hadiah undian;

c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usahareal estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, maka dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari transaksi jual beli properti dikenakan pajak penghasilan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, insentif pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah properti berupa:

 Pembebasan PPh bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta Rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;

 Pengenaan tarif 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (tarif umum 5%).

4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pengaturan mengenai PPN terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (“UU PPN”).

(13)

Berdasarkan Penjelasan UU PPN, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen) dari nilai transaksi.

Pasal 4 ayat (1) UU PPN menyatakan bahwa PPN dikenakan atas:

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pengecualian terhadap Pemungutan PPN

1. Bagi Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:

a. Luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi); b. Harga jual tidak melebihi Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh juta Rupiah);

c. Merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.

(14)

2. Bagi Rumah Susun Sederhana

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; Rumah Susun Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan:yang memenuhi ketentuan:

a. harga jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);

b. luas bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m2 (dua puluh satu meter persegi);

c. pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan

d. merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.

3. Bagi Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami)

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 363/KMK.03/2002, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 371/KMK.03/2003, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2007, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis; Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan :

a. Luas untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 dan tidak melebihi 36 m2; b. Harga jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp 144.000.000;

c. Diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi Rp 4.500.000,- per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

(15)

d. Pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan umum yang mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun sederhana; dan

e. Merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.

4. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean (Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU PPN). Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU PPN, Tarif PPnBM ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).

Besarnya tarif PPnBM bagi kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya adalah sebesar 20% (dua puluh persen). PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPN, PPnBM dikenakan terhadap:

a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:

a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;

b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan

d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.011/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/Pmk.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PPnBM berupa:

(16)

 Pembatasan pengenaan PPnBM, hanya dikenakan untuk kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dari jenis non strata title dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih dan dari jenis strata title dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih.

Sekilas Perpajakan Dalam Properti/Real Estate 1 comment

Sebagai masyarakat tentu mengetahui bahwa dalam jual beli properti (real estate) pasti akan bersinggungan dengan pajak-pajak yang dikenakan/dibayar, tentang apa pajak-pajak yang dikenakan mungkin kadang kita tidak paham secara keseluruhan apa saja yang pajak-pajak yang dipotong dalam bidang properti tersebut.

Disini Admin @tanyaPAJAK mencoba menguraikan sedikit tentang yang berhubungan dengan bisnis properti khusus ttg pajak-pajaknya. Tulisan ini semoga bermanfaat buat pebisnis properti, baik pemilik tanah, pengusaha real estate, pengusaha perseorangan, calon pembeli maupun segala yang terlibat didalamnya.

Jenis Usaha Properti

Jika dikelompokkan maka terdapat 6 (enam) bentuk properti real estate yang biasa dikenal yaitu : 1. Real Estate Jenis Properti Apartemen, properti yang berada dalam sebuah bangunan megah

yang menjulang tinggi seperti hotel. Perlu diingat karena bentuknya seperti rumah maka dapat dimiliki secara pribadi maupun disewakan.

2. Real Estate Jenis Properti Perumahan, sebuah kompleks perumahan yang dapat dihuni berbagai macam keluarga biasanya dilengkapi sarana prasarana oleh pengelola.

3. Real Estate Jenis Properti Rukan dan Office Space, dibuat kepada pebisnis yang ingin

membuka cabang perusahaan . Kawasan ini bisa dikatakan kawasan perkantoran yang bentuknya menyerupai rumah namun fungsinya sebagai kantor.

4. Real Estate Jenis Properti Ruko dan Mall, Biasanya Ruko untuk jenis ini biasanya sebagai hunian dan sekaligus umumnya perdagangan sementara Mall berisi bermacam toko yg biasanya memiliki nama besar.

5. Real Estate Jenis Properti Tanah Kavling, merupakan tanah yang sudah memiliki konsep pembangunan .

6. Real Estate Jenis Properti Town House, rumah dengan rancangan dan tempat yang eksekutif dan disisi kota besar, dan khusus untuk rumah dengan kategori lux dan mewah.

Pengelompokan di atas masih dapat dibagi-bagi lagi perjenisnya semisal Perumahan, kita mengenal kategori rumah sederhana (RS), rumah sangat sederhana (RSS), rumah sederhana kecil (RSK) dll.

(17)

Dalam hal pebangunan bisnis properti, diperlukan perijinan maupun hal-hal yang berkaitan dengan dokumentasi maupun tata kelola lingkungan dalam daerah tersebut, sehingga sebagai pebisnis pasti akan berhubungan dengan beberapa instansi pemerintah seperti :

1. Departemen Perdagangan dan Perindustrian, sehubungan dengan ijin untuk pembangunan pusat perbelanjaan dan kawasan industri.

2. Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehubungan dengan rencana pembebasan tanah dan pengurusan sertifikat pemilikan produk yang akan dijual.

3. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah ( dulu PU) sehubungan dengan pengurusan SIUJK ( Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi).

4. Pemerintah Daerah (Tk. I dan Tk. II), sehubungan dengan ijin pembebasan tanah, ijin membangun (IMB) dan pengurusan AMDAL.

Pajak Pajak Yang Dikenakan

Secara umum jenis-jenis pajak yang melekat pada bisnis properti khusus real estate dapat pula dikelompokkan seperti :

1. PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)

PBB merupakan pajak kebendaan yang melekat pada objeknya yang dipungut setiap tahun dan dikenakan kepada semua wajib pajak (pemilik properti). Pada awalnya pajak ini merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat namun demikian seluruh

penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya dengan diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD maka mulai tahun 2014 seluruh proses pengelolaan pajak ini akan dilakukan oleh pemerintah daerah.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dipungut setiap tahun dan dikenakan kepada semua wajib pajak (pemilik properti). Tagihannya dilayangkan pemerintah setiap bulan Maret, melalui aparat desa setempat, dalam bentuk Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Adapun pembayarannya harus dilakukan paling lambat enam bulan setelah SPPT diterbitkan ke loket-loket terdekat yang disediakan, atau ke kantor-kantor bank yang ditunjuk pemerintah. Setelah melakukan pembayaran, harap bukti pembayarannya disimpan. Apabila sampai batas waktu yang ditetapkan wajib pajak belum membayar, maka akan didenda 2 persen per bulan hingga maksimal 24 bulan.

Cara perhitungan PBB:

 PBB = 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).

 NJKP = 20% dari Nilai Jual Objek Kena Pajak (NJOPKP) untuk properti dengan NJOP dibawah Rp. 1 miliar dan 40 % untuk NJOP diatas 1 miliar

 NJOPKP = NJOP – NJPOKTP. Perlu dicatat, besarnya NJOPTK ini berbeda-beda setiap daerah.

2. Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

BPHTB akan dikenakan kepada Pembeli dan dibayarkan ketika terjadi peralihan hak atau

(18)

dilakukan di Bank yang ditunjuk sebagai tempat pembayaran pajak dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.

Cara menghitung BPHTB adalah sebagai berikut : BPHTB = (Harga Jual – Faktor Tidak Kena Pajak*) x 5% )* Faktor Tidak Kena Pajak di setiap daerah berbeda.

3. Pajak Penghasilan Bersifat Final (PPh Final)

PPh Final akan dikenakan kepada Penjual apabila Penjual adalah perseorangan atau Sertifikat Hak Milik (SHM). Untuk Penjual adalah Perusahaan atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), maka tidak dikenakan PPh Final apabila nilai transaksi dibawah Rp. 60.000.000,-. PPh Final hanya dikenakan apabila nilai transaksi jual beli lebih dari dari Rp. 59.999.999,00 (Enam Puluh Juta Rupiah).

Sama dengan BPHTB, PPh Final dibayarkan ketika terjadi peralihan hak atau penandatanganan akta jua beli di Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pembayaran dapat dilakukan di Bank yang ditunjuk sebagai tempat pembayaran pajak dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat. Cara menghitung PPh Final adalah sebagai berikut :

PPh Final = Harga Jual x 5%

4. PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

a, Terutang PPN

PPN akan dikenakan kepada Pembeli, dipungut oleh Penjual dengan catatan Penjual adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan atau penghasilan dari penjualan properti melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) per tahun. PPN dipungut pada saat penerimaan uang muka maupun pelunasan dan dibayarkan selambatnya tanggal 15 bulan berikutnya.

Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut : Apabila harga jual TIDAK TERMASUK PPN PPN = Harga Jual x 10%

Atau

Apabila harga jual TERMASUK PPN

PPN = (Harga Jual : Dasar Pengenaan Pajak*) x 10%

)* Dasar Pengenaan Pajak adalah faktor pembagi harga jual sebesar 1,1 atau 110%

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). NJOP dapat dilihat pada lembar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Apabila NJOP lebih besar dari nilai transaksi maka dasar perhitungan pajak menggunakan NJOP begitu pula sebaliknya.

(19)

Penyerahan produk tidak seluruhnya terhutang PPN, yaitu untuk penyerahan rumah murah PPN nya ditanggung pemerintah sebagaimana ketentuan dalam KEPPRES No. 42 tahun 1995 tanggal 19 Juni 1995 tentang Perubahan atas KEPPRES No. 18 tahun 1986 tentang PPN yang terhutang atas impor dan Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak tertentu yang ditanggung pemerintah sebagaimana telah beberapa kali dirubah terakhir dengan KEPPRES No. 8 tahun 1988 .

b. Tidak Terutang PPN

Batasan mengenai rumah murah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.

310/KMK.04/1989 tanggal 3 April 1989, yaitu mengacu kepada surat Menteri Keuangan kepada Menteri Perumahan Rakyat No. S-462/MK.04/86 tanggal 6 Mei 1986 sebagai berikut :

1. Penyerahannya harus melalui kredit pemilikan rumah (KPR)

2. Type bangunan adalah type 70 kebawah dengan luas tanah maksimal 200 M2 dan 165 M2 untuk rumah maisonet.

3. Perusahaan pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan rumah murah wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Direktorat Jendral Pajak (KPP setempat) mengenai : Jumlah dan type rumah mujrah yang dijual, Harga jual rumah, jumlah PPN yang tidak dipungut (PPN yang ditanggung pemerintah), nama perusahaan yang memberi kredit dan jangka waktu kredit.

Menentukan apakah suatu bangunan masuk dalam kategori rumah murah atau tidak harus memperhatikan surat Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat kepada Menteri Keuangan RI No.60/BT.01.01/M/4/1985 tanggal 9 April 1985, yaitu :

1. Harga jual bangunan rumah per M2 tidak melebihi 75% dari harga rumah dinas kelas C di daerah yang bersangkutan.

2. Harga jual tanah matang per M2 tidak melebihi perhitungan luas bangunan rumah dikalikan harga jual tertinggi bangunan per M2 dan dibagi dengan luas kapling.

3. Harga jual rumah beserta tanah adalah 2 (dua) kali luas bangunan rumah dikalikan dengan harga jual tertinggi bangunan rumah per M2.

Pedoman harga per M2 rumah dinas kelas C ditetapkan oleh Bappenas dan Departemen Keuangan setiap tahun anggaran.

5. PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)

Disamping rumah murah ada juga produk properti yang terhutang PPn BM, yaitu atas penyerahan apartemen, town house, rumah mewah dan kondominium, sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 145 tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan PPn BM. Menurut ketentuan dalam PP ini penyerahan apartemen, town house, rumah mewah dan kondominium terhutang PPn BM sebesar 20 %.

Mulai tanggal 1 Juni 2009 penyerahan bangunan yang terutang PPnBM hanya berdasarkan luas bangunan yaitu luas bangunan sebesar 350M2 atau lebih. Perlu dilakukan pengawasan terhadap

(20)

penyerahan bangunan yang kurang atau mendekati luas bangunan 350M2 karena terdapat kemungkinan luas bangunan yang sebenarnya lebih dari luas yang tercantum dalam dokumen.

Pengujian kebenaran harga bangunan PerM2 dapat menggunakan pendekatan harga pokok ditambah dengan margin, atau apabila harga jual tanah dan bangunan diketahui maka harga jual bangunan dapat dihitung secara proposional antara harga NJOP bangunan dibandingkan dengan NJOP tanah. PPnBM hanya dikenakan untuk properti yang dibeli dari developer dan memenuhi kriteria sebagai barang mewah. PPnBM tidak berlaku untuk transaksi antar perorangan. Sebagai contoh Sebuah Apartemen/town house dengan kriteria tertentu dan menjualnya ke konsumen B, maka konsumen B akan membayar BPHTB sebesar 5%, PPN sebesar 10% dan PPnBM 20% (bila memenuhi kriteria yang dipersyaratkan).

Mekanisme Penjualan/Pembelian Properti (Real Estate)

a. Penjualan secara tunai

Penjualan secara tunai pada umumnya terjadi atas rumah, apartemen, Ruko dan sebagainya yang memang telah tersedia atau siap huni. Pembeli langsung melunasi harga jual dari bangunan, ditambah PPN, PPn BM, BPHTB dan biaya untuk mengurus akte jual beli.

b. Kredit Pemilikan Rumah/ Apartemen

Sebagian dari harga jual dibiayai oleh bank pemberi kredit. Pembeli cukup membayar uang muka sedangkan sisanya dibiayai dari kredit yang akan diangsur oleh pembeli setiap bulan. Jika bank menyetujui permohonan kredit nasabah, maka akan dibuatkan akad kredit antara bank dengan nasabah. Selanjutnya bank akan mentransfer seluruh dana kredit tersebut ke perusahaan

pengembang sebagai pelunasan harga jual bangunan. Pembayaran uang muka dari calon pembeli (baik sekaligus maupun diangsur) terhutang PPN.

c. Sewa

Untuk gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan biasanya dilakukan dengan cara sewa. Besarnya biaya sewa dihitung berdasarkan tarip sewa per M2 per bulan. Selain biaya sewa, penyewa juga akan dibebankan service charge . Biaya sewa biasanya dibayar dimuka oleh penyewa untuk beberapa bulan sekaligus sedangkan service charge akan ditagih setiap bulan.

d. Cicilan Tunai

Pembeli mencicil harga jual bangunan mulai saat pembangunan dimulai sampai dengan selesainya pembangunan, biasanya masa cicilan kurang dari satu tahun.

Hal-Hal Lainnya

Permasalahan dalam bisnis properti (real estate) sangatlah kompleks jika kita memperbincangkan dalam konteks kewajiban perpajakannya. Seorang pengusaha properti (real estate) akan memiliki kewajiban perpajakan PPh Pasal 25/29 disamping PPh Final (Pasal 4 ayat 2) sepanjang bergerak

(21)

dalam bidang real estate jenis properti perumahan/town house karena pada umumnya pengelola juga menangani sport center, fasilitas hiburan dll.

Dalam hal kepemilikan tanah, sering pula terjadi kerjasama antara pemilik tanah dengan

pengembang dalam bentuk kuasa jual sehingga kepemilikan tanah tetap atas nama pemilik tanah dan pengembang hanya membangun bangunan di atas tanah yang bersangkutan. Fakta ini menyebabkan secara formal terjadi penyerahan dari pemilik tanah kepada pembeli tanah dan bangunan (konsumen), padahal bangunan tersebut merupakan milik pengembang. Pada umumnya transaksi ini dapat terjadi karena adanya perjanjian kuasa jual antara pemilik tanah dan pengembang yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal ini ini diketahui setelah adanya permohonan mutasi atau pemecahan SPPT dari pemilik tanah kepada konsumen di kantor pajak setempat.

Untuk menghindari kecurigaan terhadap harga jual properti yang dilaporkan pengusaha properti ada baiknya seorang AR melakukan konfirmasi harga yang sebenarnya kepada konsumen secara langsung dari rumah ke rumah atau memperoleh bukti transfer dari konsumen atau pengembang apabila transaksi dilakukan melalui bank atau pernyataan secara tertulis di atas materai.

Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan adalah terdapat beberapa perusahaan yang bekerjasama dengan pihak lain membangun fasilitas jalan atau fly over yang akan diserahkan padapihak lain sehingga penyerahan tersebut termasuk kategori pemakaian sendiri dan terutang PPN dengan DPP nilai lain sebesar harga pokok.

(Bersumber dari catatan-catatan seputar penggalian potensi perpajakan dibidang properti (real estate)

Dasar Hukum

1. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tanggal 16 April 1996 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 Tanggal 04 Nopember 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

5. Keputusan Menteri Keuangan N0. 635/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

6. Keputusan Menteri Keuangan N0. 392/KMK.04/1996 tanggal 05 Juni 1996 tentang Perubahan KMK N0. 635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak

(22)

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 243/KMK.03/2008 Tentang Perubahan Kedua Atas KMK No. N0. 635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

8. SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996 Tentang Pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

9. SE-02/PJ.33/1997 tanggal 30 Juli 1997 Tentang Tindak Lanjut Ketentuan Peralihan Pasal 11 A PP No. 27 Tahun 1996.

10. SE-55/PJ.42/1999 Tentang PPh WP Badan Yang usaha pokoknya melakukan transaksi penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

11. SE-80/PJ/2009 tanggal 27 Agustus 2009 Tentang pelaksanaan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Pajak atas transaksi Jual-Beli Properti

Ada beberapa aspek perpajakan yang terkait dengan bisnis jual beli properti diantaranya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 dan mulai berlaku sejak Januari 1986. Menurut ketentuan Undang-undang tersebut, bukan saja pemilik tanah dan bangunan yang wajib membayar PBB, tetapi juga penyewa atau siapa saja yang memanfaatkannya. Batas nilai jual properti yang kena pajak, minimal sebesar Rp8 juta. Tetapi undang-undang ini juga memungkinkan pengurangan pajak maksimal 75%, bahkan untuk objek pajak yang terkena bencana alam akan diberikan pengurangan pajak hingga 100%.

Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak (NJOP), dan besarnya PBB yang terutang oleh setiap wajib pajak adalah 0,5% dikalikan Nilai Jual Kena Pajak. Besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan. Tetapi untuk daerah-daerah tertentu—sesuai dengan perkembangan daerahnya—NJOP dapat ditetapkan setiap tahun.

Besarnya nilai PBB yang harus dibayar oleh setiap pemilik/pengguna rumah, umumnya sudah ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Pajak setempat melalui penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan setiap tahun. Dalam SPPT tercantum nama wajib pajak, besarnya pajak yang harus dibayar dan perhitungannya, serta di bank mana pajak itu harus dibayar.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)

Jenis pajak ini diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 dan terhitung efektif mulai 1 Januari 1998. Dalam undang-undang ini, yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh pribadi atau badan, yang meliputi:

a. Jual Beli. b. Tukar-menukar. c. Hibah.

d. Hibah Wasiat. e. Hadiah.

(23)

f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya. g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.

h. Penunjukan pembeli dalam lelang.

i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

j. Pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan pajak dan di luar pelepasan hak. Sementara yang tidak dikenakan BPHTB adalah:

a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan azas timbal balik. b. Negara.

c. Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh menteri.

d. Orang pribadi atau Organiasi karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.

e. Wakaf. f. Warisan.

g. Digunakan untuk kepentingan ibadah.

Besarnya tarif pajak (bea) ditetapkan sebesar 5% yang dikenakan kepada pemilik atau pembeli rumah. Nilai yang diwajibkan membayar pajak dibatasi di atas Rp30 juta. BPHTB sebesar 5% ini dikenakan terhadap pembeli rumah, dan untuk unsur BPHTB ini bisa diakumulasi dengan harga pokok bangunan sebagai harga perolehan bangunan.

Pajak Penghasilan (PPh)

PPh diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1994, dimana atas penghasilan yang diterima oleh pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang jumlahnya lebih dari Rp60 juta. Untuk objek PPh ini hanya dikenakan terhadap penjual properti, selaku yang menerima keuntungan atas penjualan rumah tersebut. PPh yang terkait dengan penjualan properti ini bersifat final dan tidak bisa menjadi kredit pajak bagi yang pembayar pajak tersebut.

Pengalihan hak atas tanah dan bangunan terdiri atas:

a. Penjualan, tukar-menukar, dan perjanjian hak. Pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.

b. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain, kepada pemerintah untuk pembangunan, termasuk untuk kepentingan umum, baik yang memerlukan atau tidak memerlukan persyaratan khusus.

Besarnya PPh adalah 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai penghasilan atas hak atas tanah dan bangunan.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah objek pajak tambahan dimana hanya bisa diterbitkan oleh pengusaha badan/pribadi yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pada saat penjualan rumah yang dilakukan oleh pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP, maka penjual wajib menerbitkan faktur pajak PPN atas rumah yang dijual, namun kita harus berhati-hati atas penerimaan faktur pajak ini. Apakah nantinya faktur pajak ini bisa bermanfaat bagi aspek perpajakan perusahaan kita atau tidak.

(24)

Disini apabila pembeli bangunan tersebut dikategorikan sebagai pengusaha kena pajak, maka Faktur Pajak PPN tadi bisa digunakan sebagai kredit pajak pada saat melaporkan SPT PPN tiap bulannya. Namun apabila pembeli bangunan tadi bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, maka PPN tadi merupakan tambahan biaya pembelian rumah dan digabungkan menjadi harga perolehan dari rumah tersebut.

Bagi anda yang berkecimpung di dunia bisnis pasti tidak akan lepas dari masalah perpajakan. Demikian pula dalam setiap melakukan transaksi jual beli properti tentunya akan mengandung kewajiban pembayaran pajak. Pajak-pajak tersebut akan dikenakan kepada pembeli maupun penjual properti. Berikut ini jenis-jenis pajak yang dikenakan

pemerintah terhadap setiap transaksi properti di Indonesia. Dengan mengetahui seluk beluk pajak ini, Anda akan bisa menghindari kecurangan-kecurangan dalam transaksi properti yang Anda lakukan.

Pajak Properti

1. Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan / PBB P2

PBB merupakan pajak kebendaan yang melekat pada objeknya yang dipungut setiap tahun dan dikenakan kepada semua wajib pajak (pemilik properti). Pada awalnya pajak ini

merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat namun demikian seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya dengan diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD maka mulai tahun 2014 seluruh proses pengelolaan pajak ini akan dilakukan oleh pemerintah daerah.

Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya PBB yang terutang diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan Nilai Jual Kena Pajak

(NJKP). Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan sebesar 20% dari NJOP (jika NJOP kurang dari 1

miliar rupiah) atau 40% dari NJOP (jika NJOP senilai 1 miliar rupiah atau lebih). Besaran PBB yang terutang dalam satu tahun pajak diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak

(25)

2. BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)

Pajak jenis ini adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut Bea. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan ini berlaku bagi kepemilikan dengan status Sertifikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik atas Tanah Satuan dan Hak Pengelolaan.

Bea ini dikenakan terhadap semua transaksi properti, baik properti baru maupun lama yang dibeli dari developer atau perorangan. Pajak ini pun status pada awalnya sama dengan PBB yaitu merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat namun demikian seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu, sedangkan dengan diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD maka mulai tahun 2011 seluruh proses pengelolaan pajak ini akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Menurut UU No. 28/2009 Pasal 85-93, tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah, maksimal adalah5% dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa harga transaksi atau nilai pasar dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah, paling rendah sebesar

Rp 60.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak. Dalam hal perolehan hak karena waris atau

hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00.

3. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak oleh orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap (BUT).

Termasuk didalam objek pajak penghasilan properti, yaitu:

PPh final atas pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, terdapat Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan 5% (lima per

seratus) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Nilai

pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, kecuali:

 dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan;

 dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang.

(26)

1. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;

2. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c;

3. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

4. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau

penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

PPh 22 atas barang sangat mewah

Berdasarkan PMK No. 253/PMK.03/2008, atas penjualan apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi); dipungut PPh 22 sebesar 5% (lima persen) dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). PPh 22

tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang melakukan barang yang tergolong sangat mewah.

PPh final atas persewaan tanah dan bangunan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002, terdapat PPh final atas persewaan tanah dan bangunan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau

bangunan. Pajak Penghasilan ini dipotong dari pembayaran sewa oleh penyewa atau disetor langsung oleh yang menyewakan.

PPh 23 atas building management service

Berdasarkan UU No. 36/2008 pasal 23 j.o Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, atas pembayaran tagihan jasa manajemen untuk rumah

susun/apartemen, terutang PPh 23 sebesar 2% dipotong dari pembayaran tagihan oleh penyewa.

(27)

4. PPN dan PPnBM

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang dan jasa. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak tidak langsung atau pajak obejektif, artinya wajib pajak tidak harus menanggung beban pajak. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 42 Tahun 2009.

PPN dan PPnMB yang dipungut PKP yang bergerak di bidang Properti

Berdasarkan ketentuan, semua barang dan jasa akan menjadi objek pajak. Pada proses jual beli property. PPN akan dibebankan kepada pihak pembeli properti dan hanya dikenakan 1x (satu kali) saat membeli properti baru baik dari pihak developer maupun

perorangan. Properti yang dikenai PPN adalah properti dengan nilai transaksi

diatas Rp. 36 juta rupiah.

Apabila pembelian properti dilakukan dari developer, untuk pembayaran dan pelaporan dilakukan melalui pihak developer. Apabila pembelian properti dilakukan dari perorangan, maka pembayaran dilakukan sendiri oleh pihak pembeli setelah transaksi selesai dilakukan selambat – lambatnya tanggal 15 pada bulan berikutnya dan dilaporkan kepada kantor pajak setempat selambat – lambatnya tanggal 20 pada bulan berikutnya. Nilai PPN dihitung 10% dari nilai transaksi jual – beli yang terjadi.

Sejak diberlakukannya, SE-22/PJ.51/2002, Pengusaha Properti dikenakan PPN 10% atas penjualannya dengan Dasar Pengenaan Pajak seluruh harga jual. Menurut PMK No. 121/PMK.011/2013, Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dikenakan PPnBM 20%. Yaitu:

 Rumah dan town house dari jenis non strata title, dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih.

 Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih.

PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Berdasarkan UU PPN Pasal 16C, PMK No.163/PMK.03/2012, Kegiatan membangun sendiri terutang PPN. Dasar Pengenaan Pajak adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah, dengan batasan keluasan bangunan 200 m2.

PPN atas sewa ruangan

Atas penyerahan Jasa sewa ruangan dikenakan PPN 10% sesuai UU PPN No. 42/2009 pasal 4 bila penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Jasa persewaan ruangan juga bukan termasuk Jasa yang dibebaskan dari PPN dalam PP No. 38 Tahun 2003.

Referensi

Dokumen terkait

6 Mengenal pasti sama ada terdapat perhubungan yang signifikan antara kesan motivasi, gaya pembelajaran dan iklim bilik darjah terhadap pencapaian pelajar Tingkatan Empat..

Efisiensi kultur antera yang terkait dengan produksi tanaman hijau dinyatakan dalam rasio tanaman hijau (TH) terhadap jumlah kalus menghasilkan tanaman (KMT) dan

Adapun instrumen pengumpulan data terdiri dari wawancara, dokumentasi, dan observasi dengan teknik analisis model Miles dan Hubermen (reduksi data, penyajian

Ketua jurusan yang telah login ke dalam sistem, dapat melihat daftar mahasiswa beserta judul, proposal yang telah mahasiswa unggah sebelumnya, dan hasil rekomendasi calon

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kelangkaan jenis tumbuhan berdasarkan laporan IUCN (1994) dan selanjutnya ditetapkan langkah pelestarian jenis tumbuhan tersebut di

Kesimpulan : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penggunaan sarung tangan vinyl terhadap upaya pencegahan keluhan iritasi kulit

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan ( action research ) sebanyak dua putaran. Setiap putaran melalui tahap yaitu: rancangan, kegiatan dan refleksi. Subjek penelitian

Dengan demikian pertumbuhan ekonomi akan makin terarah karena digenjot pada 8 program utama berbasis potensi nasional (yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi) dan