• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelch 13 Gene Mutations and Plasmodium falciparum Resistance Against Antimalaria Drugs of Artemisinin Derivates

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kelch 13 Gene Mutations and Plasmodium falciparum Resistance Against Antimalaria Drugs of Artemisinin Derivates"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Mutasi Gen Kelch 13 dan Resistensi Plasmodium falciparum Terhadap Obat

Antimalaria Golongan Artemisinin

Vinnyssa Anindita

1

, Hanna Mutiara

2

, Utari Gita Mutiara

2

1

Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

2

Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak

Obat antimalaria golongan artemisinin memegang peranan penting dalam mengontrol malaria falciparum setelah timbulnya resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat-obat antimalaria golongan lain seperti klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin dan meflokuin. Oleh karena itu, adanya resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat golongan ini menjadi ancaman terhadap upaya global dalam mengeliminasi penyakit ini. Resistensi Plasmodium falciparum terhadap artemisinin belum lama ini ini diketahui berkaitan dengan mutasi pada domain propeller dari gen kelch 13 (K13) Plasmodium falciparum. Kejadian resistensi Plasmodium falciparum akibat mutasi gen K13 antara lain dapat ditemui di Kamboja, Laos, Vietnam, Cina, Myanmar, Thailand dan Afrika. Adanya mutasi pada gen ini akan mengubah respon Plasmodium falciparum terhadap stres oksidatif yang ditimbulkan oleh artemisinin dengan melibatkan jalur proteasome-ubiquitin. Selain itu, mutasi K13 juga akan mengubah kadar PI3K dan PI3P di dalam tubuh Plasmodium falciparum. PI3K dan PI3P adalah lipid yang esensial bagi perkembangan Plasmodium falciparum dari stadium cincin menjadi skizon. Resistensi terhadap artemisinin juga akan memberikan perubahan fenotip pada siklus hidup Plasmodium falciparum berupa pemanjangan pada stadium cincin dan pemendekan sementara pada perkembangan tropozoit. Kejadian resistensi ini dapat ditanggulangi antara lain dengan memperpanjang durasi pengobatan (dari regimen 3 hari menjadi 4 hari) dan mengkombinasikan pemberian artemisinin dengan obat golongan proteasome inhibitor.

Kata kunci: Artemisinin, kelch 13, Plasmodium falciparum, resistensi

Kelch 13 Gene Mutations and Plasmodium falciparum Resistance Against

Antimalaria Drugs of Artemisinin Derivates

Abstract

Antimalaria drugs of artemisinin derivates play an important role in controlling falciparum malaria after the incidence of Plasmodium falciparum resistance to other class of antimalarial drugs such as chloroquine, sulfadoxine-pyrimethamine, and mefloquine. Therefore, the presence of Plasmodium falciparum resistance to this class of drugs poses a threat to global endeavors to eliminate this disease. Plasmodium falciparum resistance to artemisinin has recently been associated with mutations in the propeller domain of the kelch 13 (K13) gene in Plasmodium falciparum. Incidence of Plasmodium falciparum resistance to artemisinin due to the mutation of K13 gene are found in Cambodia, Laos, Vietnam, China, Myanmar, Thailand and Africa. Mutation of K13 gene will alter Plasmodium falciparum response against oxidative stress caused by artemisinin by involving proteasome-ubiquitin pathway. Besides that, K13 mutations will also alter the levels of PI3K and PI3P in Plasmodium falciparum's body. PI3K and PI3P are lipids that are essential for the development of Plasmodium falciparum from ring stage to schizont. Resistance to artemisinin will provide phenotypic changes in the life cycle of Plasmodium falciparum in the form of altered patterns of intraerythrocytic development with prolonged ring-stage and temporally compressed trophozoite development. This resistance event can be overcome by extending the duration of treatment (from the 3-day regimen to 4-day regimen) and combining the administration of artemisinin with drugs from proteasome inhibitor class.

Keywords: Artemisinin, kelch 13, Plasmodium falciparum, resistance

Korespondensi: Vinnyssa Anindita, alamat Pondok Arbenta Jl. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandarlampung,

HP: 081273650897, e-mail: aninditavinnyssa@gmail.com

Pendahuluan

Malaria adalah sebuah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit protozoa dari genus Plasmodium yang diinokulasi ke manusia oleh nyamuk Anopheles sp. betina. Sejak tahun 2000, kemajuan berarti telah dibuat dalam memerangi malaria. Menurut data, antara tahun 2000 dan 2015, insidensi malaria menurun sebanyak 41% dan angka kematian malaria turun sebanyak 62%.1 Akan

tetapi, penyakit malaria masih menjadi penyebab penting kesakitan dan kematian pada anak dan orang dewasa di negara-negara yang endemis terhadap penyakit ini.2 Pada awal tahun 2016, malaria masih dianggap sebagai penyakit endemis di 91 negara dan wilayah.1

World Health Organization (WHO) melaporkan 212 juta kasus malaria terjadi secara global pada tahun 2015 dan

(2)

menyebabkan 429.000 kematian, mayoritas terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun di Afrika1, sementara di Indonesia, insidensi

malaria pada tahun 2013 menurun

dibandingkan pada tahun 2007 dari 2,9% menjadi 1,9%, kecuali di Papua Barat yang mengalami peningkatan tajam.3 Spesies parasit yang dominan menyebabkan malaria di Indonesia adalah Plasmodium falciparum

(86,4%) sedangkan sisanya adalah

Plasmodium vivax dan campuran antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.3,4

Selama lebih dari 50 tahun, Plasmodium falciparum telah mengalami resistensi terhadap obat-obatan antimalaria yang digunakan untuk mengeradikasi parasit ini seperti klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kuinin, piperakuin dan meflokuin.5 Oleh

karena itu, WHO merekomendasikan

penggunaan artemisinin combination therapy (ACT) sebagai drug of choice untuk malaria, tidak terkecuali pada malaria dengan parasit yang resisten terhadap beberapa macam obat antimalaria.6 ACT secara umum bekerja dengan sangat efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Akan tetapi belum lama ini ini, di Asia Tenggara, mulai banyak dilaporkan kejadian resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat ini.2

Timbulnya resistensi Plasmodium

falciparum terhadap berbagai jenis obat antimalaria berkaitan dengan kondisi genetik dari Plasmodium falciparum. Adapun faktor

genetik yang turut berperan dalam

membentuk resistensi Plasmodium falciparum terhadap artemisinin adalah adanya mutasi pada gen Kelch 13.

Isi

Artemisinin adalah obat antimalaria yang berasal dari Artemisia annua, sebuah tanaman herbal yang telah lama digunakan dalam pengobatan tradisional Cina untuk mengatasi demam intermiten.7

Terdapat beberapa teori mengenai mekanisme kerja dari obat golongan ini, namun secara umum teori tersebut berkaitan

dengan pembentukan radikal bebas

artemisinin. Artemisinin masuk ke tubuh dalam bentuk inaktif dan diaktivasi oleh

pembelahan reduktif dari gugus

endoperoksida. Aktivasi dari artemisinin

tersebut kemudian menyebabkan

pembentukan radikal bebas.8

Radikal bebas yang terbentuk akan memediasi eradikasi dari Plasmodium dengan mengubah jalur biokimiawi di dalam parasit, yang mencakup (1) alkilasi dari molekul heme dan interferensi dengan jalur detoksifikasi heme, (2) inaktivasi dari sarcoplasmic, endoplasmic reticulum PfATPase6 calcium pump (SERCA), (3) alkilasi dari protein sitosol, seperti PfTCTP, sebuah protein potensial tumor yang kemungkinan berkaitan dengan replikasi parasit, dan (4) pengacauan dari fungsi mitokondria.9

Saat ini WHO menetapkan artemisinin sebagai drug of choice bagi terapi malaria. Akan tetapi pada tahun 2008, di Kamboja, dilaporkan terdapat 2 isolat Plasmodium falciparum yang dipengaruhi oleh artemisinin yang terobservasi memiliki waktu klirens parasit yang memanjang. Temuan ini

mengindikasikan adanya resistensi

Plasmodium falciparum terhadap obat golongan ini10 dan temuan ini menjadi temuan pertama terkait resistensi Plasmodium falciparum terhadap golongan artemisinin. Dimulai dari Kamboja, resistensi artemisinin kini telah menyebar ke negara-negara lain, baik itu negara-negara tetangga seperti Vietnam, Laos, Myanmar dan Thailand, maupun negara-negara jauh seperti Cina, Bangladesh dan India.11

Resistensi artemisinin didefinisikan sebagai klirens parasit yang melambat. Hal ini mewakili resistensi parsial/relatif yang sejauh

ini hanya mempengaruhi Plasmodium

falciparum pada stadium cincin. Artemisinin biasanya dikombinasikan dengan obat lain (partner drug) untuk dapat mengeradikasi Plasmodium falciparum secara cepat. Oleh karena itu, walaupun terdapat perlambatan klirens parasit, pasien dengan resistensi artemisinin masih dapat mengeradikasi infeksinya selama obat kombinasinya masih dapat bekerja secara efektif.12

Resistensi artemisinin jarang

menyebabkan kegagalan terapi, namun adanya resistensi artemisinin juga memiliki

dampak tertentu yaitu (1) risiko

berkembangnya resistensi parsial menjadi resistensi total, (2) kegagalan untuk mengeradikasi parasit secara cepat, yang

dapat membahayakan penggunaan

(3)

(3) klirens parasit lambat pada pasien yang sedang dalam pengobatan artemisinin, yang dapat menyebabkan lebih banyak parasit yang hanya terpapar obat kombinasi setelah komponen artemisinin tereliminasi secara cepat pasca 3 hari pengobatan.12 Hal ini dapat

mempermudah terjadinya resistensi

Plasmodium falciparum terhadap obat kombinasi yang digunakan.

Resistensi artemisinin beserta

derivatnya pada Plasmodium falciparum diketahui salah satunya berkaitan dengan single nucleotide polymorphisms (SNP) multipel pada sebuah gen di kromosom 13 Plasmodium falciparum, yaitu kelch13 (K13).13 Protein K13 terdiri dari domain spesifik Plasmodium, sebuah domain BTB-POZ, dan sebuah domain propeller dengan 6-blade, dimana kejadian mutasi terkait resistensi artemisinin mayoritas terletak pada domain propeller dari protein tersebut14.

Di subregional timur Greater Mekong, mencakup Kamboja, Laos dan Vietnam, mutasi kerap kali ditemukan adalah pada alel C580Y,

R539T, Y493H dan I543T, sedangkan di subregional barat Greater Mekong, mencakup Cina, Myanmar dan Thailand, mutasi yang kerap kali ditemukan terletak pada alel F446L, N458Y, P574L dan R561H. Sementara di Afrika, mutasi K13 yang paling sering ditemukan adalah pada alel A578S.12

Mutasi K13 menyebabkan resistensi Plasmodium falciparum terhadap artemisinin dengan beberapa cara. Pertama, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1, artemisinin yang masuk dalam bentuk inaktif akan diaktivasi oleh sumber Fe(II) (seperti heme

dari degradasi hemoglobin) untuk

menghasilkan ART aktif (ART*). ART* bersifat reaktif, dan akan bereaksi dengan protein parasit, menyebabkan alkilasi protein. Pada Plasmodium falciparum normal, alkilasi protein akan menyebabkan kematian sel dan

kematian parasit. Akan tetapi, pada

Plasmodium falciparum dengan mutasi K13, terjadi peningkatan respons stress akibat keterlibatan jalur proteasome-ubiquitin, sehingga sel tetap bertahan hidup.8,15

Gambar 1. Ilustrasi kematian dan kelangsungan hidup sel Plasmodium falciparum dengan atau tanpa mutasi K13 setelah pemberian artemisinin8,15

Protein K13 dari parasit yang sensitif terhadap artemisinin akan berikatan dengan sebuah faktor transkripsi dan mengatur terjadinya degradasi, sedangkan pada parasit yang resisten terhadap artemisinin, K13 tidak dapat berikatan dengan faktor transkripsi tersebut. Hal ini kemudian menyebabkan upregulasi dari gen yang terlibat dalam respons sel terkait antioksidan. Dalam kondisi ini, parasit mampu mengatasi stres oksidatif dari artemisinin secara lebih baik, salah satu contohnya adalah dengan memperbaiki dan

memperbarui protein yang rusak karena oksidan.14

Mekanisme resistensi lain adalah protein K13 pada parasit yang sensitif terhadap artemisinin akan berikatan dengan phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K) dan mengatur terjadinya degradasi. Ikatan antara K13 dengan PI3K juga akan mengurangi jumlah PI3K fungsional. Dengan jumlah PI3K fungsional yang sedikit, parasit tidak dapat menghasilkan PI3-phosphate (PI3P) yang cukup untuk pertumbuhannya. PI3P terlibat dalam biogenesis membran dan fusi dan

(4)

berperan dalam meningkatkan jumlah parasit yang berkembang dari stadium cincin menjadi skizon. Pada parasit yang resisten terhadap artemisinin, K13 tidak dapat berikatan dengan PI3K sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas dan akumulasi dari PI3K. Akumulasi dari PIK3 selanjutnya akan menyebabkan meningkatnya kadar basal PI3P. Dalam kondisi ini, kadar basal PI3P yang tinggi mampu

mendorong kelangsungan hidup dan

pertumbuhan parasit yang terpapar

artemisinin.16

Mutasi K13 juga akan memberikan

perubahan fenotip dari siklus hidup

Plasmodium falciparum. Adapun perubahan fenotip paling menonjol yang terlihat dari Plasmodium falciparum dengan resistensi

terhadap artemisinin adalah adanya

perubahan pola perkembangan pada fase intraeritrositik berupa pemanjangan stadium cincin, baik dengan tanpa atau adanya artemisinin. Tanpa adanya tekanan obat, pada Plasmodium falciparum dengan resistensi artemisinin, terlihat adanya pemanjangan

perkembangan stadium cincin hingga

mencapai 30 jam dari siklus hidupnya. Durasi ini 14 jam lebih panjang dibandingkan dengan durasi pada kelompok kontrol (kelompok normal sensitif artemisinin). Fase cincin yang memanjang selanjutnya diikuti oleh stadium tropozoit yang memendek secara temporal

walaupun sebelumnya didahului oleh

perkembangan normal pada skizon.6

Penanggulangan resistensi (klirens parasit yang melambat) dapat dilakukan dengan beberapa cara. Adapun cara tersebut antara lain adalah dengan memperpanjang durasi pengobatan dan mengkombinasikan artemisinin dengan obat lain (bukan obat kombinasi).

Pada malaria dengan mutasi K13, pemberian dihidroartemisinin (DHA) selama 3 hari memberikan hasil pengurangan beban parasit 50 kali lebih rendah dibandingkan dengan pengurangan parasit pada keadaan normal. Namun, data dari sebuah uji klinis yang dilakukan di daerah dengan prevalensi mutasi K13 tinggi menunjukkan bahwa dapat tercapai efikasi pengobatan sebesar 98% pada terapi artemisinin yang diperpanjang, yaitu selama 6 hari. Oleh karena itu, berdasarkan

data yang ada, pemanjangan durasi

pemberian artemisinin menjadi 4-6 hari pada parasit dengan mutasi K13 diprediksi akan

memberikan hasil setara dengan pemberian artemisinin selama 3 hari pada parasit normal.15,17

Selain memperpanjang durasi

pemberian artemisinin, menanggulangi

resistensi artemisinin juga dapat dilakukan dengan cara mengkombinasikan artemisinin dengan obat yang dapat membalikkan resistensi tersebut. Adapun obat yang biasa digunakan biasanya adalah obat dari golongan proteasome inhibitor seperti Carfilzomib dan Bortezomib. Kombinasi artemisinin dan proteasome inhibitor terbukti mampu memberikan efikasi terapi terhadap parasit dengan resistensi artemisinin.18,19

Ringkasan

WHO mendefinisikan resistensi

artemisinin sebagai klirens parasit yang melambat. Resistensi Plasmodium falciparum terhadap artemisinin pertama kali dilaporkan pada tahun 2009 di Kamboja dan sekarang telah meluas ke beberapa negara lainnya seperti Vietnam, Thailand, India, Afrika, dll. Adapun salah satu penyebab terjadinya resistensi artemisinin pada Plasmodium falciparum yang telah diketahui adalah adanya mutasi pada protein propeller dari gen K13 Plasmodium falciparum. Mutasi ditemukan di beberapa alel antara lain yaitu C580Y, R539T, Y493H, I543T F446L, N458Y, P574L, R561H, A578S, dimana setiap wilayah endemis malaria dengan resistensi artemisinin memiliki pola posisi mutasi yang berbeda. Mutasi pada gen ini akan menyebabkan peningkatan respons sel terhadap stres oksidatif sehingga sel tidak terdegradasi walaupun setelah pemberian artemisinin. Selain memodifikasi respon stress sel, mutasi K13 juga dapat meningkatkan kadar dan aktivitas PI3K sehingga secara tidak langsung mempengaruhi kadar basal dari PI3P yang esensial bagi parasit untuk melanjutkan perkembangan dari stadium cincin ke skizon. Perubahan fenotip pada resistensi artemisinin yang tampak antara lain adalah berupa pemanjangan stadium cincin dan pemendekan sementara perkembangan trofozoit. Resistensi terhadap artemisinin dapat ditanggulangi antara lain dengan memperpanjang durasi pengobatan (dari regimen 3 hari menjadi 4 hari) dan mengkombinasikan artemisinin dengan obat golongan proteasome inhibitor.

(5)

Mutasi pada gen K13 Plasmodium falciparum turut berkontribusi dalam mekanisme terjadinya resistensi Plasmodium

falciparum terhadap obat golongan

artemisinin dengan meningkatkan ketahanan Plasmodium falciparum terhadap stres oksidatif.

Daftar Pustaka

1. WHO. World Malaria Report. Geneva: World Health Organization; 2016.

2. WHO. Guidelines For The Treatment of

Malaria. Geneva: World Health

Organization; 2015.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Lap Nas 2013. 2013;1-384.

4. Pusat Data dan Informasi, Direktorat

Pengendalian Penyakit Bersumber

Binatang. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Bul Jendela Data dan Inf Kesehat. 2011;1:1-16.

5. Thu AM, Phyo AP, Landier J, Parker DM,

Nosten FH. Combating

multidrug-resistant Plasmodium falciparum malaria. FEBS J. 2017;284(16):2569-78.

6. Hott A, Casandra D, Sparks KN, Morton LC, Castanares GG, Rutter A, dkk.

Artemisinin-resistant Plasmodium

falciparum parasites exhibit altered patterns of development in infected

erythrocytes. Antimicrob Agents

Chemother. 2015;59(6):3156-67.

7. Pandey N, Pandey-Rai S. Updates on artemisinin: an insight to mode of actions and strategies for enhanced global

production. Protoplasma.

2016;253(1):15-30.

8. Dogovski C, Xie SC, Burgio G, Bridgford J, Mok S, McCaw JM, dkk. Targeting the Cell

Stress Response of Plasmodium

falciparum to Overcome Artemisinin Resistance. PLoS Biol. 2015;13(4):1-26. 9. Ho WE, Peh HY, Chan TK, Wong WSF.

Artemisinins: Pharmacological actions beyond anti-malarial. Pharmacol Ther. 2014;142(1):126-39.

10. Zaw MT, Emran NA, Lin Z. Updates on k13 mutant alleles for artemisinin resistance in Plasmodium falciparum. J Microbiol Immunol Infect. 2017;51(2):159-16. 11. Straimer J, Gnädig NF, Stokes BH,

Ehrenberger M, Crane A a, Fidock A.

Plasmodium falciparum K13 Mutations

Differentially Impact Ozonide

Susceptibility and Parasite Fitness In Vitro. Am Soc Microbiol. 2017;8(2):1-12. 12. WHO. Status report on artemisinin and

ACT resistance. Geneva: World Health Organization; 2016.

13. Miotto O, Amato R, Ashley EA, MacInnis B, Almagro-Garcia J, Amaratunga C, dkk. Genetic architecture of artemisinin-resistant Plasmodium falciparum. Nat Genet. 2015;47(3):226-34.

14. Fairhurst RM. Understanding artemisinin-resistant malaria: what a difference a year makes. Curr Opin Infect Dis. 2015;28(5):417-25.

15. Tilley L, Straimer J, Gnädig NF, Ralph SA, Fidock DA. Artemisinin Action and Resistance in Plasmodium falciparum. Trends Parasitol. 2016;32(9):682-96. 16. Mbengue A, Bhattacharjee S, Pandharkar

T, Liu H, Estiu G, Stahelin R V., dkk. A molecular mechanism of artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria. Nature. 2015;520(7549):683-7. 17. Ashley EA, Dhorda M, Fairhurst RM,

Amaratunga C, Lim P, Suon S, dkk. Spread of Artemisinin Resistance in Plasmodium falciparum Malaria. N Engl J Med. 2014;371(5):411-23.

18. Li H, Ponder EL, Verdoes M,

Asbjornsdottir KH, Deu E, Edgington LE, dkk. Validation of the proteasome as a therapeutic target in plasmodium using an epoxyketone inhibitor with

parasite-specific toxicity. Chem Biol.

2012;19(12):1535-45.

19. Tschan S, Brouwer AJ, Werkhoven PR, Jonker AM, Wagner L, Knittel S, et al. Broad-spectrum antimalarial activity of peptido sulfonyl fluorides, a new class of proteasome inhibitors. Antimicrob Agents Chemother. 2013;57(8):3576-84.

Gambar

Gambar 1. Ilustrasi kematian dan kelangsungan hidup sel Plasmodium falciparum dengan atau  tanpa mutasi K13 setelah pemberian artemisinin 8,15

Referensi

Dokumen terkait

Jika jumlah penanda tangan usul hak interpelasi kurang dari jumlah, maka harus diadakan penambahan penanda tangan sehingga jumlahnya mencukupi.Jika terjadi pengunduran

Kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) yang dilakukan PLKB dan tim dalam mensosialisasikan program Keluarga Berencana (KB) dilakukan dengan dengan mempertimbangkan

İslamiyet Gerçeği (1. cilt), Kaynak Yayınları, İstanbul, kasım 1992. cilt), Kaynak Yayınları, İstanbul, mart 1993.. İslamiyet Gerçeği (4. cilt), Kaynak Yayınları,

1) Menyusun tata cara kerja kegiatan pemeriksaan darah, faeces, urine, dan cairan tubuh serta pengadministrasiannya meliputi cara.. pelaksanaan tugas, pendistribusian tugas,

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) dilakukan melalui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pengelola Program Nasional Pemberdayaan

33. Seminar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini “Pendidikan Anak Usia Dini:Investasi Strategis Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Nasional pada Masa Mendatang’,

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Upaya Guru Bimbingan dan Konseling dalam Menegakkan Tata Tertib Siswa di MTsN Angkinang. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

Menurut Whitten, dkk (2004) model dapat dibuat pada sistem yang sudah ada sebagai cara untuk memahami sistem tersebut dengan lebih baik. Salah satu jenis model logika