• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Demam Berdarah Dengue

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Demam Berdarah Dengue"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Referat

DEMAM BERDARAH DENGUE

PEMBIMBING : DR. AFAF SUSILAWATI Sp.A

DEVI ELIANI CHANDRA (11 2012 255)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

RSUD KOJA

PERIODE 9 MARET 2015 – 16 MEI 2015

(2)

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.

Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.

1

Definisi dan Etiologi

Demam berdarah dengue merupakan penyakit demam akut disebabkan oleh virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. 2

Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat

(3)

terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.1,2

Epidemiologi

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. 1

Dari Gambar 1 tampak siklus epidemik terjadi setiap sembilan-sepuluh tahunan, hal ini terjadi kemungkinan karena adanya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor, di luar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Menurut Mc Michael (2006), perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.1

(4)

Berdasarkan situasi di atas, terjadi tren yang terus meningkat dari tahun 1968 sampai tahun 2009. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus termasuk lemahnya upaya program pengendalian DBD, sehingga upaya program pengendalian DBD perlu lebih mendapat perhatian terutama pada tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas.

Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan Angka Insiden (AL) DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk), sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan AI DBD terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi termasuk dalam daerah risiko tinggi (AI > 55 kasus per 100.000 penduduk), lihat Gambar 2.

Dalam lima tahun terakhir (2005-2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi dapat dilihat pada Gambar 3. Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi setiap tahunnya. 1

(5)

Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik dibanding daerah lain, sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih luas. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembang biak. 1

Gambar 3. Lima provinsi tertinggi Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2005-2009

(6)

1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur >=15 tahun.1

Melihat data ini kemungkinan penularan tidak hanya di rumah tetapi di sekolah atau di tempat kerja. Sehingga gerakan PSN perlu juga digalakkan di sekolah dan di tempat kerja. Tampak telah terjadi perubahan pola penyakit DBD, dimana dahulu DBD adalah penyakit pada anak-anak dibawah 15 tahun, saat ini telah menyerang seluruh kelompok umur, bahkan lebih banyak pada usia produktif. Perlu diteliti lebih lanjut hal mempengaruhinya, apakah karena virus yang semakin virulen (ganas) atau karena pengaruh lain. 1

Bila dilihat, distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008, persentase penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin.1

Patofisiologi

Volume Plasma

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine Labelled human albumin sebagai indicator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vascular (ruang interstitial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini adalah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum,

(7)

pleura, dan pericardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infuse, dan terdapatnya edema.

Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop electron biopsy kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vascular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamine atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia. 2

Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotope membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam system retikuloendotel, limpa, dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa factor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif system komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi system pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. 2

(8)

Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis

Kelainan system koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut membuktikan adanya penurunan aktifitas antitrombin III. Di samping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas factor VII, factor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan factor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi system koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi system fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas α-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.

Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara potesial dapat juga terjadi pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan emncolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai perdarahan hebat, terlihatanya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. (3) perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh fakator kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan factor pemberkuan, dan kemungkinan besar oleh factor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolic. (4) antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang. 2

Sistem Komplemen

Penelitian system komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadara C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok amupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimnulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen

(9)

terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternative. Hasil penelitian radioisotope mendukung pendapat dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai

kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat untuk menimnulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemiik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan. Di samping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1).

Bukti-bukti yang mendukung peran system komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi, baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit. 2

Respons Leukosit

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopic yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan LOngsaman menyebutnya sebaga transformed lymphocytes. Dialporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%). Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oelh Sutaryo yang menyebutnya sebagaai limfosit plasma bitu (LPB). pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di antar hari keempat sapai kedepalan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua sampai dengan hari kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Definisi LPB adalah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan akdang-kadang di dalam inti terdapat

(10)

nucleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru. 2

Patogenesis

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.

Patogenesis DBD masih kontroversial. Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune

enhancement. Menurut hipotesis infeksi sekunder, akibat infeksi sekunder oleh tipe

virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu dan menyebabkan kenaikan titer tinggi IgG antidengue. Replikasi virus dengue mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit (Ht), penurunan natrium (Na) dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam dan bila tidak ditangani secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia yang dapat berakibat fatal.1,2

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.1-3

(11)

Spektrum klinis infeksi dengue

Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat terjadi asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome atau isolated organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang tidak lazim dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated organopathy. Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak.3

Gambar 4. Manifestasi klinis infeksi virus dengue

Sumber : World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. India : WHO, 2011

Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue

Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi dengue, yaitu

1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi

2. Fase kritis/ perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan plasma dengan derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites

3. Fase recovery/ penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma mendadak berhenti disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma.

(12)

Gambar 5.Tiga fase perjalanan infeksi dengue

Sumber : Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. World Health Organization, 2009

Gambaran klinis

a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)

Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai. 1,3-5

b. Demam dengue (DD)

Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang, nyeri retroorbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.

Pemeriksaan fisik :

 Demam: 39-40°C, berakhir 5-7 hari

(13)

 Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform

 Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal, lengan atas, dan tangan

 Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit yg normal, dapat disertai rasa gatal

 Manifestasi perdarahan

o Uji bendung positif dan/atau petekie

o Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna (jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia) . 1,3-5

c. Demam berdarah dengue

Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan masa penyembuhan (convalescence, recovery)

Fase demam

Anamnesis Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.

Pemeriksaan fisik

Manifestasi perdarahan

o Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.

o Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena. o Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.

o Epistaksis, perdarahan gusi o Perdarahan saluran cerna o Hematuria (jarang) o Menorrhagia

Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.

Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.

(14)

Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai dengan,

o Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar

o Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut. o Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar /

o Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi ≤20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.

o Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi.

Fase penyembuhan (convalescence, recovery)

Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD. . 1,3-5

d. Expanded dengue syndrome

Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal, otak,dan jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan.

Diagnosis Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium. 5

Kriteria klinis

o Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,

(15)

o Pembesaran hati

o Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

Kriteria laboratorium

o Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)

o Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit  20% dari nilai dasar / menurut standar umur dan jenis kelamin

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,

o Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/ peningkatan hematokrit20%.

o Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma o Dijumpai tanda perembesan plasma

o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi) o Hipoalbuminemia

o Perhatian

o Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas, mendukung diagnosis DSS.

o Nilai LED rendah ( < 10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis

(16)

Sumber : World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. India : WHO, 2011

Komplikasi

Demam Dengue

 Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan trauma.

Demam Berdarah Dengue

 Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.

 Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.

 Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian cairan pada masa perembesan plasma

 Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan hebat (DIC, kegagalan organ multipel)

 Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai

.

3,5

Manajemen Kasus DBD

Manajemen kasus DBD meliputi beberapa tahap yakni:3,5

1. Penilaian:

 Riwayat penyakit sekarang, riwayat pengobatan lalu, dan riwayat keluarga

 Pemeriksaan fisik, termasuk fisik umum dan mental

 Investigasi, termasuk laboratorium rutin dan spesifik-dengue 2. Diagnosis, penilaian fase penyakit, dan keparahan

3. Manajemen: menetapkan tatalaksana berdasarkan manifestasi klinis dan hal-hal terkait lainnya:

 Rawat jalan (kelompok A)

 Rawat inap (kelompok B)

 Membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi (kelompok C)

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis harus meliputi:5 (1) Onset demam/penyakit, (2) Jumlah intake oral, (3)

(17)

tetangga yang mengalami DBD, riwayat bepergian ke daerah endemis, kondisi penyerta (bayi, kehamilan, obesitas, diabetes mellitus, hipertensi), bepergian ke hutan dan berenang di air terjun (mengarahkan leptospirosis, tipus, malaria), riwayat penggunaan narkoba dan seks bebas (HIV serokonversi akut).

Sedangkan pemeriksaan fisik harus meliputi:5 (1) Status mental, (2) Status

hidrasi, (3) Status hemodinamik, (4) Takipnoe/pernapasan asidosis/efusi pleura, (5) Nyeri abdomen/ hepatomegali/asites, (6) Ruam dan manifestasi perdarahan, (7) Uji torniquet.6

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Ht), jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3).1

Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Pada akhir demam, jumlah leukosit, dan sel neutrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat.2,6,7

Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/µl. Pada umumnya trombosit terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit <100.000/µl biasanya ditemukan antara hari sakit 3-7. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun.1,2

Peningkatan kadar hematokrit (>20%) yang menggambarkan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh penggantian cairan dan perdarahan.1,2,6

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.6,7

2.2.3. Pemeriksaan Radiologi

Pada foto toraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II) didapatkan efusi pleura, terutama di hemitoraks sebelah kanan. Pemeriksaan foto toraks sebaiknya

(18)

dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.2

2.2.4. Pemeriksaan Antigen dan Antibodi Virus

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.2

Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari kelima seelah onset penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah berkurang. Kadar IgM meningkat dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam 2 minggu dan menurun hingga tak terdeteksi lagi setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG muncul beberapa hari setelah IgM dan pada infeksi primer, produksi IgG lebih rendah dibandingkan IgM, namun dapat bertahan beberapa tahun dalam sirkulasi, bahkan seumur hidup.11

Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat lebih banyak dibandingkan IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM. IgG merupakan antibodi predominan pada infeksi sekunder.2

Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen spesifik virus dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena itu, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer. 2

Diagnosis

Diagnosis DBD dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD secara klinis dapat ditegakkan bila semua hal di bawah ini terpenuhi:

(19)

2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis, dan melena.

3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).

4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:

 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar.

 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, dan hiponatremia.2,6

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:

• Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.

• Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.

• Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.

• Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.2,6

Sedangkan menurut WHO 2009, berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan/atau darah lengkap dan hematokrit, diagnosis DBD ditegakkan dengan melihat fase penyakit (febris, kritis, atau penyembuhan), menentukan adanya warning signs, hidrasi, dan status hemodinamik pasien, serta apakah pasien memerlukan rawat.3

Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya : Dengue probable :

 Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue  Demam disertai 2 dari hal berikut :

o Mual, muntah o Ruam

o Sakit dan nyeri o Uji torniket positif o Lekopenia

(20)

o Adanya tanda bahaya  Tanda bahaya adalah :

o Nyeri perut

o Muntah berkepanjangan o Terdapat akumulasi cairan o Perdarahan mukosa o Letargi, lemah

o Pembesaran hati > 2 cm

o Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.

Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma tidak jelas). 3

Kriteria dengue berat :

o Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan distress pernafasan.

o Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi

o Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan kesadaran, gangguan jantung dan organ lain)

Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %.3

Penatalaksanaan

Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip terapi utama adalah terapi suportif. Pemeliharaan cairan sirkulasi merupakan hal terpenting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan, terutama melalui oral, harus dipertahankan. Jika tidak bisa, maka diperlukan suplemen cairan melalui jalur intravena.1,4

Menurut WHO 2009, berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi lainnya, pasien dapat dibagi tiga kategori: rawat jalan (kelompok A), membutuhkan penanganan di rumah

(21)

sakit/rawat inap (kelompok B), dan membutuhkan penanganan emergensi atau urgensi (kelompok C).3

Kelompok-A

Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat dimotivasi untuk minum secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya sekali tiap enam jam, dan tidak mempunyai warning signs, khususnya saat demam mereda.

Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah progresi hingga melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat dipulangkan setelah dirawat dan diberikan edukasi untuk segera kembali ke rumah sakit apabila warning

signs muncul. Apabila warning signs muncul maka tindakan selanjutnya adalah:

Memotivasi minum oral rehydration solution (ORS), jus buah, dan cairan lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang hilang akibat demam.

 Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat demam. Interval pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari enam jam.

 Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda perembesan plasma atau perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan trombosit (kelompok-B).3

Kelompok-B

Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase kritis. Kriteria rawat pasien DBD adalah:5

1. Adanya warning signs

2. Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum, hipotensi postural, berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin.

3. Perdarahan

4. Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak syok), neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis).

5. Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites

6. Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia hemolitik,

overweight/ obese, bayi, dan usia tua

7. Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa transpor memadai.

(22)

 Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti normosalin 0,9%, RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu kurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis.

 Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat sedikit, lanjutkan dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Bila tanda vital memburuk dan Ht meningkat drastis, tingkatkan pemberian cairan 5–10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali status klinis, ulang Ht, dan periksa kecepatan cairan infus berkala.

 Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin output 0,5 ml/kg/jam selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus berkala saat kebocoran plasma berkurang, yakni saat akhir fase kritis. Hal ini bisa diketahui dari urin output dan/atau asupan minum cukup dan Ht menurun.

Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat. Parameter yang harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer (tiap 1-4 jam hingga lewat fase kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht (sebelum dan setelah pemberian cairan, selanjutnya tiap 6-12 jam), glukosa darah, dan fungsi organ sesuai indikasi.

Pada pasien tanpa warning signs, hal berikut harus dilakukan:

 Motivasi minum. Jika tidak bisa, mulai infus intravena dengan NS 0,9% atau RL dengan atau tanpa dekstrosa dengan dosis pemeliharaan. Untuk pasien

obese atau overweight digunakan dosis sesuai berat ideal. Berikan volume

minimum untuk memelihara perfusi dan urine output selama 24-48 jam. 3

 Pasien harus dimonitor: temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, hematokrit, leukosit, dan trombosit. Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan sesuai indikasi.

(23)

Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila mengalami DBD berat untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah. Resusitasi cairan dengan kristaloid isotonik secepatnya sangat penting untuk menjaga volume ekstravaskular saat periode kebocoran plasma atau larutan koloid pada keadaan syok hipotensi. Pantau nilai Ht sebelum dan sesudah resusitasi. Tujuan akhir resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer (takikardia berkurang, tekanan darah dan nadi meningkat, ekstremitas tidak pucat dan hangat, dan CRT <2 detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran membaik, urin output >0,5 ml/kg/jam, asidosis metabolik menurun). 3

Terapi pada Pasien Syok Terkompensasi

(24)

Sumber : World Health Organization. Dengue : guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. France : WHO, 2009

Terapi pada Syok Hipotensi

(25)

Sumber : World Health Organization. Dengue : guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. France : WHO, 2009

Indikasi Pulang Pasien DBD

(26)

 Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik

 Nafsu makan telah kembali

 Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur

 Diuresis baik

 Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok

 Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites

 Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari. 5

(27)

1. Sudjana P. Buletin jendela epidemiologi demam berdarah dengue. Vol 2. Jakarta : Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010.h.21-8.

2. Soedarmo SSS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012.h.155-81.

3. World Health Organization. Dengue : guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. France : WHO, 2009.p. 25-106.

4. Roespandi H, Nurhamzah W, et all. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat petama di kabupate/ kota. Jakarta : WHO Indonesia, 2008.h.162-6.

5. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. India : WHO, 2011.h. 17-56.

6. Kliegman RM, Stanton BMD, et all. Nelson textbook of pediatrics. 19th

edition. Canada : Elsevier Saunders,2011.p.1092-4.

7. Pudijadi AH, et all. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta : IDAI, 2009.h. 141-9.

Gambar

Gambar 3. Lima provinsi tertinggi Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2005-2009
Gambar 4. Manifestasi klinis infeksi virus dengue
Gambar  5.Tiga fase perjalanan infeksi dengue
Tabel 1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011.  5
+2

Referensi

Dokumen terkait

1) Pengkajian fisik pada pasien DBD dengan risiko perdarahan ditemukan adanya uji tourniquet positif, adanya ptekie, trombositopenia &lt;100.000/ul, terjadinya perembasan

Data trombosit yang digunakan adalah jumlah trombosit pada hari terjadinya perdarahan, atau jumlah trombosit terendah bila pada pasien tersebut tidak

Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian

Termasuk dalam kelainan yang disebabkan oleh amfetamin atau zat yang mirip amfetamin antara lain intoksikasi amfetamin, gangguan akibat penghentian penggunaan amfetamin, kelainan

Kelainan trombosit herediter bisa berupa kelainan fungsi dan kekurangan jumlah. Gejala utama yang muncul pada setiap individu adalah perdarahan

1) Fase Demam.. Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah

Komplikasi klinis pada fase febris, fase kritis dan fase pemulihan akibat infeksi DENV Fase Febris Dehidrasi : Demam tinggi menyebabkan kelainan neurologis dan kejang pada

Berikut ini beberapa gejala parah yang menandakan jika demam berdarah sudah masuk dalam intensitas berbahaya:  Tanda perdarahan, seperti mimisan, gusi berdarah, perdarahan di bawah