BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam dengue adalah penyakit febris-virus akut, seringkali ditandai
dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leukopenia
sebagai gejalanya. DBD ditandai oleh empat manifestasi klinis utama: demam
tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali dan, pada kasus berat,
tanda-tanda kegagalan sirkulasi (WHO, 1997).
DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus
dan memiliki 4 serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Infeksi terhadap salah satu serotipe tidak dapat memberikan imunitas silang
terhadap keempatnya, sehingga memungkinkan bagi penduduk yang berada di
daerah endemis terinfeksi oleh masing-masing keempat serotipe tersebut (Radji,
2015).
2.2 Definisi Dengue Shock Syndrome (DSS)
DSS merupakan kumpulan gejala DBD disertai terjadinya perembesan
cairan di luar pembuluh darah, pendarahan parah, dan syok yang mengakibatkan
tekanan darah sangat rendah, dan biasanya terjadi setelah 2-7 hari sesudah demam
terjadi (Soedarto, 2012).
2.2.1 Patogenesis Terjadinya DSS
Pada teori ADE (Antibody Dependent Enhancement), terjadi proses yang
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklir. Dengan
terjadinya permeabilitas pembuluh darah. Akibatnya terjadi hipovolemia dan syok
(Soedarto, 2012).
Sebagian besar ahli masih menganut The Secondary Heterologous
Infection Hypothesis atau The Sequential Infection Hypothesis, yaitu bahwa DBD
yang dialami seseorang setelah terinfeksi dengan virus dengue pertama kali
kemudian mendapat infeksi ulangan dengan tipe virus yang berlainan dalam
waktu 6 bulan-5 tahun. Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan The
Secondary Heterologous Infection Hypothesis dapat dilihat dari rumusan yang
dikemukakan oleh Suvatte (1997), yaitu akibat infeksi kedua oleh tipe virus yang
lain pada seorang penderita dengan kadar antibody antidengue yang rendah,
respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan poliferasi dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan
titer tinggi antibody IgG antidengue. Di samping itu, replikasi virus dengue terjadi
juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks
antigen-antibodi (virus antigen-antibodi kompleks) yang selanjutnya:
1. Akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh
darah dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding itu. Renjatan
yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia
jaringan, asidosis metabolik, dan berakhir dengan kematian.
2. Dengan terdapatnya kompleks virus-antibodi dalam sirkulai darah
metamorfosis, sehingga dimusnahkan oleh sistem RE dengan akibat terjadi
trombositopenia hebat dan perdarahan. Disamping itu, trombosit yang
mengalami metamorfosis akan melepaskan faktor trombosit 3 yang
mengaktivasi sistem koagulasi.
3. Akibat faktor Hageman (faktor XII) yang selanjutnya juga mengaktivasi
sistem koagulasi dengan akibat terjadinya pembekuan intravaskuler yang
meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan berubah menjadi
plasmin yang berperan pada pembentukan anafilaktosin dan penghancuran
fibrin menjadi fibrin degradation product (FDP).
Disamping aktivasi, faktor XII akan menggiatkan juga sistem kinin yang
berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.
Menurunnya faktor koagulasi dan kerusakan hati akan menambah beratnya
perdarahan (Rampengan, 2007)
2.3 Etiologi
Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat
serotipe virus dengue (disebut DEN-1, DEN-2, dst.) dapat dibedakan dengan
metode serologi. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan
imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi
hanya menjadi perlindungan sementara dan parsial terhadap serotipe yang lain.
(Soedarto, 2007)
Virus-virus dengue menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan
flavivirus lain, mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh
mempunyai diameter kira 50 nm. Genom flavivirus mempunyai panjang
kira-kira 11 kb (kilobases), dan urutan genom lengkap dikenal untuk mengisolasi
keempat serotipe, mengode nukleokapsid atau protein inti (C), protein yang
berkaitan dengan membran (M), dan protein pembungkus (E) dan tujuh protein
nonstruktural (NS). Domain-domain bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi,
dan interaksi dengan reseptor virus berhubungan dengan protein pembungkus.
Urutan dari pengkodean protein adalah 5’
-C-prM(M)-E-NS1-NS2A-NS2B-NS3-NS4A-NS4B-NS5-3’ (WHO, 1997).
2.4 Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue merupakan penyakit yang sistemik dan dinamis yang
memiliki spektrum klinis yang luas yang mencakup dua manifestasi klinis yang
ringan dan berat. Setelah masa inkubasi, penyakit secara tiba-tiba mulai dan
diikuti oleh tiga tahap – demam, kritis, dan pemulihan (WHO, 2009)
2.4.1 Fase Demam
Penderita biasanya mengalami demam tinggi (39-410C) secara tiba-tiba.
Fase demam akut ini biasanya berlangsung 3-7 hari dan seringkali diikuti
kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri seluruh badan, nyeri otot, nyeri sendi,
dan sakit kepala. Sebagian penderita mungkin memiliki radang tenggorokan,
infeksi faring, dan konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah adalah hal biasa.
Pada manifestasi perdarahan ringan seperti petekia, dan perdarahan mukosa
membran (misalnya hidung dan gusi) sudah dapat dilihat.
2.4.2 Fase Kritis
Pada sekitar waktu penurunan suhu badan sampai suhu yang normal,
ketika suhu turun ke 37,5-380 C atau dibawahnya dan tetap di bawah level ini,
biasanya pada hari 3-6 dari sakit, peningkatan permeabilitas kapiler secara pararel
dengan meningkatnya tingkat hematokrit mungkin terjadi. Hal ini menandakan
awal dari fase kritis. Kebocoran plasma yang signifikan secara klinis biasanya
berlangsung selama 24-48 jam.
Syok terjadi ketika volume plasma berkurang akibat terjadinya kebocoran.
Hal ini seringkali dijadikan sebagai tanda bahaya. Suhu tubuh bisa dibawah
normal ketika syok terjadi. Syok yang berkepanjangan, mengakibatkan penurunan
fungsi organ, asidosis metabolik, dan penyebaran koagulasi intravaskuler. Hal ini
mengarah ke perdarahan parah dan menyebabkan hematokrit menurun menjadi
syok yang parah.
2.4.3 Fase Pemulihan
ekstravaskuler berangsur-angsur selama 48-72 jam. Umumnya penderita mulai
sembuh, nafsu makan kembali, masalah pencernaan berkurang, tekanan darah
stabil (Gubler et. al, 2014)
2.5 Klasifikasi Derajat Keparahan DBD
2.5.1 WHO (1997) mengklasifikasikan DBD menurut derajat keparahan yaitu:
Derajat I: Demam dengan gejala tidak jelas; manifestasi perdarahan hanya
dalam bentuk tourniquet positif dan atau mudah memar.
2.5.2 Derajat II: Manifestasi derajat I ditambah perdarahan spontan, biasanya
berupa perdarahan kulit atau perdarahan pada jaringan lainnya.
2.5.3 Derajat III: Kegagalan sirkulasi berupa nadi tekanan sempit dan lemah,
atau hipotensi, dengan gejala kulit dingin dan lembab dan penderita
gelisah.
2.5.4 Derajat IV: Terjadi gejala awal syok berupa tekanan darah rendah dan nadi
tidak dapat diukur.
2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorium (WHO, 2011)
2.6.1 Kriteria Klinis
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie,
purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis,
3. Pembesaran hati.
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
(≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan
penderita tampak gelisah.
2.6.2 Kriteria Laboratorium
1. Trombositopenia (≤100.000//µL)
Trombositopenia adalah keadaan dimana trombosit dalam sirkulasi
jumlahnya dibawah normal (150.000-350.000//µL). Trombosit sangat
penting dalam proses pembekuan darah agar tidak terjadi perdarahan
yang berlebihan (Guyton dan Hall, 2007).
2. Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit ≥ 20%.
Hematokrit adalah nilai yang menunjukan persentase zat padat dalam
darah terhadap cairan darah. Dengan demikian, bila terjadi perembesan
cairan darah keluar dan pembuluh darah, sementara bagian padatnya
tetap dalam pembuluh darah, akan membuat persentase zat padat darah
terhadap cairannya naik sehingga kadar hematokritnya juga meningkat.
Peningkatan hematokrit disebut juga hemokonsentrasi (Hardjoeno H,
2007).
2.7.1 Epidemiologi
2.7.2 Distribusi menurut orang
Distribusi penderita DBD dengan DSS menurut orang banyak terjadi pada
jenis kelamin perempuan dan usia <15 tahun. Berdasarkan penelitian Anders, K.
dengan Odds Ratio = 1,19 (95% Confidence Interval (CI) = 1,14-1,24) dan
memiliki risiko kematian dengan OR sebesar 1,57 (95% CI = 1,14-2,17) dan
berdasarkan hasil penelitian Yatra (2015), diketahui variabel yang bermakna
sebagai faktor yang meningkatkan risiko kejadian DSS pada penderita DBD
adalah umur <15 tahun dengan OR sebesar 2,5 (95% CI= 0,94-6,88).
Hasil penelitian dari Saniathy, dkk (2009), didapatkan bahwa anak yang
obesitas memiliki risiko 4,9 kali (95% CI= 1,5-16,0) lebih besar untuk mengalami
DSS dibandingkan dengan anak tidak obesitas. Hasil penelitian Adjad (2001),
didapatkan bahwa penderita DBD dengan kelompok umur kurang dari 5 tahun
memiliki risiko 2,10 kali lebih besar untuk menjadi DSS.
2.7.3 Distribusi menurut tempat
DBD endemis pada daerah-daerah tropis subtropis, dan sedang seperti
Filipina, Thailand, Myanmar, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Vietnam.
Kejadian DBD dengan DSS di Indonesia kebanyakan terjadi di daerah perkotaan
(Soegijanto, 2006).
2.7.4 Distribusi menurut waktu
Kasus DBD di Indonesia biasanya terjadi pada musim hujan dimana
semakin banyak tempat untuk nyamuk Aedes aegypti untuk berkembangbiak,
namun akhir-akhir ini kasus DBD sering terjadi di awal bulan Januari.
(Soegijanto, 2006)
Hasil penelitian Safinah (2004) didapati bahwa proporsi penderita DBD
Rawat Inap di RSUD Dr. Pirngadi tahun 2002 paling banyak pada bulan
Sedangkan penelitian Mandriani (2009) didapati bahwa proporsi penderita DBD
yang mengalami DSS berdasarkan bulan terdapat pada bulan Januari dengan
persentase 22,1%.
2.8 Pencegahan
2.8.1 Pencegahan Primer
Demam berdarah dengue tanpa disertai syok, pengobatannya hanya
bersifat simptomatis dan suportif, yaitu (Rampengan, 2007):
1. Pemberian cairan yang cukup
Cairan oralit sebaiknya diberikan untuk mengurangi rasa haus
dandehidrasi akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Pada
beberapa penderita dapat diberikan oralit.
2. Antipiretik
3. Surface cooling
4. Antikonvulsan
Bila penderita kejang dapat diberikan : Diazepam (Valium), Fenobarbital
(Luminal).
2.8.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan yang dapat dilakukan pada saat penderita pertama kali
terserang syok dan penyebab belum diketahui pasti adalah segera dilakukan
pemeriksaan laboratorium agar diketahui apa yang menjadi penyebab terjadinya
syok dan segera dilakukan pemberian terapi cairan guna menghindari
perkembangan kondisi kearah yang buruk. Sejalan dengan terapi cairan penderita
(Central Venous Pressure) bila memungkinkan segera dilakukan untuk
mengoptimalkan dan pemantauan penatalaksanaan cairan.
Cairan yang digunakan untuk penatalaksanaan syok, yaitu cairan
kristaloid, cairan koloid, cairan yang mengandung dekstrosa, cairan yang
mengandung kristaloid dan dekstrosa serta darah atau komponen darah, macam
dan cara pemberian cairan tersebut dapat dipilih dan ditentukan berdasarkan
tujuan pemberian cairan (Nasronudin dkk, 2007)
1. Penderita Syok Akibat Perpindahan Plasma
Pemberian cairan pengganti yaitu cairan Kristaloid sebagai prioritas
pertama pada pentalaksanaan DSS akibat perpindahan plasma. Dosis yang dapat
diberikan adalah 15ml/kg/BB/jam.
2. Penderita Syok Akibat Perdarahan
Penderita syok akibat perdarahan tidak harus selalu segera dilakukan
transfusi darah, dan apabila memang harus diberikan transfusi darah perlu
diketahui juga produk darah apa yang akan diberikan melalui pemeriksaan
laboratorium. Bila perdarahan diakibatkan jumlah trombosit sangat rendah maka
diberikan transfusi trombosit, perdarahan akibat gangguan fungsi pembekuan
darah maka dilakukan transfusi plasma, perdarahan akibat trombosit rendah,
gangguan fungsi trombosit, dan gangguan funsi pembekuan darah diberikan
transfusi trombosit dan plasma atau transfusi darah segar (fresh whole blood).
2.8.3 Pencegahan Tersier
Ketika syok tetap tidak dapat diatasi dengan pemberian cairan kristaloid,
lebih dari 30%. Cairan koloid diberikan 10-20 ml/kg/jam. Cairan koloid yang
dianjurkan yang tidak menganggu mekanisme pembekuan darah maupun sel
darah. untuk itu dipilih cairan koloid yang isoonkotik dan isotonik (Nasronudin
dkk, 2007).
2.9 Kerangka Konsep
Karakteristik Penderita DSS dan Non DSS dengan DSS di
RSUD. Dr. Pirngadi tahun 2013-2015
1. Sosiodemografi 1. Umur
2. Jenis kelamin 3. Agama 4. Pendidikan 5. Pekerjaan
2. Tanda-tanda perdarahan 3. Jumlah trombosit 4. Persentase hematokrit 5. Penatalaksanaan medis 6. Lama rawatan