• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal dimulai pada 1 Januari 2001 berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Republik Indonesia 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU RI No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, terdapat prinsip (rules) money follows function yang artinya setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut (Bahl,2000:19).

Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal didasarkan pada pertimbangan bahwa daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memacu peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketika satu daerah dapat memiliki perbedaan struktur anggaran dibandingkan dengan daerah lain, maka hal itu akan berimplikasi kepada kinerja daerah yang bersangkutan. Bahkan, dua daerah yang memiliki jumlah anggaran yang sama, dapat memiliki kinerja yang berbeda akibat perbedaan struktur anggaran yang dijalankan (Nazara, 2010).

Dengan adanya desentralisasi fiskal, kemampuan daerah khususnya dalam mengelola dana secara mandiri menjadi tuntutan yang nyata, sehingga seluruh potensi dapat dioptimalkan melalui mekanisme perencanaan secara tepat. Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro dan Smith, 2006). Pemerintah Daerah harus mampu berperan dalam mengelola keuangannya secara mandiri agar dapat mengoptimalkan seluruh potensi melalui mekanisme perencanaan yang efektif dan efisien dengan melihat hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai pada tahun sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh daerah otonom, agar dapat dikatakan proses perencanaan keuangan yang baik berdampak pada membaiknya kinerja perekonomian dan keuangan daerah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi membaiknya perekonomian daerah dapat diukur melalui indikator-indikator seperti pertumbuhan ekonomi yang meningkat, serta tingkat penggangguran dan kemiskinan yang menurun di mana hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED). tata kelola ekonomi daerah ditinjau dari sisi kebijakan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Peran investasi swasta amat penting dalam perekonomian suatu negara. Secara agregat, investasi swasta, pemerintah dan masyarakat menggerakkan dinamika perekonomian dalam pembentukan produk domestik bruto negara yang bersangkutan. Hal tersebut juga berlaku untuk perekonomian suatu daerah dalam pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB). Prestasi ekonomi suatu negara dapat dinilai dengan berbagai ukuran agregat. Secara umum, prestasi tersebut diukur melalui sebuah besaran dengan istilah Pendapatan Nasional. Meskipun bukan merupakan

(2)

satu-satunya ukuran untuk menilai prestasi ekonomi suatu negara, itu cukup representatif dan sangat lazim digunakan. Pendapatan Nasional bukan hanya berguna untuk menilai perkembangan ekonomi suatu negara dari waktu ke waktu, tetapi juga membandingkannya dengan negara lain. Rinciannya secara sektoral dapat menerangkan struktur perekonomian negara yang bersangkutan. Di samping itu, dari angka pendapatan nasional selanjutnya dapat pula diperoleh ukuran turunannya, sepeti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (Dumairy,1996).

Berhasil atau tidaknya proses pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara atau wilayah dapat dilihat dari perkembangan indikator-indikator perekonomian tersebut, apakah mengalami peningkatan atau penurunan. Satu dari indikator tersebut yang dapat dilihat adalah produk domestik bruto, untuk daerah disebut produk domestik regional bruto. Selain PDRB, pendapatan per kapita merupakan juga satu konsep penting dalam perekonomian suatu negara. Menurut Todaro (2003), produk nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu negara.

Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu Pemerintah Daerah (PEMDA) dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta.

Kebijakan Pemerintah Daerah terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah (PERDA), diantaranya perda tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan utama, Pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Setelah fungsi pelayanan publik mendapatkan perbaikan kualitas, maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan berkelanjutan adalah penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan yang dapat dibiayainya (KPPOD, 2007).

Peran investasi swasta dalam menggerakkan perekonomian suatu negara/daerah sangatlah penting. Iklim investasi itu sendiri dimaknai sebagai iklim investasi dalam konteks kompetisi antar wilayah (negara/daerah) untuk menarik aktivitas bisnis ke wilayah yang bersangkutan. Secara teoritis, indikator yang digunakan dapat diklasifikasikan dalam kategori regulasi/kebijakan, kelembagaan, dan daya dukung suatu wilayah. Dalam penelitian ini, tata kelola ekonomi daerah merupakan satu dari beberapa indikator yang mempengaruhi kinerja perekonomian daerah selain proses perencanaan dan penganggaran.

Namun, hasil penelitian McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini diduga karena hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat sedemikian kompleks sehingga analisis yang dilakukan oleh Mc Culloch dan Malesky dengan menggunakan data agregat tersebut tidak mampu menangkap hubungan tersebut. Dengan demikian dimungkinkan terjadinya perbedaan hasil dari penggunaan data agregat dan dengan data disagregat. Hal ini dikarenakan hubungan setiap variabel penyusun indeks dapat mempunyai arah hubungan yang berbeda dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga pengagregatan berupa indeks justru akan menghilangkan hubungan tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan analisis secara parsial dengan menganalisis variabel-variabel yang ditanyakan kepada responden untuk mengetahui

(3)

keterkaitan setiap indikator tata kelola ekonomi daerah terhadap kinerja perekonomian daerah.

Kompleksitas hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi juga dikemukan oleh De Mello (2010) yang menyatakan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung, tata kelola dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui jalur infrastruktur, perdagangan, dan atau investasi.

Menurut Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, terdapat beberapa faktor-faktor yang menentukan daya tarik investor untuk masuk ke suatu daerah. Diduga Faktor-faktor tersebut terjadi di Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tengah. Hasil penelitian KPPOD menunjukkan bahwa faktor kelembagaan memiliki bobot tertinggi di antara faktor-faktor yang lain. Hal inilah yang mendorong komite pemantauan pelaksanaan otonomi daerah untuk melakukan survei yang isinya mengakomodir persepsi para pelaku usaha terhadap tata kelola ekonomi daerah kabupaten/kotanya. Hasil survey KPPOD menunjukkan dari 11 kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah hanya 3 Kabupaten yang mempunyai indeks tata kelola ekonomi daerah yang kondusif (di atas 70) yaitu kabupaten Banggai, Kabupaten Parigi Moutong serta Kabupaten Sigi dengan indeks TKED masing-masing pada peringkat 19, 22 dan 25 dari peringkat Nasional.

Penelitian ini memilih Kabupaten Donggala dan Kota Palu sebagai daerah penelitian. Pemilihan dan alasan pengambilan daerah penelitian Kabupaten Donggala dan Kota Palu adalah karena meskipun kedua daerah tersebut sama-sama tergolong sebagai daerah yang indeks TKED nya tidak tinggi namun memiliki karakteristik daerah yang berbeda, dengan kinerja perekonomian yang sangat berbeda, sehingga menarik untuk diperbandingkan. Pada tahun 2010 Kabupaten Donggala yang merupakan Kabupaten tertua di Propinsi Sulawesi Tengah hanya memiliki PDRB per kapita Rp. 13.145.543 sementara itu Kota Palu memiliki PDRB per kapita Rp.18.133.245. Namun demikian dari sisi indeks tata kelola ekonomi daerah Kota Palu berada di bawah peringkat Kabupaten Donggala. Indeks TKED Kota Palu 66,7% sedangkan Kabupaten Donggala 68,3%. Pengangguran di Kabupaten Donggala turun sebesar 39,1% dari tahun sebelumnya demikian pula dengan kemiskinan yang turun sebesar 42,9%. Sementara itu pengangguran di Kota Palu turun 8,1% tetapi kemiskinan meningkat sebesar 11,3%. (tabel 1). Perbandingan antar data indeks TKED hasil survei KPPOD dengan data pertumbuhan, kemiskinan dan pengangguran di kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah khususnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu menimbulkan pertanyaan dan diduga hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam proses perencanaan dan pengganggaran APBD yang terdapat di kedua daerah tersebut. Selanjutnya, kontribusi konsumsi rumah tangga dalam pembentukan PDRB sangatlah dominan, untuk Kota Palu mencapai 60,29% dan Kabupaten Donggala mencapai 53,91%. Investasi swasta di Kabupaten Donggala maupun Kota Palu masih relatif kecil. Hal ini dilihat dari kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap PDRB untuk Kabupaten Donggala sebesar 19,45% dan Kota Palu hanya 14,85% (lampiran 13).

(4)

Tabel 1 Indeks TKED, PDRB per kapita, Pertumbuhan, Perubahan Pengangguran, Perubahan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah tahun 2009 – 2010 (dalam %) Daerah Indeks TKED (persen) PDRB Perkapita (rupiah) Pertumbuhan Ekonomi (persen) Perubahan Pengangguran (persen) Perubahan Kemiskinan (persen) Bangga i 72.1 12.841.10 1 9.7 (25.5) (13.5) Parigi Moutong 71.3 15.344.36 5 7.8 (39.6) 7.1 Sigi 71.2 14.657.36 0 7.8 - - Toli-toli 69.1 12.658.98 4 7.5 (28.3) (8.6) Tojo Una-una 68.8 8.691.160 7.8 (37.7) (36.5) Donggala 68.3 13.145.54 3 7.0 (39.1) (42.9) Buol 66.8 9.838.867 7.4 (33.0) (3.7) Kota Palu 66.7 18.133.24 5 7.9 (8.1) 11.3 Banggai Kepulaua n 63.5 8.600.562 8.3 (22.6) (14.3) Poso 62.9 10.515.54 8 7.8 (10.9) 8.9 Morowali 62.0 17.974.33 7 8.6 6.5 (1.0) Sulteng 13.709.436 7.8 (14.8) (5.7)

Sumber: KPPOD 2011, BPS Sulawesi Tengah 2011.

Perumusan Masalah

Otonomi daerah adalah reformasi kepemerintahan yang mempunyai dampak ekonomi. Dengan adanya penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah, maka pengusaha akan lebih banyak berhubungan langsung dengan pemerintah daerah, bukan lagi dengan pemerintah pusat. Perubahan ini juga membawa berbagai masalah, seperti adanya peningkatan jumlah dan besarnya pungutan, berbagai kasus korupsi, dan munculnya peraturan daerah yang menghambat dunia usaha. Pada saat bersamaan, desentralisasi juga membuka banyak kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerahnya secara mandiri dan transparan agar dana yang ada benar-benar dapat digunakan secara efesien dan efektif melalui proses perencanaan dan penganggaran yang tepat. Penyerahan urusan kepemerintahan membuka peluang bagi pemerintah daerah meningkatkan kemakmuran masyarakat melalui inovasi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta pembangunan ekonomi daerah untuk penciptaan lapangan kerja.

(5)

Kinerja perekonomian daerah bukan hanya di pengaruhi oleh TKED yang baik, akan tetapi juga dipengaruhi oleh proses perencanaan dan penganggaran APBD. Bagaimana tata kelola ekonomi daerah mempengaruhi Kinerja Perekonomian Daerah serta bagaimana Proses Perencanaan dan Penganggaran APBD mempengaruhi Kinerja Perekonomian Daerah? Kedua pertanyaan inilah yang dicoba dijawab melalui penelitian ini.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian berjudul “ Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah”, untuk menjawab pertanyaan:

1. Bagaimana Tata Kelola Ekonomi Daerah dan keuangan daerah mempengaruhi Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah?

2. Bagaimana proses penyelenggaraan perencanaan dan penganggaran APBD mempengaruhi kinerja perekonomian & keuangan daerah di Kabupaten Donggala & Kota Palu?

Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan keuangan daerah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah.

2. Mengdeskripsikan proses perencanaan dan pengganggaran APBD di Kabupaten Donggala dan Kota Palu.

Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi:

1. Bahan evaluasi dan pemantauan pemerintah masing-masing kabupaten/kota untuk memperbaiki kinerjanya TKED.

2. Bahan pertimbangan untuk rekomendasi kebijakan dalam rangka menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif di masing-masing kabupaten/kota.

Bagi peneliti lain dan masyarakat, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi dasar penelitian lanjutan, serta menjadi bahan kajian mengenai kondisi keuangan dan perekonomian daerah kabupaten dan kota di provinsi Sulawesi Tengah.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian untuk menganalisis permasalahan proses perencanaan dan penganggaran mencakup 1 kabupaten dan 1 kota, sedangkan untuk menganalisis permasalahan pengaruh tata kelola ekonomi daerah mencakup 11 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah pada periode 2011. Berdasarkan PP No 58 tahun 2005, proses perencanaan dan penganggaran adalah proses pelaksanaan terbentuknya APBD di Kabupaten Donggala dan Kota Palu yang lingkupnya meliputi disiplin anggaran, prioritas anggaran, efisiensi anggaran, efektifitas pengelolaan anggaran, akuntabilitas dan transparansi anggaran. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.

(6)

Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut: Investasi adalah pembentukan modal tetap bruto ditambah perubahan stock. Belanja modal adalah realisasi dalam APBD tahun 2010. Kinerja Perekonomian Daerah dilihat melalui 3 indikator yaitu pertumbuhan Pendapatan Perkapita, di mana pertumbuhan pendapatan per kapita yang digunakan adalah pada tahun 2010 (dalam %); penggangguran adalah nilai absolut tingkat pengangguran tahun 2009-2010 (dalam %) dan kemiskinan adalah nilai absolut tingkat kemiskinan tahun 2009-2010 (dalam %). Tata Kelola Ekonomi Daerah diukur dengan menggunakan indikator yang digunakan oleh KPPOD dalam survei tahun 2011 yang terdiri dari delapan unsur indikator utama dan 44 sub indikator.

Gambar

Tabel  1      Indeks  TKED,    PDRB  per  kapita,  Pertumbuhan,  Perubahan  Pengangguran,   Perubahan  Kemiskinan    Kabupaten/Kota    di  Sulawesi  Tengah  tahun  2009  –  2010 (dalam %)  Daerah  Indeks    TKED  (persen)  PDRB  Perkapita (rupiah)  Pertumb

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini, dipersiapkan bahan dan alat yang akan digunakan dalam pengujian. Pada awal persiapan bahan, tanah lempung dibiarkan kering udara sampai benar-benar

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: adanya pengaruh secara bersama-sama dari variabel persepsi resiko, variabel kualitas, variabel harga dan variabel nilai terhadap

Metode ini pada umumnya melibatkan proses pencampuran bahan-bahan baku berupa serbuk karbonat, serbuk oksida, serbuk hidoksida atau serbuk garam dengan jumlah yang sesuai

Bagaimana merencanakan dan merancang bangunan yang berfungsi sebagai kantor DPRD Sukoharjo sebagai wadah yang memiliki kesan terbuka lingkungan sekitar dalam hal

dengan Bidan Desa Juwet serta Kepala Sekolah agar tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Hal terebut bertujuan agar tidak lagi terjadi kecemburuan sosial antar

Salah satu penyebab penyalahgunaan obat adalah kurangnya pengetahuan.Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa kelas XI terhadap

Oleh karena itu, peneliti ingin menganalisis, apakah terdapat hubungan lama pemakaian sepatu boots dengan angka kejadian Tinea pedis pada pekerja pemungut sampah

Target pelaksanaan Program Pengabdian kepada Masyarakat yaitu terjadinya peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru dan karyawan SD Muhammadiyah Sleman dalam