• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Biomarker Fraksi Aromatik Batubara Muara Wahau, Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Identifikasi Biomarker Fraksi Aromatik Batubara Muara Wahau, Kalimantan Timur"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

 

Identifikasi Biomarker Fraksi Aromatik Batubara Muara Wahau,

Kalimantan Timur

Basuki Rahmad1a, Komang Anggayana2, Sri Widodo3, Agus Haris Widayat2.

1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta 2Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumberdaya Bumi, Program Studi Rekayasa Pertambangan, Fakultas Teknik

Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung

3 Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar aemail: b_rahmad2004@yahoo.com; basukirahmad@upnyk.ac.id

ABSTRAK

Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur. Tatanan geologi daerah Muara Wahau berada di Cekungan Kutai Bagian Atas termasuk dalam Formasi Wahau berumur Miosen Awal. Batubara Muara Wahau memiliki keunikan yang khas yaitu kandungan inertinite yang berlimpah dengan nilai rata-rata 20,1% dengan kematangan yang rendah (immature) dengan Rv (random) 0,40-0,44 termasuk peringkat lignite.

Conto batubara diambil dari Seam-1 langsung dari inti bor yaitu lubang bor GT-02. Pengambilan conto dilakukan dengan metode coring dengan preparasi ply by ply berdasarkan kenampakan lithotype. Analisa laboratorium conto batubara untuk analisis geokimia organik dilakukan dengan cara ekstraksi soxhlet kemudian menggunakan column chromatography untuk memperoleh fraksi aromatik.

Turunan picene seperti 1,2,4a,9-tetramethyl-1,2,3,4,4a,5,6,14b-octahydropicene mendominasi dengan konsentrasi paling tinggi 6509 µg/g TOC dibanding senyawa-senyawa pentasiklik lainnya dalam fraksi hidrokarbon aromatik batubara Muara Wahau.

Kehadiran amyrin yang dihasilkan dari microbial degradation atau akibat dari oxidative degradation di iklim tropis dan beberapa turunan amyrin yang khas dari batubara Muara Wahau salah satunya adalah fraksi aromatik non-hopanoid pentacyclic triterpenoid (picene) yang mengindikasikan tumbuhan asal angiosperm. Kehadiran picene mengimplikasikan bahwa pembentukan batubara Muara Wahau masih dalam transformasi awal selama tahap pertama diagenesis (early diagenetic) dengan tingkat kematangan yang masih rendah (immature).

Kata kunci: picene; amyrin; oxidative degradation; tropis; angiosperm; immature. ABSTRACT

The research location in Wahau Muara District, East Kutai Regency, East Kalimantan Province. Geological setting of Muara Wahau located in the Kutai Basin Upper included in the Early Miocene Formations Wahau. Coal of Muara Wahau has a unique characteristic that inertinite abundant content with an average value of 20.1% with a low maturity (immature) with Rv (random) 0.40 to 0.44 including lignite rank.

Coal samples taken from Seam-1 directly from drill core which drill hole GT-02. Intake of sample done by coring method with the preparation ply by ply based on lithotype appearance. Laboratory analysis of coal samples for organic geochemical analyzes conducted by Soxhlet extraction and then using column chromatography to obtain aromatic fractions.

Picene derivatives such as 1,2,4a, 9-tetramethyl-1,2,3,4,4a, 5,6,14b-octahydropicene dominate with the highest concentration of 6509 mg / g TOC than other pentacyclic compounds in the aromatic hydrocarbon fraction Muara Wahau coal.

The presence amyrin resulting from microbial degradation or the result of oxidative degradation in tropical climates and several derivatives amyrin typical of Muara Wahau coal one of which is a non-aromatic fraction hopanoid pentacyclic triterpenoids (picene) indicating Angiosperm plant origin. Picene presence implies that the formation of Muara Wahau coal still in the initial transformation during the first stage of diagenesis (early diagenetic) with the maturity level is low (immature).

(2)

76 ISSN 0854-2554

JIK TekMin, Volume 1 Nomor 2, 2015 I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Secara administratif lokasi daerah penelitian berada di wilayah Kecamatan Muara Wahau Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur (Gambar 1) memiliki keunikan yang khas yaitu kandungan inertinite yang berlimpah dengan nilai rata-rata 20,1% dengan kematangan yang rendah (immature) dengan Rv (random) 0,40-0,44 peringkat lignite (Anggayana dkk., 2009; 2011; 2013). Secara umum batubara dengan rank rendah didominasi oleh turunan sesquiterpenoids dan picene yang mengindikasikan tumbuhan asal adalah angiosperm (Anggayana, 1996). Batubara lainnya yang ada di Indonesia seperti Batubara Ombilin Sumatra Barat, Tanjung Enim Sumatra Selatan dan Samarinda Kalimantan Timur secara umum memiliki komposisi maseral inertinite tidak lebih dari 5% dengan kehadiran sclerotinite rata-rata tidak lebih dari 1%. Dengan demikian batubara Muara Wahau yang memiliki komposisi maseral yang unik tersebut maka tentunya karakter lapisan batubaranya juga menjadi unik, oleh karena itu bagaimana karakter geokimia organik lapisan batubaranya terutama karakter geokimia organiknya berdasarkan fraksi aromatik sebagai salah satu komponen terpenting untuk mengetahui tumbuhan asal pembentuk batubara dan proses transformasinya. Karakter geokimia organik batubara dapat mencerminkan genesanya (asal material organik, lingkungan dan tingkat kematangan/rank) (Bechtel dkk., 2003).

I.2 Tujuan Penelitian:

Mengidentifikasi senyawa-senyawa fraksi aromatik yang hadir dalam batubara Muara Wahau untuk mengetahui tumbuhan asal dan proses transformasinya.

II. TATANAN GEOLOGI

Geologi Regional daerah Muara Wahau merupakan bagian dari Cekungan Kutai yang secara ekonomis merupakan salah satu cekungan sedimen di Indonesia yang paling penting, selain kaya akan minyak dan gas bumi, daerah ini juga kaya endapan batubara. Menurut Ott (1987), Cekungan Kutai dibatasi oleh Tinggian Kuching di sebelah barat, Punggungan Mangkalihat di utara, Sesar Adang di sebelah selatan dan Selat Makassar di sebelah timur (Gambar 2). Cekungan ini adalah yang terbesar dan terdalam dari cekungan Tersier di Indonesia dengan lebih dari 14 km tebalnya yang merupakan akumulasi sedimen fluvial sampai batial (Allen dan Chambers, 1998).

Stratigrafi Regional Muara Wahau berdasarkan korelasi satuan batuan dari Peta Geologi Lembar Muara Wahau (Supriatna dan Abidin, 1995), mulai Tersier dari tua ke muda diperlihatkan di Gambar 3. Batubara Muara Wahau termasuk dalam Formasi Wahau selaras menumpang di atas Formasi Marah berumur Eosen Akhir dan secara tidak selaras di atas Formasi Wahau menumpang Batuan Gunung Api Metulang berumur Plio-Pleistosen. Intrusi Andesit Sintang yang berumur Miosen Akhir dijumpai di lokasi penelitian (Soeria Atmadja dkk., 1999); (Gambar 3)

Formasi Wahau dibagi menjadi 2 (dua), Formasi Wahau bagian bawah mengandung sisipan Gambar 2. Cekungan Kutai terhadap

elemen-elemen Tektonik Regional (Ott, 1987)

(3)

ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 1 Nomor 2, 2015

77

 

sedangkan Formasi Wahau bagian atas mengandung sisipan tuf dan lignite.

Batubara Muara Wahau berumur Miosen Awal (Supriatna & Abidin, 1995) dimana pengendapannya selama fase regresi bersamaan dengan proses orogenesa yang disebut sebagai Syn-Orogenic Regressive Phase Deposition. Endapan batubaranya berhubungan dengan lingkungan floodplain deltaic dari progradasi delta selama Miosen. Lapisan batubaranya cenderung tebal, penyebaran secara lateral relatif menerus (Koesoemadinata, 2002).

Stratigrafi lokal Formasi Wahau di daerah penelitian terdiri dari, perulangan batulempung hitam karbonan, batulempung tufaan, batupasir halus, batupasir sedang, sisipan batubara tebal serta intrusi batuan beku andesit (Gambar 4 ).

Secara umum ketebalan batubara Formasi Wahau di daerah penelitian berkisar 8 - 66 meter. Pola struktur geologi sebaran batubara (cropline coal) di daerah penelitian berupa sinklin yang berarah Baratlaut – Tenggara (Gambar 5). Kedudukan umum lapisan batubara seam utama yaitu 1 dan seam-2 adalah barat laut-tenggara dengan kemiringan lapisan batubara berkisar 8o-12o.

Gambar 5. Peta pola singkapan batubara Muara Wahau

.

Gambar 3. Stratigrafi Regional Muara Wahau,

Kalimantan Timur (Supriatna dan Abidin, 1995) T e re st ri a l

Gambar 4. Stratigrafi Lokal Muara Wahau (Sumber data dari inti lubang bor PMB-01-08)

(4)

78 ISSN 0854-2554

JIK TekMin, Volume 1 Nomor 2, 2015 III. METODA ANALISIS

Pengambilan conto batubara pada Seam-1 diambil langsung dari inti bor di daerah Muara Wahau yaitu lubang bor: GT-02 (Gambar 6). Pengambilan conto batubara dilakukan dengan metode coring dengan preparasi ply by ply berdasarkan kenampakan lithotype. Selanjutnya masing-masing conto direduksi ukurannya, dan dilakukan komposit kemudian dibagi menjadi dua untuk arsip dan analisis laboratorium.

Analisa Laboratorium Conto batubara untuk analisis geokimia organik dimulai dengan melakukan ekstraksi soxhlet yaitu conto batubara dihancurkan kemudian digerus sampai halus dan diayak untuk mendapatkan ukuran partikel < 0,2 mm, ditimbang seberat 3,2245 gr, kemudian diekstraksi dengan Soxhlet selama 24 jam menggunakan 200 ml dichlormethane (CH2Cl2) sebagai pelarut. Total Ekstrak yang diperoleh dari hasil ekstraksi soxhlet dipisahkan menjadi fraksi yang berbeda dengan column chromatography untuk mendapatkan fraksi hidrokarbon (jenuh/saturated, aromatik, NSO) dan fraksi asphaltene dengan menggunakan beberapa jenis larutan dan Silica gel 60 ukuran butir antara 0,063 – 0,200mm pada mesh 70 – 230 ASTM. Jenis-jenis larutan yang digunakan untuk mendapatkan fraksi alkane adalah n-Hexane; fraksi aromatik adalah dichlormethane dan fraksi NSO adalah campuran dichlormethane dengan methanol.

Menurut Puettmann dkk. (1986) dan Hagemann dkk. (1989) dalam Diessel (1992) dan Petters, dkk. (2005) conto batubara yang telah dihancurkan, perlakuan pertama berada di dalam Peralatan Soxhlet selama 24 jam dengan dichlormethane (CH2Cl2). Hal ini untuk memisahkan feed coal menjadi fraksi terlarut dan residu tidak larut. Ekstrak batubara yang terlarut yang telah terfraksinasi oleh Column Chromatography menggunakan gel silika yang mudah dicuci kemudian dengan Methanol (CH3OH) sebagai eluent untuk hidrokarbon jenuh seperti alkanes dan senyawa heterocyclic dan dichloromethane untuk hidrokarbon aromatik (Gambar 6).

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Berdasarkan conto batubara Muara Wahau dari Total Ion Current (TIC) no. conto G2S1C12, maka komposisi biomarker fraksi hidrokarbon aromatik yang bisa diyakini mendominasi keberadaannya dalam batubara Muara Wahau adalah: turunan naphthalene (sesquiterpenoid) yang teridentifikasi seperti: naphthalene, 1,6-dimethyl-4-(1-methylethyl) (peak 4) dan turunan picene (triterpenoid non hopanoid) yang teridentifikasi seperti: 24,25-dinoroleana-1,3,5(10),12-tetraene (peak 12); 24,25-dinorursa-1,3,5(10),12-tetraene (peak 14); 1,2,4a,9-tetramethyl-1,2,3,4,4a,5,6,14b-octahydropicene (peak: 16; 17; 18; 19); (Gambar 7; Tabel 1).

Komposisi biomarker fraksi aromatik yang relatif rendah pada batubara Muara Wahau menunjukkan konsistensi dengan kematangan yang rendah (immature) dengan Rv (random) 0,40 - 0,44. Turunan picene seperti1,2,4a,9-tetramethyl-1,2,3,4,4a,5,6,14b-octahydropicene mendominasi dengan konsentrasi paling tinggi 6509 µg/g TOC dibanding senyawa-senyawa pentasiklik lainnya dalam fraksi hidrokarbon aromatik batubara Muara Wahau.

Stout (1992) menjelaskan bahwa turunan picene berasal dari α- dan β-amyrin. Kehadiran picene yang ada dalam gambut menunjukkan bahwa proses aromatisasi β-amyrin kemungkinan melalui mediasi aktifitas mikroba atau dapat juga melalui proses katalis dari batulempung selama awal diagenesa.

Anggayana (1996) menyelidiki geokimia organik beberapa batubara tersier dari Ombilin dan Tanjung Enim (Sumatra Selatan) dan Samarinda-Tanito Harum (Kalimantan Timur), Indonesia, dijelaskan bahwa untuk batubara rank rendah didominasi oleh sesquiterpenoid dan turunan picene yang mengindikasikan tumbuhan asal angiosperm. Widodo dkk. (2009) menjelaskan bahwa batubara dari Embalut turunan picene lebih mendominasi diantara senyawa-senyawa pentasiklik dalam fraksi hidrokarbon aromatik. Turunan picene berasal dari α-amyrin dan β-α-amyrin, yang mana konsentrasi turunan α-amyrin lebih tinggi dibanding turunan β-amyrin dalam hampir semua conto batubara Embalut Kalimantan Timur.

Komposisi molekul khas yang dihasilkan dari tumbuhan tingkat tinggi (angiosperm) adalah kelompok amyrin yang merupakan jejak representasi dari input unsur organik terutama berasal dari getah damar yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi di daerah terestrial sebagai biomarker dari angiosperm. Amyrin dihasilkan dari microbial degradation atau akibat dari oxidative degradation di iklim tropis dan beberapa turunan amyrin yang khas berasal dari batubara Muara Wahau salah satunya adalah turunan aromatik non-hopanoid pentacyclic triterpenoid yang hadir dengan konsentrasi tertinggi adalah picene yaitu Gambar 6. Diagram alir memperlihatkan tahap

(5)

 

octahydropicene dengan konsentrasi sebesar 6509 µg/g TOC (Tabel 1). Gambar mass spectra serta struktur senyawa 1,2,4a,9-tetramethyl-1,2,3,4,4a,5,6,14b-octahydropicene dapat dilihat pada Gambar 8.

Turunan picene berasal dari α-amyrin dan β-amyrin yang berasal dari tumbuhan angiosperm. Kehadiran picene yang ada dalam gambut menunjukkan bahwa proses aromatisasi β-amyrin kemungkinan melalui mediasi aktifitas mikroba atau dapat juga melalui proses katalis dari batulempung selama awal diagenesa.

V. KESIMPULAN

Kehadiran amyrin yang dihasilkan dari microbial degradation atau akibat dari oxidative degradation di iklim tropis dan beberapa turunan amyrin yang khas dari batubara Muara Wahau salah satunya adalah fraksi aromatik non-hopanoid pentacyclic triterpenoid (picene) yang mengindikasikan tumbuhan asal angiosperm. Kehadiran picene yang mendominasi dalam batubara Muara Wahau mengimplikasikan bahwa pembentukan batubara Muara Wahau masih dalam transformasi awal selama tahap pertama diagenesis (early diagenetic) dengan tingkat kematangan yang masih rendah (immature).

(6)

80 ISSN 0854-2554

JIK TekMin, Volume 1 Nomor 2, 2015 80

(7)
(8)

ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 1 Nomor 2, 2015

(9)
(10)

76 ISSN 0854-2554

JIK TekMin, Volume 1 Nomor 2, 2015 DAFTAR PUSTAKA

Allen G.P., and Chambers L.C., 1998. Sedimentation in the Modern and Miocene Mahakam Delta, Indonesian Petroleum Association. 231p.

Anggayana, K., 1996. Mikroskopische und organisch-geochesich Untersuchungen Kohlen aus Indonesien ein Beitrag zur Genese und Fazies verschiedener Kohlenbecken. Dissertation. RWTH Aachen, Germany. 224p. Anggayana, K. dan Rahmad, B., 2009. Sclerotinite

Berlimpah Pada Batubara Formasi Wahau, Kalimantan Timur. Seminar Nasional Pengembangan Kebijakan, Managemen dan Teknologi di Bidang Energi. Dies Emas 50 tahun Institut Teknologi Bandung. 22 hal. Anggayana, K., Rahmad, B., Widayat, A.H., Hede,

A.N.H., 2011a. Lateral Variation of Petrographical Composition of East Kalimantan Coals. Proceedings of International Symposium on Earth Science and Technology 2011. Kyushu University, Fukuoka, Japan. Organized by: Cooperative International Network for Earth Science and Technology (CINEST). Co-organized by: Global COE Program “Novel Carbon Resources Sciences”, Kyushu University. Anggayana, K., Rahmad, B., Widayat, A.H., Hede,

A.N.H., 2013. Limnic condition in ombrotrophic peat type as the origin of Muara Wahau coal, Kutei Basin, Indonesia. Journal Geological Society of India. Vol. 83. Published of SPRINGER.

Bechtel, A., Gruber, W., Sachsenhofer, R.F., Gratzer, R., Lucke, A., Puettmann, W., 2003. Depositional environment of the Late Miocene Hausruck lignite (Alpine Foreland Basin): insights from petrography, organic geochemistry, and stable carbon isotopes. International Journal of Coal Geology 53 (153-180 p.) Elsevier, Science Direct.

Dehmer, J., 1993. Petrology and Organic Geochemistry of Peat Samples from a Raised Bog in Kalimantan (Borneo). Organic Geochemistry, vol. 20.p.349-362.

Diessel, C.F.K., 1992. Coal Bearing Depositional Systems. Springer-Verlag. p.5-261.

Koesoemadinata, R.P., 2002. Outline of Tertiary Coal Basins of Indonesia. Sedimentology Newsletter. Number 17/I/2002. Published by The Indonesian Sedimentologist Forum, the sedimentology commission of the Indonesian Association of Geologist. p.2-13.

Ott, H.L., 1987. The Kutai Basin a Unique Structural History, Proceeding IPA 16th Ann,Conv. p.307-316.

Peters, K.E., Walter, C.C., Moldowan, J.M., 2005. The Biomarker Guide. Vol.1 & 2. Biomarkers

earth history. Cambridge University Press, New York.

Puettmann, W., Wolf, M., Wolff-Fischer, E., 1986. Chemical characteristics of liptinite macerals in humic and sapropelic coal. Advances in Organic Geochemistry 1985. Org. Geochem. 10, 625-632.

Soeria Atmadja, R., Noeradi, D., Priadi, B. 1999. Zenozoic Magmatism In Kalimantan And Its Related Geodynamic Evolution. Journal of Asian Earth Science 17 (Indonesian Island Arcs : Magmatism, Mineralization, and Tectonic Setting). Edited by : R.P. Koesoemadinata and D. Noeradi). p.303-323. Stout, S.A., 1992. Aliphatic and aromatic

triterpenoid hydrocarbon in a Tertiary angiospermous lignite. Org. Geochem. 18, 51-66

Supriatna, S., Abidin, Z.A., 1995. Geological Map of Muara Wahau, Sheet, Scale 1:250.000. Geological Research and Development Center, Bandung.

Widodo, S., Bechtel, A., Anggayana, K. and Püttmann, W., 2009. Reconstruction of floral changes during deposition of the Miocene Embalut coal from Kutei Basin, Mahakam Delta, East Kalimantan, Indonesia by use of aromatic hydrocarbon composition and stable carbon isotope ratios of organic matter. Organic Geochemistry 40, 206-218.

Gambar

Gambar 1.  Lokasi daerah penelitian
Gambar  4.  Stratigrafi  Lokal  Muara  Wahau  (Sumber data dari inti   lubang bor  PMB-01-08)

Referensi

Dokumen terkait

Selain kelebihan pembelajaran tematik yang dipaparkan oleh Majid seperti diatas, Trianto (dalam Prastowo,2013:141) juga menjabarkan kelebihan pembelajaran tematik

Rakhmat (2000) menyatakan bahwa kepercayaan diri atau keyakinan diri diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap individu dalam kehidupannya,

Yang dimaksudkan dengan profesionalisme guru Bahasa Inggris adalah kinerja guru yang diukur berdasarkan: (1) demografi, (2) masa kerja, beban tugas, dan tugas tambahan,

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa alokasi tenaga kerja luar keluarga dalam usaha perkebunan kelapa untuk kegiatan pengolahan kopra lebih besar

Petikan membincangkan langkah-langkah// cara-cara/ prakarsa/ strategi/tindakan /usaha membendung kenaikan harga barang dalam masyarakat di Malaysia. Pengguna membeli barangan

Dengan semangat yang tinggi dan penuh ikhlas, sebuah cita-cita akan tercapai walau dengan menghabiskan waktu, untuk mewujdukan manusia indonesia yang berkualitas

Berdasarkan dari kelima-lima faktor persekitaran yang dikaji, didapati persekitaran yang paling dominan memberi kesan dalam pembangunan rohani pelajar adalah pengaruh rakan

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, campuran daun pisang kering dan sabut kelapa belum berpengaruh terhadap produktivitas