IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Potensi Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Pengawet Nira
Asap cair tempurung kelapa diperoleh dari asap pembakaran yang tidak sempurna tempurung kelapa. Proses yang terjadi pada pembuatan asap cair terdiri dari reaksi dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Uap asap yang dihasilkan selama pembakaran tempurung kelapa dikondensasi menghasilkan kondensat asap berupa cairan kental berwarna hitam. Kondensat asap yang dihasilkan ditampung dan diendapkan selama beberapa hari untuk memperoleh cairan asap yang terpisah dari partikel padat berwarna hitam yang bercampur didalamnya.
Council of Europe Comitee of Experts on Flavouring Substances
(CECEFS) (1992) menerangkan bahwa asap terdiri dari komponen gas, cairan, dan partikel padat. Pada saat kondensasi asap, partikel padat berwarna hitam tercampur dalam asap cair kasar sehingga perlu dilakukan pemisahan karena partikel padat tersebut bersifat karsinogenik. Partikel-pertikel tersebut diantaranya adalah senyawa nitrogen oksida, polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), senyawa fenolik, senyawa karbonil, furan, asam alifatik karboksilat, serta komponen tar dengan karakteristik yang sama yaitu memiliki titik didih yang tinggi. Guillen et al. (2001) menjelaskan bahwa komponen-komponen asap cair yang berwarna hitam merupakan komponen yang berbeda dengan komponen asap cair yang digunakan sebagai ingredient dan flavor dalam pangan. Komponen-komponen tersebut termasuk golongan levoglucosan, turunan karbohidrat, senyawa bernitrogen, serta senyawa-senyawa yang belum teridentifikasi.
Produsen asap cair menggunakan metode pengendapan selama beberapa hari untuk memisahkan cairan asap cair dengan padatan terlarut tersebut. Asap cair tempurung kelapa yang dihasilkan dari proses pengendapan memiliki warna coklat kehitaman dengan pH 4,9 (Gambar 6).
Gambar 6 Asap Cair Kasar Tempurung Kelapa Hasil Pengendapan. Penelitian pendahuluan mengenai potensi asap cair sebagai pengawet nira dilakukan dengan melakukan uji kontak asap cair kasar terhadap kultur campuran dari nira pada konsentrasi 0,50%, 0,60%, 0,80%, 1,00%, 2,00%, dan 3,00%. Konsentrasi yang digunakan dalam penelitian pendahuluan ini mengacu pada Syabana dan Rusbana (2008) serta Zuraida (2008). Tabel 9 memperlihatkan bahwa pada konsentrasi asap cair kasar 0,50% sudah dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebesar 3 log dibanding kontrol. Pada konsentrasi 0,80% sampai 3,00% asap cair kasar mampu menghambat pertumbuhan mikroba sampai 5 log dibanding kontrol.
Tabel 9 Jumlah Mikroba setelah dikontakkan selama 24 jam dengan Asap Cair Kasar pada berbagai Konsentrasi
Konsentrasi asap cair kasar(% v/v) Jumlah Mikroba (CFU/ml) 0,00 3,7 x 108 0,50 7,6 x 105 0,60 7,0 x 103 0,80 <103 1,00 <103 2,00 <103 3,00 <103
Hasil uji kontak ini memberi kesimpulan awal bahwa asap cair kasar hasil pengendapan memiliki potensi untuk digunakan dalam pengawetan nira. Penelitian pendahuluan selanjutnya adalah dengan mengaplikasikan asap cair kasar pada nira selama 12 jam penyimpanan. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,50%, 1,00%, 2,00%, dan 3,00% berdasarkan hasil uji kontak tahap sebelumnya. Pengujian dilakukan dengan cara melakukan penyadapan secara langsung menggunakan wadah penampung nira yang telah diberi asap cair
dengan volume sedemikian rupa sehingga pada waktu penyadapan mencapai satu jam diperoleh nira dengan konsentrasi asap cair yang diinginkan (0,50%, 1,00%, 2,00%, dan 3,00%). Setelah satu jam penyadapan dilakukan, nira yang telah mengandung asap cair ini diukur pH-nya dan dicatat sebagai pH pada jam ke-0. Nira kemudian dibawa ke laboratorium menggunakan botol steril dan disegel menggunakan parafilm. Setelah sampai di laboratorium, nira ditampung dalam wadah terbuka pada suhu ruang dan diukur pH-nya setiap jam selama 12 jam.
Gambar 7 memperlihatkan hasil pengukuran pH nira yang telah diberi asap cair kasar dan disimpan selama 12 jam. Hasil pengukuran perubahan pH pada penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa penggunaan asap cair kasar dengan konsentrasi 0,50% mampu mempertahankan pH nira diatas 7 sampai 6 jam penyimpanan, sedangkan dengan konsentrasi 3,00% mampu mempertahankan pH nira pada kisaran 6,6 - 6,8 selama 12 jam penyimpanan. Tahap lanjutan dari hasil pengukuran pH adalah aplikasi asap cair konsentrasi 0,50% dan 3,00% untuk penyadapan nira selama 12 jam. Nira hasil penyadapan dengan menggunakan asap cair 0,50% dan 3,00% selanjutnya diolah menjadi gula.
Gambar 7 Perubahan pH Nira setelah Diberi Perlakuan Penambahan Asap Cair (AC) pada berbagai Konsentrasi selama 12 Jam Penyimpanan.
3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jam ke -pH Nira + 0,00% AC Nira + 0,50% AC Nira + 1,00% AC Nira + 1,50% AC Nira + 2,00% AC Nira + 3,00% AC
Gula yang diperoleh dari nira dengan asap cair kasar hasil pengendapan memiliki warna yang gelap. Nira dengan asap cair kasar 0,50% menghasilkan gula yang berwarna coklat tua, sedangkan konsentrasi 3,00% berwarna hitam.
Perubahan warna yang terjadi ini disebabkan oleh komponen berwarna hitam yang terdapat dalam asap cair kasar. Gambar 8 memperlihatkan warna gula merah dari nira yang disadap dengan menggunakan pengawet asap cair kasar hasil pengendapan sebanyak 0,50% dan 3,00%.
Gambar 8 Gula Merah dari Nira yang mengandung Asap Cair Kasar 0,50% dan 0,30%.
Hasil penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa asap cair kasar memiliki potensi untuk diaplikasikan sebagai pengawet nira. Pada konsentrasi asap cair 0,50% sampai 3,00% mampu memberikan aktivitas penghambatan terhadap kultur campuran dari nira aren dan mampu mempertahankan pH nira pada kisaran 6-7 selama 12 jam penyimpanan. Gula yang dihasilkan dari nira yang mengandung asap cair kasar menyebabkan warna gula menjadi lebih gelap. Oleh karena itu, pada penelitian utama dilakukan destilasi ulang asap cair sehingga diperoleh asap cair redestilasi yang lebih murni dan jernih.
4.2. Kadar Fenol Asap Cair Redestilasi
Destilasi merupakan suatu perlakuan fisik dengan memberikan panas sehingga sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan sifat dan karakteristik dari asap cair sebelum dan sesudah destilasi. Destilasi dilakukan dalam rangka menurunkan kadar partikel padat yang terdispersi dalam asap cair.
Guillen et al. (2001) dan CECEFS (1992) menerangkan bahwa asap terdiri dari komponen gas, cairan, dan partikel padat. Pada saat kondensasi asap, partikel padat tercampur dalam asap cair kasar sehingga perlu dilakukan pemisahan karena partikel padat tersebut bersifat karsinogenik. Partikel-pertikel
tersebut diantaranya adalah senyawa nitrogen oksida, polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs), senyawa fenolik, senyawa karbonil, furan, asam alifatik
karboksilat, serta komponen tar dengan karakteristik yang sama yaitu memiliki titk didih yang tinggi.
Penemuan sifat karsinogenik dari Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAHs) menyebabkan penelitian mengenai bahan pangan hasil pengasapan meningkat. Salah satu metode yang diterapkan untuk memurnikan asap cair adalah dengan detilasi. Prinsip destilasi adalah dengan melakukan evaporasi atau penguapan melalui proses pemanasan dan dilanjutkan dengan kondensasi (pendinginan uap hasil pemanasan) sehingga uap asap cair mengembun. Perlakuan evaporasi umumnya akan menyebabkan penurunan jumlah kandungan zat pada destilat dibandingkan dengan kandungan awal zat pada bahan sebelum didestilasi. Hasil pengukuran kadar fenol disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Total Fenol Asap Cair Sebelum (A) dan Sesudah Destilasi (B) Sebelum Destilasi Setelah Destilasi 1.00 2.00 3.00 4.00 K a da r Fe nol ( % ) Sebelum Destilasi Setelah Destilasi A B
Destilasi ulang asap cair menyebabkan kadar total fenol dalam asap menjadi turun sebesar 0,7%. Berdasarkan hasil ANOVA, penurunan sebesar 0,7% ini menyebabkan perbedaan yang signifikan antara sebelum proses destilasi dan setelah destilasi pada taraf kepercayaan 95%. Penurunan kadar fenol ini terjadi akibat proses kondensasi yang dilakukan tidak sempurna sehingga sebagian senyawa fenolik masih berbentuk uap ketika keluar dari alat destilator. Hal ini diindikasikan dengan aroma asap yang tercium menyengat ketika proses destilasi ulang dilakukan. Guillen dan Ibargoitia (1998) menyatakan bahwa fenolik merupakan salah satu senyawa yang menjadi flavor
dari asap cair. Senyawa guaiacol merupakan flavor rasa asap sedangkan syringol merupakan flavor aroma asap. Terciumnya aroma asap yang menyengat dari lubang kondensor menjadi indikator bahwa tidak semua komopenen fenol tertampung sebagai kondensat.
Gambar 10 memberikan ilustrasi tentang perbandingan warna antara asap cair kasar dengan asap cair hasil destilasi. Perubahan warna setelah proses destilasi dilakukan disebabkan oleh proses pemanasan pada saat destilasi tidak sampai menguapkan senyawa yang berwarna hitam, sehingga uap yang terkondensasi memiliki warna lebih jernih. pH asap cair redestilasi juga mengalami perubahan menjadi 3,0. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan bandingkan dengan asap cair kasar yang memiliki pH sebesar 4,9.
A B
Gambar 10 Warna Asap Cair (A) Sebelum Destilasi dan (B) Sesudah Destilasi. Berkurangnya kadar fenol, bertambahnya kadar keasaman, dan perubahan warna asap cair menjadi lebih jernih yang terjadi akibat destilasi ulang memungkinkan terjadinya perubahan sifat antimikroba asap cair. Asap cair redestilasi dengan penampakan yang lebih jernih dapat dilaplikasikan lebih luas lagi dalam pengolahan pangan.
4.3. Aktivitas Antimikroba Asap Cair Redestilasi
Penggunaan asap cair tanpa destilasi ulang telah dilakukan oleh Zuraida (2008) dan terbukti mampu menambah umur simpan bakso ikan 16 jam lebih lama dibandingkan kontrol. Destilasi ulang terhadap asap cair menyebabkan kadar fenol menurun dan memungkinkan juga terjadinya perubahan aktivitas
antimikroba yang dimilikinya. Aktivitas antimikroba asap cair redestilasi dapat diuji dengan penentuan nilai MIC terhadap kultur murni suatu mikroorganisme.
4.3.1.Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa Redestilasi
Uji aktivitas antibakteri asap cair redestilasi dilakukan dengan penentuan nilai MIC. Nilai MIC merupakan konsentrasi terkecil yang mampu menghambat 90% mikroorganisme setelah dikontakkan selama 24 jam. Penentuan nilai MIC asap cair hasil destilasi ulang diujikan terhadap S.aureus dan P.aeruginosa, dan bakteri asam laktat (BAL) yang diisolasi dari nira. S.aureus mewakili bakteri patogen gram positif yang dapat mengkontaminasi nira melalui tangan dari penderes yang higienenya tidak terjaga dengan baik. P.aeruginosa mewakili bakteri pembusuk dari golongan gram negatif, sedangkan BAL mewakili bakteri pembusuk dari golongan bakteri gram positif. Konsentrasi uji untuk S.aureus dan P.aeruginosa secara berturut-turut adalah 0,20% – 0,80%(v/v) dan 0,22% - 0,30%(v/v). Hasil pengujian MIC disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12. Jumlah S.aureus dan P.aeruginosa awal yang diinokulasikan ke dalam tabung uji berturt-turut adalah 2,5x104 dan 2,9x104 CFU/ml.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80
Konsentrasi Asap Cair Redestilasi (%)
J um la h S .a ur e us ( Log C FU /m l)
Gambar 11 Jumlah S.aureus setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair pada berbagai konsentrasi selama 24 Jam.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0.00 0.22 0.25 0.28 0.30
Konsentrasi Asap Cair Redestilasi (%)
J u m lah P .ae ru g in o sa (L o g CF U/ m l)
Gambar 12 Jumlah P.aeruginosa setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair pada berbagai Konsentrasi selama 24 Jam.
Nilai MIC untuk P.aeruginosa dan S.aureus berturut-turut adalah 0,22% dan 0,20%v/v. Pada konsentrasi 0,20%, asap cair redestilasi mampu menghambat pertumbuhan S.aureus dan P.aeruginosa sebesar 90% dibandingkan dengan kontrol. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa antara kontrol yang tidak diberi asap cair dan perlakuan pemberian asap cair memberikan perbedaan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini berarti bahwa pemberian asap cair redestilasi memiliki pengaruh yang nyata dalam menghambat pertumbuhan S.aureus dan P.aeruginosa. Hasil penelitian Zuraida (2008) dengan menggunakan asap cair tanpa destilasi diperoleh nilai MIC terhadap S.aureus dan P.aeruginosa sebesar masing-masing 0,10% dan 0,16%. Hal ini menunjukkan bahwa destilasi ulang asap cair menyebabkan penurunan aktivitas antimikroba.
Bakteri P.aeruginosa lebih sensitif dibandingkan dengan S.aureus diduga karena struktur dinding sel P.aeruginosa lebih tipis kandungan peptidoglikannya dan memiliki protein porin dengan diameter cukup besar (2 nm) sehingga asap cair dapat masuk ke dalam membran sel (Helander et al.,1998). Lebih lanjut Pelczar et al. (1988) menjelaskan bahwa senyawa kimia utama yang memiliki sifat antibakteri seperti fenol dan senyawa fenolat dapat berinteraksi dengan membran sehingga integritas membran sel terganggu dan permeabilitasnya berkurang.
Pada umumnya, bakteri gram positif lebih sensitif dibandingkan dengan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif sangat rentan terhadap serangan senyawa antimikroba. Selain lapisan peptidoglikan yang sangat tmudah diganggu integritasnya, sintesis lapisan peptidoglikan juga dapat terganggu oleh serangan senyawa antimikroba. Dua mekanisme ini cukup untuk menggangu dan menghambat pertumbuhan bakteri gram positif. Berbeda dengan bakteri gram negatif yang memiliki lapisan peptidoglikan tipis tetapi dilindungi oleh lapisan luar membran yang umumnya terdiri dari senyawa golongan lipida dan gula. Adanya lapisan terluar ini mampu menahan serangan-serangan senyawa antimikroba yang umumnya berada dalam fraksi polar. Oleh karena itu senyawa antimikroba dengan basis non polar atau semi polar umumnya memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dibandingkan dengan antimikroba fraksi polar.
S.aureus sebagai bakteri gram positif dan P.aeruginosa sebagai bakteri
gram negatif pada penelitian ini ternyata memiliki nilai MIC yang tidak berbeda jauh yaitu 0,20%. Hasil penelitian Yulistiani et al. (1997) menghasilkan MIC asap cair tempurung kelapa untuk S.aureus dan P.fluorescens sebesar 0,60% dan 0,50% secara berturut-turut. Fenomena ini menunjukkan bahwa ternyata bakteri gram negatif lebih sensitif dibandingkan dengan bakteri gram positif ketika dikontakkan dengan asap cair tempurung kelapa. Hal ini tentu tidak sejalan dengan fenomena umum yang terjadi antara bakteri gram positif dan negatif. Pengecualian dari sifat umum tersebut juga terjadi pada penelitian Sunen et al. (2001) dimana Aeromonas hydrophila sebagai bakteri gram negatif ternyata lebih sensitif dan memiliki kepekaan yang sama dengan bakteri uji dari golongan bakteri gram negatif (L.monocytogenes dan Y.enterolitica) ketika dikontakkan dengan ekstrak asap cair.
Sunen et al. (2001) dan Faith et al. (1992) menduga bahwa kemungkinan terjadi efek sinergis antara senyawa yang terkandung dalam asap cair, sehingga efek antimikroba yang diberikan oleh asap cair tidak hanya disebabkan oleh kandungan fenol yang tinggi tetapi juga disebakan oleh asam-asam lemah yang terdapat dalam asap cair sehingga mampu memberikan efek yang lebih besar. Asam-asam lemah seperti asam laktat dan asam asetat diduga bersifat lipolitik.
Asam asetat merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa dalam bentuk turunan siringol dan guaiakol.
Siskos et al. (2007) mengemukakan bahwa asap cair mengandung beberapa zat antimikroba yaitu asam dan turunannya (format, asetat, butirat, propionat, dan metil ester), alkohol (metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol), aldehid (formladehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural), hidrokarbon (silene, kumene, dan simene), keton (aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propil keton), fenol, piridin, dan metil piridin.
Kehadiran senyawa selain fenol, terutama asam dan turunannya, dalam asap cair mampu menembus pertahanan bakteri gram negatif dengan memutuskan ikatan lipida dalam membran luarnya. Pori-pori yang lebih besar pada P.aeruginosa dan kemampuan fenol untuk berpenetrasi setelah lapisan terluar bakteri rusak menyebabkan efek asap cair sebagai senyawa antimikroba berjalan dengan baik. Senyawa asam dalam bentuk tidak terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi ke dalam membran sel mikroorganisme. Senyawa asam dapat menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur dan fluiditas membran, serta mengkelat ion-ion dalam dinding sel bakteri. Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat, dan fosfolipid membran (Davidson et al. 2005).
4.3.2.Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa Redestilasi terhadap Isolat Bakteri Asam Laktat Asal Nira
BAL yang digunakan untuk pengujian tahap ini adalah isolat BAL asal nira. Hasil pengujian pewarnaan gram dan pengujian katalase menunjukkan bahwa isolat yang dipilih memiliki warna ungu, berbentuk basil, dan bersifat katalase negatif. Berdasarkan hasil pengujian tersebut maka isolat yang diambil merupakan bakteri asam laktat asal nira. Bakteri asam laktat ini selanjutnya digunakan untuk uji aktivitas antibakteri dan simulasi penyadapan. Gambar 13 memperlihatkan bentuk dan warna dari isolat bakteri asal nira.
Battcock dan Azam-Ali (1998) menyatakan bahwa salah satu bakteri terpenting dan umum dalam fermentasi pangan adalah BAL dari golongan
kadar air tinggi dan kadar gula atau karbohidrat tinggi. Kehadiran BAL berkontribusi pada penurunan pH bahan pangan akibat hasil metabolisme utamanya yaitu mengubah glukosa menjadi asam laktat. Cahyaningsih (2006) menyatakan bahwa BAL merupakan mikroorganisme awal yang bertanggung jawab fermentasi awal nira karena BAL merupakan mikroba dominan pada nira segar. Kehadiran BAL didalam fermentasi nira berlangsung selama 24 jam, setelah itu mikroorganisme yang tetap bertahan adalah khamir dan Bacillus.
Gambar 13 Isolat Bakteri Asam Laktat Asal Nira Hasil Pewarnaan Gram. Pengujian aktivitas antibakteri asap cair redestilasi terhadap BAL asal nira dilakukan dengan menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji aktivitas asap cair terhadap S.aureus dan P.aeruginosa. Konsentrasi yang digunakan adalah 3,00%, 5,00%, 10,00%, 20,00%, dan 30,00%. Penentuan konsentrasi ini didasarkan pada hasil percobaan sebelumnya menggunakan konsentrasi dibawah 3,00%, dengan mengacu penelitian Milly et al. (2005) yang melaporkan bahwa nilai MIC asap komersial untuk L.plantarum (salah satu jenis BAL) sebesar 0,75%, ternyata tidak menunjukkan adanya efek penghambatan.
Gambar 14 memperlihatkan jumlah bakteri setelah dikontakkan dengan asap cair pada berbagai konsentrasi pengujian. Nilai MIC asap cair redestilasi terhadap isolat BAL asal nira berdasarkan hasil uji kontak selama 24 jam adalah 3,00%. Besarnya penghambatan yang diberikan oleh asap cair redestilasi 3,00% tidak berbeda nyata dengan penghambatan oleh asap cair redestilasi dengan konsentrasi 5,00% dan 10,00%. Hal ini menandakan bahwa isolat BAL asal nira
sangat tahan dengan konsentrasi asap cair redestilasi yang tinggi. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya resistensi BAL adalah karena BAL toleran terhadap asam (Salminen et al. 2004; Stamer, 1979).
0 2 4 6 8 1 1 0.00 3.00 5.00 10.00 20.00 30.00
Konsentrasi Asap Cair (%)
J um la h B A L ( Log C FU /m l) 2 0
Gambar 14 Jumlah Bakteri Asam Laktat setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair Redestilasi pada Berbagai Konsentrasi selama 24 Jam.
4.4. Aplikasi Asap Cair Redestilasi sebagai Pengawet Nira
Pengujian aplikasi diawali dengan simulasi pemilihan konsentrasi untuk aplikasi pada tahap selanjutnya dengan melihat perubahan pH dan total mikroba disertai dengan pengujian secara langsung selama 12 jam penyadapan. Simulasi selanjutnya berupa aplikasi konsentrasi terpilih dengan melihat pola perubahan pH selama penyadapan.
4.4.1. Perubahan pH Selama 12 Jam Penyimpanan
Simulasi pertama dilakukan dengan melakukan penyadapan nira selama satu jam dengan menggunakan wadah bersih yang telah diberi asap cair sedemikian rupa sehingga setelah satu jam memiliki konsentrasi yang diinginkan. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,50%, 1,00%, 1,50%, 2,00%, dan 3,00%(v/v) dengan mengacu hasil penelitian pendahuluan. Volume nira yang dihasilkan setiap mayang dapat diperkirakan jumlahnya sehingga dalam aplikasi ini dapat ditentukan dari awal berapa volume asap cair yang harus diberikan dalam wadah penampung untuk satu kali penyadapan.
Setelah nira disadap selama satu jam, dilakukan pengukuran pH nira setiap jam selama 12 jam penyimpanan di suhu ruang. Perubahan pH yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 15.
8 7 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jam ke - pH 0,00% AC 0,50% AC 6 1,00% AC 1,50% AC 2,00% AC 3,00% AC
Gambar 15 Grafik Perubahan pH Nira yang Diberi Asap Cair (AC) Rerdestilasi pada Berbagai Konsentrasi selama 12 Jam Penyimpanan.
Simulasi ini dilakukan untuk menentukan nilai konsentrasi yang akan digunakan selanjutnya dalam uji aplikasi. Gambar 15 menjelaskan bahwa semakin bertambahnya konsentrasi asap cair yang diberikan, maka pH nira awal akan semakin turun dibandingkan dengan kontrol. Hal ini terjadi karena asap cair memiliki tingkat keasaman tinggi (pH =3,0) sehingga nilai pH nira awal menjadi rendah.
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perubahan waktu dan perlakuan penambahan asap cair redestilai berpengaruh nyata terhadap penurunan pH. Penambahan asap cair redestilasi menyebabkan laju penurunan pH yang berbeda nyata dengan kontrol. Konsentrasi asap cair redestilasi 1,00% memberikan pengaruh yang berbeda dengan konsentrasi 0,50%. Konsentrasi 1,50% dan 2,00% tidak berbeda nyata, sedangkan keduanya berbeda nyata dengan konsentrasi 3,00%. Konsentrasi 0,50%, 1,00%, 1,50%, 2,00%, dan 3,00% memberikan efek pengawetan yang diindikasikan dengan kemampuan menahan laju penurunan pH selama 4, 6, 6, , 8, dan 9 jam secara berurutan.
4.4.2. Perubahan Jumlah Mikroba Selama 12 Jam Penyimpanan
Berdasarkan hasil pengujian penurunan pH nira selama 12 jam penyimpanan, selanjutnya dilakukan pengujian untuk menghitung jumlah mikroba. Konsentrasi asap cair yang digunakan dalam pengujian ini adalah 1,00% dengan alasan bahwa pada konsentrasi ini memiliki efek penahanan kesegaran nira selama 6 jam peyimpanan dari 12 jam pengukuran. Penggunaan 1,00% asap cair ini diharapkan akan memberikan informasi mengenai kondisi mikrobiologis nira ketika masih segar dan ketika proses penurunan pH terjadi.
Gambar 16 menunjukkan jumlah total mikroba yang terdapat dalam nira. Jumlah mikroba awal pada nira kontrol terdapat sebanyak 106 CFU/ml, sedangkan pada nira yang ditampung dengan wadah yang berisi asap cair mengandung 105 CFU/ml mikroba. Jumlah mikroba pada nira kontrol meningkat pada jam ke tiga sampai 107 CFU/ml, sedangkan pada nira dengan asap cair mencapai kondisi 107 CFU/ml pada jam ke enam.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jam ke-J u m la h Tot a l M ik roor ga ni s m e (l o g CF U /m l) Nira + 0,00% AC Nira + 1,00% AC
Gambar 16 Jumlah Total Mikroorganisme pada Nira yang Diberi Asap Cair Redestilasi 1,00% selama 12 Jam Penyimpanan.
Gambar 17 merupakan grafik yang menunjukkan jumlah bakteri asam laktat dalam nira. Jumlah bakteri asam laktat awal pada nira yang mendekati jumlah total mikroba awal yaitu sebanyak 106 CFU/ml. Jika dihubungkan antara jumlah mikroba total dengan jumlah BAL maka dapat disimpulkan bahwa mikroba yang dominan pada nira segar merupakan BAL. Menurut Sumanti et al. (2004) dan Okrafor (1978), fermentasi yang terjadi pada nira adalah fermentasi laktat-alkohol-asetat yang melibatkan bakteri asam laktat, khamir, dan bakteri
mikroorganisme awal yang diduga dominan terdapat dalam nira segar. Cahyaningsih (2006) juga menyimpulkan hal yang sama dimana fermentasi awal pada nira lontar didominasi oleh aktivitas bakteri asam laktat.
Gambar 17 Jumlah Total BAL pada Nira yang Diberi Asap Cair (AC) Redestilasi 1,00% selama 12 Jam Penyimpanan.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jam ke-Ju m la h BA L ( lo g CF U/ m l) Nira +0,00% AC Nira + 1,00% AC
Jumlah bakteri asam laktat dari jam ke nol sampai jam ke enam mengalami hambatan pertumbuhan. Hal ini terjadi karena komponen asap cair bekerja sebagai antimikroba dengan sifat mikrostatik. Berbeda halnya dengan khamir, selama 12 jam jumlah khamir cenderung menurun (Gambar 18).
0 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jam ke -Ju m lah K h am ir ( lo g C F U /m l) Nira + 0,00% AC Nira + 1,00% AC
Gambar 18 Jumlah Total Khamir pada Nira yang Diberi Asap Cair (AC) Redestilasi 1,00% selama 12 Jam Penyimpanan.
Hal ini terjadi akibat efek senyawa antimikroba asap cair menghambat pertumbuhan khamir. Jika pengamatan dilanjutkan, sampai melebihi 12 jam,
sampel nira yang digunakan dalam pengujian ini berbau alkohol sebagai indikator adanya metabolisme khamir. Hal ini menandakan bahwa khamir hanya mengalami hambatan pertumbuhan.
Jika dihubungkan data penurunan pH dengan jumlah total BAL, maka semakin tinggi jumlah BAL yang terdapat dalam nira, maka pH nira akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena aktivitas metabolisme BAL menghasilkan asam laktat dan asam organik lainnya sehingga menaikkan kadar asam yang terdapat dalam nira. Hubungan pH dan jumlah BAL dapat dilihat pada Gambar 19. 5 6 7 8 9 10 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 pH Ju m lah BAL ( L o g CF U/ m l)
Gambar 19 Hubungan Perubahan pH nira dan Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Fermentasi Nira selama 12 jam Penyimpanan .
4.4.3.Aplikasi Penyadapan selama 12 Jam
Aplikasi dilakukan dengan memberikan asap cair pada wadah bersih sebagai penampung nira dengan konsentrasi sama seperti pada pengujian perubahan pH dan total mikroba. Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa asap cair dengan konsentrasi 0,50% menghasilkan nira dengan pH 5,0 dan tidak bisa diolah lagi menjadi gula. Konsentrasi 1,00% sampai 3,00% menghasilkan nira dengan pH lebih dari 6,0 dan nira tersebut dapat diolah menjadi gula.
Berdasarkan hasil simulasi pertama ini, konsentrasi 1,00% dipilih menjadi batas bawah dan 3,00% menjadi batas atas konsentrasi untuk aplikasi pada pengujian selanjutnya. Konsentrasi 1,00% dan 3,00% dipilih karena memberikan pengaruh yang berbeda nyata dalam menahan laju penurunan pH
nira dan nira yang dihasilkan setelah penyadapan dengan konsentrasi tersebut dapat diolah menjadi gula.
4.4.4. Simulasi Perubahan pH selama Penyadapan
Simulasi selanjutnya adalah simulasi penyadapan untuk melihat perubahan pH selama penyadapan. Hal ini dilakukan untuk melihat fenomena yang mendekati kenyataan mengenai mekanisme kerja teknik penghambatan asap cair sebagai pengawet nira. Gambar 20 menerangkan tentang perubahan pH yang terjadi selama penyadapan nira. Konsentrasi asap cair yang digunakan dalam simulasi ini adalah 1,00% dan 3,00%.
3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jam ke-pH 0,00% AC 1,00% AC 3,00% AC
Gambar 20 Perubahan pH pada Simulasi Penyadapan selama 12 Jam Menggunakan Asap Cair pada Konsentrasi1,00% dan 3,00%. Nira yang digunakan untuk simulasi merupakan nira yang disterilisasi. pH awal nira untuk simulasi ini adalah 5,1. Volume nira pada akhir simulasi selama 12 jam ditetapkan sebanyak 300 ml, sehingga setiap jam dilakukan penambahan nira sebanyak 25 ml. Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah penambahan nira.
Data pada Gambar 20 menunjukkan bahwa nira yang tidak diberi perlakuan pengawetan akan mengalami penurunan pH selama penyadapan. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi kontaminasi oleh mikroba dan berlanjut dengan terjadinya fermentasi. Berbeda dengan nira yang diberi asap cair. Nira yang diberi asap cair mengalami peningkatan pH selama penyadapan. Hal ini
terjadi karena sejak awal penyadapan telah terdapat asap cair yang memiliki pH rendah yaitu 3 dalam wadah penampung, sehingga ketika nira segar dengan pH 7 masuk ke dalam penampung akan mengalami penurunan pH karena terjadi proses pengenceran asap cair oleh nira. pH nira dalam penampung yang telah diberi asap cair akan mengalami peningkatan seiring dengan berkurangnya konsentrasi asap cair akibat pertambahan volume nira.
Jika dihubungkan dengan simulasi perubahan pH selama 12 jam (Gambar 15) dan total mikroba pada simulasi tersebut (Gambar 16 dan 17) maka dapat digambarkan bahwa ketika proses penyadapan berlangsung, mikroba tidak dapat berkembang biak karena selama penyadapan terdapat asap cair dengan konsentrasi yang tinggi (lebih tinggi dari konsentrasi akhir yang diinginkan yaitu 1,00%). Konsentrasi asap cair redestilasi 1,00% pada saat simulasi penyimpanan sudah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme selama 6 jam. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme tentu akan terjadi lebih kuat lagi ketika penyadapan berlangsung. Hal ini terjadi karena selama penyadapan berlangsung, konsentrasi asap cair yang terdapat dalam wadah penampung lebih tinggi dari 1,00%. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa kontrol, perlakuan asap cair 1,00%, dan perlakuan 3,00% menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap kemampuan mempertahankan pH. Hasil ANOVA juga menunjukkan bahwa perubahan waktu penyadapan pada kisaran waktu selama 12 jam dan pemberian asap cair memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan pH pada taraf kepercayaan 95% dimana dengan semakin lamanya waktu penyadapan menyebabkan pH nira juga mengalami perubahan yaitu cenderung menurun jika tanpa asap cair dan cenderung meningkat jika diberi asap cair.
4.5. Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah penilaian kesukaan panelis terhadap rasa dari gula merah yang berbahan baku nira yang diberi pengawet sebesar 1,00% dan 3,00%. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa panelis memiliki kesukaan yang berbeda terhadap gula yang berbahan baku nira dengan asap cair 1,00% dibandingkan dengan gula yang berbahan baku nira dengan asap cair 3,00%. Panelis memberikan nilai 5 (suka) pada gula yang berbahan baku nira
dengan asap cair 1,00% dan nilai 4 (netral) untuk gula berbahan baku nira dengan asap cair 3,00%.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1,00% 3,00%
Kandungan Asap Cair dalam Gula
J u m lah P an e li s ( % ) Normal Tidak Normal
Gambar 21 Penilaian Panelis terhadap Kenormalan Rasa Gula Merah dengan Nira yang mengandung Asap Cair 1,00% dan 3,00%. Hasil pengujian terhadap aroma gula (Gambar 21) menunjukkan bahwa sebanyak 15% panelis merasakan aroma asap pada gula berbahan baku nira dengan asap cair redestilasi 1,00% dan sebanyak 67% panelis menyatakan hal yang sama terhadap gula berbahan baku nira dengan asap cair redestilasi 3,00%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan asap cair yang terlalu banyak akan mempengaruhi rasa dan aroma gula yang dihasilkan.
4.6. Pengujian Warna
Aplikasi asap cair ditujukan untuk memberikan flavor yang khas pada produk, membantu pengawetan, serta memberikan perubahan warna pada produk akhir. Abu-Ali dan Barringer (2007) meneliti pengaruh penambahan asap cair terhadap perubahan warna keripik kentang dengan berbagai metode pemanasan. Hasil penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa asap cair mampu memberikan warna coklat yang seragam dan mempercepat proses pengolahan sehingga pembentukan akrilamid bisa dihindari. Penggunaan asap cair tempurung kelapa redestilasi ini juga menunjukkan hal yang sama bahwa aplikasinya pada pengawetan nira berpengaruh terhadap perubahan warna gula.
Gambar 22 memperlihatkan produk gula merah dengan nira yang mengandung asap cair dan Tabel 10 merupakan data hasil pengujian warna. Pengujian warna dilakukan dengan menggunakan chromameter CR300 sistem
CIE (Commission Internationale de l’Eclairag) dengan out put berupa nilai L, a*, dan b*. Nilai L memperlihatkan kecerahan (lighteness) sampel. Nilai a positif (+) menandakan bahwa produk memiliki kecendrungan berwarna kemerahan sedangkan nilai a negative (-) menandakan produk memiliki kecenderungan berwarna kehijauan. Nilai b(+) menandakan produk berwarna kekuningan sedangkan nilai b(-) menandakan produk berwarna mengarah pada kebiruan.
A B
Gambar 22 Warna Gula Merah dengan Asap Cair 1,00% (A) dan Gula Merah dengan Asap Cair 3,00 % ( B).
Tabel 10 Nilai L, a*, dan b* Gula Merah dari Nira yang Mengandung Asap Cair
Parameter Sampel
L a b Gula merah dengan Asap Cair 1% 32.49 +12.51 +15.32 Gula merah dengan Asap Cair 3% 31.63 +13.49 +17.75
Hasil pengukuran warna menunjukkan bahwa gula dengan asap cair 1,00% lebih cerah (nilai Lightness lebih tinggi) dibandingkan dengan gula dengan asap cair 3,00%. Begitupun dengan warna, gula dengan asap cair 1% memiliki warna coklat lebih muda (nilai a+ dan b+ yang lebih kecil) dibandingkan dengan gula berbahan baku nira dengan asap cair redestilasi 3%. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa kedua sampel ini memiliki perbedaan warna yang nyata pada taraf kepercayaan 95%.
Perbedaan intensitas warna pada kedua gula yang dihasilkan terjadi karena degradasi sukrosa semakin meningkat dengan perlakuan pemanasan selama pengolahan nira menjadi gula. Kandungan gula pereduksi yang lebih tinggi menyebabkan warna gula yang dihasilkan lebih gelap karena gula pereduksi merupakan reaktan dalam reaksi pencoklatan. Nira yang disadap
dengan menggunakan 3,00% asap cair memiliki intensitas kontak dengan suasana keasaman lebih tinggi pada rentang waktu yang sama dibandingkan dengan aplikasi asap cair 1,00%, sehingga proses degradasi sukrosa menjadi gula perduksi pada nira dengan asap cair 3,00% menjadi lebih tinggi. Selain itu, kandungan asap cair yang lebih banyak pada konsentrasi 3,00% memberikan efek lebih gelap terhadap gula yang dihasilkan.