22
STAATSBLAD TAHUN 1927 NOMOR 346
MASIH BERLAKUKAH DEWASA INI?DAPATKAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA
MEMBENTUK UNDANG-UNDANG SEMACAM ITU?
L--_ _ _ _ _ _ _ _
Oleh: A. Hamid S. Attamimi _ _ _ _ _ _ _
_
Pendahuluan
1. Staatsblad tahun 1927 nomor 346 merupakan sebuah Ordonnantie (se-ngaja ditulis dalam ejaan Belanda untuk memperoleh penekanan arti) dan berisi ketentuan yang lebih ku-rang menetapkan, bahwa kecuali apabila dalam Ordonnantie diten-tukan lain, maka dalam Regerings-verordening dapat ditentukan hu-kuman terhadap pelanggaran keten-tuannya berupa kurungan selama-la-manya tiga bulan atau denda seba-nyak-banyaknya lima ratus gulden,
baik dengan disertai perampasan ba-rang-barang tertentu ataupun tidak.
Staatsblad tersebut memberikan ke-wenangan secara "blangko" kepada pembuat Regeringsverordening (yak-ni Gubernur Jenderal) untuk kalau perlu mencantumkan sanksi pidana dengan batas hukuman seperti ter-sebut di at as meskipun Ordonnantie yang bersangkutan langsung dengan Regeringsverordening itu tidak me-nyebutkan sesuatu sanksi pidana ter-hadap pelanggaran ketentuannya. Dengan perkataan lain, meskipun keputusan yang dibuat oleh Guber-nur Jenderal bersama-sama Dewan
Rakyat ("Volksraad") berupa Or-donnantie tidak mencantumkan se-suatu sanksi pidana, baik karena
"lupa" maupun karena memang sanksi pidana itu dianggap tidak perlu, Gubernur J enderal diberi
ke-wenangan mencantumkan sanksi pi-dana dimaksud apabila ia pada suatu waktu (kapanpun juga)
mem-buat Regeringsverordening yang ber-sangkutan dengan Ordonnantie ter-sebut. .
2. Dewasa ini ada pihak-pihak yang mempunyai maksud untuk mem-bentuk sebuah Undang-undang yang akan menggantikan kedudukan Staatsblad terse but, dengan meng-analogikan ketentuan-ketentuannya sehingga akan mengandung
keten-tuan yang berbunyi lebih kurang: "kecuali apabila dalam sebuah Un-dang-un dang ditentukan lain, maka dalam sebuah Peraturan Pemerintah dapat dicantumkan sanksi pidana berupa kurungan selama-lamanya .... bulan atau denda sebanyak-banyak-nya ... rupiah, baik dengan disertai perampasan barang-barang tertentu ataupun tidak" (meskipun Undang-undang yang bersangkutan dengan Peraturan Pemerintah itu tidak men-cantumkan sesuatu sanksi pidana). Maka dalam tulisan singkat ini akan dicoba dibahas, apakah pembentuk-an Undpembentuk-ang-undpembentuk-ang semacam itu da-pat dibenarkan oleh Sistem Peme-rintahan Negara Republik Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar 1945. Sudah tentu sebelumnya akan dicoba dibahas terlebih dahulu apakah menurut ketentuan
peralih-Staatsblad 1 927 - 346
an berbagai konstitusi kita Staats -b1ad 1927-346 tersebut dewasa ini masih mempunyai kekuatan daya 1aku atau tidak .
S
t
a
atsblad 19
2
7
-
3
46, masih
ber-l
a
ku a tau tidak
?
3 . Mengenai ap akah Staatsb1ad 192 7 -346 dewasa ini m asih berlaku atau -kah tidak , di da1am lingkungan teo-ritisi dan praktisi peru ndang-undang -an terdapat dua pendapat , yang per -tama menganggap bahwa Staatsb1ad tersebut masih berlaku dan ya;}g ke-dua menganggap sudah tidak ber1a -ku 1agi.
Yang pertam a mendasarkan pertim-bangannya pada ket entuan-keten-tuan peralihan berbagai konstitusi kita, baik UUD 194 5, Konstitusi R.I.S., maupun · UUD Sementara
1950. Pada waktu kita mu1ai mer-deka UUD 1945 sudah menetapkan dalam Aturan Peralihan Pasal II,
bahwa segala badan negara dan per-aturan y ang ada masih 1angsung ber-1aku, se1am a be1um diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Da-sar 1945. J adi se1ama periode per-tama berlakunya UUD 1945
(1945-1949) Staatsb1ad terse but masih berlaku karena memang be1um ada penggantinya y ang dibuat menurut UUD 194 5. Kemudian ketika UUD
1945 diganti o1eh Konstitusi Repu-blik Indonesia Serikat (R.I.S.), kita me1ihat juga adanya ketentuan per-alihan dalam Konstitusi terse but se• -bagaimana tercantum dalam Pasal
192 ayat (1) yang berisi ketentuan, bahwa peraturan-peraturan, undang-undang, dan ket entuan-ketentuan tat a usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi R .I. S. m u1ai berlaku ,
te-tap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ke-tentuan-ketentuan Repub1ik Indo-nesia Serikat sendiri, se1ama dan s
e-23 kedar peraturan-peraturan daa k
e-tentuan-ketentuan itu tidak dica -but, ditambah, atau diubah o1eh Undang-undang dan ketentuan-k e-tentuan tat a usaha atas kuasa K on-stitusi R.I.S. J adi Staatsb1ad terse
-but se1ama periode berlakunya Konstitusi R.I.S. masih tetap be rh:-ku karena memang be1um ada peng -gantinya. Kemudian ketika Konsti -tusi R.I.S. diganti o1eh Undang-Un -dang Dasar Sementara 195 0, kita melihat juga adanya ketentuan pe
r-a1ihan serupa sebagaim ana y ang ter-dapat dalam Konstitusi R .I.S. (lihat Pasal 142 UUDS 1950);perbedaan hanya da1am redaksi y ang 1ebih baik. Maka dengan ketentuan pe r-alihan yang terdapat dalam UUDS
1950 itu Staatsb1ad 1927-246 se1a -rna periode ber1akunya UUDS 1950 m asih tetap berlaku karena memang belu m ada Undang-un dang yang menggantinya. Dan akhirnya, ke -tika kita pada tahun 1959 kern bali kepada UUD 1945, kita melihat 1agi Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang memungkinkan masih tetap berlakunya segala peraturan yang ada se1ama be1um · diadakan yang baru menurut UUD 194 5. Maka berdasarkan aturan-aturan peralihan dari berbagai konstitusi yang pernah berlaku dalam Negara
Republik Indonesia tersebut dewasa ini Staatsb1ad tahun 1927 n omor
346 itu masih tetap berlaku.
Pendapat yang kedua, yakni yang berkesimpu1an bahwa Staatsb1ad
1927-346 dewasa ini sudah tidak mempunyai daya 1aku 1agi, menda -sarkan pada pertim bangan berikut. Dengan mengindahkan Aturan Per -alihan Pasal II UUD 194 5, maka
benar1ah pendapat orang yang me-ngatakan bahwa dalam periode se -be1um Konstitusi R.I.S. Uakni 1945-1949) Staatsb1ad 1927-346 masih
24
•
berlaku, karena UUD 1945 tidak "berbicara" secara terperinci ten-tang ketentuan-ketentuan yang ber-hubungan dengan pembentukan sua-tu Undang-undang, Perasua-turan Peme-rintah, dan sanksi pidana. Dan apa-bila kemudian Ordonnantie disama-kan tingkat berlakunya dengan Un-dang-un dang dan Regeringsverorde-ning disamakan tingkat berlakunya
dengan Peraturan Pemerintah, maka perlu diperhatikan hubungan Un-dang-undang dengan Peraturan
Pe-merintah sebagaimana ditetapkan dalam Konstitusi R .I.S., khususnya yang menyangkut sanksi pidana.
Pa-sal 141 ayat (1) Konstitusi R .I.S .
berbunyi : "Peraturan-peraturan penjalankan Undang-undang ditetap-kan oleh Pemerintah. Namariya
ia-lah Peraturan Pemerintah". Dan
•
ayat (2)berbunyi: "Peraturan Pe-merintah dapat mengancamkan
hu-kuman-hukuman atas pe1anggaran aturan-aturannya. Batas-batas hu-kuman yang akan ditetapkan diatur dengan Undang-undang Federal".
Selanjutnya mengenai hubungan Undang-undang dengan Peraturan Pemerintah kita perlu memperhati-kan juga UUDS 1950 Pasal 98 ayat
(1) dan ayat (2) yang berbunyi ham
-pir sarna benar dengan Konstitusi R.I.S. Pasal 141 ayat (1) dan ayat (2), dengan perbedaan hanya pada
•
kata-kata
"penjalan-kan", diganti "penye1enggara".
Oleh karena sanksi pidana dalam Peraturan Pemerintah batas-batas-nya harus ditetapkan dengan Un-dang-undang, maka Staatsb1ad ta-hun 1927 nomor 346 sudah tidak
.
berlaku 1agi dengan adanya keten-tuan-ketentuan dalam Konstitusi R.I.S. dan UUDS 1950 terse but. Dari uraian di atas je1aslah, bahwa dengan adanya ketentuan dalam Konstitusi R.I.S. yang kemudian
di-Hukum dan Pembangunan
ulangi lagi dalam UUDS 1950 maka pendapat yang kedua nampaknya
yang benar; Staatsblad 1927-346 sudah tertutup daya lakunya. Kon-stitusi R.I.S. menyebutkan dengan
je1as, bahwa untuk dapat
dicantum-kan dalam Peraturan Pemerintah
sanksi pidana itu harus tegas dise-butkan batas hukumannya dalam
Undang-undang. Kita tidak dapat menggunakan Ketentuan Peralihan Konstitusi R.I.S. untuk mem
berla-kukan Staatsb1ad tersebut karen a Batang Tubuh Konstitusi sudah mengaturnya dengan je1as. Lagi pu-la Undang-undang bukan1ah Ordon-nan tie, meski Ordonnantie disama-kan tingkat berlakunya dengan
Un-dang-undang!
J adi, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Staatsb1ad
1927 no. 346 hanya dapat berlaku sampai tibanya Konstitusi R.I.S. Untuk se1anjutnya dengan kekuatan aturan-aturan peralihan 1ainnya, baik dari Konstitusi R.I .S. atau dari UUDS 1950 maupun dari UUD 1945 yang kemudian berlaku 1agi itu,
•
Staatsblad terse but tidak dapat
"hi-dup" kembali.
.
Mungkinkah
kita meJlibuat
Un-dang-Undang "Blangko"
sema-cam Staatsblad
1927-346?
4. Terlepas dari maSalah apakah Staats-b1ad 1927 no. 346 dewasa ini masih ,.
berlaku atau tidak, dalam pikiran kita mungkin timbu1 pertanyaan lain: apakah kita dapat
memben-tuk sebuah Undang-undang
"b1ang-ko" semacam ;,CaatSblad 1927 · no. yang memberikan kewenangan bagi Peraturan Pemerintah untuk
mem-buat sanksi pidana (meskipun terba-tas), apabila Undang-undang yang merupakan "induk"nya tidak me-muat sanksi pidana, baik secara se-ngaja memang tidak bermaksud
..
Staatsblad 1927 - 346mencantumkan sanksi pidana mau-pun karena "lupa" tidak mencan-tumkannya?
Di sini kita berhadapan dengan mas-alah yang perlu dikupas tersen-diri. Marilah kita melihat pertama-tama apa sebenarnya yang dimak-sudkan oleh Konstitusi R.I.S. dan
UUDS 195,0 ketika keduanya berbi-cara tentang "batas-batas hukuman" yang harus "diatur dengan
Undang-undang". Apakah kat a "Undang-un-dang" dalam Konstitusi R.I.S . dan UUDS 1950 itu ialah suatu
Undang-undang dengan ketentuan hukuman (yang terbatas) yang dapat
diper-gunakan kemudian hari bagi setiap Peraturan Pemerintah sebagai
sum-ber untuk mencantumkan sanksi
pi-dana di dalamnya meskipun
Un-dang-un dang yang berkaitan lang- .
sung dengan pembentukan
Peratur-an Pemerintah itu tidak mencan-tumkan sesuatu sanksi pidana? Apa-kah Undang-undang yang dimaksud-kan itu ialah Undang-undang yang
bersangku t langsung saja dengan Per
-aturan Pemerintah dimaksud?
Logemann dalam bukunya "He t
staatsrecht van Indonesie" (terbitan 1954, halaman 90) berpendapat, bahwa Undang-undang serup a itu dapat satu untuk semua Peraturan Pemerintah yang akan dibuat kemu-dian. Ia mengatakan pada tahun
1954 "dez e wet is er nog niet " s am-bi! mempersoalkan mengenai berla-kunya Staatsblad 1927-346 dengan
mengatakan "tenzij men op gro nd
van het overgangsrecht (artikel 142
der grondwet) aanneemt, dat nog
van Macht is de ordonnantie in
In-disch Staatsblad 1927-146 ".
5. Di negeri Belanda sendiri kita meli-hat perkem bangan yang menarik dengan adanya apa yang disebut
Meerenberg-arrest. Pada tahun 1818 ada sebuat Wet yang
mengancam-• 25
kan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan A
1ge-mene Maatregelen van Bestuur (Wet itu disebut "blanket-wet"). Pada ta-hun 1878 pengurus sebuah lembaga rumah sakit gila Meerenberg
ditun-tut karena melakukan pelanggaran terhadap ketentuan suatu Algemeen Maatregel van Bestuur tahun 1877 yang tidak bersandar pada suatu Wet. MakaHoge Raad dengan arrest-nya tanggal 13 J anuari 1879 mene-gaskan bahwa Wet tanggal 6 Maret
1818 itu tidak dapat dianggap mem-berikan kewenangan umum ("alge-meen") dan tidak terbatas ("onbe-paald ") kepada pihak eksekutif, melainkan hanya dapat diartikan memberikan kewenangan kepada Raja untuk membuat ketentuan-ke-tentuan khusus dan tertentu ("bij-z onder aangewezen") berdasarsuatu Wet y ang terhadap pelanggaran-pe-langgarannya dapat dikenakan sank-si pidana berdasarkan ketentuan da-lam Wet terse but ("dat ook de wet
van 6 Maart 1818 in artikel 1 niet kan geacht worden een algemene en onbepaalde bevoegheid aan het
uit-voerende gezag te verlenen, maar aileen kan worden opgevat in die
z in , dat zij voor al de gevallen waar-in enige wet aan de Koning de
be-voegdheid verleent, om de daarbij bijz onder aangewez en bepalingen te m ak en, aan de overtreding dier
be-palinge n eene voor al de in het ar-tikel genoemde stralfen verbindt'~.
Arrest Roge Raad ini tidak membe-narkan adanya ketentuan "blangko" dalam Wet yang dapat diartikan memberikan kewenangan secara u-mum dan tidak terbatas ("algemeen en onbepaald") kepada Raja yang
membuat Algemene Maatregelen
van Bestuur (A.M.v.B.).
6. Arrest Roge Raad mengenai peris-tiwa Meerenberg terse but menurut
Januari 1984
26
•
•
•
Koopmans dalam bukunya "Com-pendium van het Staatsrecht" (Ce-tak.en kedua, 1976, halaman 125)
menjadi sangat penting karen a dua alasan: yang pertama dalam "moti-vering"-~ya yangmengandung
inter-prestasi sistematik dengan
mengha-dapkan kekuasaan legislatif dengan
kekuasaan eksekutif, dan yang ke-dua dalam kesimpulannya yang ber-isi di satu pihak Raja hanya boleh mengatur dengan A.M.v.B. hal-hal
yang menurut Grondwet telll1asuk dalam bidangnya dan di lain pihak pembuat Wet berwenang mengatur di bidang lain-lainnya dengan pe-ngertian bahwa pembuat Wet dapat
mendelegasikan pengaturannya le-bih lanjut kepada Kroon. (A.M.v.B. hanyalah meng~ndung segi "uit-voering" atau eksekutif). Dengan demikian interpretasi terhadap Pa-sal ;'7 Grondwet menurut Koop-mans menjadi jelas: a) adanya
A.M.v.B. dimungkinkan bagi bidang-bidang yang menumt Grondwet
ter-masuk dalam kewenangan Raja; b) Wet dapat menyerahkan pengaturan ketentuan-ketentuannya lebih lanjut kepada A.M .v.B.; dan c) A.M.v.B.
yang mengandung sanksi pidana se-lalu harus memperoleh campur-ta-ngan dari pembuat Wet ("Steeds in-terventie van de wetgever vereist ").
Bagaimanakah "interventie van de wetgever" itu harus diterapkan? Satu kali untuk semua A.M.v.B. atau tiap-tiap kali untuk masing-masing A.M.v.B.?
Pendapat Thorbecke (yang diikuti
oleh Oud sebagaimarla terlihat
da-lam bukunya "Het constitutioneel recht van het koninkrijk der Neder-landen", jilid II cetakan kedua 1970, halaman 205) mehyimpul-kan: "Elke algemeene maatregel van bestuur rust op eene wet, die er het onderwerp en gebied van
be-Hukum dan Pembangunan
paalt". , (Jadi tiap A .M.v.B. harus
berdasar suatu Wet yang menentu-kan materi dan ruang lingkupnya). Tambahan lagi menurutKranenburg
•
dalam bukunya "Het Nederlandsch staatsrecht" jilid I cetakan keenam
1947, halaman 100, konsep Staats-commissie untuk mengubah
Grond-wet setelah Meerenberg-arrest terse-but berbunyi: "De grenzen van de. te bepalen straf worden bij die wet geregeld". (Perhatikan kata-kata
"die wet" (Wet bersangkutan); jadi
batas hukuman yang akan dian~ camkan dalam A.M.v.B. harus diatur Wet yang bersangkutanitu sendiri!). Dari uraian di atas dapat disimpul-kan bahwa di Negeri Belanda
sen-diri setelah peristiwa Meerenberg orang tiqak berkehendak lagi mem-buat "blanket-wet" yang dapat
se-cara terus-menerus dan dalam
kea-daan apapun juga memberikan ke-wenangan yang "blangko" kepada Raja untuk membuat A.M.v.B. de-ngan sanksi pidana berdasar Wet
terse but.
Hubungan Peraturan Pemerintah
dan Undang-undang
7. Sekarang mari kita lihat apa
hake-kat Peraturan Pemerintah dalam hu-bungannya dengan Undang-undang, dilihat dari sistem ketatanegaraan kita.
Pertama-tarna perlu kit a catat bahwa
kata "Pernerintah" pada istilah
Per-aturan Pernerintah tidak sarna
arti-nya apabila dilihat dari berbagai konstitusi yang pernah ada dan yang berlaku di negara kita. Menu-rut UUD 1945 Pernerintah ialah Pre-siden, sedangkan menurut Konsti-tusi R.I.S. dan UUDS 1950 Peme-rintah ialah Presiden dan Menteri-rnenteri bersama-sama, dengan ca-tatan bahwa Presiden tidak dapat diganggu-gugat dan Menteri-menteri
Staatsblad 1927 - 346
baik bersama-sama maupun masing-masing bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Meng-ingat dewasa ini kita berada di ba-wah UUD 1945, maka pada hake-katnya Peraturan Pemerintah ialah
peraturan yang dibuat oleh Presiden yang khusus untuk "menjalankan" Undang-undang ataupun untuk
"me-nyelenggarakan" Undang-undang,
yang berarti untuk mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang. (karena itu
Peratur-an Pemerintah selalu bersifat
"regel-geving" dan bukan "beschikking").
Selanjutnya mari kita perhatikan, apabila Pemerintah ialah Presiden,
. maka kegiatan memerintah dalam
arti yang formal menurut Georg,
Jellinek dalam "Algemeine
Staats-lehre" (cetakan ulang tahun 1966 dari edisi ketiga, halaman 613) me
-ngandung kekuasaan mengatur dan
kekuasaan menetapkan/memutus.
Apakah Peraturan Pemerintah sarna dengan produk hukum yang ber-sumber pada kekuasaan mengatur yang ada pada Presiden dalam
pe-nyelenggaraan pemerintahan nega
-ra? Dengan perkataan lain, apakah Peraturan Pemerintah sarna dengan "peraturan Presiden" yang bias a kita sebut Keputusan Presiden yang
berisi peraturan ?
8. Peraturan Pemerintah menurut Ba-tang Tubuh UUD 1945 dan Penje-lasannya ialah (peraturan) untuk
menjalankan Undang-undang. Mes-kipun ditetapkan oleh Presiden na-mun Peraturan Pemerintah bukan-lah Keputusan Presiden biasa yang
berisi peraturan. Sebabnya ialah ka-rena Peraturan Pemerintah merupa-kan "kelanjutan" Undang-undang
yang berada dalam lingkup
"pou-voir legislative" yang diserahkan
pe-netapannya kepada Presiden, se-dangkan Keputusan Presiden yang
27
berisi peraturan berada dalam ling-kup "pouvoir executive"
semata-m ata. J adi jelaslah, nama
"Peratur-an Pemerintah" meng"Peratur-andung kait"Peratur-an yang erat sekali dengan
Undang-un-dang. Peraturan Pemerintah tidak dapat ditetapkan tanpa adanya Un-dang-undang yang mendahuluinya karena ia diadakan untuk menja-lank an Undang-undang. Tetapi Ke-putusan Presiden yang berisi per-aturan selalu dapat diadakan
meski-pun tidak ada Undang-un'dang yang mendahuluinya, asalkan materi mu-atannya bukan materi muatan Un-dang-undang. (Keputusan Presiden semacam itu selalu diperlukan
un-tuk menjalankan roda pemerintah-an).
Peraturan Pemerintah bukan
reo
geringsverordening
9. Apabila benar penggunaan istilah
Peraturan Pemerintah terpengaruh oleh terjemahan Regeringsverorden-ing zaman Hindia Belanda, bagaima-nakah catatan-catatan kita menge-nai Regeringsverordening?
Samakah sifat Peraturan
Pemerin-tah dan Regeringsverordening?
Loge-m ann dalam "Staatsrecht van
Ne-derlands Indie" (1947) yang
meru-pakan "college-aantekeningen "-nya
selama mengajar di
Rechtshooge-school Jakarta (Batavia),
menyebut-kan bahwa Regeringsverordening
merupakan suatu lembaga yang "ge-lap" dalam ketatanegaraan Hindia
Belanda ("een duistere figuur in het
Indische staatsrecht"). Namun ia
dapat memastikan bahwa dengan
menunjuk kepada Pasal81 Indische
Staatsregeling Regeringsverordening
adalah bentuk kewenangan meng-atur dari Gubernur J enderal yang
tidak berdiri sendiri ("een
onzelf-standige verordeningsbevoegdheid").
Seianjutnya ia mengatakan tentang
J anuarl 1984
28
tidak mungkinnya sesuatu
Rege-ringsverordening yang berdiri
sen-diri ("een zeljstandige
regerings-verordening sarna dengan Peraturan
Pemerintah dewasa ini?
Apabila dilihat riwayatnya maka
lembaga Regeringsverirdening baru
timbul dalam Indische
Staatsrege-ling, yang seluruh teksnya
diun-dangkan kembali dan berlaku 1 J anuari 1926, yang sebelumnya
dikenal dengan nama
Regeeringsreg-lement (p?njangnya: Reglement op
het beleid der Regeering van Ned.
Indie). Dalam Regeringsreglement
tidak ada lembaga
Regeringsveror-dening. Peraturan-peraturan
pelak-sanaan pada waktu itu dilakukan dengan Keputusan Gubernur
Jende-•
ral atau Gouvernementsbesluit.
Te-tapi dengan adanya 1.S. selain diperkenalkan lem baga baru yang
disebut Regeringsverordening,
lem-baga Gouvernementsbesluit masih
tetap dipertahankan. J adi apabila
1.S. Pasal 81 ayat (l) menentukan
bahwa Gubernur Jenderal dapat
menetapkan Regeringsverordening
yang berisi peraturan yang
meng-ikat umum ("algemene regelingen ")
untuk melaksanakan Wet, A.M.
v.B., dan Ordonnantie, tentunya
lembaga itu bukan lembaga yang
"gelap" ataupun kabur seperti
dikatakan Logemann; diadakannya
lembaga itu tentu ada tujuannya.
Nampaknya diciptakannya lembaga
Regeringsverordening dimaksudkan
agar Gubernur J enderal selain ber-sarna-sarna Volksraad dapat
mem-bentuk Ordonnantie, ia juga secara
sendiri dapat membentuk jenis
"algemene verordening" yang lain .
Sebagai "algemene verordening"
yang mengandung peraturan yang dapat mengikat ke luar secara
umum, Regeringsverordening tidak
hanya untuk "menjalankan" Wet
Hukum dan Pembangunan
dan A.M. v.B. di Hindia Belanda
melainkan juga untuk
"menjalan-kan" Ordonnatie. Gubernur
Jende-ral dapat mengatur lebih lanjut dan
menyesuaikan pelaksanaan Wet,
A.M. v.B., dan (Ordonnantie sesuai
dengan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dengan
mengguna-kan Regeringsverordening. Oleh
ka-rena itu dapatlah dimengerti apabila Staatsblad 1927-346 yang berinduk pada pasal 81 ayat (2) I.S. itu me-mungkinkan dicantumkannya
sank-si pidana dalam Regeringsverorde
-ning (meskipun sanksi pidana itu
bersifat terbatas), karen a Regering
-sverordening dibuat tanpa perlu
persetujuan badan perwakilan atau
dewan rakyat (Volksraad) . Kesim
-•
pulan kita, Regeringsverordening
memang jenis perundang-undangan
khusus yang bersifat "algemene
verordening " yang dapat mengikat
ke luar secara umum, yang berguna
bukan hanya untuk "menjalankan"
Wet, A.M. v.B., dan Ordonnantie,
melainkan juga sebagai "alat" bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan kebijaksanaannya yang
berdasarkan "un dang-un dang d
a-sar" Hindia Belanda (1.S. ) dap at
mencantumkan sendiri sanksi pida
-na (meski terbatas).
Sanksi pidana dalam peraturan
Negara Republik Indonesia yang
berdasarkan atas hukum (Rechts
-staat),
10. Negara modern yang berdasar atas
hukum atau disebvt juga "moderne
Rechtsstaat " (sebaiknya tidak
diter-jemahkan secara harfiyah dengan "negara hukum" mengingat dengan teIjemahan itu tidak "terasa"
bah-wa negara berdasar atas hukum!) tumbuh karena perlawanan
de-Staatsblad 1927 - 346
ngan ciri-ciri berupa otoritarisme dan totalitarisme. Dasar Rechtsstaat" yang utama ialah kedaulatan rak-yat, kekuasaan negara yang berda-sarkan atas hukum, dan konstitusi-onalisme. Apabila pada Rousseau kedaulatan rakyat terwujud dalam
, I I r
volonte generale yang memformu-lasikan hukum dalam undang-un-dang bagi rakyat, maka rakyat se-bagai pembentuk adalah organ yang tertinggi dalam negara. Pada Rous-seau undang-undang adalah "la raison humaine manifestle par la volonte generale ". (Lihat Bohtlingk/ Logemann, Het wetsbegrip in
Neder-mann, Het wetsbegrip in Neder-land, 1966, halaman 16). Dalam perkembangannya, sejak undang-undang dianggap identik dengan
"la raison humaine" yang selalu mengandung kebenaran sampai
de-wasa ini yang "mensekularisasikan" undang-undang sebagai "de door de wetgever vastgestelde algemene rechtsregel die naar buiten werkt"
(aturan hukum yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang berlaku umum dan 'mengikat ke lu-ar), maka undang-undang selalu di-bentuk oleh atau dengan persetu-juan rakyat atau badan
perwakilan-nya.
Selain itu wawasan konstitusionalis-me juga menyebabkan kekuasaan pihak pemerintahan menjadi tidak tak terbatas. Hak hidup, hak
. milik/kekayaan , dan hak kebebasan rakyat dilindungi dalam konstitusi atau undang-undang dasar. Hak-hak rakyat tidak dapat dirampas dan di-kurangi tanpa persetujuan rakyat sendiri. Konstitusionalisme menja-min semua itu.
11. Negara modern Republik Indonesia
dalam undang-undang dasarnya se-cara tegas menyatakan diri sebagai negara yang berdasar atas hukum
29
(RechtsStaat) dan pemerintahannya berdasar sistem konstitusi atau konstitusionalisme. Oleh karena itu kita tidak dapat berkesimpulan lain kecuali bahwa dalam Negara
Re-publik Indonesia sanksi pidana yang dapat merampas dan mengurangi hak hidup, hak milik/kekayaan, dan hak ke be basan rakyat haruslah di-tuangkan dalam Undang-undang yang dibentuk oleh atau dengan persetujuan rakyat atau badan per-wakilannya. Dengan perkataan lain, sanksi pidana dalam sistem
per-undang-undangan Rechtsstaat Re-publik Indonesia haruslah dalam
bentuk atau atas kuasa Undang-undang fOIIllal. Jenis peraturan per-undang-undangan lain di bawah Un dang-un dang hanya dapat men-cantumkan sanksi pidana sebagai delegasian dari Undang-undang. Per-aturan Pemerintah sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang berfungsi "menjalankan" atau meng-atur lebih lanjut
ketentuan-keten-tuan dalam Undang-undang dapat memperoleh delegasian semua
ma-teri muatan Undang-undang, tenna-suk sanksi pidananya. Bahkan Per-aturan Pemerintah dapat "menj' a-lankan" atau mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-undang
meski-pun Undang-undang yang bersang-kutan tidak " memintanya" secara tegas-tegas.
12. Setelah mengikuti uraian di at as, maka kini timbul pertanyaan pada kita : dapatkah kita dewasa ini membentuk sebuah Undang-undang khusus yang memuat ketentuan sanksi pidana yang dapat didele-gasikan kepada semua I'eraturan-peraturan Pemerintah yang akan da-tang di kemudian hari kapanpun juga waktunya, meskipun nanti
ter-nyata Undang-undang yang akan menjadi "induk "
30
an Pemerintah itu sendiri memang sengaja tidak bermaksud untuk men-clUltumkan sesuatu sanksi pidana sedikitpun juga terhadap pe1anggar-an ketentupe1anggar-an-ketentupe1anggar-annya? Penye-diaan Undang-undang dengan sanksi pidana secara '.b1angko" semacam itu akan memungkinkan pihak
pe-merintahan memilih menurut per-timbangannya sendiri, baik untuk menggunakannya maupun untuk ti-dak menggunakannya, apabila ia se-kali waktu perlu menetapkan Per-aturan Pemerintah dari suatu Un-dang-undang yang tidak memuat sesuatu sanksi pidana. Da1am meng-hadapi keadaan yang demikian Negara kita akan kehilangan dua sendi utamanya sekaligus: sendi negara yang .berdasar atau hukum
dan sendi pemerintahan yang ber-dasar atas sistem konstitusi. Da1am keadaan demikian pilihan untuk mencantumkan sanksi pidana dalam Peraturan Pemerintah tidak 1agi
di-,
dasarkan at as sendi yang murni dari wawasan Rechtsstaat dan wa-wasan konstitusionalisme.
Penutup
13. Sebagai penutup sebaiknya diaju
-kan kesimpu1an-kesimpu1an dari uraian yang agak panjang di atas ini sebagai berikut.
1) Staatsb1ad tahun 1927 nomor 346 hanya diadakan di negara
jajahan Hindia Be1anda; gagasan semacam itu di negara induknya sendiri Negeri Be1anda sudah lama ditinggalkan.
2) Berdasarkan Aturan Peralihan Pasa1 II UUD 1945 Staatsb1ad
1927-346 hanya berlaku sam-pai dengan berfungsinya Kons-titusi R .I.S. mengingat konstitu-si ini te1ah menetapkan secara tegas bahwa batas hukuman bagi
HUkum dan Pembangunan
Peraturan Pemerintah harus di-cantumkan dalam
Undang-un-dang (federal) , sedangkan Staat-sb1ad 1927-346 yang berwujud Ordonanntie bukan1ah Undang-undang (federal) .
3) Meskipun dengan berlakunya kembali UUD 1945 UUDS
1950 tidak berlaku 1agi, na-mun ketentuan-ketentuan UU-DS 1950 yang tidak berten-tangan dengan UUD 1945 dapat dianggap sebagai kon-vensi ketatanegaraan yang da-pat terus berlaku, termasuk ketentuannya yang menetap-kan bahwa batas hukuman
bagi Peraturan Pemerintah ha-rus dicantumkan dalam
Un-dang-undang, se1ama tidak bertentangan dengan atau di-buat peraturan baru berdasar-kan UUD 1945.
.
4) Peraturan Pemerintah menu-rut UUD 1945 ada1ah per-aturan perundang-undangan de1egasian khusus untuk men-jalankan Undang-undang,
se-hingga karenanya perlu atau tidaknya pembentukan Per-aturan Pemerintah yang me -ngandung sanksi pidana ter
-gantung pada ketentuan sanksi pidana Undang-undang yang bersangku tan.
5) Sanksi pidana, termasuk ~e tentuan-ketentuan lain yang terdapat dalam suatu Undang
-undang, dapat dide1egasikan kepada Peraturan Pemerintah
mengingat Peraturan Pemerin-tah merupakan peraturan per
-undang-undangan de1egasian. Tetapi de1egasi ("het over
-dragen ") kewenangan bukan
-1ah atribusi ( "het scheppen ")
Staatsblad 1927 - 346
,
6) Membuat suatu Undang-un-dang yang semata-mata berisi sanksipidana dengan maksud agar sewaktu-waktu dapat
di-delegasikan kepada Peraturan
-peraturan Pemerintah yang akan dibentuk kemudian pa-da masa pa-datang kapanpun
juga, meskipun Undang-un
-dang yang bersangkutan
de-ngan pembentukan Peraturan
-'" SHAYHA THIHAK He " I .J -:::;> ~
,
..-
... ",..\
.
' -( , ,-/ ,.,-I , / ~ij~ \_~ ... ~ 1 '-...-.0!4 I R.D-( -... , , , > • • • • " c<, ..
1" . ,-
~
31peraturan Pemerintah itu ti-dak bennaksud mengancam-kan sanksi pidana sedikitpun juga terhadap pelanggaran
ke-tentuan-ketentuannya, adalah
bertentangan dengan sendi-sendi Negara Republik
Indo-nesia, yakni sendi wawasan
Rechtsstaat dan sendi
wawas-an konstitusionalisme ywawas-ang
ditegaskan dalam UUD 1945.
A!-;J,N SAYA T UNTurSIAPA YANG B lk/N eEI-iAR NN.'A S AYA/