• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Pelibatan Masyarakat dalam Mengelola Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Bengkulu Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tantangan Pelibatan Masyarakat dalam Mengelola Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Bengkulu Utara"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Tantangan Pelibatan Masyarakat dalam Mengelola Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Bengkulu Utara

(Challenges in improving community participation in managing the Bengkulu Utara forest management unit)

Yansen1*, Wiryono1 dan Azwanda2

1

Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

2

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Bengkulu Utara *Email: y.yansen@ymail.com

Abstrak

Kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPH) Bengkulu Utara, yang ditetapkan tahun 2013, meliputi 42.640 ha hutan produksi terbatas dan 9.546 ha hutan produksi tetap. Dari luas wilayah kelola ini, seluas 30.200 ha telah terbebani izin usaha pemanfaatan hasil kayu (IUPHHK) hutan alam. Karena itu, pihak pengelola KPHP memusatkan perhatian pada pengelolaan kawasan hutan yang belum terbebani izin, yakni sekitar 21.986 ha. Dalam tahap awal inventarisasi, diketahui bahwa area yang belum dibebani izin ini hanya memiliki hutan primer sekitar 4.000 ha. Area yang belum dibebani izin ini sebagian besar, lebih dari 15.000 ha, telah dirambah oleh masyarakat yang meliputi sekitar 1.600 kepala keluarga. Sebagian besar lahan perambahan ini ditanami masyarakat dengan komoditas karet, di sampaing tanaman sawit. Hampir 100 ha lahan bahkan sudah berbentuk pemukiman. Melihat kondisi ini, pelibatan masyarakat dalam mengelola KPHP ini merupakan hal yang tak terhindari. Karena KPHP ini masih dalam tahap awal menuju rencana operasionalisasi, maka kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pelibatan masyarakat ini telah dilakukan, berupa sosialisasi KPHP, diskusi, dan penyampaian rencana-rencana kemitraan. Pihak pengelola KPHP utamanya menawarkan skema kemitraan dimana petani bisa memanfaatkan kawasan hutan. Komoditas yang ditanam, terutama karet, diperbolehkan untuk dipertahankan, namun dengan beberapa modifikasi teknik budidaya. Teknik budidaya ini terutama untuk memasukkan unsur tanaman pohon hutan lainnya dalam lansekap pengeloaan bersama dengan masyarakat. Sejauh ini, banyak tantangan yang dihadapi pihak pengelola KPHP. Masyarakat perambah tersebut masih menginginkan legalitas kepemilikan. Mengingat banyaknya masyarakat yang menduduki kawasan hutan, tata kelola KPHP berbasis kemitraan dengan masyarakat masih harus dirumuskan dengan lebih baik dan aplikatif, termasuk hak dan kewajiban ke dua belah pihak.

Kata kunci: Bengkulu Utara, kemitraan, kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), perambahan

Abstract

Bengkulu Utara forest management unit (BUFMU), designated in 2013, covers 42,640 ha of limited production forest and 9,546 ha of production forest. About 30.200 ha of it is a concession area. The early stage inventory found that it is only 4,000 ha primary forests left in the 21,986 ha of non concession areas, while more than 15,000 ha have been illegally occupied by people. They are planting rubber and other agricultural plants

(2)

in the area. Even, about 100 ha have been turned into residential area. Therefore, the management of BUFMU has to involve the community in managing the area. The BUFMU officials have communicated the participatory management regulation to the community, in which they are still allowed to utilize the forest lands, by keeping their agricultural plants such as rubber. However, they have to adhere to some regulations and to modify their planting techniques by inserting trees in the landscape. There are many challenges faced by the management, including the assertion of the people to acquire land legality. Given the fact that many people have occupied the forest areas, the participatory management approach has to be formulated adequately, including the right and duties of both parties.

Keywords: Bengkulu Utara, participatory, forest management unit (FMU), illegal occupation

PENDAHULUAN

Ada dua isu strategis kehutanan Indonesia saat ini, yakni peran hutan dalam perubahan iklim, dan tata kelola hutan. Dalam konteks hutan dan perubahan iklim, penyerapan karbon hutan oleh vegetasi hutan menjadi bagian penting dalam mitigasi perubahan iklim (Andalo et al., 2005; Gibbs et al., 2007; Komiyama et al., 2005). Hal ini dikarenakan ekosistem hutan merupakan komponen utama cadangan karbon bumi (Dixon et al., 1994; Keith et al., 2009). Hal inilah kemudian yang memunculkan skema mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation, REDD) (Grainger et al., 2009). Skema ini adalah bentuk penghindaran deforestasi (avoided deforestation). Asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa semakin menurunnnya laju deforestasi dan semakin luas hutan yang terjaga, serapa karbon hutan semakin meningkat dan emisi karbon hutan berkurang. Karena itu, dalam perkembangan pembicaraan mitigasi perubahan iklim, konservasi hutan tropis menjadi hal penting. Bagi Indonesia, REDD merupakan agenda penting. Disamping sebagai peluang untuk menyelamatkan hutan, ia juga merupakan mekanisme penurunan emisi dari deforestasi. Indonesia berencana mengurangi emisi sampai 26 persen pada 2020. Karena itu, arah keterlibatan sektor kehutanan tidak lagi “apakah”, tetapi menjadi “bagaimana” konservasi hutan menjadi bagian penting dari rezim perlindungan iklim pasca 2012 (Grainger et al., 2009; Yansen, 2009).

Dalam perkembangan lanjutannya, REDD ini kemudian menjadi REDD+ (REDD plus). Hal ini untuk menekankan bahwa konservasi hutan tidaklah sama dengan hanya konservasi karbon hutan, namun juga konservasi keanekaragaman hayati (Grainger et

(3)

al., 2009; Verissimo et al., 2014) dan juga penguatan tata kelola hutan (UNDP, 2013). Penilaian finansial konservasi hutan melalui serapan dan cadangan karbon hutan membuat konservasi hutan dalam konteks yang lebih general dapat diuntungkan. Namun, harus digarisbawahi bahwa konservasi hutan Indonesia pada saat ini harus merupakan sinergi antara perbaikan serapan dan konservasi karbon hutan dengan konservasi keanerakagaman dalam konteks tata kelola hutan yang lebih baik.

Praktek-praktek tata kelola hutan yang baik menjadi penentu utama keberhasilan pelaksanaan pengelolaan hutan di Indonesia. Menurut UNDP (2013), tata kelola yang baik ditandai oleh sikap menghormati kepastian hukum, transparansi dan aliran informasi yang bebas, keikutsertaan warga negara yang signifikan, kesetaraan, akuntabilitas yang tinggi, manajemen sumber-sumber daya publik yang efektif, dan terkendalinya korupsi.

Pengelolaan kehutanan Indonesia telah melalui beberapa periode (Resosudarmo et al., 2012). Pada periode pertama (1950-1975) terjadi perluasan wilayah pertanian intensif dan inisiasi hak pengusahaan hutan. Selanjutnya pada tahun 1975-1990 trejadi eksploitasi besar-besaran melalui penebangan dan konversi hutan. Arah kebijakan kemudian sedikit berubah pada periode ketiga (1990-1998) dimana mulai didengungkan pengelolaan hutan berkelanjutan. Pada era reformasi (1998-sekarang) terjadi perubahan paradigma kehutanan mengikuti perubahan arah kebijakan negara. Pada saat ini paradigma desentralisasi kehutanan lebih dikedepankan.

Aturan perundangan-perundangan berusaha memayungi perubahan paradigma tersebut. Jika dibandingkan dengan Undang Nomor 5 Tahun 1967, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 memuat ketentuan-ketentuan baru yang berbeda secara fundamental dengan aturan-aturan sebelumnya. Hal-hal yang baru tersebut adalah antara lain termasuk (a) adanya pengawasan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, (b) penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah, (c) penegasan hak masyarakat hukum adat, (d) peningkatan peran serta masyarakat, (e) terbukanya peluang untuk melakukan gugatan perwakilan, (f) diaturnya mekanisme penyelesaian sengketa, (g) adanya ketentuan pidana, dan (h) diaturnya tentang ganti rugi serta sanksi administratif.

(4)

Namun, desentralisasi ini bukan tanpa masalah. Peran yang lebih besar bagi pemerintah di daerah tidak dimanfaatkan dengan baik untuk memperbaiki tata kelola berdasarkan kondisi lokal. Pemerintah daerah, yang secara fisik dekat dengan sumberdaya hutan dan komunitas disekitarnya, sepertinya tidak mampu mengelola hutan secara lebih baik daripada pemeintah pusat (Barr et al. 2006). Mereka juga tampak tidak memahami dengan baik kebutuhan dan aspirasi lokal. Bahkan, kompetisi politik lokal membuat pemerintah daerah mencari keuntungan cepat dengan izin-izin eksploitasi sumberdaya alam, termasuk hutan. Ujungnya, laju kerusakan hutan tetap tinggi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan saat ini tetap mengabaikan peran masyarakat. Jika tidak ditangani, hal tersebut akan membuat permasalahan yang lebih pelik dan kompleks dalam pengelolaan lingkungan dan konflik sosial di daerah (Setiawan and Hadi, 2007).

Melihat tata kelola kehutanan yang tetap tidak membaik selama periode reformasi ini, Pemerintah Pusat mempercepat pembentukan unit pengelolaan hutan yang diamanatkan olwh pasal 17 UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Unit pengelolaan ini dinamai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) no tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Dalam perkembangannya peraturan ini diubah dengan PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

Kebijakan KPH ini diterbitkan juga karena ketiadaan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Organ pemerintah di daerah yang mengurusi kehutanan, dinas tingkat I dan II tidak memiliki tugas melakukan pengelolaan langsung. Tanggung jawab mereka hanya dalam hal regulasi dan pengawasan. Karena itu, kebijakan ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, di samping dengan tetap mengakomodasi tuntutan dan kepentingan pemerintah daerah (Kementerian Kehutanan, 2011). Karena itu, untuk mendorong keberhasilan kebijakan KPH ini, kajian-kajian tentang tantangan pelaksanaan pengelolaan hutan lapangan harus terus dilakukan. Makalah ini bertujuan untuk melihat beberapa tantangan yang dihadapi

(5)

oleh pengelola KPH di daerah dalam konteks pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan.

METODOLOGI PENELITIAN

Gambaran umum lokasi

Kabupaten Bengkulu Utara memiliki luas hutan sebesar 193.152 ha. Luasan ini adalah sekitar 40.1% dari luas daratan kabupaten ini dan seluas 20.9% dari total luas hutan di Propinsi Bengkulu. Semua fungsi hutan, yang meliputi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi, ada di Kabupaten Bengkulu Utara ini. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 643/Menhut-II/2011, luas kawasan hutan di Bengkulu Utara yang didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 420/Kpts-II/1999 mengalami beberapa revisi. Ini kemudian diperkuat dengan SK Menteri Kehutanan No 784/Menhut-II/2012.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK 997/Menhut-II/2013, dibentuklah unit kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) di Kabupaten Bengkulu Utara dengan luas 52.186 Ha., yang terdiri atas tiga kelompok hutan, yaitu hutan produksi terbatas (HPT) Air Ketahun, hutan produksi terbatas (HPT) Lebong Kandis seluas + 42.640 Ha dan hutan produksi (HP) Air Rami + 9.546 ha (Gambar 1). Hutan lindung yang berada di Kabupaten Bengkulu Utara ini tidak masuk dalam kawasan KPH ini karena hutan lindung yang ada digabungkan dalam kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL) lintas kabupaten di Propinsi Bengkulu.

(6)

Gambar 1. Peta kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) Bengkulu Utara (Sumber: Lampiran SK Menteri Kehutanan Nomor 997/Menhut-II/2013)

Jalan-jalan yang menghubungkan desa-desa di sekitar wilayah KPHP Bengkulu Utara ini telah berupa jalan aspal dan tanah padat yang lebar dan dapat dilalui oleh berbagai kendaraan darat seperti truk, mobil, sepeda motor, sepeda dan gerobak. Lebih jauh lagi, akses ke kawasan wilayah KPHP Bengkulu Utara dapat dikatakan terbuka. Ada jalan tanah yang berada dalam Wilayah HPT Air Ketahun, sepanjang lebih 64 Km, yang merupakan jalan bekas pembukaaan wilayah hutan bekas konsesi haka pengusahaan hutan (HPH) PT. Dirgahayu Rimba yang sudah berhenti operasi puluhan tahun silam. Di samping itu, terdapat beberapa jalan baru yang dibuka oleh masyarakat. Selain itu, karena di dalam wilayah KPHP ada permukiman yang telah menjadi desa persiapan.

Metode pengumpulan data

Studi ini menggunakan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui teknik wawancara, diskusi terbatas dengan masyarakat dan pengamatan lapangan. Sedangkan data sekunder adalah data-data yang didapatkan melalui studi

(7)

dokuementasi dan data dari institusi lainnya. Data kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi faktual KPHP Bengkulu Utara

Kondisi pengelolaan hutan di Propinsi Bengkulu secara umum sama dengan kondisi pengurusan hutan secara nasional. Sepanjang sejarah pembangunan nasional dan daerah, pengurusan hutan bisa dikatakan berfluktuasi. Pada kawasan hutan produksi, dengan kebijakan yang sentralistis ketika itu, pengelolaan hutan di Bengkulu yang dimulai pada akhir tahun 1970-an dilakukan dengan sistem hak pengusahaan hutan (HPH). Ketika itu izin diberikan kepada pada 5 HPH, yakni HPH PT. Sari Balok, PT. Bina Samakta, PT. Maju Jaya Raya Timber, PT. Dirgahayu Rimba dan PT Bengkulu Raya Timber. Setelah zaman reformasi, pada periode 1999 s/d 2001 izin konsesi diberikan hanya satu yakni kawasan bekas PT Maju Jaya Raya yang dikelola oleh PT Inhutani V. Pada periode setelah 2001 hanya ada satu pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam (IUPHHK-HA) di Bengkulu, yaitu PT. Bentara Arga Timber (BAT) dengan kawasan seluas 23.000 ha. Namun, area PT. BAT ini tidak dikelola dengan baik. Ujungnya, lahan konsesi yang dimiliki PT. BAT yang berada di Kabupaten Mukomuko menjadi sumber konflik dengan masyarakat. Sebagian area PT. BAT tersebut telah diokupasi oleh masyarakat. Saat ini IUPHHK-HA yang masih berjalan adalah PT. Anugerah Pratama Inspirasi yang memegang lisensi IUPHHK-HA seluas 33.070 ha di Kabupaten Bengkulu Utara dan sedikit area di Kabupaten Mukomuko.

Proses terbentuknya KPH Bengkulu Utara telah didahului oleh kegiatan pembentukan Rancang Bangun KPH di Propinsi Bengkulu, yang salah satu rekomendasinya adalah pembentukan KPHP pada kawasan hutan produksi di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara. Namun, pembentukan KPHP Bengkulu Utara ini juga didasarkan pada kondisi aktual Kabupaten Bengkulu Utara memiliki wilayah hutan produksi yang luas dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Propinsi Bengkulu. Pada kawasan hutan di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara ini juga sebenarnya direkomendasikan untuk dibentuk kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), yakni di

(8)

gugusan kelompok Hutan Lindung Bukit Daun. Namun, berdasarkan peta pencadangan KPH, unit KPHL ini meliputi lintas administrasi kabupaten. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007, untuk unit KPH yang melingkupi lebih dari satu wilayah administrasi kabupaten/kota, maka kewenangan pembentukannya adalah pada tingkat propinsi. Wilayah hutan konservasi di Kabupaten Bengkulu Utara juga sebenarnya lebih daripada willayah hutan produksi dan hutan lindung. Tetapi, karena wilayah hutan konservasi diurusi oleh institusi pusat, maka hutan konservasi dikeluarkan dari rencana pembentukan KPH pada tingkat propinsi dan kabupaten.

Kawasan KPHP Bengkulu Utara ini dijadikan beberapa blok berdasarkan karakteristik wilayahnya dan mengacu pada pedoman pembangunan KPH (Kementerian Kehutanan, 2011). Kawasan seluas 30.200 Ha telah terbebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam (IUPHHK-HA). Blok ini mencakup wilayah kerja PT. Anugerah Pratama Inspirasi (API). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.682/Menhut-II/2009 tanggal 16 Oktober 2009 kepada PT. Anugerah Pratama Inspirasi telah diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam atas areal seluas 33.070 hektar di Provinsi Bengkulu. Dari total luasan konsesi perusahaan ini, jumlah area pengusahaan yang berada di Kabupaten Bengkulu Utara adalah 30.200 Ha dan sisanya berada di Kabupaten Mukomuko. Karena itu, dalam desain tata hutan dan perencanaan, kawasan ini langsung dijadikan blok pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam KPHP, yang berada di HP Air Rami dan HPT Lebong Kandis. Sedangkan kawasan sisa (seluas 21.986 ha) dibagi menjadi blok pemberdayaan masyarakat, blok jasa lingkungan dan hasil hutan non kayu (HHBK) dan blok perlindungan. Dari hasil inventarisasi dan analisis tutupan, diketahui bahwa area yang belum dibebani izin ini hanya memiliki hutan primer sekitar 4.000 ha.

Dari hasil analisis tutupan kawasan hutan (Tabel 1), terlihat bahwa hutan primer yang tersisa hanya sekitar 12.2% dari total luas KPHP Bengkulu Utara. Namun, yang berbentuk hutan sekunder masih cukup luas, yakni sebesar 57,1%. Analisis tutupan juga menunjukan bahwa okupasi areal KPHP untuk kegiatan non kehutanan sangatlah besar. Sebesar 24,5% tutupan adalah merupakan lahan pertanian. Karena itu,

(9)

mengatasi permasalahan okupasi hutan dan memperbaiki kondisi vegetasi merupakan tantangan utama dari pengelola KPHP ini nantinya.

(10)

Tabel 1. Detail tutupan kawasan hutan beserta luasnya yang termasuk dalam wilayah pengelolaan KPHP Bengkulu Utara (Data diolah dari Peta Tutupan Lahan (Ditjen Planologi Kemenhut, 2011)

No Bentuk tutupan Luas

(ha)

Persentase (%) 1 Hutan lahan kering primer 6.349,5 12,2 2 Hutan lahan kering sekunder 29.956,8 57,1

3 Perkebunan 114,7 0,3

4

Pertanian lahan kering bercampur

Semak 16.535,4 24,5

5 Semak belukar 1.831,7 3,5

6 Non vegetasi 161,2 0,3

7 Tidak ada data 6.061 2,2

Total 52.186 100

Perambahan oleh masyarakat

Di kawasan KPHP Bengkulu Utara yang belum terbebani izin pemanfaatan, yakni seluas 21.986 ha, terjadi perambahan dan pendudukan tak sah. Lebih dari 15.000 ha kawasan hutan di HPT Air Ketahun dan Lebong Kandis sudah diubah peruntukannya (Tabel 2). Sebagian besar area ini telah berubah menjadi kebun karet, di samping ada juga kebun kopi kebun campuran lainnya dan bahkan akses jalan serta pemukiman (Gambar 2). Jumlah kepala keluarga masyarakat penggarap di dalam KPHP ini, berdasarkan informasi wawancara, berjumlah lebih dari 1.500 KK. Masyarakat perambah ini sebagian dari masyarakat sekitar kawasan. Namun, sebagian lagi masyarakat tersebut datang dari labupaten, seperti Bengkulu Selatan dan Kaur, dan bahkan berasal dari provinsi lain, yakni Lampung.

(11)

Tabel 2. Ringkasan jumlah luas perambahan, jumlah kepala keluarga dan peruntukan pada kawasan KPHP Bengkulu Utara yang belum terbebani izin (+21.986 ha)

No Kelompok hutan Luas perambahan

Jumlah kepala keluarga

Peruntukan

1. HPT Air Ketahun 14.191 ha 1.420 Kebun karet, kebun sawit, pemukiman, jalan

2. HPT Lebong Kandis

1.200 ha 200 Kebun sawit, kebun campuran dan area transmigrasi

Gambar 2. Kawasan KPHP Bengkulu Utara yang telah dirambah oleh masyarakat telah diubah menjadi kebun karet (a), kebun campuran (b) dan sarana jalan dan pemukiman (c)

(a)

(b)

(12)

Di Bengkulu dan juga banyak propinsi lainnya di Indonesia, tantangan pengelolaan hutan bukan terletak pada konsep, namun pada level praktis, yakni bagaimana menyelesaikan konflik lahan dan melindungi hutan dari aktivitas ilegal (Wiryono dan Yansen, 2013). Konflik kehutanan ini terjadi karena hutan negara didasarkan pada “kawasan hutan” yang merupakan produk kebijakan (Siscawati dan Mahaningtyas, 2012). Ada beberapa catatan menarik dari pengamatan lapangan tentang apa yang terjadi di kawasan perambahan ini. Pertama, sebagian besar masyarakat perambah mengetahui bahwa kawasan yang mereka rambah tersebut adalah kawasan hutan. Ini dapat dilihat dari demografi para perambah yang datang dari berbagai tempat. Hal ini sedikit bertolak belakang dengan laporan tentang konflik kehutanan sebelumnya yang menyebutkan bahwa penyebab utama konflik kehutanan adalah perbedaan persepsi tentang batas hutan dan hak untuk pemanfaatan hutan (Emila dan Suwito, 2007; Wulan et al., 2004). Sebagian para masyarakat ini bahkan membeli lahan yang mereka kelola dari orang lain, walaupun mereka mengetahui tak ada legalitas kepemilikan lahan. Bahkan terjadi kecenderungan pemanfaatan berlebih dan di luar batas kewajaran dimana satu kepala keluarga bahkan bisa menguasai 10 ha lahan.

Tantangan kegiatan partisipatif

Pengelola KPHP Bengkulu Utara menyadari mengusir masyarakat keluar kawasan hutan adalah hal yang susah dilakukan, dan seringkali malah kontraproduktif. Membongkar tanaman yang sudah berproduksi juga tidak mungkin. Namun, masyarakat juga harus diberi kesadaran bahwa mereka melakukan tindakan yang melawan hukum dan tidak dibenarkan. Karena itu, pengelola KPHP ini memulai dengan melakukan pendekatan intensif ke masyarakat perambah melalui sosialisasi dan diskusi terbatas (Gambar 3). Karena itu, sebagian besar kawasan yang belum terbebani izin ini diarahkan sebagai blok pemberdayaan. Pengelolaan blok ini akan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat

(13)

Gambar 3. Sosialisasi dan diskusi terbatas dengan masyarakat tentang arah pengelolaan kawasan hutan di KPHP Bengkulu Utara secara partisipatif

Tujuan utama dari blok pemberdayaan ini adalah bahwa masyakarat mendapatkan akses pengelolaan hutan. Namun masyarakat harus menyadari bahwa wilayah yang mereka kelola adalah kawasan hutan. Pada dasarnya pengelolaan kawasan oleh masyarakat telah terjadi. Sehingga, hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana masyarakat mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh pengelola KPHP Bengkulu Utara berdasarkan aturan-aturan yang ada, termasuk batasan luas pengelolaan lahan per kepala keluarga dan aturan pindah tangan pengelola. Pengelola KPHP utamanya menawarkan bahwa masyarakat diperbolehkan mengelola lahan hutan dengan tanaman yang telah mereka tanam, contohnya karet. Namun, harus ada modifikasi teknik budidaya, misalnya dengan menanam pohon dalam unit lahan yang mereka kelola. Masyarakat juga bisa menanam dengan pola agroforestry. Konsep yang ditawarkan ini pada dasarnya adalah perhutanan sosial yang mengakomodasi kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam pengelolaan kehutanan (CIFOR, 2003; RECOFTC, ASFN, and SDC, 2010).

Namun, tantangan terbesar yang dihadapi oleh pengelola KPHP Bengkulu Utara adalah masyarakat tidak begitu antusias dengan skema yang memberikan kewenangan besar bagi mereka dalam pengelolaan hutan. Dari wawancara yang dilakukan, masyarakat malah mengharapkan legalitas kepemilikan lahan yang mereka usahakan. Di samping keabaian masyarakat tersebut dengan aturan yang berlaku, hal ini juga dipicu penurunan status kawasan hutan di sekitar area yang mereka kelola. Pada tahun 2012, berdasarkan Surat Keputusan Menhut No. 784/Menhut-II/2012, kawasan Hutan Produksi Urai Serangai dan Air Bintunan yang berbatasan langsung dengan HPT Air

(14)

Ketahun diturunkan statusnya menjadi hutan produksi konversi (HPK) seluas lebih dari 8.000 ha. Bupati Bengkulu Utara juga telah mengajukan usul lanjutan pelepasan kawasan, tetapi belum disetujui Kementerian Kehutanan. Kedepan kawasan ini kemungkinan besar akan menjadi area pemanfaatan lain (APL). Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa perubahan status ini diperkirakan tidak akan menjadi bagian dari solusi konflik lahan dan kawasan hutan. Area ini nantinya kemungkinan besar akan menjadi HGU atau kuasa pertambangan karena cadangan batubara yang dimili oleh kawasan tersebut. Karena itu, pendekatan partisipatif juga harus diimbangi dengan pendekatan yang tegas tentang kebijakan dan aturan yang akan dijalankan. Hal ini menyangkut antara lain aturan luas lahan yang dapat dikelola, aturan pindah tangan, modifikasi teknik budidaya dan aturan bagi hasil dari ouput pemanfaatan kawasan hutan negara. Karena itu, menurut Contreras-Hermosilla dan Fay (2005), masyarakat harus menjadi entitas legal yang menandatangani kontrak formal dengan pihak lain, seperti pemerintah dan pengelola. Proses ini memang kadangkala rumit, namun dapat diatasi dengan melakukan sensus ke semua anggota masyarakat yang terlibat yang bersedia melakukan perjanjian secara jelas dan formal.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KPHP Bengkulu Utara ini masih berada pada tahap yang sangat awal dan diberi kewenangan untuk mengelola kawasan hutan yang sudah maupun yang belum terbebani izin pemanfaatan. Pada tingkat praktis, pengelolaan hutan pada tingkat KPH masih menemui banyak kendala untuk dapat mencapai tujuan dasar dibentuknya KPH. Dengan luasnya area hutan yang dirambah oleh masyarakat pada kawasan yang belum terbebani izin, maka resolusi konflik dengan penerapan pengelolaan hutan partisipatif adalah pilihan utama. Karena itu, kajian ini merekomendasikan beberapa hal. Pertama bahwa manajemen konflik harus dimasukkan sebagai bagian penting pengelolaan KPHP dengan menjadikan pengelolaan berbasis partisipasi masyarakat sebagai dasar kebijakan. Kedua, harus dibangun aturan yang jelas tentang hak dan kewajian pengelola KPHP dan masyarakat. Hal ini menyangkut antara lain aturan luas lahan yang dapat dikelola, aturan pindah tangan, modifikasi teknik budidaya dan aturan bagi hasil dari hasil pemanfaatan

(15)

kawasan hutan negara. Terakhir, harus ada penekanan bahwa pengelolaan yang dilakukan bukanlah hak kepemilikan.

DAFTAR PUSTAKA

Andalo J. C, Brown S, Cairns M. A, Chambers J. Q, Eamus D, Fromard F, Higuchi N, Kira T, Lescure J. P, Nelson, B. W, Ogawa H, Puig H, Riera B, & Yamakura T. 2005. Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia, 145: 87–99

Barr C, Resosudarmo I. A. P, Dermawan A & McCarthy J. 2006. Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implications for Forest Sustainability, Economic Development and Community Livelihoods. CIFOR, Bogor.

CIFOR. 2003. Perhutanan sosial. Warta Kebijakan no 9. CIFOR. Bogor.

Contreras-Hermosilla A& Fay C. 2005. Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action. World Agroforestry Center, Bogor.

Dixon R. K, Brown S, Houghton, R. A, Solomon A. M, Trexler M. C & Wisniewski. 1994. Carbon pools and flux of global forest ecosystems. Science, 263: 185-191 Direktorat Jenderal Planologi. 2011. Peta Tutupan Lahan dan Hutan. Jakarta

Emila dan Suwito. 2007. Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure. 29 November 2007, Bogor.

Gibbs H. K, Brown S, Niles J. O & Foley J. A. 2007. Monitoring and estimating tropical forest carbon stocks: making REDD a reality. Environmental Research Letter, 2: 1-13

Grainger A, Boucher D. H, Frumhoff P. C, Laurance W. F, Lovejoy T, McNeely J. A, Niekisch M, Raven P,Sodhi N, Venter O & Pimm S. L. 2009. Biodiversity and REDD at Copenhagen. Current Biology, 19: 974-976.

Keith H, Mackey B. G & Lindenmayer D. B. 2009. Re-evaluation of forest biomass carbon stocks and lessons from the world’s most carbon-dense forests. PNAS, 106: 11635–11640

Kementerian Kehutanan. 2011. Pembangunan Kesatuan pengelolaan Hutan (KPH): Konsep, peraturan perundangan dan implemetasi. Jakarta.

Komiyama A, Poungparn S & Kato S. 2005. Common allometric equations for estimating the tree weight of mangroves. Journal of Tropical Ecology, 21:471– 477

RECOFTC, ASFN, and SDC. 2010. The Role of Social Forestry in Climate Change Mitigation in the ASEAN Region. http://www.recoftc.org/site/resources/The- Role-of-Social-Forestry-in-Climate-Change-Mitigation-and-Adaptation-in-the-ASEAN-Region.php.

Resosudarmo B. P, Nawir A. A, Resosudarmo I. A. P& Subiman N. L. 2012. Forest Land Use Dynamics in Indonesia. Working Paper. Australian National University, Canberra.

Setiawan, B and Hadi, S.P. 2007. Regional autonomy and local resource management in Indonesia. Asia Pacific Viewpoint, 72 – 84.

(16)

Siscawati M & Mahaningtyas A. 2012. Gender Justice: Forest Tenure and Forest Governance in Indonesia. The Rights and Resources Initiative, Washington DC. UNDP. 2013. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan, dan REDD+ di Indonesia. UNDP

Indonesia, Jakarta.

Veríssimo D, MacMillan D. C, Smith R. J, Crees J & Davies Z. G. . 2014. Has Climate Change Taken Prominence over Biodiversity Conservation? Bioscience, 20: 1-5 Wiryono & Yansen. 2013. The challenge for sustainable forest management in

Bengkulu Province. The 3rd International for Sustainable Humanosphere. 17-18 September 2013, Bengkulu.

Wulan Y. C, Yasmi Y, Purba C & Wollenberg E. 2004. An Analysis of Forestry Sector Conflict in Indonesia 1997 – 2003. CIFOR, Bogor

Yansen. Will the forestry sector be pretty in Copenhagen? The Brunei Times, 9 Desember 2009

Gambar

Gambar  1.    Peta  kesatuan  pengelolaan  hutan  produksi  (KPHP)  Bengkulu  Utara  (Sumber:  Lampiran  SK  Menteri  Kehutanan  Nomor   997/Menhut-II/2013)
Tabel 1. Detail  tutupan  kawasan  hutan  beserta  luasnya  yang  termasuk  dalam  wilayah  pengelolaan  KPHP  Bengkulu  Utara  (Data  diolah  dari  Peta  Tutupan  Lahan  (Ditjen Planologi Kemenhut, 2011)
Tabel 2.   Ringkasan  jumlah  luas  perambahan,  jumlah  kepala  keluarga  dan  peruntukan  pada kawasan KPHP Bengkulu Utara yang belum terbebani izin (+21.986 ha)
Gambar 3.  Sosialisasi dan diskusi terbatas dengan masyarakat tentang arah pengelolaan  kawasan hutan di KPHP Bengkulu Utara secara partisipatif

Referensi

Dokumen terkait

Potensi yang terdapat pada wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal berdasarkan metode Ground Check adalah jenis meranti yaitu meranti merah ( Shorea leprosula ) dan meranti kuning

Pengelolaan KPHP Dampelas Tinombo Pengelolaan Hutan adalah kegiatan yang meliputi: Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; penggunaan

Dengan mempertimbangkan keterbatasan biaya, waktu dan tenaga pelaksana, maka jumlah lokasi/desa sekitar KPH yang dilakukan inventarisasi ditentukan minimal 10 persen dari

Potensi yang terdapat pada wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal berdasarkan metode Ground Check adalah jenis meranti yaitu meranti merah (Shorea leprosula) dan meranti

1 Anwar Bey Laki-laki Mandailing S1 Petani,

Sampel dalam metode ini dipilih secara Purposive Sampling yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal.. Dikumpulkan 5 responden

Kawasan hutan provinsi Gorontalo merupakan suatu kesatuan kawasan hutan yang sesuai dengan Peta Penunjukan SK.325/Menhut-11/2010 tanggal 25 Mei 2010 dan untuk

Perlindungan hutan dan konservasi alam Agar memiliki kompetensi sebagaimana tersebut di atas, maka organisasi KPH harus diisi oleh personil yang memiliki kompetensi di bidang