PENGEMBANGAN POTENSI WILAYAH TERTENTU
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)
MODEL MANDAILING NATAL SUMATERA UTARA
SKRIPSI
OLEH
Febri Pratamar 101201041 Manajemen Hutan
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Pengembangan Potensi Wilayah Tertentu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model
Mandailing Natal Sumatera Utara
Nama : Febri Pratamar
NIM : 101201041
Program Studi : Kehutanan
Minat Studi : Manajemen Hutan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Rahmawaty S.Hut., M.Si., Ph.D
Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir.Abdul Rauf, M.P.
Mengetahui :
ABSTRACT
FEBRI PRATAMAR. Development of Specific Areas Production Forest Management Unit (KPHP) Model Mandailing Natal, North Sumatra.Supervisied by RAHMAWATYand ABDUL RAUF.
Specific areas are forest areas that the circumstances do not have a business license, so all of management and supervision given to KPH. So it will be examined public perceptions of the potential of forest products in specific areas KPHP Mandailing Natal,then adjusted the public perception of the potential that exists in specific areas through direct surveys to be verified. This study aims to determine the public perception of the existence in specific areas zone of KPHP Mandailing Natal and potential contained in a specific areas of KPHP Mandailing Natal. The method used in this study is the Pebble Distribution Method and Ground Check Method.
Public perception in the Guo Batu village and Simanguntong village is not so much different,it shows that the garden is a type of land that has the highest score of the two villages with a percentage of 56.8% for the group of men and 50.45% for women in the Guo Batu village, while in the Simanguntongvillage garden has a percentage of 62.5% for the group of men and 49.5% for women.While plants that dominate in specific areas of KPHP Mandailing Natal is meranti.
The potential is there a specific areas of KPHP Mandailing Natal based Ground Check method is meranti namely red meranti (Shorea leprosula) and yellow meranti (Shorea macroptera),this is in accordance with the public perception based questionnaire stating meranti the highest potential with the percentage of 58.30% for the Guo Batu villageand 36.70% for the Simanguntong village.
ABSTRAK
FEBRI PRATAMAR. Pengembangan Potensi Wilayah Tertentu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) ModelMandailing Natal, Sumatera Utara. Dibimbing oleh RAHMAWATY dan ABDUL RAUF.
Wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum mempunyai izin usaha, sehingga seluruh pengelolaan dan pengawasan diberikan kepada pihak KPH. Untuk itu akan diteliti persepsi masyarakat terhadap potensi hasil hutan yang ada di wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal, kemudian disesuaikan persepsi masyarakat tersebut dengan potensi yang ada di wilayah tertentu melalui survey langsung untuk dibuktikan kebenarannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan zona wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal dan potensi yang terdapat di wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Metode Distribusi Kerikil (Pebble Distribution Method) dan Metode
Ground Check.
Persepsi masyarakat yang ada di desa Guo Batu dan desa Simanguntong tidak begitu jauh berbeda, dapat dilihat dari hasil Metode Distribusi Kerikil menunjukkan bahwa kebun merupakan tipe lahan yang memiliki skor paling tinggi dari kedua desa tersebut dengan persentase 56,8% untuk kelompok laki-laki dan 50,45% untuk kelompok perempuan di Desa Guo Batu, sementara di Desa Simanguntong kebun memiliki persentase 62,5% untuk kelompok laki-laki dan 49,5% untuk kelompok perempuan. Sementara tanaman yang mendominasi di wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal adalah jenis meranti.
Potensi yang terdapat pada wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal berdasarkan metode Ground Check adalah jenis meranti yaitu meranti merah (Shorea leprosula) dan meranti kuning (Shorea macroptera), hal ini sesuai dengan persepsi masyarakat berdasarkan kuisioner yang menyatakan meranti merupakan potensi tertinggi dengan persentase 58,30% untuk Desa Guo Batu dan 36,70% untuk Desa Simanguntong.
Kata kunci: KPHP, wilayah tertentu, persepsi, pebble distribution method,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan limpahan berkat dan rahmat kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan usul penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Pengembangan
Potensi Wilayah Tertentu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)
ModelMandailing Natal Sumatera Utara”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada orangtua
penulis yang telah membimbing, mendidik serta mendukung penulis dalam doa
dan materil. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Rahmawaty S.Hut., M.Si., Ph.D dan Bapak Prof. Dr. Ir.Abdul Rauf, M.P. .
sebagai pembimbing penelitian, yang telah membimbing saya selama penyusunan
usul penelitian ini, serta kepada teman-teman di Program Studi Kehutanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
bantuannya atas penyelesaian usul penelitian ini.
Penulis juga menyadari masih banyak terdapat kekurangan di dalam usul
penelitian ini. Untuk itu penulis terbuka terhadap berbagai kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk penyempurnaan usul penelitian ini.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ... 3Wilayah Tertentu ... 8
Persepsi ... 9
Penggunaan Lahan ...11
Metode Distribusi Kerikil(Pebble Distribution Method) ...12
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat………...………... 13
Alat dan Bahan Penelitian………..……… 13
Metode Penelitian...13
Metode Distribusi Kerikil (Pebble Distribution Method)... 13
Metode Ground Check ...16
HASIL DAN PEMBAHASAN Persepsi Masyarakat Mengenai Tingkat Kepentingan Dari Tipe-Tipe Penggunaan Lahan Wilayah Tertentu KPHP Mandailing Natal ... 20
Data Wilayah Tertentu KPHP Mandailing Natal ... 37
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Matriks metodologi yang digunakan dalam penelitian ... . 18 2. Matrik tipe lahan berdasarkan kategori penggunaan lahan kelompok
laki-laki di Desa Guo Batu.. ... . 19
3. Matrik tipe lahan berdasarkan kategori penggunaan lahan kelompok
perempuan di Desa Guo Batu………... 19
4. Matrik tipe lahan berdasarkan kategori penggunaan lahan kelompok
laki-laki di Desa Simanguntong ... 26 5. Matrik tipe lahan berdasarkan kategori penggunaan lahan kelompok
perempuan di Desa Simanguntong………... 27
6. Data Hasil Metode Ground Check ... 37 7. Data Hasil Analisis Kerapatan dan Frekuensi
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Nilai kepentingan secara keseluruhan dari berbagai tipe lahan (nilai rata-rata dalam bentuk persen (%) dari kelompok
laki-laki dan kelompok perempuan) di Desa Guo Batu. ... 25
2. Nilai kepentingan secara keseluruhan dari berbagai tipe lahan (nilai rata-rata dalam bentuk persen (%) dari kelompok laki-laki dan kelompok perempuan) di Desa Simanguntong ... 32
3. Perbedaan persepsi masyarakat Desa Guo Batu dan Desa Simanguntong terhadap lahan yang cocok diterapkan dalam wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal ... 34
4. Perbedaan persepsi masyarakat Desa Guo Batu dan Desa Simanguntong terhadap potensi tertinggi yang terdapat dalam wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal ... 35
5. Layout Peta Lokasi Wilayah Tertentu ... 36
6. Layout metode ground check skala 1:100.000 ... 36
7. Layout metode ground check skala 1:100.000 ... 37
ABSTRACT
FEBRI PRATAMAR. Development of Specific Areas Production Forest Management Unit (KPHP) Model Mandailing Natal, North Sumatra.Supervisied by RAHMAWATYand ABDUL RAUF.
Specific areas are forest areas that the circumstances do not have a business license, so all of management and supervision given to KPH. So it will be examined public perceptions of the potential of forest products in specific areas KPHP Mandailing Natal,then adjusted the public perception of the potential that exists in specific areas through direct surveys to be verified. This study aims to determine the public perception of the existence in specific areas zone of KPHP Mandailing Natal and potential contained in a specific areas of KPHP Mandailing Natal. The method used in this study is the Pebble Distribution Method and Ground Check Method.
Public perception in the Guo Batu village and Simanguntong village is not so much different,it shows that the garden is a type of land that has the highest score of the two villages with a percentage of 56.8% for the group of men and 50.45% for women in the Guo Batu village, while in the Simanguntongvillage garden has a percentage of 62.5% for the group of men and 49.5% for women.While plants that dominate in specific areas of KPHP Mandailing Natal is meranti.
The potential is there a specific areas of KPHP Mandailing Natal based Ground Check method is meranti namely red meranti (Shorea leprosula) and yellow meranti (Shorea macroptera),this is in accordance with the public perception based questionnaire stating meranti the highest potential with the percentage of 58.30% for the Guo Batu villageand 36.70% for the Simanguntong village.
ABSTRAK
FEBRI PRATAMAR. Pengembangan Potensi Wilayah Tertentu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) ModelMandailing Natal, Sumatera Utara. Dibimbing oleh RAHMAWATY dan ABDUL RAUF.
Wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum mempunyai izin usaha, sehingga seluruh pengelolaan dan pengawasan diberikan kepada pihak KPH. Untuk itu akan diteliti persepsi masyarakat terhadap potensi hasil hutan yang ada di wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal, kemudian disesuaikan persepsi masyarakat tersebut dengan potensi yang ada di wilayah tertentu melalui survey langsung untuk dibuktikan kebenarannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan zona wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal dan potensi yang terdapat di wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Metode Distribusi Kerikil (Pebble Distribution Method) dan Metode
Ground Check.
Persepsi masyarakat yang ada di desa Guo Batu dan desa Simanguntong tidak begitu jauh berbeda, dapat dilihat dari hasil Metode Distribusi Kerikil menunjukkan bahwa kebun merupakan tipe lahan yang memiliki skor paling tinggi dari kedua desa tersebut dengan persentase 56,8% untuk kelompok laki-laki dan 50,45% untuk kelompok perempuan di Desa Guo Batu, sementara di Desa Simanguntong kebun memiliki persentase 62,5% untuk kelompok laki-laki dan 49,5% untuk kelompok perempuan. Sementara tanaman yang mendominasi di wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal adalah jenis meranti.
Potensi yang terdapat pada wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal berdasarkan metode Ground Check adalah jenis meranti yaitu meranti merah (Shorea leprosula) dan meranti kuning (Shorea macroptera), hal ini sesuai dengan persepsi masyarakat berdasarkan kuisioner yang menyatakan meranti merupakan potensi tertinggi dengan persentase 58,30% untuk Desa Guo Batu dan 36,70% untuk Desa Simanguntong.
Kata kunci: KPHP, wilayah tertentu, persepsi, pebble distribution method,
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam mengiringi dinamika perkembangan pembangunan Indonesia,
peran kawasan hutan menjadi penting dalam mendukung peningkatan ekonomi
bangsa. Maka sesuai dengan amanat undang-undang, pemanfaatan hutan adalah
kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan hasil hutan kayu
dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal
dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
Salah satu bentuk pemanfaatan kawasan hutan adalah dibentuknya Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH).
Banyak instansi tidak menyadari bahwa masyarakat lokal yang berada di
sekitarnya merupakan bagian dari lingkungan yang sangat mempengaruhi
kelangsungannya. Hubungan yang kurang baik antara instansi dan lingkungannya
akan sangat berpotensi menimbulkan konflik. Keberadaan masyarakat lokal kini
menjadi semakin kuat dan mereka cenderung lebih berani memperjuangkan hak
haknya bahkan terkadang mereka menuntut di luar kewajaran atau di luar
kemampuan institusi (Sitorus,2011).
Peraturan pemerintah No. 3 tahun 2008 pasal 1 menyatakan KPH adalah
wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat
dikelola secara efisien dan lestari. Salah satu KPH yang terdapat di Sumatera
Utara adalah KPHP Mandailing Natal. Penetapan wilayah KPH Mandailing Natal
di kabupaten Mandailing Natal, ditetapkan sesuai Keputusan Menteri Kehutanan
Sesuai peruntukannya, wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi
dan kondisinya belum mempunyai izin usaha sehingga seluruh pengelolaan dan
pengawasan diberikan kepada pihak KPH. Untuk itu akan diteliti persepsi
masyarakat terhadap potensi hasil hutan yang ada di wilayah tertentu KPHP
Mandailing Natal, kemudian disesuaikan persepsi masyarakat tersebut dengan
potensi yang ada di wilayah tertentu melalui survey langsung untuk dibuktikan
kebenarannya. Sehingga akan diperoleh hasil yang dapat meningkatkan kerjasama
dan tidak menimbulkan konflik antara pihak KPHP dan masyarakat, juga sebagai
dasar acuan pembangunan KPHP.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan zona Wilayah Tertentu
KPHP Mandailing Natal.
2. Mengetahui potensi zona wilayah tertentu di KPHP Mandailing Natal.
Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat menimbulkan partisipasi yang aktif dari
masyarakat dalam pengelolaan hutan di KPHP Mandailing Natal.
2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar kajian pencapaian kebijakan dan
peran institusi dalam pengembangan KPHP Mandailing Natal.
3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi guna, penelitian lebih lanjut
tentang pengembangan objek KPHP Mandailing Natal.
Jumlah desa yang berhubungan dengan kawasan hutan saat ini
tercatatsebanyak 31.957 desa (Renstra Kemenhut 2010-1014), yang terdistribusidi
dalam kawasan hutan sebanyak 1.305 desa (4,08%), tepi kawasanhutan sebanyak
7.943 (24,86%) dan di sekitar kawasan hutan sebanyak22.709 (71,06%). Provinsi
terbanyak untuk desa di dalam kawasanhutan adalah Kalimantan Tengah
(sebanyak 208 desa), dan Jawa Tengah(sebanyak 1.581 desa di tepi kawasan
hutan dan 6.795 desa di sekitarkawasan hutan) (Rahmina dkk., 2011).
Dalam PP No.6 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, KesatuanPengelolaan Hutan
(KPH) diartikan sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan
peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Istilah KPH
memang disebutkan di dalam UU No.41/1999 di dalam bagian penjelasan pasal
17 ayat (1), namun tidak ada penjelasan dari KPH dimaksud.
KPH di dalam UU No.41/1999 justru menjadi bagian dari pengertian Unit
pengelolaan sebagai undang-undang payungnya. Di dalam UU No.41/1999, KPH
sebagai bagian dari Unit Pengelolaan diartikan sebagai kesatuan pengelolaan
hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara
efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL),
kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan
konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM),
kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran
sungai (KPDAS).
.
Peraturan Menteri Kehutanan No : P.47/MENHUT-II/2013 Wilayah
menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan pemanfaatannya berada di luar
areal ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Penyelenggaraan
pemanfaatan hutan di wilayah tertentu pada kawasan hutan lindung, dapat berupa:
a. Pemanfaatan Kawasan;
b. Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan
c. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.
Terdapat urusan/kegiatan yang belum jelas di level mana
penyelenggaranya(apakah Pemerintah/Pusat, atau Pemerintah Provinsiatau
Pemerintah Kabupaten/Kota). Kegiatan tersebutadalah:
a. Penyelenggara Tata Hutan (di PP 38/2007 tidak diatur) tetapi di PP lain,
tugas ini menjadi kewenangan KPH.
b. Penyelenggara Penyusunan Rencana Pengelolaan (di PP 38/2007 tidak
diatur) tetapi di PP lain, tugas ini menjadikewenangan KPH.
c. Penyelenggara pemanfaatan wilayah tertentu (areal dalam kawasan hutan
yang tidak/belum dibebani ijinserta oleh menteri pemanfatannya diberikan
kepadaKPH).
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 230/Kpts-II/ 2003 Tentang
Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi menyebutkan pengertian
KPH Produksi adalah unit pengelolaan hutan produksi terkecil yang dapat di
kelola secara efisien dan lestari.
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 230/Kpt Pembangunan KPH di
Indonesia telah menjadi komitmen pemerintah dan masyarakat (para pihak), yang
telah dimandatkan melalui UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No 44
Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan
Pemanfaatan Hutan, serta yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan
yang efisien dan lestari.
Dalam Alpinus patan (2008), Untuk mewujudkan KPH pada tingkat
tapak, Bongkar pasang peraturan yang menjadi dasarnya sudah berkali-kali
dilakukan. Pada tingkatan Peraturan Pemerintah, PP No. 6 Tahun 2007
merupakan pembaharuan dari PP No. 34 Tahun 2004 yang menjadi acuan
pembangunan KPH. Perubahan secara signifikan terhadap keberadaan PP No. 6
Tahun 2007 yaitu egaliter pengelolaan hutan atau adanya persamaan pengelolaan
antara hutan produksi, lindung, dan konservasi.
Dalam menyelenggarakan pengelolaan hutan untuk mencapai kelestarian
hutan dibutuhkan unit-unit pengelolaan hutan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) dan organisasi pengelolanya di tingkat tapak (lapangan), sesuai peraturan
perundangan yang ada organisasi pengelola ini merupakan organisasi pemerintah.
Untuk mewujudkan pembangunan KPH terdapat 2 (dua) hal penting, yaitu :
1. Kebijakan tentang pembentukan wilayah KPH.
2. Kebijakan tentang pedoman untuk membentuk organisasi/kelembagaan KPH.
Struktur KPH Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 yaitu:
a. Pengertian dan Posisi KPH, serta Pelimpahan Wewenang Pengelolaan.
• Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah
pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat
dikelola secara efisien dan lestari.
• Kepala KPH adalah pimpinan, pemegang kewenangan dan penanggung
• Seluruh kawasan hutan terbagi dalam KPH, yang menjadi bagian dari
penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.
• Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan hutan kepada
BUMN bidang kehutanan.
• Direksi BUMN yang mendapat pelimpahan membentuk organisasi KPH
dan menunjuk kepala KPH.
b. Wilayah KPH
• Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah
administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan.
• Dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, penetapan (nama) KPH
berdasarkan fungsi yang luasnya dominan.
• Menteri menetapkan luas wilayah KPH dengan memperhatikan efisiensi
dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah DAS atau satu kesatuan
wilayah ekosistem.
c. Pembangunan KPH
Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai
kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan
infrastrukturnya.Dana bagi pembangunan KPH bersumber dari APBN, APBD
dan dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penetapan seluruh wilayah KPH diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun
sejak tanggal diberlakukannya peraturan pemerintah ini.
Penetapan Wilayah KPH tingkat Provinsi Sumatera Utara
Penetapan wilayah KPHL dan KPHP Provinsi Sumatera Utara sesuai
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 102/Menhut-II/2010 tanggal 5 Maret
2010 meliputi area dengan luas ± 3.196.381 ha terdiri dari 19 unit KPHP dengan
luas ± 1.831.884 ha dan 14 unit KPHL dengan luas ± 1.364.497 ha.
Penetapan wilayah KPHP Model Mandailing Natal di kabupaten
Mandailing Natal, ditetapkan sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.
332/Menhut-II/2010 tanggal 25 Mei 2010 dengan luas ± 159.166 ha, terdiri dari :
- Hutan Lindung (HL) : ± 13.681 ha.
- Hutan Produksi Terbatas (HPT) : ± 131.780 ha.
- Hutan Produksi (HP) : ± 14.704 ha.
Kondisi batas kawasan hutan
Letak geografis : 98° 52' 22" - 99° 31' 57" BT
0° 19' 16" - 1° 18' 8" LU
Batas-batas
Timur : Hutan Konservasi Kab. Mandailing Natal
Barat : APL Kab. Mandailing Natal
Selatan : HPT Kab. Pasaman Barat, Prov. Sumbar
Utara : APL Kab. Tapanuli Selatan
Dalam Perdirjen No. 5 tahun 2012 Tentang Tata Hutan menyebutkan pada
setiap Blok pemanfaatan baik di wilayah KPHL dan KPHP yang berfungsi HL
atau berfungsi HP agar dirancang areal-areal yang direncanakan akan dikelola
sendiri oleh KPH dalam bentuk ”Wilayah Tertentu”. Pada setiap Blok
pemanfaatan baik di wilayah KPHL dan KPHPyang berfungsi HL atau berfungsi
HP agar dirancang areal-areal yang direncanakan akan dikelola sendiri oleh KPH
dalam bentuk ”Wilayah Tertentu”.
Sesuai peruntukannya, wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi
dan kondisinya belum mempunyai izin usaha sehingga seluruh pengelolaan dan
pengawasan diberikan kepada pihak KPH.
Dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 pasal 21 menyatakan bahwa
mengingat berbagai kekhasan daerah sertakondisi sosial dan lingkungan yang
sangat berkaitdengan kelestarian hutan dan kepentinganmasyarakat luas yang
membutuhkan kemampuanpengelolaan secara khusus, maka
pelaksanaanpengelolaan hutan di wilayah tertentu dapatdilimpahkan kepada
BUMN yang bergerak di bidangkehutanan, baik berbentuk perusahaan
umum(Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupunperusahaan perseroan
(Persero), yang pem-binaannya di bawah Menteri.
Dalam Firdaus (2012) menyatakan, menelaah hasil identifikasi terhadap
pembagianurusan/kegiatan serta siapa yang berwenang menyelenggarakan urusan
tersebut, terdapat urusan/kegiatan yang belum jelas di level mana
penyelenggaranya(apakah Pemerintah/Pusat, atau Pemerintah Provinsiatau
a. Penyelenggara Tata Hutan (di PP 38/2007 tidak diatur tetapi di PP lain,
tugas ini menjadi kewenangan KPH).
b. Penyelenggara Penyusunan Rencana Pengelolaan (di PP/2007 tidak diatur)
tetapi di PP lain, tugas ini menjadikewenangan KPH.
c. Penyelenggara pemanfaatan wilayah tertentu (arealdalam kawasan hutan
yang tidak/belum dibebani ijinserta oleh menteri pemanfatannya diberikan
kepadaKPH).
Persepsi
Persepsi dan perilaku merupakan dua aspek yang mempengaruhi
gambaran diri seseorang. Persepsi merupakan pandangan atau konsep yang
dimiliki seseorang mengenai suatu hal sedangkan perilaku adalah tindakan aspek
dinamis yang muncul dari persepsi tersebut. Menurut Rahmat dalam Sandi (2006)
persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang
diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan pada stimulasi
indrawi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru.
Menurut Basyuni dalam Sandi (2006) menyatakan bahwa faktor – faktor
dalam individu yang menentukan persepsi adalah kecerdasan, emosi, minat,
pendidikan, pendapatan dan kapasitas indera. Sedangkan faktor dari luar diri
individu yang mempengaruhi persepsi adalah pengaruh kelompok, pengalaman
masa lalu dan latar belakang sosial budaya.
Biasanya persepsi yang dimiliki seseorang akan sesuai dengan perilaku
yang dimunculkannya. Artinya, apabila seseorang mempunyai persepsi tentang
sesuatu yang dinyatakannya baik atau positif maka perilaku yang dimunculkannya
ketidaksesuaian antara persepsi dan perilaku. Seperti yng dikemukakan oleh
Brehm dan Kassin tentang Teori Disonansi Kognitif Pandangan Baru yang
menguraikan bahwa ketidaksesuaian sikap dan perilaku seseorang diakibatkan
oleh kurangnya peran kesadaran dan rasa tanggung jawab personal dalam dirinya.
Kebebasan memilih berkaitan dengan keterpaksaan melakukan suatu perilaku.
Apabila seseorang dipaksa oleh situasi atau kondisi untuk melakukan perilaku
yang tidak sesuai dengan sikapnya maka ia tidak akan merasakan adanya
tanggung jawab (Subagyo, 2005).
Menurut Havey dan Smith (dalam Wibowo, 1988; 2.3) menyatakan bahwa
persepsi adalah suatu proses untuk membuat penilaian (judgement) atau
membangun kesan (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat di
dalam lapangan penginderaan seseorang. Sementara menurut McMahon (dalam
Adi, 1994; 105) adalah proses menginterpretasikan rangsang (input) dengan
mengguanakan alat penerima informasi (sensory information).
Rakhmat (dalam Erida, 1999; 8) menjelaskan persepsi adalah pengalaman
tentang objek, peristiwa atau hubungan – hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan pada stimulasi indrawi (sensory
Stimuli) sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Selanjutnya menurut
David Krech (dalam Thoha;1998;123) mendifinisikan persepsi dengan lebih rinci
yaitu peta kognitif individu bukanlah penyajian potografik dari suatu kenyataan
fisi, melainkan agak bersifat konstruksi pribadi yang kurang sempurna mengenai
obyek tertentu, diseleksi sesuai dengan kepentingan utamanya dan dipahami
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan
kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat
dinamis dan berfungsi untukmemenuhi kebutuhan hidup baik material maupun
spiritual (Arsyad, 1989). Secara umum penggunaan lahan di Indonesia merupakan
akibat nyata dari suatu proses yang lama dari adanyainteraksi yang tetap, adanya
keseimbangan, serta keadaan dinamis antara aktifitas-aktifitaspenduduk diatas
lahan dan keterbatasan-keterbatasan di dalam lingkungan tempat hidup
(As-syakur dkk., 2010).
Penggunaan lahan berkaitan erat dengan ketersediaan lahan dan air.
Ketersediaan lahan dan air akan menentukan produktivitas sumberdaya yang
mampu diproduksi, selain itu juga mampu memberikan data tentang potensi
produksinya. Interaksi antara dimensi ruang dan waktu dengan dimensi biofisik
dan manusia mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (Veldkamp
and Verburg, 2004).
Perubahan iklim, peningkatan jumlah penduduk, dan proses urbanisasi
merupakan penyebab umum yang dianggap sebagai faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap terjadinya perubahan penggunaan lahan, kompleksitas
antara faktor-faktor fisik, biologi, sosial, politik, dan ekonomi yang terajadi dalam
dimensi ruang dan waktu pada saat yang bersamaan merupakan penyebab utama
proses perubahan penggunaan lahan (Wu et al., 2008).
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan
lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan
berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda
(Wahyunto dkk., 2001).
Metode Distribusi Kerikil (Pebble Distribution Method)
Kegiatan memberi skor dengan Metode Distribusi Kerikil (Pebble Distribution Method) memperlihatkan bagaimana masyarakat lokal memberi skor kepentingan hutan dibandingkan jenis lahan yang lain secara keseluruhan serta
untuk kegunaan tertentu(CIFOR, 2012).
Arsyad (2006) mengelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan
lahan pertanian yaitu penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun, padang rumput,
hutan, padang alang-alang, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan
pertanian yaitu penggunaan lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi,
pertambangan, dan sebagainya.
Data yang dikumpulkan dalam Metode Distribusi Kerikil (Pebble Distribution Method) terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari orang yang ada di lapangan. Data primer
dalam penelitian ini diperoleh melalui kuisioner dan wawancara kepada responden
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
Mandailing Natal dan Wilayah Tertentu KPHP Mandailing Natal yang tertera
pada Gambar 5, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara pada
bulan Juli 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner untuk
mengumpulkan data primer, kacang-kacangan sebagai bahan utama dalam Pebble Distribution Method, peta KPH, dan dokumen lain yang berkaitan dengan lokasi studi, laporan-laporan hasil penelitian (individu dan lembaga) terdahulu dan
berbagai pustaka penunjang sebagai sumber data sekunder untuk melengkapi
pengamatan langsung di lapangan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System(GPS) untuk menetukan koordinat batas batas wilayah kerja, perangkat komputer yaitu Microsoft Word 2007untuik penyusunan pelaporan,Statistical Product and Service Solutions(SPSS)untuk mengolah data kuisioner, kamera digital untuk dokumentasi dan visualisasi obyek kegiatan guna kelengkapan
pelaporan, kompas, parang, dan alat-alat tulis.
Metode Penelitian
1. Metode Distribusi Kerikil (Pebble Distribution Method)
Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan zona
(PDM) atau Metode Distribusi Kerikil. Melalui penggunaan PDM masyarakat
diminta untuk menentukan fungsi Wilayah Tertentu KPHP Mandailing Natal
Sumatera Utara, kemudian akan disimpulkan jenis hutan apa yang cocok, apakah
Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP) ataupun Hutan Konservasi (HK).
Pemberian skor dengan Metode Distribusi Kerikil atau PDM menunjukkan
bagaimana masyarakat lokal memberikan skor untuk mengetahui seberapa penting
hutan dibandingkan dengan jenis lahan yang lain baik secara umum maupun untuk
nilai-nilai dan kepentingan khusus. Kegiatan pemberian skor ini ditujukan pada
laki laki dan perempuan. Pemilihan jenis kelamin ini didasarkan pada perbedaan
kepentingan dan kegunaan mereka masing masing. Sehingga mereka memberi
nilai skor yang berbeda untuk tipe tipe lahan dan kegunaan yang ada.
Pada setiap pemberian skor atau rata-rata skor dijumlahkan menjadi 100
(seratus) sehingga bisa dipandang sebagai persentase relatif dari seluruh
kepentingan yang meliputi berbagai hal. Untuk memudahkannya maka skor
disebut sebagai “ tingkat kepentingan”.
Langkah- langkah yang digunakan dalam Metode Distribusi Kerikil adalah:
1. Dikumpulkan responden kunci yang terdiri dari kepala kampung, kepala suku,
tokoh agama dan aparat kampung (masing-masing 1 orang), yang dibagi atas
kelompok laki-laki dan perempuan.
2. Fasilitator memperkenalkan setiap kartu berlabel dan bergambar yang
mewakili tipe-tipe lahan, dan ditaruh dilantai sehingga dapat dilihat dan
3. Setelah diberikan penjelasan dan contoh, para informan kemudian diminta
untuk menyebarkan seratus alat penghitung (kacang tanah) diatas kartu-kartu
menurut kepentingan masyarakat.
4. Secara berkelompok para informan kemudian diminta untuk menyebarkan
seratus kacang di antara kartu-kartu yang sudah ada namanya sesuai dengan
nilai kepentingan mereka.
5. Fasilitator tidak campur tangan dalam diskusi tersebut, kecuali jika judul kartu
atau arti pemberian skor perlu dijelaskan lagi. Fasilitator akan terlibat untuk
menanyakan dan memperoleh tanggapan-tanggapan dari peserta kegiatan
PDM tentang alasan yang bisa disampaikan mengenai besar kecilnya skor
yang diberikan.
Objek pada metode ini adalah pihak yang terkait dengan pengelolaan
KPHP seperti tokoh masyarakat, dan masyarakat lokal yang bertempat tinggal di
sekitar wilayah KPH.
Sampel dalam metode ini dipilih secara Purposive Sampling yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan wilayah tertentu KPHP Mandailing
Natal. Dikumpulkan 5 responden kunci laki laki dan perempuan yang terdiri dari
kepala kampung, kepala suku, tokoh agama dan aparat kampung (masing-masing
1 orang) yang dapat mewakili seluruh penduduk desa. Teknik Purposive Sampling
ini dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya keterbatasan waktu, tenaga
dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh (Arikunto,
2006).
Pengumpulan data dalam metode ini dilakukan dengan wawancara
perempuan dari masing masing desa untuk membandingkan pendapat dari
laki-laki dan perempuan. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk mengetahui peran
masing-masing jenis kelamin terhadap pemanfaatan lahan.
Analisis data PDM dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu penelitian
yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang
berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi, termasuk tentang hubungan,
kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedanng berlangsung dan pengaruh
dari suatu fenomena.
Untuk melengkapi data PDM dilakukan juga wawancara kuisioner.
Responden contoh kuisioner ditentukan secara acak sederhana sebanyak 30 KK
dari jumlah warga untuk wawancara semi struktural yang berpedoman pada daftar
pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan kepada responden. Sampel dalam
penelitian ini dipilih secara Purposive Sampling. Teknik ini dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga
tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh (Arikunto, 2006).
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara
bebas dilakukan dengan menggunakan draft isian/pertanyaan dengan masyarakat
desa.
Analisis data kuisioner dilakukan dengan menggunakan software SPSS,
dengan menginput data masing-masing pertanyaan sehingga menghasilkan data
berbentuk persentase dari masing-masing pertanyaan tersebut.
2. Metode Ground Check
Untuk mengetahui potensi zona wilayah tertentu di KPHP Mandailing
Metode Ground Check adalah metode yang dilakukan untuk memastikan obyek atau data yangperlu dibuktikan kebenarannya dengan mengamati dan
mengetahui keadaan atau kebenaran sebenarnya di lapangan sehingga sering
disebut dengan ground truth.Pengamatan lapang menggunakan metode ground check dimana hanya lokasi sampel saja yang harus diamati.
Langkah- langkah yang digunakan dalam pengamatan ground check adalah sebagai berikut :
1. Penyiapan wilayah kerja (area of interest), yaitu dengan menggunakan
peta dasar KPHP Mandailing Natal.
2. Penentuan kriteria unit contoh (sample), ditentukan wilayah kerja yang
akan dilakukan survey.
3. Pembuatan jalur jelajah ground check, menentukan dan menandai plot-plot
yang dijadikan sebagai petak contoh penelitian.
4. Pengambilan data lapang, menandai titik awal pemetaan, mencatat
koordinat. Data koordinat yang tampak pada GPS tersebut kemudian
diterapkan pada peta kerja untuk menentukan posisi pada peta. dicatat
potensi sumber daya alam yang dominan, jenis spesies, jumlah, dan
ketinggian yang ada di kawasan tersebut .
Objek penelitian pada metode ini adalah wilayah hutan yang menjadi
wilayah tertentu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Mandailing Natal sebagai
lokasi pengamatan.
Sampel dalam metode ini dipilih secara Purposive Samplingyaitu pengambilan sampel berdasarkan tujuan sesuai dengan persyaratan sampel yang
unit pengamatan yang dipilih dari peta primer KPHP Mandailing Natal, dalam
penelitian ini adalah blok wilayah tertentu berdasarkan peta primer KPHP
Mandailing Natal. Teknik Purposive Sampling ini dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak dapat
mengambil sampel yang besar dan jauh (Arikunto, 2006).
Data hasil kegiatan survey lapangan/ground check yang telah dikumpulkan, dihitung Frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), kerapatan (K) dan
kerapatan relatif (KR) untuk mengetahui jenis tanaman yang paling dominan
dengan rumus:
Selanjutnya data disajikan dalam bentuk tabel, dan disimpulkan untuk
mendapatkan jawaban fungsi hutan serta izin usaha yang cocok dengan kawasan
tertentu tersebut dengan menilai seluruh aspek dan potensi sumber daya alam
Tabel 1. Matriks metodologi yang digunakan dalam penelitian
No Tujuan Penelitian Data Kunci Sumber dan Hasil yang Metode diharapkan
1 Menganalisis Observasi lang- - Observasi Diperoleh jenis zona wilayah sung dengan meng- - Survey hutan yang sesuai tertentu KPHP gunakan metode gr- lapangan untuk zona wilayah Mandailing Natal ound check (survey tertentu KPHP Mand berdasarkan rencana lapangan), dengan ailing Natal pengelolaan hutan. menilai seluruh po-
tensi SDA yang ada.
2 Mengetahui Persepsi Manfaat ekonomi -Wawancara Diperoleh masyarakat mengenai dan sosial yang -Diskusi masi mengenai per Wilayah Tertentu diperoleh dengan -Dokumentasi sepsi masyarakat KPHP dan manfaatnya adanya KPHP, per- -Kuisioner terhadap KPHP dan bagi masyarakat sepsi untuk kawa manfaatnya bagi
san, pengelolaan masyarakat dan staf
3 Mengetahui tingkat Masyarakat laki- -Wawancara Diperoleh skoring kepentingan penggu- laki dan perempu- -Diskusi tipe lahan berdasar
naan lahan an -Dokumentasi penggunaanya ber-
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persepsi Masyarakat Mengenai Tingkat Kepentingan Dari Tipe-Tipe Penggunaan Lahan Wilayah Tertentu KPHP Mandailing Natal.
Data hasil Pebble Distribution Method(PDM) berdasarkan kategori penggunaan lahan kelompok laki-laki dan perempuan di Desa Guo Batu dapat
dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Matrik tipe lahan berdasarkan kategori penggunaan lahan kelompok laki-laki di Desa Guo Batu
Wisata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 0 100
Pertambangan 0 5 0 0 80 0 0 0 20 0 0 105
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 1100
Bagi kelompok laki-laki kebun memiliki nilai kategori guna paling tinggi.
Dapat kita lihat dari total kerikil yang diberikan yaitu 625 kerikil, begitu juga
dengan kelompok perempuan dengan jumlah kerikil 555 kerikil. Hal ini
disebabkan karena masyarakat memandang kebun sebagai tempat untuk
memenuhi semua kebutuhan dan mendapatkan semua keperluan. Umumnya
masyarakat Guo Batu bergantung kepada kebun karet atau coklat mereka dan
memandang kebun sebagai hal utama yang diprioritaskan selain sawah (padi).
Salah satu faktor pola pikir masyarakat Guo Batu tetap memandang kebun
terutama karet sebagai mata pencaharian pokok karena lahan karet diwariskan
secara turun temurun dan berlanjut hingga kini. Hal ini disebabkan karena
minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) di desa Guo Batu yang menyebabkan
masyarakat tidak mempunyai keahlian lain. Pada dasarnya masyarakat
menganggap kebun memiliki nilai masa depan baik secara sosial, ekonomi
maupun lingkungan. Dari hasil kebun dijual secara langsung ke agen, kemudian
hasil penjualan akan digunakan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari.
Kemudian pada urutan kedua bagi kelompok laki laki dan perempuan
adalah sawah, dilihat dari skor yang diberikan sebanyak 131 kerikil dari kelompok
laki-laki dan 175 kerikil dari kelompok perempuan. Hal ini disebabkan karena
sawah merupakan salah satu sumber mata pencaharian utama masyarakat Guo
dikonsumsi sendiri oleh masyarakat Guo Batu. Hal itu membuat ketergantungan
masyarakat Guo Batu terhadap sawah cukup tinggi.
Pada urutan ketiga bagi kelompok laki-laki adalah ladang, dilihat dari skor
yang diberikan sebanyak 130 kerikil. Namun bagi kelompok perempuan ladang
juga dianggap penting dengan 104 kerikil, tetapi berada pada urutan keempat
setelah pertambangan. Meskipun demikian, pada dasarnya dari ladang banyak
diperoleh sumber-sumber kehidupan yang diperlukan dalam kehidupan
hari, seperti jagung. Dari ladang dapat diambil hasilnya untuk keperluan
sehari-hari.
Pertambangan secara umum termasuk tipe lahan yang cukup penting bagi
masyarakat dengan skor sebanyak 65 kerikil menempati urutan kelima dari
kelompok laki-laki dan menempati urutan ketiga dengan 105 kerikil dari
kelompok perempuan. Masyarakat desa Guo Batu menganggap lahan di kawasan
hutan khususnya wilayah tertentu memiliki potensi pertambangan emas yang
tinggi, hal ini dapat dilihat dari pekerjaan tambahan kaum remaja desa yaitu
menambang emas, dan menganggap pekerjaan ini cukup menjanjikan bagi
mereka. Di sekitar kawasan wilayah tertentu juga terdapat perusahaan
pertambangan emas bernama PT. Sorik Mas Mining yang sekarang sudah tidak
aktif, dan menunjukkan bahwa terdapat potensi emas yang besar di kawasan
wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal. Hal ini sesuai dengan BPP (Badan
Pusat dan Pengembangan) (2009) yang menyatakan bahwa hutan lindung yang
berada di kawasan Pantai Barat umumnya bersifat logam antara lain emas, besi,
perak, seng, tembaga, timah, sedangkan di kawasan pantai timur umumnya non
Rangkuman tipe lahan berdasarkan kategori penggunaan :
a. Makanan, kebutuhan bahan makanan lebih banyak diperoleh di sawah,
ladang, dan kebun. Sawah, ladang dan kebun dijadikan tempat menanam
dan berkebun padi, coklat, jagung untuk kebutuhan sehari-hari
masyarakat. Sementara masyarakat menganggap sungai bukan merupakan
tempat mencari makanan seperti ikan karena ada beberapa pantangan yang
melarang.
b. Obat-obatan, kebutuhan obat-obatan masyarakat berasal dari ladang dan
kebun. Alasan kemudahan dan kepraktisan menjadi bahan pertimbangan
bagi masyarakat untuk menjadikan ladang dan kebun sebagai tempat
mendapatkan obat-obatan, karena mereka memanfaatkan tanaman obat
seperti daun, kunyit, kayu manis dan tanaman jalar seiring dengan
kegiatan berkebun dan berladang. Sementara dari sawah, masih diperoleh
tumbuhan obat yaitu dari alang-alang yang tumbuh dari sawah yang
mengering. Alang-alang berguna sebagai obat panas dalam dan sariawan.
c. Bahan bangunan, secara dominan didapatkan dari kebun, terutama kayu
sebagai bahan utama dalam pembuatan gubuk atau pondok tempat istirahat
dan rumah di desa Guo Batu yang didominasi oleh rumah panggung.
Sedangkan sungai menjadi sumber bahan baku berupa pasir dan batu
ketika akan membuat rumah semi permanen.
d. Peralatan dan perkakas, masyarakat beranggapan bahwa bahan peralatan
atau perkakas banyak diperoleh masyarakat dari kebun dan pertambangan,
yang dimanfaatkan dari kebun yaitu dari batang kayu karet yang dipakai
Sementara dari pertambangan masyarakat memanfaatkan tanah liat untuk
perabot rumah tangga.
e. Kayu Bakar, masyarakat beranggapan bahwa kayu bakar dapat diperoleh
masyarakat dari kebun. Dari kebun dapat diperoleh berbagai jenis kayu
yang bisa dijadikan kayu bakar, dengan memanfaatkan ranting pohon dan
pohon pohon yang telah mati atau tumbang. Masyarakat di desa Guo Batu
memanfaatkan kayu bakar untuk memasak.
f. Anyaman atau tali-talian, bahan anyaman untuk tepas atau keranjang
berupa daun kelapa, rotan dan bambu banyak diperoleh dari kebun,
ladang, dan sawah. Masyarakat desa Guo Batu memanfaatkan daun kelapa
untuk dijadikan anyaman yang multifungsi, seperti ayakan dan atap
rumah.
g. Hiasan adat atau ritual, diperoleh dari kebun. Hiasan adat untuk
pernikahan dan acara adat rumah baru yang akan ditempati menggunakan
hiasan-hiasan yang berasal dari kebun.
h. Benda yang bisa dijual, masyarakat menganggap benda yang bisa dijual
berasal dari kebun, pertambangan, sawah dan ladang. Getah karet
merupakan produk utama yang dianggap masyarakat bersifat komersil
selain profesi mereka yang mayoritas menambang emas (dompeng) dan
bertani. Selain itu, dari kebun juga dihasilkan durian, manggis, kayu
manis, pisang yang bersifat komersil. Sementara dari ladang, masyarakat
menanam petai yang juga memiliki nilai jual di pasaran.
i. Rekreasi, masyarakat menganggap bahwa tempat rekreasi yang paling
dapat menjadi objek wisata yang banyak diminati pengunjung dari luar
desa atau kota apabila dikelola dengan baik. Sungai dan tambak ikan juga
dianggap masyarakat sebagai objek wisata yang cukup diminati. Sungai
sebagai tempat pemandian dan tambak dianggap masyarakat sebagai
tempat memancing dan menangkap ikan.
j. Masa depan, masyarakat memandang kebun, sawah, ladang, dan tambang
memiliki nilai masa depan yang tinggi. Terutama sawah dan perkebunan
karet yang dianggap sebagai penghasilan utama oleh masyarakat desa Guo
Batu. Dari kelompok laki-laki memandang kebun, sawah, ladang dan
aktivitas tambang mereka mempunyai nilai masa depan yang cukup
menjanjikan. Sedangkan bagi kelompok perempuan menilai hanya sawah
dan kebun sebagai aspek yang memiliki masa depan, pertambangan tidak
termasuk karena kelompok perempuan tidak terlibat dalam aktivitas
menambang (dompeng).
Untuk memperjelas hasil dari kegiatan skoring dari tipe-tipe penggunaan
lahan, maka akan ditampilkan pada Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan
nilai rata-rata kepentingan dari setiap tipe lahan berdasarkan responden yang
terdiri dari kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Mereka diminta untuk
Gambar 1. Nilai kepentingan secara keseluruhan dari berbagai tipe lahan (nilai rata-rata dalam bentuk persen (%) dari kelompok laki-laki dan kelompok perempuan)
di Desa Guo Batu.
Pada Gambar 1 dapat dilihat secara keseluruhan bahwa kebun merupakan
tipe lahan terpenting untuk masyarakat di Desa Guo Batu dengan kelompok
laki-laki yang menginginkan kebun dengan skor sebesar 56,68% dan kelompok
perempuan yang menginginkan kebun dengan skor 50,45%. Pada Gambar 2 dapat
dilihat secara keseluruhan bahwa kebun merupakan tipe lahan terpenting untuk
masyarakat Desa Simanguntong dengan kelompok laki-laki yang menginginkan
kebun dengan skor 62,5% dan kelompok perempuan yang menginginkan kebun
dengan skor sebesar 49,5%. Masyarakat desa dapat memanfaatkan hasil kebun
yang didominasi kebun karet sebagai sumber penghasilan utama.
Pada masyarakat Desa Guo Batu kelompok perempuan yang
menginginkan sawit dengan skor sebesar 0,09% dan wisata dengan skor sebesar
9%, namun kelompok laki-laki tidak menginginkan sawit dan wisata karena
sebagian besar pada wilayah KPHP Mandailing Natal berada pada ketinggian
optimal pada ketinggian >500 mdpl. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lubis
(1992) yaitu kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah di
sekitar lintang utara dan lintang selatan 12° pada ketinggian 0-500 m dari
permukaan laut (mdpl). Jumlah curah hujan yang baik adalah 2000-2500
mm/tahun, tidak memiliki defisit air, hujan agak merata sepanjang tahun.
Kebutuhan efektif akan curah hujan hanya 1300-1500 mm.
Sedangkan data hasil Pebble Distribution Method(PDM) berdasarkan kategori penggunaan lahan kelompok laki-laki dan perempuan di Desa
Simanguntong dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 5. Matrik tipe lahan berdasarkan kategori penggunaan lahan kelompok perempuan
Dari tabel dapat dilihat bahwa kelompok laki-laki desa Simanguntong,
kebun memiliki nilai kategori guna paling tinggi dengan total kerikil yaitu 688
kerikil, begitu juga dengan kelompok perempuan dengan jumlah kerikil 545
kerikil. Hal ini disebabkan karena masyarakat memandang kebun sebagai tempat
untuk memenuhi semua kebutuhan dan mendapatkan semua keperluan. Sebagian
besar masyarakat desa Simanguntong bergantung kepada kebun karet memandang
kebun sebagai hal utama yang diprioritaskan selain sawah (padi) dan tambang
emas (dompeng).
Masyarakat desa Simanguntong memandang kebun terutama karet sebagai
mata pencaharian pokok karena minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang
menyebabkan masyarakat tidak mempunyai keahlian lain selain berkebun dan
manambang emas dan berwirausaha seperti membuka kedai. Masyarakat
Simanguntong juga menganggap kebun memiliki nilai masa depan baik secara
Kemudian pada urutan kedua bagi kelompok laki laki dan perempuan
adalah wisata, dilihat dari skor yang diberikan sebanyak 103 kerikil .Namun bagi
kelompok perempuan ladang juga dianggap penting dengan 125 kerikil dan
berada pada urutan ketiga. Hal ini disebabkan karena masyarakat di desa
Simanguntong menganggap potensi wisata air terjun di wilayah tertentu memiliki
potensi yang cukup menjanjikan dan menambah peluang tenaga kerja.
Pada urutan ketiga bagi kelompok laki-laki adalah sawah, dilihat dari skor
yang diberikan sebanyak 99 kerikil. Namun bagi kelompok perempuan ladang
juga dianggap cukup penting dengan 55 kerikil, tetapi berada pada urutan keempat
setelah pertambangan. Meskipun demikian, dari sawah diperoleh makanan pokok
berupa padi yang dikonsumsi sendiri oleh masyarakat desa Simanguntong. Hal itu
membuat ketergantungan masyarakat Simanguntong terhadap sawah cukup tinggi.
Di urutan keempat, kelompok laki-laki menganggap pertambangan secara
umum termasuk tipe lahan yang cukup penting bagi masyarakat dengan skor
sebanyak 78 kerikil menempati urutan keempat, hal ini disebabkan profesi
sampingan masyarakat laki-laki yaitu menambang dengan cara tradisional dan
tidak mengacu kepada prosedur keselamatan dan kesehatan kerja, hal ini sesuai
dengan BPP (2009) yang menyatakan bahwa untuk pengembangan bahan galian
industri dapat dilaksanakan dengan teknologi yang paling sederhana sampai
dengan teknologi tinggi dengan resiko usaha yang relatif rendah. Pada umumnya
usaha pertambangan bahan galian tersebut dikembangkan dengan teknologi
tradisional dan sederhana yang kerapkali tidak diperhitungkan masalah keamanan
teknik penambangannya maupun dampak lingkungannya. Namun pertambangan
desebabkan kelompok perempuan tidak terlibat langsung dalan kegiatan
pertambangan di desa Simanguntong, karena kegiatan pertambangan hanya
dilakukan oleh kelompok laki-laki.
Sawit secara umum termasuk tipe lahan yang cukup penting bagi
masyarakat dengan skor sebanyak 33 kerikil menempati urutan keenam dari
kelompok laki-laki dan menempati urutan keempat dengan 120 kerikil dari
kelompok perempuan. Masyarakat desa Simanguntong menganggap sebagian
lahan di kawasan hutan khususnya wilayah tertentu memiliki potensi sawit yang
cukup, hal ini disebabkan karena survey yang dilakukan oleh Bupati Mandailing
Natal yang berencana untuk mengkonversi lahan di sekitar wilayah tertentu
menjadi lahan sawit. Namun dilihat dari ketinggian, hanya sebagian wilayah
tertentu saja yang dapat ditanami sawit. Hal ini karena sebagian besar kawasan
wilayah tertentu memiliki ketinggian diatas 500 mdpl.
Rangkuman tipe lahan berdasarkan kategori penggunaan :
a. Makanan, kebutuhan bahan makanan lebih banyak diperoleh di sawah,
ladang, palawija dan kebun. Sawah dijadikan tempat menanam dan
berkebun padi, sementara palawija digunakan masyarakat untuk menanam
jagung, tomat, timun, dan kacang panjang, kebun untuk menanam coklat
untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat. Sementara masyarakat
menganggap tempat wisata bukan merupakan tempat mencari makanan
karena ada beberapa pantangan yang melarang.
b. Obat-obatan, kebutuhan obat-obatan masyarakat berasal dari ladang dan
kebun dan sawah. Dari sawah, masih diperoleh tumbuhan obat yaitu dari
berguna sebagai obat panas dalam dan sariawan. Alasan kemudahan dan
kepraktisan menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk
menjadikan ladang dan kebun sebagai tempat mendapatkan obat-obatan,
karena mereka memanfaatkan tanaman obat seperti daun, kunyit seiring
dengan kegiatan berkebun dan berladang.
c. Bahan bangunan, secara dominan didapatkan dari kebun, terutama kayu
sebagai bahan utama dalam pembuatan gubuk atau pondok tempat istirahat
dan rumah di desa Guo Batu yang didominasi oleh rumah panggung.
Sedangkan pertambangan menjadi sumber bahan baku berupa pasir dan
batu ketika akan membuat rumah semi permanen. Sementara dari sawit,
masyarakat menganggap daunnya yang mengering berpotensi untuk
dijadikan tepas sebagai atap rumah pengganti seng.
d. Peralatan dan perkakas, masyarakat beranggapan bahwa bahan peralatan
atau perkakas banyak diperoleh masyarakat dari ladang dan kebun
dimanfaatkan dari kebun yaitu dari batang kayu karet yang dipakai untuk
gagang cangkul , gagang parang, kursi, tongkat dan lesung padi.
Sementara dari ladang masyarakat memanfaatkan sekam untuk dijadikan
abu gosok sebagai pembersih alat-alat masak.
e. Kayu Bakar, masyarakat beranggapan bahwa kayu bakar dapat diperoleh
masyarakat dari kebun dan ladang. Dari kebun dapat diperoleh berbagai
jenis kayu yang bisa dijadikan kayu bakar, dengan memanfaatkan ranting
pohon dan pohon pohon yang telah mati atau tumbang. Sementara dari
ladang masyarakat desa Simanguntong memanfaatkan jerami sebagai
f. Anyaman atau tali-talian, bahan anyaman untuk tepas atau keranjang
berupa rotan dan bambu banyak diperoleh dari kebun, ladang, dan sawit.
g. Hiasan adat atau ritual, diperoleh dari kebun dan ladang. Hiasan adat
untuk pernikahan menggunakan hiasan-hiasan yang berasal dari kebun.
h. Benda yang bisa dijual, masyarakat menganggap benda yang bisa dijual
paling besar berasal dari palawija dan kebun, getah karet merupakan
produk utama yang dianggap masyarakat bersifat komersil selain durian,
manggis dan rambutan. Sementara tanaman palawija seperti jagung,
kacang panjang dan timun dianggap sebagai penghasilan tambahan
mereka yang berprofesi sebagai petani. Kemudian pertambangan, seiring
dengan profesi mayoritas laki-laki di desa Simanguntong mereka yang
mayoritas menambang emas (dompeng). Sementara dari sawit, masyarakat
menganggap sawit mempunyai potensi yang cukup menghasilkan apabila
dijadikan tanaman di wilayah tertentu.
i. Rekreasi, masyarakat menganggap bahwa tempat rekreasi yang paling
utama nantinya adalah tempat wisata, yang banyak diminati pengunjung
dari luar desa atau kota apabila dikelola dengan baik. Kebun kopi juga
dianggap masyarakat sebagai objek wisata yang cukup berpotensi.
j. Masa depan, masyarakat memandang kebun, wisata, sawah, tambang dan
ladang memiliki nilai masa depan yang tinggi dan menjanjikan. Terutama
sawah dan perkebunan karet yang dianggap sebagai penghasilan utama
oleh masyarakat desa Simanguntong. Dari kelompok laki-laki memandang
wisata, kebun, sawah dan aktivitas tambang mereka mempunyai nilai masa
menilai hanya wisata, ladang, sawah dan kebun sebagai aspek yang
memiliki masa depan, pertambangan tidak termasuk karena kelompok
perempuan tidak terlibat dalam aktivitas menambang (dompeng) di desa
Simanguntong, hanya kelompok laki-laki yang terlibat langsung dalam
profesi pertambangan.
Untuk memperjelas hasil dari kegiatan skoring dari tipe-tipe penggunaan
lahan, maka akan ditampilkan pada Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan
nilai rata-rata kepentingan dari setiap tipe lahan berdasarkan responden yang
terdiri dari kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Mereka diminta untuk
menilai semua kategori kegunaan tipe-tipe lahan tesebut secara keseluruhan.
Gambar 2. Nilai kepentingan secara keseluruhan dari berbagai tipe lahan (nilai rata-rata dalam bentuk persen (%) dari kelompok laki-laki dan kelompok perempuan)
di Desa Simanguntong.
Pada Gambar 2 masyarakat Desa Simanguntong kelompok perempuan
yang menginginkan ladang dengan skor sebesar 16,5%, namun kelompok laki-laki
dan 4,6% dan air terjun dengan skor sebesar 7,4%, namun kelompok perempuan
tidak menginginkan tambak ikan, sungai dan air terjun. Kelompok laki-laki
masyarakat Desa Simanguntong menginginkan kopi dengan skor sebesar 2,1%,
aren dengan skor sebesar dan 1,1% dan air palawija dengan skor sebesar 5,7%,
namun kelompok perempuan tidak menginginkan kopi, aren, dan palawija.
Persepsi masyarakat yang ada di desa Guo Batu dan desa Simanguntong
tidak begitu jauh berbeda. Karena latar belakang budaya yang sama dan jarak
tempuh desa yang tidak terlalu jauh. Hal ini sesuai Sandi (2006) yang menyatakan
bahwa faktor-faktor dalam individu yang menentukan persepsi adalah kecerdasan,
emosi, minat, pendidikan, pendapatan, dan kapasitas indra. Sedangkan faktor dari
luar diri individu yang mempengaruhi persepsi adalah pengaruh kelompok,
pengalaman masa lalu, dan latar belakang budaya. Perilaku itu sendiri merupakan
reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks.
Hasil Metode Distribusi Kerikil menunjukkan bahwa di desa Guo Batu
terdapat 8 (delapan) tipe lahan berdasarkan kelompok laki-laki dan terdapat 7
(tujuh) tipe lahan berdasarkan kelompok perempuan, sementara di Desa
Simanguntong terdapat 8 (delapan) tipe lahan berdasarkan kelompok laki-laki dan
terdapat 6 (enam) tipe lahan berdasarkan kelompok perempuan yang
diperbandingkan kepentingannya terhadap 11 (sebelas) kategori kegunaan. Kebun
merupakan tipe lahan tertinggi dari kedua desa tersebut dengan persentase 56,8%
untuk kelompok laki-laki dan 50,45% untuk kelompok perempuan di Desa Guo
Batu, sementara di Desa Simanguntong kebun memiliki persentase 62,5% untuk
kelompok laki-laki dan 49,5% untuk kelompok perempuan. Hal ini juga
Guo Batu dan Simanguntong juga memilih kebun sebagai lahan yang paling
banyak dipilih untuk diterapkan dalam wilayah tertentu. Hal ini dapat dilihat pada
grafik berikut :
Gambar 3. Perbedaan persepsi masyarakat Desa Guo Batu dan Desa Simanguntongterhadap lahan yang cocok diterapkan dalam wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal.
Analisis kuisioner menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
persepsimasyarakat Desa Guo Batu dan Desa Simanguntong terhadap lahan yang
cocok diterapkan dalam wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal.Pada Desa Guo
Batu terdapat 6,7% responden yang memilih sawit sebagai lahan yang cocok
diterapkan dalam wilayah tertentu, sawah 3,3%, perkebunan 65% dan lahan
pertanian 25%. Sementara pada Desa Simanguntong terdapat 33,3% responden
yang memilih sawit sebagai lahan yang cocok diterapkan dalam wilayah tertentu,
perkebunan 53,3% dan lahan pertanian 13,3%.
Hal ini juga membuktikan bahwa menurut persepsi masyarakat zona
wilayah tertentu lebih cocok sebagai hutan produksi dibandingkan hutan lindung
Gambar 4. Perbedaan persepsi masyarakat Desa Guo Batu dan Desa Simanguntongterhadapjenis hutan yang cocok diterapkan dalam wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal.
Dari gambar dapat dilihat bahwa pada Desa Guo Batu terdapat 85,00%
responden yang memilih hutan produksi sebagai jenis hutan yang cocok
diterapkan dalam wilayah tertentu, hutan lindung 15,00%, hutan alam dan
konservasi 0%. Sementara pada Desa Simanguntong terdapat 76,70% responden
yang memilih hutan produksi sebagai jenis hutan yang cocok diterapkan dalam
wilayah tertentu, hutan lindung 11,70%, hutan alam dan konservasi 0 %. Maka
dapat disimpulkan bahwa berdasarkan persepsi masyarakat, hutan produksi
Data Wilayah Tertentu KPHP Mandailing Natal
Metode ground checkyang dilakukan adalah dengan trackingsepanjang 100m dengan membagi 10 m setiap plot, sehingga didapat 10 plot sebagai berikut.
Gambar 5. Layout Peta Lokasi Wilayah Tertentu
Gambar 7. Layout metode ground check skala 1 : 10.000
Tabel 6. Data Hasil Metode Ground Check
No.
Plot Nama Spesies Jumlah
Ketinggian
(mdpl) Koordinat
Plot 1 Rotan Cacing (Calamus melanoloma) 11 533 N 00°45'01.5"
Rotan Jernang Besar (Daemonorops draco) 16 E 099°18'55.1"
Meranti Merah (Shorea leprosula) 13 Meranti Kuning (Shorea macroptera) 10
Plot 2 Rotan Cacing (Calamus melanoloma) 3 541 N 00°45'02.3"
Rotan Jernang Besar (Daemonorops draco) 2 E 099°18'55.2"
Meranti Merah (Shorea leprosula) 7 Meranti Kuning (Shorea macroptera) 12
Plot 3 Pasak bumi (Eurycoma longifolia) 1 548 N 00°45'02.6"
Meranti Merah (Shorea leprosula) 11 E 099°18'55.2"
Plot 4 Rotan Jernang Besar (Daemonorops draco) 3 557 N 00°45'03.4"
Meranti Merah (Shorea leprosula) 5 E 099°18'55.2"
Meranti Kuning (Shorea macroptera) 4
Plot 5 Meranti Merah (Shorea leprosula) 9 566 N 00°45'04.1"
E 099°18'55.4"
Plot 6 Meranti Merah (Shorea leprosula) 9 573 N 00°45'05.2"
Meranti Kuning (Shorea macroptera) 7 E 099°18'55.8"
Plot 7 Meranti Merah (Shorea leprosula) 11 589 N 00°45'06.1"
E 099°18'56.0"
Plot 8 Meranti Merah (Shorea leprosula) 15 599 N 00°45'07.0"
Meranti Kuning (Shorea macroptera) 8 E 099°18'56.1"
Plot 9 Meranti Merah (Shorea leprosula) 18 610 N 00°45'07.4"
E 099°18'56.5"
Plot10 Meranti Merah (Shorea leprosula) 13 617 N 00°45'08.1"
Tabel 7. Data Hasil Analisis Kerapatan dan Frekuensi Metode Ground Check
Dari tabel dapat dilihat bahwa tanaman yang mendominasi di wilayah
tertentu KPHP Mandailing Natal adalah jenis meranti yaitu meranti merah
(Shorea leprosula) dengan frekuensi relatif (FR) 47,61% dan meranti kuning (Shorea macroptera) dengan frekuensi relatif (FR) 23,8%. Sementara pasak bumi
(Eurycoma longifolia) dan rotan cacing(Calamus melanoloma) memiliki frekuensi relatif (FR) paling rendah yaitu 4,76% untuk pasak bumi dan 9,52% untuk rotan
cacing. Rata-rata ketinggian zona wilayah tertentu memiliki ketinggian 600 mdpl.
Hal ini sesuai dengan Al Rasyid, dkk (1991) yang menyatakan bahwa sebagian
besar jenis-jenis Dipterocarpaceae tumbuh baik pada ketinggian 0-800 mdpl
dengan musim kemarau yang pendek dan pada ketinggian diatas 800 mdpl sangat
sedikit jumlahnya. Hal ini sesuai dengan hasil kuisioner yang membuktikan
bahwa berdasarkan persepsi masyarakat meranti merupakan potensi paling
menjanjikan di wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal. Hal ini dapat dilihat
Gambar 8. Perbedaan persepsi masyarakat Desa Guo Batu dan Desa Simanguntongterhadap potensi tertinggi yang terdapat dalam wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal.
Dari gambar dapat dilihat bahwa pada Desa Guo Batu terdapat 26,70%
responden yang memilih rotan sebagai potensi tertinggi dalam wilayah tertentu,
meranti 58,30%, dan tambang emas 15%. Sementara pada Desa Simanguntong
terdapat 26,70% responden yang memilih rotan sebagai potensi tertinggi dalam
wilayah tertentu, meranti 36,70%, dan tambang emas 36,70%. Maka dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan persepsi masyarakat meranti merupakan potensi
tertinggi yang terdapat dalam wilayah tertentu.
Pada wilayah tertentu juga terdapat beberapa jenis tanaman rotan yaitu
rotan cacing (Calamus melanoloma)dan rotan jernang besar (Daemonorops draco). Namun semakin tinggi plot yang di survey keberadaan rotan semakin jarang ditemukan. Hal ini sesuai dengan Januminro (2000) yang menyatakan
bahwa rotan merupakan tumbuhan khas tropika, terutama tumbuh di kawasan
hutan tropika basah yang heterogen. Tempat tumbuh rotan pada umumnya di
daerah tanah berawa, tanah kering, hingga tanah pegunungan. Tingkat ketinggian
tempat untuk tanaman rotan dapat mencapai 2900m di atas permukaan laut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Persepsi masyarakat berdasarkan metode distribusi kerikil dan metode
kuisioner mengenai tipe-tipe penggunaan lahan yang memiliki nilai
tertinggi di Desa Guo Batu dan Desa Simanguntong adalah kebun untuk
kelompok laki-laki maupun kelompok perempuan.
2. Potensi tertinggi yang terdapat pada wilayah tertentu KPHP Mandailing
Natal berdasarkan metode Ground Check adalah jenis meranti yaitu meranti merah (Shorea leprosula) dengan frekuensi relatif 47,61% dan meranti kuning (Shorea macroptera) dengan frekuensi relatif 23,8%, hal ini sesuai dengan persepsi masyarakat berdasarkan kuisioner yang
menyatakan meranti merupakan potensi tertinggi dengan persentase
58,30% untuk Desa Guo Batu dan 36,70% untuk Desa Simanguntong.
Saran
Perlu dilakukan penyuluhan secara berkesinambungan terhadap
masyarakat tentang KPHP Mandailing Natal karena masyarakat sebagian
masyarakat belum mengenal tentang KPHP Mandailing Natal, serta perlu
dilakukan penelitian lanjutan tentang strategi pemanfaatan wilayah tertentu KPHP
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S.2006. Prosedur Penelitian. Edisi IV. Penerbit Rineke Cipta. Jakarta.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air, IPB Press, Bogor.
Arsyad S.2006. Konversi Tanah dan Air.Bogor.IPB Press.
As-syakur, A.R., I.W. Suarna, I.W.S. Adnyana, I.W. Rusna, I.A.A. Laksmiwati, dan I.W. Diara. 2010. “Studi Perubahan Penggunaan Lahan Di DAS Badung”. Jurnal Bumi Lestari, 10(2). pp. 200-207.
CIFOR, 2012, Peliputan tentang MLA. CIFOR Press. Bogor.
Erida G. 1999, Persepsi Masyarakat Setempat Terhadap Kelestarian Hutan di Kawasan Pesisir Kabupaten Aceh Timur, Thesis Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 230/Kpts-II/ 2003 Tentang : Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi.
Liswanti.L dan Manuel B. 2006. Keanekaragaman Hayati Menurut Masyarakat Membrano. CIFOR, Bogor.Jurnal Tropika. 10:1.
Peraturan Direktorat Jendral No. 5 Tahun 2012 tentang : Tata Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan No : P.47/MENHUT-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi.
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang : Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografis Tutorial Arc View. Penerbit Informatika Bandung. Bandung.
Rahmina H., Yanti Sofia, Edy Marbyanto, Ali Mustofa. 2011. Tata Cara dan
Prosedur Pengembangan Program Pengelolaan Hutan
BerbasisMasyarakatdalam Kerangka Undang-Undang No. 41 Tahun 1999. Buku saku PHBM.