• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCEGAHAN PAHAM RADIKALISME MELALUI OPTIMALISASI PENDIDIKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENCEGAHAN PAHAM RADIKALISME MELALUI OPTIMALISASI PENDIDIKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENCEGAHAN PAHAM RADIKALISME MELALUI OPTIMALISASI

PENDIDIKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

(Prevention of Radicalism Through Optimization Human Rights Education

in Indonesia)

Oki Wahju Budijanto, Tony Yuri Rahmanto

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

okiwahju@gmail.com

ABSTRACT

The radicalism that is still developing in Indonesia received its own response from the Government because it potentially threatens the country's integrity and damages the democratic process. Therefore, the Government is trying to find preventive solutions to minimize this understanding. This paper aims to provide input for relevant stakeholders to reform the system or the pattern of handling the prevention of radicalism through a human rights perspective. This research is a normative juridice research with a qualitative approach that aims to uncover facts, phenomena, and circumstances based on literature studies. This paper describes that the Ministry of Law and Human Rights Republic Indonesia has a vital role to prevent the spread of radicalism in Indonesia, such as to provide Human Rights Education to the community. The substance of human rights education in question is focused on strengthening tolerance to others and the values of Pancasila as the nation's ideology. This is important because education is expected to erode radicalism through an approach that does not have potential threats and violence and leads to human rights principles.

Keywords: prevention; radicalism; education; human rights.

ABSTRAK

Radikalisme yang berkembang di Indonesia mendapat tanggapan tersendiri oleh Pemerintah karena dinilai berpotensi mengancam keutuhan negara dan merusak proses demokrasi yang memiliki respon tersendiri. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya mencari solusi preventif untuk meminimalisir pemahaman tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan bagi pemangku kepentingan terkait dalam rangka reformasi sistem atau pola penanganan pencegahan radikalisme melalui perspektif HAM. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap fakta, fenomena dan keadaan yang terjadi berdasarkan kajian literatur. Tulisan ini menggambarkan bahwa Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia memiliki peran penting untuk mencegah penyebaran radikalisme di Indonesia melalui pemberian Pendidikan HAM kepada masyarakat. Substansi Pendidikan HAM yang dimaksud difokuskan pada penguatan toleransi kepada sesama dan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa. Hal ini penting karena dengan adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat mengikis paham radikalisme melalui pendekatan yang tidak memiliki potensi ancaman dan kekerasan serta mengarah pada prinsip-prinsip ham.

(2)

PENDAHULUAN

Ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi pedoman ketatanegaraan di Indonesia kembali menghadapi ujian dengan berkembangnya paham radikalisme di Indonesia akhir-akhir ini. Gerakan atau kelompok bervisi Khilafah seperti Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) yang pada akhirnya dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia, gerakan atau kelompok yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), munculnya penghinaan terhadap bendera negara, penghinaan terhadap agama hingga penghinaan terhadap kepala negara menjadi beberapa contoh yang kerap kali

mengarah pada paham radikalisme dan

berpotensi melakukan upaya makar terhadap pemerintahan yang sah.

Kekhawatiran pemerintah terhadap

paham radikalisme menjadi logis mengingat paham radikalisme dapat berpotensi menjadi suatu aksi terorisme. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil studi Centre for Strategic Studies and International Studies (CSIS) bahwa jaringan antara masyarakat Indonesia dengan ISIS

ditemukan melalui peran warga negara

Indonesia deportan dari Syria, yakni mereka yang

[. . .] attempted to enter Syria to join the caliphate but failed to do so as they were caught and returned to Indonesia in bordering countries (mostly Turkey). The number estimated by the Ministry of Social Affairs, the Ministry of International Affairs, and the National Counter-Terrorism Agency (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT) is around 500 individuals, with 72% of which being women and children. Although these people have not been found to be directly affiliated to ISIS, the lack of thorough supervision the government has towards them leaves the possibility of their contact with ISIS or ISIS-affiliated groups in Indonesia wide open. It has been noted by several NGOs tasked to keep watch over. 1

1 Fitriani et al., The Current State of Terrorism in

Indonesia: Vulnerable Groups, Networks, and Responses, CSIS Working Paper Series (Jakarta,

Selain itu, kasus kekinian terkait dugaan keterlibatan WNI yang berkeinginan ke negara konflik juga terjadi di Negara Singapura. Seperti yang dikutip dari Tempo yang memberitakan bahwa Kementerian Luar Negeri RI telah melakukan komunikasi dengan otoritas berwenang Singapura terkait penahanan tiga TKI perempuan di negara tersebut atas dugaan melakukan tindakan

radikalisme. 2 Sebelumnya, Direktur

Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha, mengkonfirmasi bahwa KBRI Singapura

telah menerima informasi dari Divisi

Keamanan Internal Kementerian Dalam Negeri Singapura (ISD) tentang terjadinya penangkapan terhadap empat TKI dengan inisial nama RH, TM, AA, dan SS. Ke empat TKI itu ditangkap atas dugaan keterlibatan dalam kegiatan radikalisme, termasuk ikut

mengirimkan sejumlah uang untuk

mendukung kegiatan radikal.3

Merespon hal tersebut, saat ini

pemerintah mengupayakan untuk membuat suatu kebijakan yang bersifat preventif seperti yang disampaikan oleh Moeldoko bahwa pemerintah sedang mempersiapkan peraturan untuk menangani WNI yang kembali dan terindikasi paham radikalisme dari Suriah. Hal ini agar tidak menebarkan virus

radikalisme di Tanah Air serta

mempersiapkan payung hukum untuk

memantau WNI yang kembali dari Suriah.4

2018), https://www.researchgate.net/profile/Luca_Ma ncini/publication/228362326_Horizontal_ineq uality_and_communal_violence_evidence_fro m_Indonesian_districts/links/09e415124fab7e 2813000000/Horizontal-inequality-and- communal-violence-evidence-from-Indonesian-dist.

2 “3 TKI Di Singapura Diduga Terlibat ISIS, Ini Reaksi Kemenlu,” Tempo.Co, last modified 2019, accessed January 15, 2020, https://dunia.tempo.co/read/1252290/3-tki-di- singapura-diduga-terlibat-isis-ini-reaksi-kemenlu/full&view=ok.

3 Ibid.

4 Gora Kunjana, “Moeldoko: Sedang Disiapkan Aturan Penanganan WNI,” Investor.Id, last modified 2018, accessed January 15, 2020,

(3)

Secara lebih lanjut, Moeldoko mengatakan bahwa beliau akan rapatkan dengan Menlu (Retno Marsudi), Menkumham (Yasonna Laoly) dan berbagai jajaran Kepolisian, BIN dan TNI untuk menyikapi hal tersebut seperti bagaimana

menyiapkan contingency plan (rencana

darurat).5

Akan tetapi, menurut Khamdan dalam Satriawan dkk, menyatakan bahwa gerakan radikalisme sebagai suatu faham tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan namun dapat juga sebatas ideologi yang tidak

menggunakan cara-cara kekerasan.6 Menurut

pemahaman penulis, hal ini perlu penanganan yang lebih mendalam untuk mencegah atau

menghilangkan paham radikalisme bagi

seseorang yang sudah terpapar paham tersebut. Ada beberapa indikator seseorang dinilai memiliki paham radikalisme. Sebagai contoh yaitu yang disampaikan oleh Badan Nasional

Penanggulangan Teroris (BNPT) yang

mengatakan bahwa ciri-ciri kelompok yang patut dicurigai sebagai kelompok radikalisme dan terorisme yakni eksklusif, intoleran, sering

melakukan nikah tanpa wali, mudah

mengkafirkan kelompok lain, bahkan enggan salat di masjid yang bukan masjid kelompoknya,

termasuk dalam melakukan salat Jumat. 7

Sementara, menurut Analis Kebijakan Divisi Humas Polri, Kombes Sulistyo Pudjo Hartono, mengatakan bahwa masyarakat yang sudah terpapar paham radikal bisa dideteksi dari empat

https://investor.id/archive/moeldoko-sedang- disiapkan-aturan-penanganan-wni-dari-suriah%0AMoeldoko:

5 Ibid.

6 Iwan Satriawan, Muhammad Nur Islami, and Tanto Lailam, “Pencegahan Gerakan Radikalisme Melalui Penanaman Ideologi Pancasila Dan Budaya Sadar Konstitusi Berbasis Komunitas,” Jurnal Surya Masyarakat 1, no. 2 (2019): 99–110. hlm. 100. https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JSM/article/ view/4460

7 Pebriansyah Ariefana, “5 Ciri Orang yang Terpapar Radikalisme Versi BNPT,” Suara.Com, last modified 2018, accessed February 3, 2020, https://www.suara.com/news/2018/09/27/071500/ 5-ciri-orang-yang-terpapar-radikalisme-versi-bnpt.

indikator. Keempat indikator itu antara lain tingkat intoleransi, fanatisme, eksklusivitas dan revolusi.8

Melihat indikator yang telah

dipaparkan sebelumnya, hal ini dapat menjadi pedoman bagi penulis atau pihak terkait untuk melakukan pencegahan agar paham radikalisme tidak menyebar secara masif di Indonesia. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah

melakukan program deradikalisasi.

Deradikalisasi bukanlah hal baru bagi Indonesia. Dalam konteks Gerakan Islam radikal, deradikalisasi terhadap eks NII, Komando Jihad, Mujahidin Kanyamaya, Laskar Jihad dan lain-lain merupakan contoh dan pembelajaran bagi kinerja yang saat ini

gencar dilakukan. 9 Pelaksanaan terhadap

program yang dimaksud dinilai belum optimal karena potensi terhadap paham radikalisme masih terus bermunculan dan berkembang di kelompok masyarakat tertentu. Oleh karenanya, upaya tersebut perlu dioptimalisasi dengan pendekatan yang lain. Adapun pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM)

dimana dengan pendekatan tersebut

diharapkan masyarakat sadar akan hak-hak orang lain disekitarnya sehingga potensi untuk menyebarkan paham radikal dapat diminimalisisasi bahkan dihilangkan.

Dalam tatanan negara hukum yang demokratis, konsepsi hak asasi manusia yang dipahami telah memberikan standar dan pendekatan yang dapat ditempuh ketika ada atau terjadi pertentangan antara kepentingan

publik dan hak seseorang dimana

asas necessitas dan proporsionalitas harus dijadikan ukuran dalam mengatasi masalah

8 Nur Azizah, “Empat Indikator Warga Terpapar Radikalisme,” Medcom.Id, last modified 2017, accessed February 3, 2020, https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/yb DRGJPK-empat-indikator-warga-terpapar-radikalisme.

9 Aan Aspihanto and Fatkhul Muin, “Sinergi Terhadap Pencegahan Terorisme Dan Paham Radikalisme,” Seminar Nasional Hukum

Universitas Negeri Semarang 3, no. 1 (2017):

(4)

tersebut. Hal ini disebabkan hasil uji dari pendekatan tersebut akan menghasilkan sejauh mana margin apresiasi kita sebagai bangsa terhadap HAM.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, permasalahan dalam

penelitian ini adalah bagaimana peran

Kementerian Hukum dan HAM RI memberikan Pendidikan Hak Asasi Manusia dalam men-cegah paham radikalisme di Indonesia. Adapun tujuan tulisan ini adalah sebagai bahan masukan bagi para stakeholder terkait dalam rangka pembaruan sistem atau pola penanganan

pencegahan paham radikalisme melalui

perspektif hak asasi manusia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variabel dan keadaan yang

terjadi saat penelitian berjalan dan

menyuguhkan apa adanya. Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji berpendapat bahwa metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder.10 Sementara, pendekatan kualitatif bertujuan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas yang sifatnya kasuistik, namun mendalam (in depth) dan bersifat total atau menyeluruh (holistic) dimana tak mengenal pemilahan-pemilahan gejala secara konseptual ke dalam aspek-aspek yang eksklusif.11

Selanjutnya, analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif dengan penguraian secara deskriptif (pemaparan). Menurut Bogdan dan Biglen dalam Moleong, Analisis data kualitatif merupakan “upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya

10 Soerjono Soekanto and Sri Mahmudji, Penelitian

Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003). hlm. 13. 11 Sutandyo Wignjosoebroto, “Hukum Konsep dan

Metode” (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 130.

menjadi satuan yang dapat dikelola, men-sintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”.12

Oleh karena itu, pada langkah ini, data yang diperoleh dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier kemudian diolah menjadi sekumpulan data yang terpisah menurut kebutuhan untuk dapat menjawab pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Setelah dipilah, data tersebut selanjutnya di-check and recheck (triangulasi) untuk ditemukan titik tengah

dan akurasi pendapat dari berbagai

pandangan sehingga menghasilkan suatu kesimpulan sementara atau hasil penelitian yang ada. Dengan kata lain, analisis data penulisan ini didasarkan pada temuan data

sekunder dan data tersier yang

diinterpretasikan oleh penulis sehingga

menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi sesuai dengan rumusan permasalahan.

PEMBAHASAN

A. Memahami Radikalisme di Indonesia

Radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti akar dimana arti akar ini dimaknai dengan berpikir secara mendalam terhadap sesuatu sampai ke akar-akarnya. Merujuk pada Cambridge Advanced Learners Dictionary; Radical is believing or expressing the belief that there should be great or extreme social or political change.13

Radikal adalah percaya atau mengekspresikan keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrim. Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme dimaknai sebagai paham (isme), tindakan yang melekat pada seseorang atau kelompok yang menginginkan perubahan baik sosial, politik dengan menggunakan kekerasan, berfikir asasi dan

12 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian

Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2009), hlm. 248

13 Cambridge University, Cambridge Advanced

Learners Dictionary (Singapore: Cambridge

(5)

bertindak ekstrim.14 Namun, penyebutan istilah radikalisme dalam tinjauan sosio historis, pada awalnya dipergunakan dalam kajian sosial budaya dan dalam perkembangan selanjutnya. Istilah tersebut berkembang menjadi persoalan politik dan agama.

Rubin dalam Aziz menyatakan bahwa proses yang terjadi dalam radikalisme adalah radikalisasi, yang didefinisikan sebagai proses

personal di mana individu mengadopsi

idealisme dan aspirasi politik, sosial, atau agama secara ekstrim, dimana dalam pen-capaian tujuannya membenarkan penggunaan

kekerasan tanpa pandang bulu sehingga

mempersiapkan dan memotivasi seseorang untuk mencapai perilaku kekerasan.15

Lebih lanjut, Rubin dalam Aziz,

menegaskan bahwa kaum radikal memiliki keyakinan bahwa dunia hanya terdiri dari dua kelompok, yaitu baik dan jahat (agama pilihan dan musuh). Kepastian diberikan kepada pemeluk agama pilihan. Janji akan masa depan tanpa kesusahan dikaitkan dengan pemisahan baik dan jahat. Pemisahan ini berfungsi untuk setanisasi musuh. Pembunuhan musuh lantas dibenarkan karena musuh adalah negasi terhadap nilai-nilai agama pilihan.16

Lebih mendalam, proses radikalisasi menyasar pada kognitif (kesadaran dan cara pandang) individu dan kelompok terhadap kondisi yang dialaminya saat ini. Untuk mengaktualisasi tujuan, para radikalis dapat

menggunakan kekerasan ataupun tanpa

kekerasan (seperti menggunakan lisan ataupun tulisan).17

14 Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Gramedia, 2008).

15 Abdul Aziz, “Memperkuat Kebijakan Negara Dalam Penanggulangan Radikalisme Di Lembaga Pendidikan,” HIKMAH Journal of Islamic

Studies XII, no. 1 (2016): 29– 56.http://dx.doi.org/10.47466/hikmah.v12i1.55,ht tp://journal.alhikmahjkt.ac.id/index.php/HIKMA H/article/view/55, hlm. 33.

16 Ibid. hlm. 36.

17 Ucu Martanto et al., Meredam Teror:

Pencegahan Terorisme Dan Radikalisme Berperspektif HAM (Surabaya: Yayasan Pusat

Sementara, Qodir berpendapat bahwa kaum radikal menganggap bahwa rencana-rencana yang digunakan adalah rencana-rencana yang paling ideal.18 Terkait dengan radikalisme ini, mereka seringkali beralaskan pemahaman sempit atas agama yang berujung pada aksi teror bom yang tumbuh bersama sistem. Sikap ini berkembang di tengah panggung yang mempertontonkan kemiskinan,

ke-senjangan sosial, atau ketidakadilan. 19

Penangkapan teroris di Indonesia yang

terklasifikasi berdasarkan level small,

medium dan high membuktikan bahwa proses radikalisme tidak langsung final, tetapi dilakukan secara bertahap dan terstruktur. Pengklasifikasian ini tidak berlaku secara formal. Akan tetapi, hal ini dilakukan untuk

mengidentifikasi penolakan terhadap

Pancasila dan sistem pemerintahan di Indonesia.20

Dalam konteks kebhinekaan di

Indonesia, penulis berpendapat bahwa

radikalisme dinilai menjadi suatu tindakan yang sangat membahayakan keutuhan NKRI karena tidak hanya mengancam dari luar tetapi menyusupi ke dalam diri melalui pencucian otak yang dilakukan oleh beberapa kelompok intoleran atau yang memiliki paham radikal.

Sejarah radikalisme di Indonesia ber-kembang di era Orde Baru dan Reformasi dengan pola yang berbeda-beda. Di era Reformasi, kemunculan radikalisme dilatar-belakangi oleh kepentingan politik dengan mengatasnamakan agama. Sedangkan, di era orde baru, aksi radikalisme dilakukan dengan rekayasa politik yang merekrut mantan anggota DI/TII untuk menjadi anggota jihad dan memojokan Islam.21 Gerakan radikalisme

Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Surabaya, 2019). hlm. 8.

18 Zuly Qodir, Radikalisme Agama Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014). hlm. 117. 19 Ibid.

20 Lisma, “Radikalisme Dan Hukum Di Indonesia,” Iain-Surakarta.Ac.Id, last modified 2018, accessed January 10, 2021, https://iain- surakarta.ac.id/radikalisme-dan-hukum-di-indonesia/.

(6)

tersebut kemudian bermunculan di daerah Poso dan Ambon.

Dapat dipahami bahwa pemahaman tentang radikalisme sejatinya dapat dimaknai positif seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi yang mengatakan bahwa sikap radikal sedianya bermakna positif jika dimaknai sebagai sikap

seseorang yang berusaha keras mencari

kebenaran hingga ke akarnya dan

memperjuangkannya22, namun demikian jika

diartikan sebagai sikap yang berlebihan dan mengarah kepada ancaman dan tindakan kekerasan maka radikalisme memiliki dampak negatif. Hal ini dilihat sebagai sebuah

pemahaman yang menghendaki gerakan

perubahan secara drastis yang dilakukan secara kasar tanpa proses yang sistematis dan bertahap. Hal ini harus dicermati dengan sebaik-baiknya karena dinilai dapat berpotensi menimbulkan gesekan-gesekan dalam lingkungan sosial.

Keinginan untuk menerapkan suatu

ideologi yang dianutnya menjadi salah satu motif khusus dari radikalisme dan teroris. Hal

ini karena adanya kekecewaan terhadap

penerapan sistem yang diberlakukan di

Indonesia. Namun, hal tersebut mustahil untuk diwujudkan karena masyarakat Indonesia terdiri dari beragam agama, suku dan ras.23

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elizabeth, mengatakan terdapat empat alasan mengapa radikalisme berkembang pesat di Indonesia.24 Alasan pertama adalah seseorang

22 Rakhmat Nur Hakim, “Menko PMK: Sikap Radikal Sebenarnya Positif, Tetapi Dimaknai Negatif Dan Dikaitkan Dengan Politik,”

Kompas.Com, last modified 2020, accessed

March 14, 2021,

https://nasional.kompas.com/read/2020/09/03/14 273341/menko-pmk-sikap-radikal-sebenarnya-positif-tetapi-dimaknai-negatif-dan.

23 Ibid.

24 Riani Sanusi Putri, “LIPI Ungkap 4 Alasan Mengapa Radikalisme Berkembang Di Indonesia,” Tempo.Co, last modified 2018, accessed January 10, 2021,

https://nasional.tempo.co/read/1062388/lipi-menjadi radikal adalah untuk kepentingan personal. Hal yang demikian dapat dipahami karena menyangkut urusan ideologi maupun finansial. Kelompok radikal bisa menyebar dengan luas dengan janji-janji kebutuhan finansial yang tercukupi. Alasan kedua adalah orang dapat tertarik terhadap radikalisme karena ada propaganda politik yang menarik. Kemudian, alasan ketiga adalah adanya fasilitas dan kemudahan yang sangat menarik seperti pelatihan dan transportasi yang diberikan oleh kelompok radikal. Hal ini menyebabkan seseorang menjadi tertarik untuk mengikuti kelompok tersebut. Terakhir, alasan ke empat adalah etika para elit politik yang buruk menyebabkan publik menjadi apatis terhadap demokrasi dan menjadikan radikalisme sebagai jalan alternatif.25

Lebih lanjut berdasarkan survei yang dilakukan Wahid Institute pada tahun 2020 menjelaskan bahwa tren intoleransi dan radi-kalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu.26 Kecenderungan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama kontestasi politik, ceramah atau pidato bermuatan ujaran kebencian dan unggahan bermuatan ujaran kebencian di media sosial.27 Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Wahid Institute ada sekitar 0,4% atau sekitar 600.000 jiwa warga negara Indonesia (WNI) yang pernah melakukan tindakan radikal. Data tersebut dihitung berdasarkan jumlah penduduk dewasa yakni sekitar 150 juta jiwa dan ada pula kelompok masyarakat yang rawan terpengaruh gerakan radikal yakni bisa melakukan gerakan radikal jika diajak atau ada kesempatan dengan jumlah sekitar 11,4 juta jiwa atau 7,1%. Sedangkan, sikap in-toleransi di Indonesia, menurut Yenny, juga

ungkap-4-alasan-mengapa-radikalisme-berkembang-di-indonesia/full&view=ok. 25 Ibid.

26 Media Indonesia, “Survei Wahid Institute: Intoleransi-Radikalisme Cenderung Naik,”

Mediaindonesia.Com, last modified 2020,

accessed January 10, 2021, https://mediaindonesia.com/politik-dan- hukum/284269/survei-wahid-institute-intoleransi-radikalisme-cenderung-naik. 27 Ibid.

(7)

cenderung meningkat dari sebelumnya sekitar 46% dan saat ini menjadi 54%.28

Melihat alasan dan data sebelumnya

dapat menjadi perhatian kembali oleh

Pemerintah Indonesia mengingat Negara

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan keberagaman agama dan kepercayaan menyebabkan potensi-potensi masalah dapat dimungkinkan terjadi tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri yang pada akhirnya dapat pula disusupi oleh kelompok-kelompok intoleran untuk menyebarkan paham-paham radikalisme.

Perkembangan gerakan radikal saat ini rupanya juga telah merambah ke perguruan tinggi. Oknum pelaku teroris tertangkap di beberapa kampus di perguruan tinggi umum. Hal ini membuktikan bahwa penyebaran paham radikal sudah sangat akut dan harus segera

ditanggulangi karena Perguruan Tinggi

merupakan wadah intelektualisme. Namun, terdapat oknum-oknum yang memiliki nalar penolakan terhadap keilmuan dan Pancasila.

Selain itu, radikalisme juga tidak hanya dari serangan paham yang mengklaim ber-landaskan Islam terhadap non Islam, tetapi sesama Islam yang berbeda keyakinan juga banyak terjadi. Maraknya radikalisme di

kalangan masyarakat dapat berimplikasi

terhadap stabilitas dan keamanan dalam masyarakat terutama antar umat beragama. Stereotype Islam sebagai teroris dan keras banyak terjadi di kalangan yang anti terhadap Islam bahkan awam terhadap Islam. Klaim kebenaran yang dimonopoli oleh kelompok tertentu menunjukan pemahaman yang dangkal terhadap agama. Pemahaman agama yang didasari pada tekstual saja menutup pintu kontekstual terhadap ajaran agama. Padahal, agama dapat menyesuaikan perkembangan masyarakat. Pada dasarnya, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang beragama Islam telah mencoreng esensi Islam rahmatan lil alamin. Esensi Islam yang santun bersahaja dan bijaksana tidak tampak manakala kita menyaksikan kekerasan-kekerasan atas dasar agama.

28 Ibid.

Radikalisme di Indonesia sudah banyak terjadi di hampir setiap lapisan baik sekolah,

oknum pebisnis, hingga pemerintahan.

Adanya geliat untuk mengganti ideologi Pancasila dan sistem di Indonesia membuat oknum-oknum yang berkepentingan me-lakukan berbagai macam cara hingga ke cara-cara yang bertentangan dengan hukum. Namun, pada hakikatnya, aksi radikal dan teroris harus kita antisipasi pada momen-momen tertentu seperti menjelang pilkada, pileg dan pilpres karena kekuatan-kekuatan yang tidak terkendali dapat saja terjadi pada momen tersebut.

Mengingat gerakan radikalisme hingga teroris dapat dilakukan dengan mekanisme pencucian otak dan penolakan terhadap Pancasila, pemerintah seyogyanya dapat pula mengantisipasinya dengan cara membuka ruang-ruang diskusi keagamaan yang lebih terbuka dengan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten dan membuka ruang dialog yang berperspektif HAM. Hal yang demikian menjadi penting mengingat eksklusifisme yang mereka bangun akan sangat berbahaya apabila mereka selalu berdialog dengan komunitas mereka sendiri.

Pada praktiknya, dalam

memini-malisisasi tindakan radikalisme saat ini,

Pemerintah Republik Indonesia telah

memiliki berbagai macam program. Salah satu program tersebut adalah program deradikalisasi. Namun, program tersebut dirasakan hanya berdampak pada seseorang atau pelaku yang telah mendapatkan dakwaan sebagai teroris dan belum dapat dirasakan oleh masyarakat secara umum. Oleh karena itu, perlu ada stakeholder lain yang dapat pula memberikan pemahaman komprehensif kepada masyarakat untuk dapat memini-malisasi radikalisme.

(8)

B. Konsepsi Hak Asasi Manusia terhadap Paham Radikalisme

Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yang dalam konteks konstitusi merupakan hak dasar setiap warga negara. Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945) yang menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. UUD NRI Tahun 1945 menjamin hak asasi setiap warga negara Indonesia dan juga kepastian hukum se-bagaimana Pasal 28 ayat (1) amandemen yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Dalam kaitannya dengan negara, negara sebagai wadah untuk menghormati, menjamin

dan memenuhi fitrah manusia tersebut.

Pemenuhan hak asasi manusia oleh negara moderen dijamin dengan adanya konstitusi

tertulis hasil musyawarah dan mufakat

pemerintah.29

Lebih lanjut, HAM merupakan suatu pemikiran yang dituangkan dalam bentuk hukum. Pemikiran HAM itu sangat legal formal dan bermula di Eropa Barat sebagai tempat munculnya pemikiran liberal. Para pemikir liberal seperti John Locke dan John S. Mill yang menekankan pada kebebasan manusia dan Montesquieu serta Rouseau yang menekankan pada equality, menghendaki perlunya pem-batasan peran negara/pemerintah. Menurut pemikiran liberal, negara hanya berperan semata-mata sebagai alat untuk melindungi, menjamin unsur kehidupan, kesejahteraan dan kebebasan. Bahkan, peran negara hanya

diibaratkan sebagai “peronda malam”.

29 Abdurrahman Hakim and Iffatin Nur, “Pro-Kontra Pemulangan Warga Negara Indonesia Eks ISIS,” Al Daulah 9, no. 1 (2020): 81–98. https://doi.org/10.24252/ad.v9i1.14356,

http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/1 4356, hlm. 84.

Pemikiran liberal yang menekankan pada “kebebasan”, pada dasarnya menjunjung tinggi kepentingan individu. Hal ini berbeda dengan pemikiran aliran kiri yang me-nitikberatkan pada “golongan.”

Berlainan halnya dengan konsepsi liberal dan aliran kiri, konsepsi HAM menurut versi Indonesia adalah HAM menurut susunan masyarakat Indonesia. Dapat dikatakan pula bahwa konsepsi HAM di Indonesia menitikberatkan pada

ke-seimbangan antara hak asasi dengan

kewajiban asasi. Perbedaan konsepsi itu terletak pada ide dan aplikasi. HAM secara substansial merupakan suatu konsep universal yang di dalamnya terdapat aspek-aspek kemanusiaan sebagai dasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun dan dalam kondisi apapun. HAM merupakan hak kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak.30

Menurut Jan Matenson dalam Lopa, dijelaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.31 Lebih lanjut menurut Lopa, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya.32

Pada tataran pelaksanaan HAM, tentu masyarakat perlu memahami secara utuh tentang adanya konsep Kewajiban Dasar Manusia (KDM), yang dalam wacana internasional disebut human responsibility (tanggung jawab manusia). KDM, yang secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) diartikan sebagai “seperangkat kewajiban yang apabila hak dilaksanakan, tidak memungkinkan ter-laksana dan tegaknya hak asasi manusia”. KDM ini antara lain disebutkan dalam Pasal 69: (1), yakni “Setiap orang wajib meng-hormati hak asasi manusia orang lain, moral,

30 H.A. Mansyur Effendi, Hak Asasi Manusia

Dalam Hukum Nasional Dan Internasional

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994). hlm. 15. 31 Baharuddin Lopa, Al Quran Dan HAM

(Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1996). hlm. 1.

(9)

etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Sedangkan, Pasal 69: (2) disebutkan bahwa “Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi orang lain serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya”.

Kewajiban dasar manusia ini mencakup juga kewajiban terhadap pembatasan HAM sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dinyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan

yang ditetapkan Undang-undang dengan

maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Kondisi ideal yang dicita-citakan tentu tidak semata-mata dapat tercipta. Hal ini me-merlukan adanya komitmen bersama dari seluruh komponen bangsa Indonesia di era

reformasi untuk melakukan upaya-upaya

perlindungan dan penegakan HAM agar sejalan dengan penerapan sistem demokrasi secara substantif, baik dalam bentuk amandemen konstitusi, legislasi tentang HAM, ratifikasi

perjanjian-perjanjian internasional maupun

perumusan rencana aksi HAM (RANHAM). Berkenaan dengan paham radikalisme,

sejatinya paham tersebut dapat menjadi

penghambat tumbuhnya perkembangan Hak Asasi Manusia. Ada pula pernyataan yang mengatakan bahwa radikalisme juga menjadi virus bagi demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) karena berupaya memaksakan kehendak dengan jalur kekerasan.33

Organisasi radikal memulai debutnya pada awal era reformasi. Mereka seakan tumbuh

33 Dandy Anugrah, “Radikalisme Virus Demokrasi Dan HAM,” Baliekxpress.Jawapos.Com, last modified 2020, accessed January 13, 2021, https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/03/21/ 184971/radikalisme-virus-demokrasi-dan-ham.

seiring dengan berjalannya demokratisasi sejak rezim Soeharto berakhir. Gerakan organisasi radikal tersebut seakan menjadi virus yang menggerogoti semangat demokrasi

di Indonesia. Sebelum reformasi

di-kumandangkan, organisasi kemasyarakatan

berpaham radikal tentu tidak dapat

menunjukkan eksistensinya. Namun, ketika era orde baru menjadi sejarah, gerakan radikal marak dan menyusup secara senyap dalam forum keilmuan seperti di kampus-kampus.34

Inti dari tindakan radikalisme sejatinya dipahami sebagai sikap atau tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku. Sejalan dengan

pernyataan sebelumnya, mereka yang

berpikiran sempit dan anti toleransi akan tidak peduli dengan adanya HAM (Hak Asasi Manusia).

C. Pendidikan HAM dalam

mengantisipasi radikalisme

Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Nilai tersebut dapat bersifat positif maupun bersifat negatif. Semua ini merupakan ancaman, tantangan dan sekaligus sebagai peluang bagi bangsa Indonesia dalam mensejahterakan rakyat. Pada era globalisasi ini, pergaulan antar bangsa semakin dekat dan ketat. Batas antar negara hampir pudar. Batas wilayah tidak menjadi penghalang. Dalam pergaulan antar bangsa pun, dimungkinkan terjadinya akulturasi budaya yang dipahami sebagai percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi35, oleh karenanya diperlukan upaya dalam menciptakan suatu konsepsi agar ketahanan nasional dapat terjaga. Salah satu upaya

34 Ibid.

35 Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” Kamus

Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, 2014).

(10)

tersebut adalah dengan mengembangkan suatu konsep nasionalisme kebangsaan yang me-ngarah pada identitas nasional. Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan, kendala dan tantangan itu perlu dilakukan, baik oleh

pemerintah, DPR, civil society maupun

organisasi-organisasi keagamaan, terutama

melalui peningkatan kapasitas para penegak hukum dan pendidikan kewarganegaraan yang menekankan pada pendidikan HAM.

Pendidikan HAM diyakini sangat efektif dalam upaya memajukan dan melindungi HAM. Oleh karena itu, negara wajib memastikan,

menyediakan, mengimplementasikan dan

memantau pendidikan HAM yang efektif bagi penyelenggara pemerintahan, dan masyarakat. Sebagai aset sebuah bangsa, pendidikan adalah

investasi dalam membangun dan

me-ngembangkan karakter bangsa. Pendidikan yang berkualitas akan serta merta melahirkan kemajuan dan peradaban bangsa. Sebaliknya, pendidikan yang buruk akan berimplikasi negatif bagi suksesnya roda pemerintahan

dengan dukungan ketersediaan partisipasi

publik yang memiliki ketahanan nasional yang baik.

Pendidikan HAM dapat dipahami sebagai pendidikan, pelatihan dan informasi yang ditujukan untuk membangun budaya HAM

universal. 36 Untuk menumbuhkembangkan

pemahaman, keterampilan dan kesadaran HAM,

pendidikan HAM mutlak diketahui dan

diimplementasikan dalam proses pembelajaran kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Dalam perspektif hukum HAM inter-nasional, pendidikan HAM diakui dan dijadikan sebagai konsensus dalam upaya pencapaian kesadaran HAM secara universal. Ketentuan Pasal 26 Ayat (2) Deklarasi Universal HAM PBB 1948 dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan harus ditujukan ke arah

36 Majda El Muhtaj, “Pendidikan HAM Di Era Digital: Peluang Dan Tantangan,” in Seminar

Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tema: Tantangan Yang Dihadapi Dalam Dunia Pendidikan Dan Social Studies Di Era Revolusi Industri 4.0, vol.

2 (Medan: Universitas Negeri Medan, 2018). hlm.443.

kembangan pribadi yang luas dan mem-perkokoh penghormatan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi.37 Selain itu, dalam perspektif global, pendidikan HAM diakui dan dijadikan sebagai konsensus dalam upaya pencapaian kesadaran HAM secara

universal. Pendidikan HAM ditegaskan

sebagai langkah efektif merawat harmoni sosial, toleransi dan perdamaian dunia. 38 Sejalan dengan pernyataan sebelumnya, pendidikan harus dimaknai sebagai kerangka

kerja yang dapat dilakukan oleh

penyelenggara negara kepada warganya sehingga dapat menciptakan pola saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun

agama, serta memajukan memelihara

perdamaian.

Lebih lanjut, pendidikan HAM (human rights education) setidaknya merupakan kewajiban moral bagi Indonesia yang telah berpartisipasi dalam The World Conference on Human Rights (Wina, Juni 1993) dan menghasilkan The Vienna Declaration and Programme of Action mengenai HAM. Dalam deklarasi itu dinyatakan bahwa pendidikan, pelatihan, dan informasi tentang HAM amat diperlukan bagi terbinanya hubungan harmonis antarbangsa dan guna memperkuat saling pengertian, toleransi, dan perdamaian.39

Untuk mengembangkan hal tersebut, Majelis Umum PBB mengeluarkan kebijakan Dekade PBB untuk Pendidikan HAM (UN Decade for HRs Education) tahun 1995-2004

37 Ibid.

38 Majda El Muhtaj et al., “Literasi Hak Asasi Manusia Dalam Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi,”

Jurnal HAM 11, no. 3 (2020): 369–386.

http://dx.doi.org/10.30641/ham.2020.11.369-386,

https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/ ham/article/view/1327, hlm. 370.

39 Mudzakir, “Mengangankan Pendidikan HAM Di Indonesia,” Perpustakaan.Bappenas.Go.Id, last modified 2002, accessed January 18, 2021, http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?f ile=digital/blob/F3700/Mengangankan Pendidikan.htm.

(11)

melalui Resolusi Majelis Umum PBB 49/184 pada 23 Desember 1994.40 Melalui kebijakan ini, lahir lah Program Dunia Pendidikan HAM

(World Programme for Human Rights

Education) yang intinya merekomendasikan

pendidikan HAM sebagai kunci untuk

menumbuhkembangkan penghormatan dan

perlindungan HAM.

Mengkaji Hak Asasi Manusia (HAM) dalam dunia pendidikan dinilai memunculkan wacana baru dan membingungkan bagi para pelaku dunia Pendidikan baik bagi praktisi,

akademisi, maupun peneliti dalam

me-ngembangkan proyek pendidikan berbasis HAM. Hal yang demikian dapat terjadi karena kalangan yang berbasis agama di Indonesia merasa bahwa hak asasi manusia sejatinya merupakan produk barat yang sulit untuk diselaraskan dengan produk agama sehingga konsepsi yang demikian tentu akan mempersulit

bagi penggiat keilmuan yang akan

mengembangkan konsep pendidikan berbasis HAM.

Akan tetapi, dalam konteks pencegahan radikalisme, Pendidikan HAM dinilai menjadi penting karena dengan diberikannya hal tersebut diharapkan masyarakat akan memiliki pan-dangan yang lebih terbuka dalam memahami manusia sebagai insan yang memiliki hak dan kewajiban yang dijamin oleh undang-undang sehingga sesama manusia tidak diperkenankan untuk bertindak semena-mena terhadap manusia tersebut. Hal senada juga disampaikan oleh

Manfred Nowak dalam Muhtaj yang

menegaskan bahwa education is a precondition for the exercise of human rights. Dalam kaitan

itu, Nowak mengingatkan kita tentang

pentingnya pendidikan dan Pendidikan HAM sebagai bagian dari HAM.41

Katarina Tomasevski memberikan pan-dangan yang utuh tentang hak atas pendidikan dan hak atas Pendidikan HAM. Menurutnya, hak atas pendidikan yang baik menjadi prasyarat bagi pemenuhan hak atas pendidikan HAM. Dalam tulisannya yang lain, Katarina

40 Muhtaj, “Pendidikan HAM Di Era Digital: Peluang Dan Tantangan.”

41 Ibid. hlm. 444.

juga menegaskan peran strategis pemerintah sebagai pendidik. Selengkapnya dikatakan sebagai berikut, government as educator is hereby delivering an essential message in human rights education: that education is each childs birthright and that it has governmental responsibility to eliminate all barriers which children may face.42

Dalam perkembangannya di Indonesia, pendidikan HAM merupakan bagian penting dari rencana aksi nasional HAM (RANHAM) Indonesia berturut-turut sejak RANHAM gelombang pertama 1998-2003; gelombang kedua 2004-2009; gelombang ketiga 2011-2014; dan gelombang keempat 2015-2019. Bahkan, pendidikan HAM dalam RANHAM gelombang keempat dinyatakan sebagai strategi Ranham Indonesia dan aksi HAM 2018-2019. Sebagai dokumen resmi dan dinamis dari kebijakan HAM pemerintah, RANHAM merupakan kebijakan imperatif

bagi seluruh lembaga penyelenggara

pemerintahan, baik pusat maupun daerah.

Bahkan, kementerian dan lembaga

pemerintahan secara reguler wajib memantau dan melaporkan progresivitas aksi HAM, termasuk taraf implementasi pendidikan HAM di Indonesia. Ranham merupakan jejaring HAM yang luas dan sejatinya

diharapkan mampu mereproduksi dan

memperkuat pemahaman dan kesadaran HAM di tengah-tengah masyarakat.

Berkenaan dengan Pendidikan HAM yang dimaksud, seyogyanya pendidikan yang diberikan dapat difokuskan pada pengajaran

dan pemberian pemahaman kepada

masyarakat terhadap toleransi antar

masyarakat. Banyak hasil penelitian

menunjukkan bahwa hanya lembaga

pendidikan yang memiliki kemampuan dan keunggulan dalam mengajarkan nilai-nilai toleransi secara cepat dan tepat. Menurut

Ahmad Baedowi dalam Aziz dengan

mengutip Steven E. Vinkel dalam Can Tolerance be Taught? Adult Civic Education and the Development of Democratic Values

42 Katarina Tomasevski, The State of The Right

to Education Worldwide; Free or Fee, Global Report (Copenhagen, 2006).

(12)

(2000), proses pendidikan yang menghargai keragaman, memiliki proses demokratis dan terbuka serta peduli akan tumbuh kembang mental adalah prasyarat yang dibutuhkan dalam membangun semangat toleransi.43 Steven E.

Vinkel menyebutkan bahwa mengajarkan

toleransi merupakan pintu masuk utama dalam mengembangkan lembaga pendidikan yang demokratis dan terbuka.44

Dalam konteks pencegahan paham radi-kalisme dinilai agak sulit jika tanpa adanya keterlibatan dan pemahaman terhadap mindset masyarakat karena yang dihadapi adalah pemikiran atau pola pikir sehingga ide-ide atau gagasan dari masyarakat juga perlu dicermati dan diperhatikan oleh pemerintah. Dengan kata lain masyarakat diharapkan juga ikut terlibat

dalam perencanaan, penyusunan serta

pelaksanaan Pendidikan HAM kepada

masyarakat.

Berdasarkan pendapat Sherry R Arnstein (teori The Ladder of Citizen) yang membagi jenjang partisipasi masyarakat terhadap program

pembangunan yang dilaksanakan oleh

pemerintah, terdapat 8 (delapan) tingkat partisipasi sebagai berikut:

1) Citizen control, masyarakat dapat

partisipasi di dalam dan mengendalikan seluruh proses pengambilan keputusan. 2) Delegated power, pada tingkatan ini

masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana tertentu.

3) Partnership, masyarakat berhak berunding

dengan pengambil keputusan atau

pemerintah, atas kesepakatan bersama kekuasaan dibagi antara masyarakat dengan pemerintah.

4) Placation, pemegang kekuasaan

(pemerintah) perlu menunjuk sejumlah orang dari bagian masyarakat yang dipengaruhi untuk menjadi anggota suatu badan publik, dimana mereka mempunyai

43 Aziz, “Memperkuat Kebijakan Negara Dalam Penanggulangan Radikalisme Di Lembaga Pendidikan.” hlm. 40.

44 Ibid.

akses tertentu pada proses pengambilan keputusan.

5) Consultation, masyarakat tidak hanya diberitahu tetapi juga diundang untuk berbagi pendapat, meskipun tidak ada jaminan bahwa pendapat yang dikemukakan akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

6) Informing, pemegang kekuasaan hanya

memberikan informasi kepada

masyarakat terkait proposal kegiatan, masyarakat tidak diberdayakan untuk mempengaruhi hasil.

7) Therapy, pemegang kekuasaan

memberikan alasan proposal dengan berpura-pura melibatkan masyarakat.

8) Manipulation, merupakan tingkatan

partisipasi yang paling rendah, dimana masyarakat hanya dipakai namanya saja. Dari tingkatan partisipasi yang diajukan oleh Arnstein, dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu tidak ada partisipasi sama sekali, yang meliputi: manipulation dan therapy; partisipasi masyarakat dalam bentuk tinggal menerima beberapa ketentuan (degrees of tokenism), meliputi informing, consultation, dan placation; (3) partisipasi masyarakat

dalam bentuk mempunyai kekuasaan

(degrees of citizen power), meliputi

partnership, delegated power, dan citizen power. Dalam konteks penelitian ini memerlukan partisipasi masyarakat dalam bentuk kerjasama antara semua pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan pendapat Sherry R

Arnstein (teori The Ladder of Citizen) yang membagi jenjang partisipasi publik terhadap program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, asumsi penulis menilai pemerintah baru pada tahapan Consultation, dimana masyarakat tidak hanya diberitahu tetapi juga diundang untuk berbagi pendapat, meskipun demikian belum ada jaminan bahwa pendapat yang di-kemukakan akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Hal yang

(13)

demikian pada akhirnya hanya akan menggambarkan kondisi yang tidak akan berubah atau stagnan karena masyarakat masih tetap sebagai penerima informasi dan kebijakan yang pada faktanya belum tentu bermanfaat dan berdaya guna bagi masyarakat tersebut.

Partisipasi aktif yang diharapkan ber-dasarkan teori Arnstein adalah partisipasi

masyarakat dalam bentuk mempunyai

kekuasaan (degrees of citizen power) bukan hanya sekedar memberikan informasi kepada masyarakat terkait norma serta pemahaman tanpa memberdayakannya untuk mempengaruhi hasil. Partisipasi aktif ini diharapkan akan menumbuhkan rasa saling menghormati dan

saling memiliki tanpa mengedepankan

perbedaan yang ada.

Dapat dipahami bahwa saat ini proses bertoleransi antar masyarakat mulai sedikit memudar sehingga penekanan Pendidikan HAM mengenai toleransi akan menjadi penting. KH.

Hasyim Muzadi dalam Aziz, pernah

mengatakan bahwa Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya merupakan negara paling toleran jika dibanding negara-negara lain di dunia.45

Secara konseptual, toleransi sendiri dapat

dimaknai sebagai sikap mengakui dan

menghargai eksistensi non-muslim dan agama yang dianutnya, tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam karena tidak ada paksaan dalam agama, memberi kebebasan kepada pemeluknya untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya, tidak mengganggu dan mengusik ketenangan pemeluk agama lain, tetapi juga mengambil sikap tegas untuk berlepas diri dalam urusan-urusan yang termasuk ranah akidah dan agama mereka. Sikap yang demikian pada akhirnya akan memiliki relasi yang erat dengan penghormatan terhadap HAM serta pengakuan terhadap keberagaman (pluralitas).

Selanjutnya, Pendidikan HAM yang diberikan sejatinya tidak hanya memotret dari sisi toleransi, tetapi dalam konteks pemahaman Pendidikan HAM secara utuh. Pendidikan HAM juga perlu memasukkan unsur-unsur yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar

45 Ibid.

negara. Hal yang demikian menjadi penting dan strategis karena nilai-nilai Pancasila yang sejalan dengan HAM memperlihatkan nafas humanisme yang bersifat universal sehingga Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja. Pancasila adalah milik khas bangsa Indonesia dan sekaligus menjadi identitas bangsa berkat legitimasi moral dan budaya bangsa Indonesia sendiri.

Pancasila sebagai nilai dasar yang fundamental merupakan nilai-nilai luhur yang mengandung pokok-pokok pikiran berkenaan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pokok-pokok pikiran adalah sebagai berikut:

1. Pokok pikiran pertama, dimana negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok pikiran ini sebagai penjabaran dari sila pertama dan kedua.

2. Pokok pikiran kedua, Negara Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara

yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pokok pikiran ini merupakan penjabaran dari sila ketiga.

3. Pokok pikiran ketiga, negara

berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas

kerakyatan dan

permusyawaratan/perwakilan. Pokok

pikiran ini menunjukkan Negara

Indonesia demokrasi, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, sesuai dengan sila keempat.

4. Pokok pikiran keempat, menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia, mencerdaskan kehidupan

bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok pikiran ini penjabaran dari sila kelima.

Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila tidak dapat diubah secara hukum. Apabila terjadi perubahan berarti pembubaran negara. Nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila

(14)

mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap kuat dan tidak berubah dimana jalan hukum apapun tidak mungkin lagi untuk mengubah hal tersebut.46

D. Peran Kementerian Hukum dan HAM RI dalam memberikan Pendidikan HAM

Dalam konteks pemberian Pndidikan HAM, terdapat peran Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dalam mewujudkan tujuan pemerintah melalui program Nawacita yang ke Sembilan yaitu “Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial

Indonesia melalui kebijakan memperkuat

pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga. Peran ini dapat diaktualisasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dalam program penyuluhan serta pembudayaan hukum.

Sejalan dengan Nawacita dan konsepsi HAM tersebut, pencegahan radikalisme tepat dilakukan melalui program penyuluhan dan pembudayaan hukum yang menitikberatkan pada Pendidikan Hak Asasi Manusia kepada masyarakat. Adapun yang dapat dilakukan

adalah dengan cara penyuluh dapat

berpartisipasi aktif kepada masyarakat.

Partisipasi merupakan hal yang sangat penting dalam membangun budaya hukum masyarakat. Hal ini dibutuhkan karena terdapat keterlibatan mental dan emosi dari seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk pencapaian tujuan kelompok dan ikut

bertanggung jawab terhadap kelompoknya.47

Pembangunan budaya hukum masyakarakat melalui Pendidikan HAM tentunya memerlukan strategi partisipasi yang didasarkan pada keseimbangan antar kepentingan.

Muslimin dalam Nadir dan Wardani

menyatakan bahwa tugas negara dalam

keseluruhan faham modern sekarang ini dalam suatu Negara kesejahteraan (social service state)

46 Hamid Darmadi, Eksistensi Pancasila Dan

Undang-Undang Dasar 1945 Sebagai Pemersatu Bangsa (Bandung: Alfabeta, 2017). hlm. 393.

47 Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi Dan

Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). hlm. 50.

adalah menyeleggarakan kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan perasaan

kesejahteraan yang sebesar- besarnya

berdasarkan keadilan dalam suatu Negara hukum.

Oleh karena itu, strategi (grand design) penyuluhan hukum disusun dengan mengacu

kepada rencana strategis yang telah

ditetapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM serta program kerja dari Badan

Pembinaan Hukum Nasional, yang

disesuaikan dengan perkembangan dinamika

masyarakat serta kemajuan teknologi

informasi. Pelaksanaan kegiatannya lebih banyak menggunakan inovasi baru serta peningkatan penggunaan media komunikasi yang lebih modern baik media elektronik, media cetak serta media lainnya, termasuk dalam teknik dan metode penyuluhan hukum. Dari pengalaman yang selama ini

berlangsung dapat dikatakan bahwa

sosialisasi hukum merupakan salah satu yang perlu dengan sungguh-sungguh ditingkatkan melalui koordinasi secara nasional, terpola,

dan terstruktur secara baik dengan

memanfaatkan seluruh infrastruktur

pendukung seperti partisipasi aktif

masyarakat, media elektronik maupun non

elektronik serta saluran-saluran lainnya

seperti pemanfaatan teknologi informasi dan lain-lain.

Di tengah berkecamuknya kehidupan masyarakat karena merebaknya pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini telah membawa dalam ketidakpastian global. Kondisi ini harus dihadapi dengan penuh optimis dan

terus berinovasi dalam mengatasi

permasalahan ini. Permasalahan pandemi Covid-19 membawa teknologi informasi memiliki peranan sangat penting sekaligus sebagai solusi untuk mengatasi ketidakpastian tersebut. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi informasi dalam penyuluhan dapat

dijadikan satu alternatif yang dapat

diandalkan.

Tidak hanya secara teknis melalui partisipasi, namun dalam konteks substansi, maka peran Kemenkumham RI dapat

(15)

pengakuan dan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak hanya sebatas normatif konstitusioal, melainkan secara empirik bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lain di Negara Indonesia ini, maka pendekatan pengayoman dari negara sangat diperlukan agar warganya tidak bertindak semena-mena dan

menafsirkan sesuatu sesuai dengan

pemahamannya sendiri sehingga mudah

bergabung dengan gerakan-gerakan yang tidak cocok dengan paham Indonesia negara hukum Pancasila.

Prinsip perlindungan hukum terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), karena pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) diarahkan

kepada pembatasan-pembatasan tindakan

kesewenang-wenangan dari penguasa

meletakkan kewajiban kepada pemerintah untuk

mengakui dan menjaminnya sekaligus

menghormatinya bagi pemerintah dan

masyarakat.

Dengan demikian, Penulis berharap peran

Kementerian Hukum dan HAM dalam

memberikan Pendidikan HAM kepada

masyarakat paling tidak bisa sampai pada tahapan partisipasi yang ketiga dalam teori The Ladder of Citizen yaitu Partnership dimana masyarakat berhak berunding dengan pengambil keputusan atau pemerintah, atas kesepakatan bersama kekuasaan dibagi antara masyarakat dengan pemerintah. Adapun Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh Kemenkumham RI adalah masyarakat dapat dibentuk dalam suatu wadah kelompok kerja (pokja). Pokja tersebut dikoordinir oleh penyuluh, yang nantinya

mampu merancang, melaksanakan dan

mengevaluasi kegiatan program penyuluhan sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Tentunya dalam konteks pencegahan paham radikalisme ini diperlukan peran tokoh agama dan berbagai unsur terkait.

Seiring dengan berkembangnya gerakan

radikalisme transnasional yang

mengkhawatirkan berimbas kepada disintegrasi bangsa, maka prinsip pengakuan dan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

diarahkan dalam rangka mengayomi,

melindungi, memberikan rasan aman, rasa tentram dan khususnya memberikan jaminan

kesejahteraan dari negara karena

bergabungnya segelintir warga negara kepada

gerakan radikalisme sepertinya mereka

merasa terpanggil karena kondisi ekonomi bukan semata-mata karena jihad dalam makna paham mereka. Dalam konteks yang

sama artinya selain masyarakat turut

berpartisipasi dalam memperoleh Pendidikan HAM, di sisi lain negara juga dapat memberikan perlindungan bagi warganya

terhadap gerakan-gerakan radikalisme

tersebut.

Pernyataan sebelumnya menjadi

penting karena dalam konteks penguatan integrasi bangsa melalui rekognisi hak konstitusional warga negara, maka pengakuan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia

(HAM) dari negara implementasinya

menunjukkan adanya hubungan kekuasaan antara negara yang mengatur rakyatnya dan rakyat untuk mendapat pengakuan dan jaminan perlindungan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya dalam perspektif kesejahteraan.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan sebelumnya,

maka jelas posisi pemerintah adalah

memberikan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak hanya sebatas normatif konstitusioal, melainkan secara empirik bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lain. Dalam mewujudkannya tentu pemerintah menghadapi berbagai tantangan yang tidak hanya berbentuk fisik, akan tetapi pemahaman radikalisme justru dapat merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Hal ini menjadi penting karena dapat berdampak pada lingkungan sosial yang membahayakan keutuhan NKRI. Pendidikan HAM diyakini menjadi penting dilakukan oleh pemerintah dalam memerangi paham radikalisme yang berkembang secara diam-diam namun efektif karena dengan mengoptimalkan pendidikan HAM maka pemerintah secara tidak langsung dapat memaksimalkan upaya memajukan dan

(16)

melindungi HAM warga negaranya. Oleh

karenanya, negara wajib memastikan,

menyediakan, mengimplementasikan dan

memantau pendidikan HAM yang efektif bagi penyelenggara pemerintahan, masyarakat dan kalangan profesional.

Pendidikan HAM yang dimaksud

difokuskan pada pengajaran terhadap toleransi beragama serta penghormatan terhadap hak-hak orang lain serta penguatan terhadap Pancasila yang juga selaras dalam perwujudan HAM dalam praktiknya yang menjadi ideologi bangsa Indonesia. Adapun dalam implementasinya dapat dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui program penyuluhan hukum yang menggandeng masyarakat untuk turut serta

berpartisipasi secara aktif dalam rangka

memperoleh Pendidikan tersebut. Partisipasi aktif yang dimaksud tidak hanya sekedar

memberikan sumbang saran terhadap

pendidikan yang diberikan tetapi ikut terlibat

dalam menyusun substansi pendidikan,

merencanakan siapa yang akan terlibat dalam pendidikan hingga menyusun jangka waktu pemberian pendidikan kepada masyarakat. Oleh karenanya tahapan keterlibatan masyarakat dapat mencapai tahapan partnership dimana masyarakat menjadi mitra kerja dari pemerintah. Berdasarkan pembahasan di atas, jelas bahwa Pendidikan HAM diyakini menjadi penting dilakukan oleh pemerintah dalam

memerangi paham radikalisme yang

berkembang namun efektif karena dengan mengoptimalkan Pendidikan HAM, pemerintah secara tidak langsung dapat memaksimalkan upaya memajukan dan melindungi HAM warga negaranya. Oleh karena itu, negara wajib

memastikan, menyediakan,

mengimplementasikan dan memantau

pendidikan HAM yang efektif bagi

penyelenggara pemerintahan, masyarakat dan kalangan profesional.

Pendidikan HAM tersebut difokuskan pada pengajaran terhadap toleransi beragama, penghormatan terhadap hak-hak orang lain dan penguatan terhadap Pancasila yang juga selaras dalam perwujudan HAM sebagai ideologi

bangsa Indonesia. Adapun dalam hal

implementasi, hal ini dapat dilakukan oleh

Kementerian Hukum dan HAM melalui

program penyuluhan hukum dengan

menggandeng masyarakat untuk turut serta berpartisipasi.

SARAN

Dengan demikian, berdasarkan hasil

analisis dan kesimpulan sebelumnya,

disarankan bahwa untuk meminimalisasi paham radikalisme yang ada di Indonesia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM RI seyogyanya dapat

menerapkan Pendidikan HAM melalui

penyuluhan hukum yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagai

strategi pelibatan masyarakat dalam

penyuluhan hukum. Dalam konteks ini, masyarakat bukan sebagai objek, namun diperlakukan sebagai subjek yang aktif berperan dengan segala inovasinya. Langkah

konkrit yang perlu dilakukan Badan

Pembinaan Hukum Nasional adalah dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat Desa/Kelurahan (Aparat Penegak Hukum (APH), NGO, Akademisi dan komunitas lokal) dalam melakukan edukasi dan pembudayaan hukum.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan sumbang saran selama pelaksanaan penulisan artikel serta pihak editor maupun mitra bestari yang telah membantu dalam perbaikan atau koreksi terhadap tulisan maupun teknik penulisan.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Anugrah, Dandy. “Radikalisme Virus

Demokrasi Dan HAM.”

Baliekxpress.Jawapos.Com. Last modified

2020. Accessed January 13, 2021.

https://baliexpress.jawapos.com/read/2020

/03/21/184971/radikalisme-virus-demokrasi-dan-ham.

Ariefana, Pebriansyah. “5 Ciri Orang Yang Terpapar Radikalisme Versi BNPT.” Suara.Com. Last modified 2018. Accessed

February 3, 2020.

https://www.suara.com/news/2018/09/27/0

71500/5-ciri-orang-yang-terpapar-radikalisme-versi-bnpt.

Aspihanto, Aan, and Fatkhul Muin. “Sinergi Terhadap Pencegahan Terorisme Dan Paham Radikalisme.” Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 3, no.

1 (2017): 73–90.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sn h/article/view/20923.

Aziz, Abdul. “Memperkuat Kebijakan Negara Dalam Penanggulangan Radikalisme Di Lembaga Pendidikan.” HIKMAH Journal of Islamic Studies XII, no. 1 (2016): 29–56. http://dx.doi.org/10.47466/hikmah.v12i1.5 5.http://journal.alhikmahjkt.ac.id/index.ph p/HIKMAH/article/view/55

Azizah, Nur. “Empat Indikator Warga Terpapar Radikalisme.” Medcom.Id. Last modified

2017. Accessed February 3, 2020.

https://www.medcom.id/nasional/peristiwa /ybDRGJPK-empat-indikator-warga-terpapar-radikalisme.

Cambridge University. Cambridge Advanced Learners Dictionary. Singapore: Cambridge University Press, 2008.

Darmadi, Hamid. Eksistensi Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945 Sebagai Pemersatu Bangsa. Bandung: Alfabeta, 2017.

Dwiningrum, Siti Irene Astuti. Desentralisasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Effendi, H.A. Mansyur. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.

Fitriani, Alif Satria, Pricilia Putri, Nirmala Sari, and Rebekha Adriana. The Current State of Terrorism in Indonesia: Vulnerable Groups, Networks, and Responses. CSIS Working Paper Series.

Jakarta, 2018. https://www.researchgate.net/profile/Lu ca_Mancini/publication/228362326_Ho rizontal_inequality_and_communal_viol ence_evidence_from_Indonesian_distric ts/links/09e415124fab7e2813000000/H orizontal-inequality-and-communal-violence-evidence-from-Indonesian-dist. Hakim, Abdurrahman, and Iffatin Nur.

“Pro-Kontra Pemulangan Warga Negara Indonesia Eks ISIS.” Al Daulah 9, no. 1

(2020): 81–98.

https://doi.org/10.24252/ad.v9i1.14356, http://journal.uinalauddin.ac.id/index.ph p/al_daulah/article/view/14356

Jawardi, Strategi Pengembangan Budaya Hukum, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 16 No. 1,

Maret 2016 : 77 – 93.

http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2016.

V16.77-93,https://ejournal.balitbangham.go.id/i ndex.php/dejure/article/view/77,

Kunjana, Gora. “Moeldoko: Sedang

Disiapkan Aturan Penanganan WNI.” Investor.Id. Last modified 2018.

Accessed January 15, 2020.

https://investor.id/archive/moeldoko- sedang-disiapkan-aturan-penanganan-wni-dari-suriah%0AMoeldoko:

Lisma. “Radikalisme Dan Hukum Di Indonesia.” Iain-Surakarta.Ac.Id. Last modified 2018. Accessed January 10,

2021.

https://iain- surakarta.ac.id/radikalisme-dan-hukum-di-indonesia/.

Lopa, Baharuddin. Al Quran Dan HAM. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1996.

Referensi

Dokumen terkait

Pemasaran adalah proses di mana perusahaan menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan pelanggan yang kuat untuk menangkap kembali nilai dari pelanggan2. Bab 1

Kata benda bantu bilangan kolektif atau dalam bahasa Mandarin disebut jít ǐ míng liàngcí (集体名量词) dapat digunakan untuk menyatakan suatu unit benda yang lebih dari

Sehingga menurut Snouck, dalam bidang agama Pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan kepada umat Islam Indonesia untuk menjalankan Agamanya sepanjang

Dengan penggambaran data revisi tersebut, dapat kita ketahui bahwa pada saat perencanaan atau penyusunan DIPA, KPPN Semarang II kurang mempertimbangkan aspek prioritas

[r]

Green facade tipe 1 berfungsi sebagai filter bagi dampak buruk yang dihasilkan kendaraan, yakni efek polusi udara suara dan suara, sedangkan green facade tipe

Berdasarkan uraian diatas, adapun motivasi untuk meneliti kembali tentang Pengaruh Pertumbuhan Aktiva Produktif, Dana Pihak Ketiga dan Ukuran Perusahaan Terhadap

Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan kinerja karyawan di restaurant alpha hotel pekanbaru, ternyata dapat kita lihat bahwa faktor yang paling banyak