• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI LENGAS TANAH GAMBUT BERDASARKAN TINGGI MUKA AIR DAN ANALISIS CITRA SATELIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI LENGAS TANAH GAMBUT BERDASARKAN TINGGI MUKA AIR DAN ANALISIS CITRA SATELIT"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI LENGAS TANAH

GAMBUT BERDASARKAN TINGGI MUKA AIR DAN

ANALISIS CITRA SATELIT

LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENELITIAN

NOVEMBER 1, 2019

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Pengembangan Model Prediksi Lengas Tanah Gambut

Berdasarkan Tinggi Muka Air dan Analisis Citra Satelit

Ketua Peneliti:

Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso, M.S, Institut Pertanian Bogor

Anggota Peneliti:

Dr. Muh Taufik, Institut Pertanian Bogor

Dr. I Putu Santikayasa, Institut Pertanian Bogor

Dr. Albertus Sulaiman, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Dr. Arif Darmawan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Ir. Awaluddin M.Sc, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Dr. Dede Dirgahayu Domiri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Ita Carolita M.Si, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Asisten Peneliti:

Marliana Tri Widyastuti S.Si, Institut Pertanian Bogor Elvira Intan Hapsari, Institut Pertanian Bogor

(3)

1. Pendahuluan

Pendugaan lengas tanah khususnya di lahan gambut sangat penting karena lengas tanah akan sangat mempengaruhi kondisi lahan gambut terkait dengan keberlanjutan manfaatnya. Oleh karena itu informasi tentang karakteristik fisik yang mempengaruhi lengas tanah gambut sangat diperlukan. Berbagai pendekatan telah dikembangkan namun demikian pengembangan metodologi secara spasial di wilayah tropis masih sangat terbatas.

Indonesia yang memiliki lahan gambut yang luas perlu mengetahui informasi lengas tanah ini karena terkait dengan kekeringan, kerentanan terhadap kebakaran dan emisi gas rumahkaca (GRK). Pengamatan yang dilakukan spesifik untuk lokasi sudah cukup banyak walaupun masih belum mencukupi untuk keseluruhan wilayah lahan gambut di Indonesia. Sehingga pengembangan pendugaan lengas tanah dengan pendekatan spasial yang mampu menghasilkan informasi dengan cakupan yang luas sangat diperlukan.

Pendugaan lengas tanah menggunakan data citra satelit dengan sensor pasif mengalami banyak kendala tutupan awan. Karena itu pengggunaan sensor aktif (misalnya radar) harus diupayakan. Untuk meningkatkan manfaat hasil penelitian, kegiatan ini akan memanfaatkan sensor aktif sekaligus yang memiliki resolusi spasial tinggi (~10 m) sehingga lebih operasional.

SAR adalah sensor aktif yang beroperasi dalam segala kondisi cuaca, sehingga informasi siang hari sepanjang tahun yang dibutuhkan dapat diperoleh. SAR sensitif terhadap tekstur, ukuran dan orientasi benda struktural, kadar air dan kondisi tanah (Pohl and Loong, 2016). Penggunaan SAR dengan polarisasi lengkap dapat memperlihatkan hubungan yang jelas antara nilai hambur balik, tekstur permukaan, dan kondisi tanaman. SAR juga senstif terhadap kelembaban tanah karena memiliki nilai konstanta dielektrik yang sangat berhubungan dengan nilai kandungan air (Sonobe et al., 2008).

Konstanta dielektrik untuk air paling sedikit 10 kali lebih besar dibandingkan dengan konstants dielektrik tanah kering. Oleh karena itu adanya air pada beberapa sentimeter di lapisan atas tanah dapat dideteksi dengan citra SAR (Lillesand and Kiefer, 2000).

(4)

Kedalaman penetrasi tergantung pada panjang gelombang mikro dan kandungan kelembaban vegetasi. Penetrasi akan meningkat jika panjang gelombang lebih panjang dan sebaliknya akan menurun jika kelembaban vegetasi meningkat (Gambar 1).

Gambar 1. Beberapa panjang gelombang SAR dengan tingat penetrasinya pada beberapa kondisi lahan

Sentinel-1 adalah salah satu satelit SAR yang dapat diperoleh dengan mengunduh secara gratis sehingga dapat digunakan untuk kegiatan operasional.

Sentinel-1 konstelasi satelit pertama Program Copernicus yang dilakukan oleh European Space Agency. Misi luar angkasa ini terdiri dari dua satelit, Sentinel-1A dan Sentinel-1B, yang membawa instrumen radar sintetis-celah C-band yang menyediakan kumpulan data di semua cuaca, siang atau malam. Ada berbagai aplikasi untuk data yang dikumpulkan melalui misi Sentinel-1. Beberapa dari kegunaan ini termasuk pemantauan laut dan darat, tanggap darurat karena bencana lingkungan, dan aplikasi ekonomi.

Sentinel-1 dirancang untuk membawa instrument sebuah radar C-band buatan-sintetis (C-SAR) dengan elektroniknya. Instrumen ini menyediakan akurasi radiometrik 1 dB dengan frekuensi sentral di 5.405 GHz.

(5)

Sensor Sentinel-1 bekerja pada gelombang mikro aktif C-band (pusat frekuensi 5.405 GHz), dengan resolusi temporal 12 hari . Resolusi spatial 5x20 m pada mode Interferometric, dengan lebar sapuan 250 km dan bekerja pada single polarisation (HH or VV) and dual polarisation (HH+HV or VV+VH)

Selanjutnya validasi dalam skala yang terbatas akan digunakan untuk membangun model dan algoritma untuk aplikasi yang lebih luas dengan menggunakan citra resolusi sedang seperti MODIS. Dengan pendekatan downscaling citra MODIS juga dapat memberikan informasi permukaan seperti suhu dan indeks vegetasi untuk membangun Temperature Vegetation Difference Index (TVDI) yang mampu memberikan informasi tingkat lengas tanah pada skala yang lebih besar.

Pada gilirannya pemodelan ini dapat diterapkan di salah satu dari tujuh provinsi (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Papua) atau beberapa kabupaten prioritas ( OKI, Musi Banyuasin, Kep. Meranti dan Pulang Pisau). Diantara tiga kawasan (i) hutan yang dibebani hak, sehingga kegiatan restorasi menjadi kewajiban pemegang ijin (1.4 juta ha), (ii) hutan lindung dan kawasan konservasi (600 ribu ha), dan (iii) APL yang dapat melibatkan masyarakat (400 ribu ha), nampaknya kawasan yang berijin perlu mendapat prioritas.

2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan:

1. Analisis hubungan tinggi muka air dan lengas tanah gambut, serta korelasi

spasial dan temporal antara pengamatan lapang dengan data citra untuk wilayah gambut tropis

2. Pemetaan estimasi lengas tanah gambut menggunakan citra satelit resolusi tinggi 3. Kalibrasi dan validasi peta berbasis satelit dengan data lapang untuk

meningkatkan akurasi dan aplikasi peta

4. Integrasi hasil penelitian dengan Sistem Pemantauan Lahan Gambut (SIPALAGA)

3. Metodologi

3.1. Pengamatan lapang

Pengamatan lapangan dilakukan pada periode satu siklus musim sehingga mampu memberikan informasi lapang pada musim kemarau dan musim hujan. Selain itu lokasi

(6)

pengamatan lapangan mampu memberikan informasi pada lokasi-lokasi dengan karakteristik tanah yang berbeda. Informasi yang diperoleh dari data logger yang terpasang juga diperlukan untuk mendapatkan series data yang berada diluar waktu Pengamatan lapang.

3.2. Pengukuran sifat fisik tanah

Pengambilan contoh tanah gambut dilakukan pada dua kedalaman berbeda untuk merepresentasikan tanah pada dua lapisan yaitu atas (0-30 cm) dan bawah (30-100 cm). pengambilan contoh menggunakan ring standar ukuran 100 cm3. Ulangan pengambilan

contoh sebanyak 4x. Pengambilan sambil dilakukan di lokasi pemasangan diver dan sensor kadar air tanah.

Contoh tanah yang telah diambil selanjutnya dibawa ke laboratorium tanah, Balai Penelitian Tanah-Bogor untuk dianalisis. Parameter tanah yang diperoleh yaitu parameter retensi tanah pada pF 1, pF 2.54, dan pF 4.2.

3.3. Pemodelan kelembaban tanah dan muka air tanah

Hubungan antara kelembaban tanah dan muka air tanah dapat dijelaskan dengan pendekatan Genucten (Van Genuchten, 1980a) sebagai beikut:

𝜃(ℎ) = 𝜃𝑟+ (𝜃𝑟−𝜃𝑟)

[1+|𝛼ℎ|𝑛]1−1/𝑛 (1)

Dimana θ adalah kadar air tanah volumetric (m3 m-3), θr, θs adalahkadar air tanah residual

dan jenuh (m3 m-3), h adalah tekanan air tanah (m), dan α (−) dan n (−) merupakan

kontanta Genucten. Dengan asumsi bahwa tekanan lain yang berkerja pada tanah (seperti osmosis) diabaikan dan diperoleh kesetimbangan tekanan, maka tekanan air tanah pada lapisan atas setara dengan jarak permukaan tanah ke muka air tanah (z=-h). Asumsi yang sama telah diajukan oleh (Weiss et al., 2006).

Pada tiap lokasi pengamatan, Pada tiap lokasi contoh tanah yang telah diambil selanjutnya dibawa ke laboratorium tanah, Balai Penelitian Tanah-Bogor untuk dianalisis. Parameter tanah yang diperoleh yaitu parameter retensi tanah pada pF 1, pF 2.54, dan pF 4.2. Data hasil pengukuran parameter tanah kemudian di-fitting dengan Persamaan (1) untuk mendapatkan parameter Van Genuchten.

(7)

3.4. Penyusunan Indeks kebakaran (fire-hazard index)

Indeks kebakaran dihitung berdasarkan pendekatan hidro-meteorologis menggunakan model modified Keetch-Byram Drought Index (mKBDI). Pendekatan model ini mengkombinasikan parameter cuaca dan hidrologi dalam menilai bahaya kebakaran (fire hazard). Penghitungan indeks harian mKBDI (Muh. Taufik et al., 2015) sebagai berikut (Persamaan 2-5):

mKBDIt = mKBDIt-1 + DFt + RFt - WTFt (2)

mKBDI merupakan defisiensi kelembaban tanah, DF adalah factor kekeringan, RF adalah factor curah hujan, dan WTF adalah faktor muka air tanah dengan satuan hari t. Factor kekeringan dalam system metrik adalah:

𝐷𝐹𝑡 = (203 − 𝑚𝐾𝐵𝐷𝐼𝑡−1)(0.4982 𝑒(0.0905×𝑇𝑚+1.6096)−4.268)×10−3

1+10.88 𝑒(−0.001736×𝑅0) (3)

Tmadalah suhu udara maksimum harian, and Ro adalah rerata curah hujan tahunan. Curah hujan yang dipertimbangkan untuk mengurangi indeks yaitu jika lebih besar dari 5.1 mm/hari (Pers.4):

𝑅𝐹𝑡 = {

(𝑅𝑡− 5.1), 𝑅𝑡 ≥ 5.1 mm/hari, 1strainy day

𝑅𝑡, 𝑅𝑡−1 ≥ 5.1 mm/hari, 2ndand the next rainy days 0, 𝑅𝑡 < 5.1 𝑚𝑚/ℎ𝑎𝑟𝑖

(4)

Kemudian faktor muka air tanah (WTF) menggunakan persamaan berikut:

𝑊𝑇𝐹𝑡= 10.64 − 0.283𝑥[(1 − 𝜃(ℎ)𝑡) ∗ 203] (5)

Nilai mKBDI pada rentang 0 – 203 (max). Hari hujan lebat yang berkepanjangan mampu meningkatkan kelembaban tanah hingga mencapai titik jenuh, sehingga mKBDI pada kondisi minimum (0). Sebaliknya, periode kering dan panas berkepanjangan menciptakan kondisi yang kondusif untuk mKBDI menacpai nilai maksimum. Level muka air tanah berpengaruh pada nilai mKBDI, muka air tanah dangkal menurunkan nilai indeks melalui proses kapiler pembasahan lapisan atas.

(8)

3.5. Klasifikasi wilayah

Berdasarkan informasi dan analisis dari data pengamatan lapang, klasisfikasi wilayah berdasarkan karakteristik wilayah perlu dilakukan. Analisis ini menggunakan pendekatan umum klasifikasi wilayah dengan menggunakan validasi dari hasil pengamatan lapang. 3.6. Analisis citra multisumber

Analisis data yang diperoleh dari data citra digunakan untuk mengestimasi korelasi antara informasi yang diperoleh dari data citra dengan informasi pengamatan lapangan. Analisis dilakuknan terhadap sumber data citra yang berbeda. Analisis dilakukan pada masing-masing data citra secara mandiri dan/atau penggabungan data dari sumber yang berbeda. Metode korelasi dan PCA serta metode lain yang relevan akan digunakan utnuk mendapatkan hasil yang optimum dari sumberdata citra dan pengamatan di lapangan 3.7. Penyusunan model estimasi lengas tanah skala tinggi

Hasil yang diperoleh dari analisis data citra pada multi sumber tersebut akan menghasilkan algoritma pendugaan lengas tanah berbdasarkan data citra satelit. Algoritma yang diperoleh tersebut kemudian digunakan untuk mengususn peta kelebaban tanah resolusi tinggi khususnya pada wilayah lahan gambut. Peta ini dibuat pada wilayah yang memiliki data pengamatan dan atau pada wilayah-wilayah yang belum memiliki data pengamatan.

3.8. Kalibrasi dan validasi

Untuk meningkatkan akurasi dari pendugaan lengas tanah secara spasial dan juga temporal, proses kalibrasi dan validasi dilakukan. Proses kalibrasi dilakukan bersamaan dengan penyusunan pendekatan pendugaan lengas tanah, sedangkan validasi dilakukan setelah terbentuknya peta lengas tanah gambut pada lokasi-lokasi yang ada atau tidak alat pengamatan. Untuk wilayah yang tidak memiliki alat pengamatan, maka pengamatan langsung ke lapangan merupakan pendekatan yang umum dilakukan.

3.8. Estimasi Lengas Tanah menggunakan Satelit SMAP

SMAP merupakan satelit yang diluncurkan NASA dengan roket tak berawak Delta II 7320-10C pada tanggal 31 Januari 2015. Satelit ini dirancang khusus untuk mengamati kelembaban tanah di bumi. Data SMAP secara umum dipakai untuk prakiraan cuaca,

(9)

pemantauan kekeringan, prakiraan banjir serta prakiraan panen. SMAP mengorbit pada ketinggian 685 km dengan system koordinat dekat-kutub (near-polar) dan bidang orbit sinkron matahari (sun-synchronous). Waktu pengamatan 2 kali dalam sehari yaitu pada pukul 6 pagi dan 6 sore dengan waktu pengulangan tepat 8 hari dengan tipe polar circular. Detil spesifikasi SMAP adalah sebagai berikut:

Perioda Orbit 98.5 menit

Ukuran antena 6 m

Radar frekuensi 1.26 GHz

Radar real-aperture footprint 29 km x 35 km

Radar ground resolution 1 -3 km

Frekuensi radiometer 1.41 GHz

Radiometer footprint 39 km x 47 km

Radiometer ground resolution 30 km

Metode pengamatan yang ditawarkan oleh satelit SMAP lebih baik dari pada metode yang digunakan pada satelit terdahulu yang tidak dapat mencapai penetrasi tanah atau resolusi yang lebih rendah dari SMAP. Bentuk lain dari pengamatan tanah yang digunakan untuk pengukuran kelembaban sebelum peluncuran sistem SMAP adalah dengan pengukuran titik sehingga tidak dapat diandalkan dan tentu saja sangat sulit untuk mendapatkan pembacaan yang akurat di area yang luas. SMAP di sisi lain juga melakukan pengamatan dalam skala global dan mampu memetakan seluruh planet bumi sekali setiap dua hingga tiga hari. Sehubungan menggunakan radar band dan radiometer L-band, SMAP dapat memindai hingga kedalaman tanah 2 inchi (5 cm) dengan resolusi spasial sekitar 30 km. Diharapkan dengan diluncurkannya SMAP, informasi yang dikumpulkan satelit selama periode operasional dapat digunakan oleh berbagai sektor untuk lebih memahami proses yang berhubungan dengan siklus air, energi dan karbon dan memungkinkan untuk membuat model cuaca dan iklim yang lebih akurat.

(10)

4. Hasil Penelitian

Kegiatan penelitian telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Hasil yang telah dicapai diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil akhir kegiatan penelitian berdasarkan tujuan yang direncanakan

No Tujuan Hasil studi

1 Analisis hubungan tinggi muka air dan lengas tanah gambut, serta korelasi spasial dan temporal antara

pengamatan lapang dengan data citra untuk wilayah gambut tropis

• Update pemodelan

kekeringan-kerentanan gambut dengan data dari KHG S. Batanghari-S. Air Hitam Laut (BRG.6) (Bagian 4.2 dan Lampiran 1)

• Diseminasi hasil penelitian (Lampiran 2) • Model hubungan kelembaban tanah

dengan citra satelit untuk deteksi

kekeringan wilayah KHG S. PungurBesar-S. Kapuas (Lampiran 3)

2 Pemetaan estimasi lengas tanah gambut menggunakan citra satelit resolusi tinggi

Informasi Spasial Lengas Tanah dari Sentinel-1 dan citra SMAP (Bagian 4.3)

3 Kalibrasi dan validasi peta berbasis satelit dengan data lapang untuk meningkatkan akurasi dan aplikasi peta

Kalibrasi model telah menggunakan data pengamatan KAT dari stasiun BRG (Bagian 4.3.1) dan validasi informasi spasial

kerentanan kebakaran Gambut berdasar kunjungan lapang (Bagian 4.4)

4 Integrasi hasil penelitian dengan Sistem Pemantauan Lahan Gambut (SIPALAGA)

Pemantauan Kerawanan Kebakaran Lahan Gambut Berbasis modified-KBDI (Bagian 4.4)

4.1. Kegiatan Pengamatan Lapang

Pengamatan lapang dilakukan sebanyak satu kali yaitu pada musim kering, pada tanggal 26-28 Agustus 2019 di enam lokasi berbeda (4 lokasi merupakan stasiun BRG, Gambar 2). Dalam kegiatan tersebut dilakukan pengambilan contoh tanah gambut untuk analisis sifat

(11)

fisik tanah. Pada setiap lokasi dilakukan sampling tanah sebanyak 3 ulangan untuk kedalaman <30 cm dan >40 cm. Tanah contoh kemudian disimpan dalam ring sample untuk dibawa ke Bogor dan dianalisis di Balai Penelitian Tanah. Data yang diukur pada tiap lokasi meliputi: (a) kelembaban tanah pada kedalaman 10, 20, 40, 60 cm, (b) suhu dan pH tanah, (c) kelembaban relatif, kandungan gas CO2 dari udara ambien. Gambar 2

menunjukkan titik lokasi yang dikunjungi. Dokumentasi kegiatan lapang pada tanggal 26-28 Agustus 2019 disajikan pada Lampiran 4.

Wilayah orientasi survey di fokuskan pada wilayah-wilayah yang bergambut dengan variasi kedalam yang berbeda disetiap lokasi. Disamping itu juga variasi pemilihan lokasi diarahkan pada perbedaan tutupan lahan atau vegetasi dominan pada setiap lokasi yang diuraikan sebagai berikut.

Lokasi-01: Merupakan wilayah perkebunan kelapa sawit. Tanaman didominasi oleh kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dengan umur diperkirakan berusia 5-7 tahun dengan ketinggian pohon rata-rata berkisar 2-3 m dan jarak antara pohon berkisar 5-8 m.

Lokasi-02: Merupakan wilayah hutan lahan gambut (HLG) Sungai Buluh yang didominasi dengan vegetasi tanaman keras dan tinggi dengan ketinggian pohon 5-10 m. Beberapa jenis pohon yang dijumpai diantaranya phon meranti (Shorea spp). Pohon meranti memiliki bentuk batang bulat silindris, dengan tinggi total mencapai 40-50 m. Kulit kayu rata atau beralur dalam

atau dangkal, berwarna keabu-abuan sampai coklat. Kayu

Meranti merupakan salah satu jenis pohon khas daerah tropis yang cukup terkenal. Dan pohon ini juga termasuk salah satu jenis pohon komersial yang banyak peminatnya. Pohon yain yang dijumapia adalah arang-arang (Diospyros macrophylla Bl). Bentuk batang silindris dengan permukaan kulit beralur, Kulit hitam beralur dangkal. Bergetah merah. Mirip dengan pohon biawak, bedanya daun bagian bawah arang-arang agak kekuningan dan berbulu, sedangkan Biawak agak hijau dan mulus. Pohon sedang dengan tinggi mencapai 45 m dan diameter mencapai 70 cm. Daunnya berbentuk ovate hingga oblong-lanceolate. Berat jenis kayunya berkisar 440-750 kg/m3 (Lemmens et al, 1995). Pohon lainnya adalah Mahang Putih

(Macaranga pruinosa Muell Arg). Bentuk batang silindris dengan permukaan kulit mulus bergelang, Kulit halus berwarna cerah keputihan. Kayu berwarna putih. Bergetah bening dan berlendir. Daun memiliki 3 lobus. Berat jenis batangnya berkisar 270-590 kg/m3 (Sosef et al,1998). Terdapat pula pohon

(12)

Beringin (Diospyros laevigata Bakh). Bentuk batang silindris dengan permukaan kulit mulus, bergelang, Kayu keras. Kulit agak halus warna hitam.

meranti mahang arang-arang beringin

Lokasi-03: Merupakan wilayah bekas terbakar yang diperkirakan sebagai alih fungsi untuk tanaman kelapa sawit. Dijumpai beberapa tanaman kelapa sawi yang masih muda yang diperkirakan masih berumur kurang dari satu tahun dengan ketinggian pohon rata-rata berkisar 1 m. Wilayah ini didoninasi oleh tumbuhan pionir berupa alang-alang (Imperata cylindrica), paku-pakuan (Neprolepis hirsutula) dan kelompok semak yaitu senduduk (Melastoma malabathricum).

Lokasi-04: Merupakan wilayah yang masih dalam mkondisi terbakar. Diperkirakan wilayah ini sebelumnya merupakan wilayah perkebunan buah naga (Hylocereus udatus), pohon pinang (Areca catechu L) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dengan umur yang masih muda. Meskipun nyala api sudah tidak dijumpai lagi, namun asap dan bara api masih banyak dijumpai. Asap dijumpai banyak keluar dari bongkahan-bongkahan tanah gambut yang diperkirakan didalamnya masih mengandung bara api.

Lokasi-05 : Merupakan kebun rakyat yang ditumbuhi oleh tanaman campuran yang terdiri dari pohon Jelutung atau jelutong (Dyera costulata, syn. D. laxiflora) adalah spesies pohon dari subfamilia oleander. Pohon ini dapat tumbuh hingga 60 m dengan diameter sebesar 2 meter. Juga di jumpai pohon Ramin (Gonystylus bancanus). Ramin memiliki batang yang berbentuk bulat. Tinggi batang tumbuhan ini bisa mencapai 40 m hingga 45 meter. Pohon lain yang dijumpai adalah Pohon lainnya adalah Mahang Putih (Macaranga pruinosa Muell Arg). Sementara pada vegetasi dasar banyakl dijumpai alang-alang (Imperata cylindrica) dan paku-pakuan (Neprolepis hirsutula). Lokasi-06: Merupakan wilayah perkebunan kelapa sawit rakyat. Tanaman didominasi

oleh kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dengan umur diperkirakan berusia lebihdari 10 tahun dengan ketinggian pohon rata-rata berkisar 5-8 m meter

(13)

dan jarak antara pohon berkisar 5 meter. Wilayah ini berdekatan dengan saluran air atau kanal di kedua sisi dengan jarak kurang dari 10 meter.

Gambar 2. Peta lokasi kunjungan lapang ke lahan gambut di Provinsi Jambi tanggal 26-28 Agustus 2019.

4.2. Variabel Hidrometeorologi (Tujuan 1)

4.2.1. Deret-waktu data observasi

Data diperoleh dari pengukuran insitu pada lokasi gambut KHG S. Mendahara-S. Batanghari (stasiun Jambi.1, dan BRG_150607_01), dan KHG S. Batanghari-S. Air Hitam Laut (BRG.6, dan BRG.3) dengan parameter lengas tanah (LT), tinggi muka air (TMA) dan curah hujan (CH). Periode data observasi 8 April 2018-1 September 2019, kecuali stasiun Jambi.1 periode data sejak 10 Januari 2017. Data tersebut memiliki resolusi temporal 10 menit. Deret waktu dari TMA untuk ke empat stasiun disajikan pada Gambar 5.

Secara umum, variasi parameter TMA berada di bawah -0.1 m meskipun pada musim penghujan, kecuali BRG.6 dan Stasiun BRG_150607_01. Stasiun BRG.6 tergenang selama periode 18-27 Desember 2018 dengan TMA maksimum mencapai 0.25m. Hal ini sesuai

(14)

dengan kondisi gambut pada stasiun BRG6 yang masih alami. Sedangkan TMA stasiun BRG_150607_01, pada awal pemasangan (November 2018) hingga bulan Januari 2019 berada di atas pemukaan tanah. Namun, stasiun tersebut mengalami gangguan sehingga tidak merekam data pada periode Februari-Juni 2019. Kemudian, data kembali terekam untuk periode Juli-September 2019 dimana TMA mengalami penurunan dari -0.02 menjadi -0.47 m. Saat tim melakukan kunjungan lapang, terdapat Kawasan terbakar pada jarak sekitar 1.5 km dari stasiun BRG_150607_01.

Gambar 5. Deret waktu TMA di stasiun pengamatan sesame Provinsi Jambi yang dikunjungi pada 26-28 Agustus 2019. Interval hasil pengukuran disajikan dalam satuan hari.

Seluruh stasiun sesame memiliki pola variasi TMA yang mirip. Pada periode bulan kering (Juli-Agustus), nilai TMA pada kelima stasiun mengalami penurunan yang masif dan mencapai titik terendah tiap tahun pada akhir bulan Agustus. Wilayah stasiun BRG.3 memiliki nilai TMA paling rendah dibandingkan dengan stasiun lain pada periode pengamatan yang sama. Stasiun BRG 3 terletak pada kawasan kebun sawit rakyat, dan berada pada jarak 10 m dari kanal. Hal ini diduga sangat berpengaruh pada kedalaman TMA yang terukur pada sensor stasiun BRG.

Kondisi lengas tanah menunjukkan tingkat kebasahan gambut. Alat sesame mengukur kelengasan tanah pada kedalaman 0-10 cm. Kelima stasiun menunjukkan pola variasi LT yang mirip, Secara umum gambut lapisan atas berada dalam kondisi basah pada periode

(15)

hujan, dan kelengasan turun pada periode musim kering. Pada akhir bulan Agustus, kelengasan tanah pada keempat stasiun mencapai titik terendah.

Untuk stasiun BRG.3, kondisi lengas tanah teridentifikasi paling rendah dibandingkan dengan stasiun lain pada periode pengamatan yang sama. Sejak pertengahan bulan September, sensor perekaman data lengas tanah diduga mengalami eror sehingga menampilkan data yang sangat rendah. Untuk stasiun BRG.6, kondisi lengas tanah mengalami peningkatan signifikan (dari kisaran 70% menjadi 100%) selama periode 16 Desember 2018-2 Januari 2019. Pada pertengahan bulan Oktober, sensor diduga mengalami eror sehingga data yang terekam sangat berfluktuasi. mengaUntuk kelengasan tanah di lokasi BRG_150706_01, mengalami penurunan sejak bulan November 2018 hingga awal September 2019. Penurunan yang signifikan terjadi pada akhir Juli hingga awal Agustus 2019 (72% menjadi 25%). Nilai lengas tanah memiliki korelasi dengan dinamika muka air tanah. Muka air tanah (TMA) yang tinggi cenderung menghasilkan nilai kelengasan tanah yang tinggi juga. Gambar 6 menyajikan dinamika lengas tanah pada lokasi kajian.

Gambar 6. Deret waktu dari parameter lengas tanah (%vol) di tiga stasiun sesame yang dikunjungi pada 26-28 Agustus 2019. Interval pengukuran disajikan dalam satuan hari. Untuk stasiun Jambi.1 tidak terdapat sensor pengukuran lengas tanah.

(16)

Dinamika curah hujan disajikan pada Gambar 7. Lokasi kajian memiliki dua puncak musim hujan yaitu bulan Februari-April dan Oktober-Desember. Pada bulan tersebut curah hujan sangat tinggi hingga mencapai 100mm/hari seperti yang terjadi pada stasiun BRG.3 (120mm, 11 November 2018), dan Jambi.1 (130 mm, 12 November 2018; 104 mm, 19&26 April 2019). Curah hujan terendah terjadi pada sekitar bulan Juli-Agustus. Untuk stasiun Jambi.1, sensor curah hujan diduga mengalami eror pada periode Oktober 2017-Oktober 2018.

Gambar 7. Deret waktu dari parameter curah hujan di empat stasiun sesame yang dikunjungi pada 26-28 Agustus 2019. Curah hujan diukur dalam satuan millimeter, dengan interval pengukuran disajikan dalam satuan hari.

4.2.2. Hubungan data hidrometeorologi

Secara umum terdapat korelasi yang positif dan linier antara lengas tanah dengan tinggi muka air lahan gambut dengan koefisien korelasi > 0.7. Dengan fakta ini, parameter lengas tanah dapat digunakan untuk mengestimasi tinggi muka air. Hubungan antara lengas tanah (Y) dengan prediktor tinggi muka air tanah (X) disajikan pada Gambar 8.

(17)

Gambar 8. Korelasi antara lengas tanah (dalam % vv) dan tinggi muka air lahan gambut (m) untuk stasiun BRG.3, BRG.6, dan BRG_150706_01 (dekat lokasi terbakar). Untuk Stasiun Jambi.1 tidak tersedia data lengas tanah.

4.2.3. Pemodelan kekeringan-kebakaran gambut

Kajian ini menghasilkan formula baru faktor muka air tanah (WTF) untuk pendugaan kebakaran gambut seperti pada Persamaan (7) sebagai hasil modifikasi dari Pers (5) spesifik untuk tanah mineral pada lahan basah. Persamaan tersebut diperoleh berdasarkan parameterisasi menggunakan data stasiun BRG6 (KHG S. Batanghari-S. Air Hitam Laut).

𝑊𝑇𝐹𝑡= 8.62 − 0.1522𝑥[(1 − 𝜃(ℎ)𝑡) ∗ 300] (7)

Pada formula yang baru ini nilai maksimum faktor muka air tanah sebesar 6.30 yang lebih rendah dari nilai pada tanah mineral di Sumatra Selatan (Muh. Taufik et al., 2015). Nilai rentang mKBDI berubah dari 0-203 menjadi 0-300. Nilai 300 setara dengan ketersediaan air (KAT) antara titik jenuh (pF 1) dengan kondisi kapasitas lapang (pF 2.54) yang dapat terdeplesi karena pengaruh evapotranspirasi dan drainase gambut. Nilai KAT=300 berdasarkan data kapasitas lapang tanah gambut hasil analisis sampel tanah gambut di beberapa titik lokasi Kalimantan Barat tahun 2018 dan Jambi 2019.

(18)

Hasil formulasi pemodelan, kemudian kami terapkan pada beberapa stasiun BRG yang kami kunjungi. Pada tiga lokasi titik stasiun di KHG S. Batanghari-S. Air Hitam Laut dan KHG S.Mendahara-S. Batanghari, nilai indeks mKBDI bervariasi dari 0 hingga 300 pada periode April 2018-Juni 2019 (Gambar 9). Nilai indeks bervariasi yang lebih dipengaruhi oleh curah hujan dan kedalaman muka air tanah (groundwater levels). Nilai mKBDI yang tinggi (>200) terjadi pada puncak musim kemarau di bulan Agustus akibat curah hujan yang rendah pada bulan Juli (< 100mm/bulan). Nilai hujan yang rendah berkepanjangan tersebut sangat potensial untuk menyebabkan kekeringan.

Gambar 9. Dinamika indeks mKBDI untuk lahan gambut di Stasiun BRG.3, BRG.6, (KHG S. Batanghari-S. Air Hitam Laut) dan Jambi1 (KHG S.Mendahara-S. Batanghari).

4.3. Pemetaan Estimasi Lengas Tanah Gambut (Tujuan 2)

4.3.1. Estimasi Lengas Tanah dengan Citra Sentinel-1

Untuk membangun model estimasi lengas tanah gambut spasial, kami menggunakan data observasi lengas tanah (KAT = Kadar Air Tanah) dari 42 stasiun sesame BRG. Data tersebut memiliki interval waktu perekaman 10 menit, sehingga Kami konversi menjadi data harian. Kemudian, Kami melakukan eliminasi terhadap data lengas tanah yang tidak stabil, dan eror (contoh: lengas tanah bernilai minus, lengas tanah lebih dari 500%, GWL yang bernilai > 0 dan GWL < -2 m). Dari data harian lengas tanah, Kami menyaring data tersebut sesuai dengan tanggal perekaman citra satelit Landsat 8, Sentinel-2, dan Sentinel-1.

(19)

Model estimasi lengas tanah dibangun dari hubungan antara lengas tanah observasi dengan parameter Normalize Difference Polarization Index (NDPI). NDPI merupakan indeks yang diturunkan dari dual polarisasi data citra satelit Sentinel-1, yaitu backscatter (hambur balik) VV dan VH (Persamaan 8). Hambur balik VV lebih sensitif terhadap kondisi perubahan kebasahan permukaan obyek. Sedangkan hambur balik VH lebih sensistif terhadap kondisi kekasaran permukaan tajuk tanam. Gabungan kondisi kebasahan dan kekasaran tajuk tanaman yang ada di atas lahan gambut mempengaruhi kondisi kelengasan lahan di bawahnya (perubahan dielektrik obyek). Oleh karena itu penggunaan Indeks NDPI digunakan langsung untuk menduga lengas tanah, tidak seperti metode dubois yang tidak langsung dapat menduga lengas tanah. Hasil kalibrasi model estimasi lengas tanah dari parameter NDPI disajikan pada Gambar 10.

𝑁𝐷𝑃𝐼 = (𝑉𝑉 − 𝑉𝐻)/(𝑉𝑉 + 𝑉𝐻) (8)

Gambar 10. Korelasi antara lengas tanah (soil misture, SM dalam %-vol) dengan parameter NDPI SAR dari citra Sentinel-1.

Berdasarkan Gambar 10 menunjukkan bahwa kenaikan KAT menyebabkan kenaikan NDPI secara signifikan. Nilai ambang NDPI sekitar 0.4 menunjukkan kondisi KAT yg agak kering (< 30 %), sedangkan nilai ambang NDP sekitar 0.575 menunjukkan KAT yang tinggi (>

(20)

100 %). Hasil pengukuran di stasiun ada nilai KAT sangat rendah untuk lahan gambut sekitar 20 %.

Berdasarkan model estimasi lengas tanah, kami melakukan ekstrapolasi nilai lengas tanah 10 harian. Kami menyajikan hasil ekstrapolasi nilai lengas tanah untuk wilayah KHG Jambi periode dasarian 3 bulan Juli 2019 pada Gambar 11. Hasil ekstrapolasi untuk wilayah Riau periode dasarian 1-3 Mei 2019, dan Jambi periode dasarian 1-3 bulan Agustus 2019 kami sajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan Gambar 11, pada periode awal Agustus, kondisi lengas tanah wilayah KHG Jambi sebagian besar termasuk pada kategori basah (>91%). Kawasan HLG Sungai Buluh memiliki nilai lengas tanah berkisar 121-130%.

Gambar 11. Estimasi soil moisture di KHG Jambi pada dasarian 3 bulan Juli 2019

4.3.2. Estimasi Lengas Tanah menggunakan Citra SMAP

Citra satelit Soil-Moisture Active Passive (SMAP) memiliki resolusi yang lebih rendah dari Sentinel-1. Hasil estimasi nilai lengas tanah wilayah Provinsi Jambi periode dasarian 1-3 pada pengukuran jam 6 pagi dan jam 6 sore selama bulan Agustus 2019 kami sajikan pada Lampiran 6. Sebaran nilai lengas tanah di Provinsi Jambi pada dasarian 1 bulan Agustus 2019 pengukuran jam 6 pagi (Gambar 12) menunjukkan bahwa wilayah dekat pesisir memiliki nilai lengas tanah yang tinggi, mencapai 0.8 m3/m-3. Hal ini sesuai dengan

(21)

penurunan pada area kota Jambi, berkisar 0.05-0.2 m3/m-3. Selain itu, pada wilayah Taman

Nasional Bukit Dua Belas teridentifikasi memiliki nilai lengas tanah berkisar 0.3-0.4 m3/m -3.

Gambar 12. Peta sebaran kelembaban tanah dasarian bulan awal Agustus 2019 dari data SMAP dengan waktu pengamatan pukul 6.00 AM

4.4. Pemetaan Kerentanan Kebakaran Gambut (Tujuan 3)

Identifikasi lokasi rawan terbakar dilakukan berdasarkan pada data indeks kekeringan mKBDI dengan dan data spasial kadar air tanah yang diturunkan dari data citra Sentinel-1 melalui persamaan NDPI. Klasifikasi status kerentanan kebakaran lahan gambut disajikan pada Tabel 3. Gambar 19 menunjukkan hasil pemetaan kerentanan kebakaran untuk dasarian 1, dasarian 2 dan dasarian 3 bulan Agustus 2019, di Jambi, berdasarkan KAT (soil moisture) yang diperoleh pada Gambar 16-18.

(22)

Dari hasil pemetaan tersebut, scara umum selama bulan Agustus 2019, kerentanan kebakaran lahan gambut daerah Jambi dari periode tanggal 1-10, 11-20 dan 21-30 Agustus tidak banyak mengalami perubahan. Selama bulan Agustus, beberapa spot wilayah yang sama teridentifikasi bahaya terhadap kebakaran hutan, yaitu di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat.

Gambar 19. Kerentanan Kebakaran Lahan Gambut berbasis KHG di Provinsi Jambi, pada (a) dasarian 1, (b) dasarian 2, dan (c) dasarian 3 bulan Agustus 2019

(23)

4.5. Integrasi SIPALAGA: Pemantauan Kerawanan Kebakaran Lahan Gambut Berbasis modified-KBDI (Tujuan 4)

Pengembangan aplikasi Kerawanan Kebakaran Lahan Gambut berbasis Keetch–Byram Drought Index (KBDI) yang dimodifikasi untuk menyesuaikan kondisi gambut yang ada menjadi modified KBDI (mKBDI) menggunakan pendekatan Sistem Informai Geografis. Sistem Informasi Geografi (SIG) memiliki kemampuan untuk melakukan pengolahan data dan melakukan operasi-operasi tertentu dengan menampilkan dan menganalisa data. Informasi yang diperoleh dari suatu proses analisis SIG selanjutnya dapat menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan di lapangan.

Aplikasi pemetaan pada aplikasi ini dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan Thin Client dimana hampir semua proses dan analis data dilakukan berdasarkan request di sisi server. Kelemahan utama pendekatan ini menyangkut keterbatasan opsi interaksi dengan user yang kurang fleksibel. (2) Pendekatan Thick Client dimana pemrosesan data dilakukan menggunakan beberapa teknologi seperti control activex atau applet. (3) Pendekatan Teknologi Data Warehouse dan Business Intelligence dimana data warehouse erat kaitannya dengan data-data yang besar dan beragam dan disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan user dalam melakukan pencarian dan analisa data. Business Intelligence adalah suatu teknologi yang digunakan untuk menyajikan data-data tersebut sehingga memudahkan analisa dan pengambilan keputusan berdasakan informasi yang akurat dari sumber data.

Monitoring tinggi muka air lahan (TMA) gambut merupakan dasar pengelolaan gambut baik untuk tujuan budidaya ataupun restorasi. Sehingga pemetaan TMA penting untuk dilakukan. Akan tetapi, belum ada teknologi pemetaan TMA lahan gambut secara langsung, maka harus dilakukan aproksimasi berdasarkan adanya relasi empirik antara kelembaban gambut dengan TMA. Data satelit yang akan digunakan dalam aplikasi ini adalah Soil Moisture Active Passive (SMAP) satellite yang dapat mengukur kandungan air sekitar 5cm di permukaan Bumi.

WRF Preprocessing System (WPS)

Fungsi Weather Research and Forecasting (WRF) yaitu untuk meningkakan akurasi spatial maka digunakan model numerik sedangkan fungsi WPS yaitu untuk mendefinisikan domain simulasi, interpolasi data terrestial (hamparan, penggunaan lahan dan tipe tipe tanah) untuk mensimulasikan domain, untuk degribbing dan untuk interpolasi data meteorologi dari model lain untuk simulasi.

(24)

Data-data yang digunakan mempunyai sistem koordinat yang sama dengan Google Earth yaitu World Geodetic System 1984 (WGS-84) sehingga proyeksi peta pada Google Maps menggunakan proyeksi Mercator. Aplikasi ini dapat menyajikan dan melakukan kalkukasi spasial pada parameter ground water level (GWL), soil moisture, rainfall dan temperature tanah yang disajikan dalam bentuk sebaran spasial di peta dan hasil kalkulasi dalam bentuk grafik garis dan batang. Aplikasi ini dapat digunakan dengan berbagai pilihan tipe tampilan peta dasar, missal tipe Style (Gambar 20). Untuk pilihan tipe tampilan lain dan contoh tampilan grafik dari ketiga parameter kami sajikan pada Lampiran 7.

Gambar 20. Contoh tampilan SIPALAGA menggunkan tipe Style. Titik merah, kuning, dan hijau merupakan indikator bahaya kebakaran berdasarkan tinggi muka air. Warna merah berarti bahaya, kuning waspada, dan hijau aman.

Jenis Data dan Struktur Database

Jenis data dan informasi yang dikelola berupa data dalam berbentuk data asimilasi citra satelit, data vektor peta dasar dan peta rupa bumi, dokumen cetak, dan dokumentasi model yang digunakan. Struktur database diketahui dalam bentuk kumpulan bit dan direkam dengan basis track dalam media penyimpanan eksternal. Struktur database disusun dalam struktur hierarkis, jaringan, dan relasional.

(25)

Pusat data elektronik berbasis GIS merupakan sebuah media yang mencakup sistem pengambilan data, pengolahan data dan penyimpanan data citra satelit. Aplikasi pusat data merupakan aplikasi berbasis internet (web based) yang memegang peranan penting agar aplikasi pusat data dapat berjalan dengan optimal. Untuk memenuhi kebutuhan pengguna, maka perlu diukur beban kerja dari infrastruktur serta kapasitas yang ada.

Hirarki Pengguna Informasi

Adapun hirarki pengguna aplikasi pusat data terdiri atas administrator sistem, client/user/operator pengguna, eksternal pengguna dan eksekutif pengguna.

Komponen Sistem

Dalam pembangunan sistem kerawanan kebakaran lahan gambut ini melibatkan s sembilan komponen, yaitu: (1) Komponen komunikasi, berfungsi untuk menfasilitasi komunikasi aktif baik antara pengguna dengan pengelola, maupun antar sesama pengguna. (2) Komponen browser, berfungsi menampilkan dan melakukan interaksi dengan dokumen-dokumen yang disediakan oleh server web. (3) Komponen sindikasi, yaitu format data yang telah disepakati dalam melakukan pertukaran data atau informasi dari sebuah website ke website lainnya. Jenis sindikasi yang diterapkan dalam pengembangan aplikasi ini yaitu sindikasi berbasis berita (RSS, Atom) dan sindikasi berbasis ruang (Geocross, KML, KMZ). (4) Komponen bahasa pemrograman, berfungsi untuk mengakomodasi segala macam kebutuhan sistem dalam hal proses analisis, menampilkan informasi dan proses interaksi antara sistem dengan pengguna. Bahasa pemrograman tersebut diantaranya PHP, Javascrpt, HTML serta dalam penerapannya menggunakan AJAX dan JQUERY. (5) Komponen tematik data, merupakan bagian utama dari sistem yang berisi data atau informasi yang akan dipublikasikan ke pengguna melalui aplikasi berbasis web dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi (SIG). (6) Format data, merupakan bentuk visual data atau informasi yang akan di tampilkan di website untuk menjaga kenyamanan pengguna dalam membaca atau mencerna informasi yang ditampilkan. (7) Komponen database, yaitu koleksi dari data-data yang saling berhubungan, dan perangkat lunaknya seharusnya mengacu sebagai sistem manajemen basis data (database management system/DBMS). (8) Content Management System (CMS) dan Panduan, adalah sebuah sistem yang memberikan kemudahan kepada para penggunanya khususnya administrator web dalam mengelola dan merubah isi sebuah website. (9) Domain dan Web Hosting, yaitu salah satu bentuk layanan jasa penyewaan

(26)

tempat di Internet yang memungkinkan perorangan ataupun organisasi menampilkan layanan jasa atau produknya di web /situs internet.

5. Kesimpulan

Tinggi muka air dan lengas tanah gambut merupakan faktor hidrometeorologi yang sangat penting untuk identifikasi tingkat kekeringan lahan gambut. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa tinggi muka air memiliki korelasi positif yang kuat dengan lengas tanah gambut. Saat ini, informasi spasial mengenai lengas tanah sangat diperlukan untuk mengidentifikasi potensi wilayah kekeringan. Penelitian ini mendapatkan informasi yang sangat berharga tentang penggunaan data citra satelit resolusi tinggi untuk menduga nilai lengas tanah secara spasial.

Pada penelitian ini, data citra resolusi tinggi yang digunakan untuk membangun estimasi spasial lengas tanah diperoleh secara gratis (open source). Data citra satelit kemudian diturunkan menjadi sebuah nilai indeks menggunakan teknik normalisasi. Hasil kalibrasi model antara indeks dari citra spasial dengan data nilai lengas tanah pada 40 titik pengamatan BRG selama periode 2018-2019 menunjukkan performa model yang sangat memuaskan.

Temuan lain pada penelitian ini adalah hasil klasifikasi tingkat kerawanan kebakaran lahan gambut berdasarkan indeks kekeringan mKBDI, tinggi muka air tanah, dan lengas tanah gambut. Penerapan klasifikasi tersebut pada data lengas tanah spasial menunjukkan hasil yang cukup relevan dengan kondisi lapang.

6. Daftar Pustaka

Ahmad, S., Kalra, A., Stephen, H., 2010. Estimating soil moisture using remote sensing data: A machine learning approach. Adv. Water Resour. 33, 69–80. https://doi.org/10.1016/j.advwatres.2009.10.008

Bai, J., Yu, Y., Di, L., 2017. Comparison between TVDI and CWSI for drought monitoring in

the Guanzhong Plain, China. J. Integr. Agric. 16, 389–397.

https://doi.org/10.1016/S2095-3119(15)61302-8

Berglund, Ö., Berglund, K., 2011. Influence of water table level and soil properties on emissions of greenhouse gases from cultivated peat soil. Soil Biol. Biochem. 43, 923–931. https://doi.org/10.1016/j.soilbio.2011.01.002

Carmenta, R., Zabala, A., Daeli, W., Phelps, J., 2017. Perceptions across scales of governance and the Indonesian peatland fires. Glob. Environ. Change 46, 50–59. https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2017.08.001

(27)

Chelli, S., Maponi, P., Campetella, G., Monteverde, P., Foglia, M., Paris, E., Lolis, A., Panagopoulos, T., 2015. Adaptation of the Canadian Fire Weather Index to

Mediterranean forests. Nat. Hazards 75, 1795–1810.

https://doi.org/10.1007/s11069-014-1397-8

Cheng-lin, L., Jian-jun, W., 2008. Crop Drought Monitoring using MODIS NDDI over Mid-Territory of China, in: IGARSS 2008 - 2008 IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium. Presented at the IGARSS 2008 - 2008 IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium, pp. III–883. https://doi.org/10.1109/IGARSS.2008.4779491

Cochrane, M.A., 2003. Fire science for rainforests. Nature 421, 913–919.

Dhandapani, S., Ritz, K., Evers, S., Sjögersten, S., 2019. Environmental impacts as affected by different oil palm cropping systems in tropical peatlands. Agric. Ecosyst. Environ. 276, 8–20. https://doi.org/10.1016/j.agee.2019.02.012

Dimitrakopoulos, A.P., Bemmerzouk, A.M., Mitsopoulos, I.D., 2011. Evaluation of the Canadian fire weather index system in an eastern Mediterranean environment. Meteorol. Appl. 18, 83–93. https://doi.org/10.1002/met.214

Dobriyal, P., Qureshi, A., Badola, R., Hussain, S.A., 2012. A review of the methods available for estimating soil moisture and its implications for water resource management. J. Hydrol. 458–459, 110–117. https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2012.06.021

Engstrom, R., Hope, A., Kwon, H., Stow, D., 2008a. The Relationship Between Soil Moisture

and NDVI Near Barrow, Alaska. Phys. Geogr. 29, 38–53.

https://doi.org/10.2747/0272-3646.29.1.38

Engstrom, R., Hope, A., Kwon, H., Stow, D., 2008b. The Relationship Between Soil Moisture

and NDVI Near Barrow, Alaska. Phys. Geogr. 29, 38–53.

https://doi.org/10.2747/0272-3646.29.1.38

Evers, S., Yule, C.M., Padfield, R., O’Reilly, P., Varkkey, H., 2017. Keep wetlands wet: the myth of sustainable development of tropical peatlands - implications for policies

and management. Glob. Change Biol. 23, 534–549.

https://doi.org/10.1111/gcb.13422

Gao, B., 1996. NDWI—A normalized difference water index for remote sensing of vegetation liquid water from space. Remote Sens. Environ. 58, 257–266. https://doi.org/10.1016/S0034-4257(96)00067-3

García, M.J.L., Caselles, V., 1991. Mapping burns and natural reforestation using thematic Mapper data. Geocarto Int. 6, 31–37. https://doi.org/10.1080/10106049109354290 Garcia-Prats, A., Antonio, D.C., Tarcísio, F.J.G., Antonio, M.J., 2015. Development of a Keetch and Byram—Based drought index sensitive to forest management in

Mediterranean conditions. Agric. For. Meteorol. 205, 40–50.

https://doi.org/10.1016/j.agrformet.2015.02.009

Gaveau, D.L.A., Salim, M.A., Hergoualc’h, K., Locatelli, B., Sloan, S., Wooster, M., Marlier, M.E., Molidena, E., Yaen, H., DeFries, R., Verchot, L., Murdiyarso, D., Nasi, R.,

(28)

Holmgren, P., Sheil, D., 2014. Major atmospheric emissions from peat fires in Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013 Sumatran fires. Sci. Rep. 4, 6112.

Groot, W.J. de, Field, R.D., Brady, M.A., Roswintiarti, O., Mohamad, M., 2006. Development of the Indonesian and Malaysian Fire Danger Rating Systems. Mitig. Adapt. Strateg. Glob. Change 12, 165–180. https://doi.org/10.1007/s11027-006-9043-8

Gu, Y., Brown, J.F., Verdin, J.P., Wardlow, B., 2007. A five-year analysis of MODIS NDVI and NDWI for grassland drought assessment over the central Great Plains of the United States. Geophys. Res. Lett. 34. https://doi.org/10.1029/2006GL029127

Haubrock, S. ‐N., Chabrillat, S., Lemmnitz, C., Kaufmann, H., 2008. Surface soil moisture quantification models from reflectance data under field conditions. Int. J. Remote Sens. 29, 3–29. https://doi.org/10.1080/01431160701294695

Hokanson, K.J., Lukenbach, M.C., Devito, K.J., Kettridge, N., Petrone, R.M., Waddington, J.M., 2016. Groundwater connectivity controls peat burn severity in the boreal plains: Groundwater Controls Peat Burn Severity. Ecohydrology 9, 574–584. https://doi.org/10.1002/eco.1657

Huete, A., Justice, C., Van Leeuwen, W., 1999. MODIS vegetation index (MOD13).

Huete, A.R., 1988. A soil-adjusted vegetation index (SAVI). Remote Sens. Environ. 25, 295– 309. https://doi.org/10.1016/0034-4257(88)90106-X

Huijnen, V., Wooster, M.J., Kaiser, J.W., Gaveau, D.L.A., Flemming, J., Parrington, M., Inness, A., Murdiyarso, D., Main, B., van Weele, M., 2016. Fire carbon emissions over maritime southeast Asia in 2015 largest since 1997. Sci. Rep. 6, 26886. https://doi.org/10.1038/srep26886

Jaenicke, J., Englhart, S., Siegert, F., 2011. Monitoring the effect of restoration measures in Indonesian peatlands by radar satellite imagery. J. Environ. Manage. 92, 630–638. https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2010.09.029

Keetch, J.J., Byram, G., 1968. A drought index for forest fire control (No. Res. Paper SE-38). U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Southeastern Forest Experiment Station, Asheville, NC.

Kettridge, N., Turetsky, M.R., Sherwood, J.H., Thompson, D.K., Miller, C.A., Benscoter, B.W., Flannigan, M.D., Wotton, B.M., Waddington, J.M., 2015. Moderate drop in water table increases peatland vulnerability to post-fire regime shift. Sci. Rep. 5, 8063. https://doi.org/10.1038/srep08063

Konecny, K., Ballhorn, U., Navratil, P., Jubanski, J., Page, S.E., Tansey, K., Hooijer, A., Vernimmen, R., Siegert, F., 2016. Variable carbon losses from recurrent fires in

drained tropical peatlands. Glob. Change Biol. 22, 1469–1480.

https://doi.org/10.1111/gcb.13186

Lillesand, T.M.., Kiefer, R.W.., 2000. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley & Sons.

(29)

Mallick, J., Singh, C.K., Shashtri, S., Rahman, A., Mukherjee, S., 2012. Land surface emissivity retrieval based on moisture index from LANDSAT TM satellite data over heterogeneous surfaces of Delhi city. Int. J. Appl. Earth Obs. Geoinformation 19, 348–358. https://doi.org/10.1016/j.jag.2012.06.002

Marlier, M.E., DeFries, R.S., Voulgarakis, A., Kinney, P.L., Randerson, J.T., Shindell, D.T., Chen, Y., Faluvegi, G., 2013. El Nino and health risks from landscape fire emissions in

southeast Asia. Nat. Clim. Change 3, 131–136.

https://doi.org/10.1038/nclimate1658

Minasny, B., Malone, B.P., McBratney, A.B., Angers, D.A., Arrouays, D., Chambers, A., Chaplot, V., Chen, Z.-S., Cheng, K., Das, B.S., Field, D.J., Gimona, A., Hedley, C.B., Hong, S.Y., Mandal, B., Marchant, B.P., Martin, M., McConkey, B.G., Mulder, V.L., O’Rourke, S., Richer-de-Forges, A.C., Odeh, I., Padarian, J., Paustian, K., Pan, G., Poggio, L., Savin, I., Stolbovoy, V., Stockmann, U., Sulaeman, Y., Tsui, C.-C., Vågen, T.-G., van Wesemael, B., Winowiecki, L., 2017. Soil carbon 4 per mille. Geoderma 292, 59–86. https://doi.org/10.1016/j.geoderma.2017.01.002

Ngo Thi, D., Ha, T.N., Tran Dang, Q., Koike, K., Mai Trong, N., 2019a. Effective Band Ratio of Landsat 8 Images Based on VNIR-SWIR Reflectance Spectra of Topsoils for Soil

Moisture Mapping in a Tropical Region. Remote Sens. 11.

https://doi.org/10.3390/rs11060716

Ngo Thi, D., Ha, T.N., Tran Dang, Q., Koike, K., Mai Trong, N., 2019b. Effective Band Ratio of Landsat 8 Images Based on VNIR-SWIR Reflectance Spectra of Topsoils for Soil

Moisture Mapping in a Tropical Region. Remote Sens. 11.

https://doi.org/10.3390/rs11060716

Page, S.E., Rieley, J.O., Banks, C.J., 2011. Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool: TROPICAL PEATLAND CARBON POOL. Glob. Change Biol. 17, 798–818. https://doi.org/10.1111/j.1365-2486.2010.02279.x

Petros, G., Antonis, M., Marianthi, T., 2011. Development of an adapted empirical drought index to the Mediterranean conditions for use in forestry. Agric. For. Meteorol. 151, 241–250. https://doi.org/10.1016/j.agrformet.2010.10.011

Pohl, C., Loong, C., 2016. In-situ data collection for oil palm tree height determination using synthetic aperture radar. Presented at the IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, IOP Publishing, p. 012027.

Qi, J., Chehbouni, A., Huete, A.R., Kerr, Y.H., Sorooshian, S., 1994. A modified soil adjusted

vegetation index. Remote Sens. Environ. 48, 119–126.

https://doi.org/10.1016/0034-4257(94)90134-1

Reardon, J., Curcio, G., Bartlette, R., 2009. Soil moisture dynamics and smoldering combustion limits of pocosin soils in North Carolina, USA. Int. J. Wildland Fire 18, 326. https://doi.org/10.1071/WF08085

(30)

Snyder, R.L., Spano, D., Duce, P., Baldocchi, D., Xu, L., Paw U, K.T., 2006. A fuel dryness index for grassland fire-danger assessment. Agric. For. Meteorol. 139, 1–11. https://doi.org/10.1016/j.agrformet.2006.05.006

Sodhi, N.S., Posa, M.R.C., Lee, T.M., Bickford, D., Koh, L.P., Brook, B.W., 2010. The state and conservation of Southeast Asian biodiversity. Biodivers. Conserv. 19, 317–328. https://doi.org/10.1007/s10531-009-9607-5

Sonobe, R., Tani, H., Wang, X., Fukuda, M., 2008. Estimation of soil moisture for bare soil fields using ALOS/PALSAR HH polarization data. Agric. Inf. Res. 17, 171–177. Sparks, J.C., Masters, R.E., Engle, D.M., Bukenhofer, G.A., 2002. Season of Burn Influences

Fire Behavior and Fuel Consumption in Restored Shortleaf Pine–Grassland Communities. Restor. Ecol. 10, 714–722. https://doi.org/10.1046/j.1526-100X.2002.01052.x

Taufik, M., Setiawan, B.I., Van Lanen, H.A.J., 2019a. Increased fire hazard in

human-modified wetlands in Southeast Asia. Ambio 48, 363–373.

https://doi.org/10.1007/s13280-018-1082-3

Taufik, M., Setiawan, B.I., van Lanen, H.A.J., 2015. Modification of a fire drought index for tropical wetland ecosystems by including water table depth. Agric. For. Meteorol. 203, 1–10. https://doi.org/10.1016/j.agrformet.2014.12.006

Taufik, M., Torfs, P.J.J.F., Uijlenhoet, R., Jones, P.D., Murdiyarso, D., Van Lanen, H.A.J., 2017. Amplification of wildfire area burnt by hydrological drought in the humid tropics. Nat. Clim. Change 7, 428–431. https://doi.org/10.1038/nclimate3280

Taufik, M., Veldhuizen, A.A., Wösten, J.H.M., van Lanen, H.A.J., 2019b. Exploration of the importance of physical properties of Indonesian peatlands to assess critical groundwater table depths, associated drought and fire hazard. Geoderma 347, 160–169. https://doi.org/10.1016/j.geoderma.2019.04.001

Taufik, Muh., Setiawan, B.I., van Lanen, H.A.J., 2015. Modification of a fire drought index for tropical wetland ecosystems by including water table depth. Agric. For. Meteorol. 203, 1–10. https://doi.org/10.1016/j.agrformet.2014.12.006

Topp, G.C., Davis, J.L., Annan, A.P., 1980. Electromagnetic determination of soil water content: Measurements in coaxial transmission lines. Water Resour. Res. 16, 574– 582. https://doi.org/10.1029/WR016i003p00574

Tucker, C.J., 1979. Red and photographic infrared linear combinations for monitoring vegetation. Remote Sens. Environ. 8, 127–150. https://doi.org/10.1016/0034-4257(79)90013-0

Turetsky, M.R., Benscoter, B., Page, S.E., Rein, G., Van der Werf, G.R., Watts, A., 2015a. Global vulnerability of peatlands to fire and carbon loss. Nat. Geosci. 8, 11–14. https://doi.org/10.1038/ngeo2325

Turetsky, M.R., Benscoter, B., Page, S.E., Rein, G., Van der Werf, G.R., Watts, A., 2015b. Global vulnerability of peatlands to fire and carbon loss. Nat. Geosci. 8, 11–14. https://doi.org/10.1038/ngeo2325

(31)

USGS, 2019. Landsat 8 (L8) Data Users Handbook version 4.0.

Van Genuchten, M.Th., 1980a. A closed-form equation for predicting the hydraulic conductivity of unsaturated soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 44(5), 892–898.

Van Genuchten, M.Th., 1980b. A closed-form equation for predicting the hydraulic conductivity of unsaturated soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 44(5), 892–898.

Waddington, J.M., Thompson, D.K., Wotton, M., Quinton, W.L., Flannigan, M.D., Benscoter, B.W., Baisley, S.A., Turetsky, M.R., 2012. Examining the utility of the Canadian Forest Fire Weather Index System in boreal peatlands. Can. J. For. Res. 42, 47–58. https://doi.org/10.1139/x11-162

Wang, L., Qu, J.J., Hao, X., 2008. Forest fire detection using the normalized multi-band drought index (NMDI) with satellite measurements. Agric. For. Meteorol. 148, 1767–1776. https://doi.org/10.1016/j.agrformet.2008.06.005

Weiss, R., Shurpali, N.J., Sallantaus, T., Laiho, R., Laine, J., Alm, J., 2006. Simulation of water table level and peat temperatures in boreal peatlands. Ecol. Model. 192, 441–456. https://doi.org/10.1016/j.ecolmodel.2005.07.016

World Bank, 2016. The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis., Indonesia Sustainable Landscapes Knowledge Note: 1. The World Bank.

Wösten, J.H.M., Clymans, E., Page, S.E., Rieley, J.O., Limin, S.H., 2008. Peat–water interrelationships in a tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena, Hydropedology: Fundamental Issues and Practical Applications 73, 212–224. https://doi.org/10.1016/j.catena.2007.07.010

Yang, Y., Uddstrom, M., Pearce, G., Revell, M., 2015. Reformulation of the Drought Code in the Canadian Fire Weather Index System Implemented in New Zealand. J. Appl. Meteorol. Climatol. 54, 1523–1537. https://doi.org/10.1175/JAMC-D-14-0090.1

(32)

Lampiran

Lampiran 1. Draft Manuscript ‘An improved drought-fire assessment for tropical peatlands’

M. Taufik1*, M. Tri Widyastuti1, I Putu Santikayasa1, A. Sulaiman2, Awaluddin2, D. Murdiyarso1, Haris Gunawan3

1 Department of Geophysics and Meteorology, IPB University

2 Agency for the Assessment and Implementation of Technology (BPPT), Indonesia 3 Peat Restoration Agency (BRG), Indonesia

Abstract

Peatlands transformation in Indonesia have caused immense ecological and environment impacts. This transformation has led to a drought-fire prone peatlands. Public awareness to tackle with this drought-fire in peatlands has risen nowadays including in development of a suitable drought-fire indicator. Current knowledge states that both climate and hydrological importance of drought-fire in tropics, but the important of soil properties in controlling peatland drying remains unclear. In this study, we improved a drought-fire model to be used in tropical peatlands. We tested our model called as modified Keetch-byram drought index in Kuburaya peatland, West Kalimantan Indonesia. In the field, we monitored rainfall, groundwater levels, and soil moisture at 10-minute resolution for 2018. Our results showed that peat-soil properties influence peat drying, by controlling water availability. The model showed a good performance in assessing fire occurrence, as indicated by very high-index occurrence coincided with fire events. Further, our findings revealed that groundwater levels below 50 cm may increase fire susceptibility of transformed peatlands. The findings suggest that development of drought-fire index may help to increase public awareness on peat-fire, and this application may able to minimize the fire susceptibility.

Introduction

Transforming tropical peatlands into other landscapes have influenced fire regimes, carbon and ecology. Draining peatlands have intensified recurrent fires (Konecny et al., 2016), and have influenced fire season (Taufik et al., 2019a). A combine transformation and drainage lead to severe peat degradation, and further degradation will reduce their ecosystem services (Dhandapani et al., 2019; Evers et al., 2017; Taufik et al., 2019b), including enhance biodiversity loss in the region (Evers et al., 2017; Sodhi et al., 2010). Peat fire-prone condition may become an indicator of this degradation as fire rarely observed under pristine condition (Cochrane, 2003). Studies reported that peat fire has immense impacts in this region including economic activities (World Bank, 2016), had pronounced air quality (Gaveau et al., 2014; Marlier et al., 2013) and increased carbon emission (Huijnen et al., 2016). Scientists are challenged to contribute in understanding fire regime related to weather and hydrology, and to develop science-based tools for management purposes that will benefit to society and environment.

(33)

Fire is complex interaction involving weather and fuel. Many indices have been developed to understand this interaction, which rely on weather and climatic variables. One index, which was developed in Florida, America namely Keetch-Byram Drought Index (KBDI) was used to forest fire control purposes. The index is rather simple by depending on weather only (air temperature and precipitation), which make the index is widely used (Petros et al., 2011). Improving the index by considering soil properties (Reardon et al., 2009; Sparks et al., 2002), and climate regime (Petros et al., 2011; M. Taufik et al., 2015) has been proposed to increase its applicability in the fire prediction. More complex index was proposed, which considers fuel moisture and wind, namely Fire Weather Index (FWI) to assess fire risk in Canada. Although has been applied worldwide including in Southeast Asia (Groot et al., 2006) for fire early warning system, concerns on FWI still arise. For example, characteristics of soil properties (Yang et al., 2015) and soil hydrology (Waddington et al., 2012) should be considered to improve its applicability.

Most fire indices rely on climate variables as a proxy for fuel moisture condition. Under different climate and hydrological regimes, their applicability in fire risk prediction needs an improvement. Model parameters that depend on local climate information have been integrated in previous works (Chelli et al., 2015; Dimitrakopoulos et al., 2011; Garcia-Prats et al., 2015; Petros et al., 2011), but there are still limited studies working on the integration of hydrological variables into fire index either in tropics and sub-tropics. Groundwater table is a representative of hydrology that controls dynamics of moisture in the upper layer. In recent studies, many researches have shown that groundwater is a key variable in regulating fire regimes in wetland ecosystem (Taufik et al., 2017, 2019a; Turetsky et al., 2015a). In subtropics, Hokanson et al. (2016) stated that groundwater dynamics controls fire regimes in boreal peatland. Other study indicated that an increased fire frequency was reported due to a change in groundwater table (Kettridge et al., 2015). In humid tropics, understanding the importance of groundwater hydrology for fire was identified since a decade ago. Using a combined satellite images and hydrological model, Wösten et al. (2008) found the importance of groundwater levels on fire susceptibility in Kalimantan peatlands. Massive drainage on peatlands has declined on groundwater table throughout the year, hence recurrent fires were frequently observed on degraded peatlands (Konecny et al., 2016). Groundwater declined has stimulated fire regime in Indonesian peatland as reported in recent works (Taufik et al., 2019a, 2017).

Integration of groundwater in the fire-drought index for use in peatland has been initiated recently. Waddington et al. (2012) proposed to modify drought code formula in the FWI system by introducing groundwater table to increase its applicability in boreal peatland. In wetland Indonesia, groundwater table was introduced to reformulate KBDI (M. Taufik et al., 2015). Under marine-clay soil, Taufik et al. (2019b) tested the applicability of modified-KBDI to predict forest fire in South Sumatra for the last three decades. Groundwater controls on upper moisture varies among soil-types. Hokanson’s research showed this phenomenon while predicting fire burn

(34)

severity from different hydrogeological settings of boreal plain (Hokanson et al., 2016). Soil-hydrological properties such as water retention (M. Taufik et al., 2015; Taufik et al., 2019b) is an important factor, which determines capillary rise from groundwater to the upper layer. But, little was known about addressing the importance of water retention on tropical peat-fire. Understanding on this important factor will further contribute to reduce the fire impacts on Indonesian peatland. This research will focus on improving KBDI for use as early fire warning, with specific objectives: (i) to parameterize KBDI for peatland Indonesia, and (ii) to evaluate the performance of the KBBDI for fire risk.

Methods

Study area

The study was conducted in tropical peatlands in Kubu Raya, and in Jambi. Kubu Raya was located about 20 km from the city of Pontianak, West Kalimantan. A large peatland has been transformed into agriculture in the late 1990s. Our study sites were located on flat terrain in drained peatland within XX Km: (i) BRG17 with re-growing shrubs (coordinate), (ii) BRG18 with pineapple (coordinate), (iii) BRG19 with shrubs (coordinate), and (iv) BRG20 with pineapple (coordinate).

Data Monitoring

In each site, Badan Restorasi Gambut (BRG, peat restoration agency) has built a monitoring station to observe key environmental variables in drained peatland namely water table and peat moisture. In addition, rainfall was monitored to see its influence on the dynamics of peat moisture and water table. Rainfall was recorded using a Rain-0-Matic-Professional (Pronamic ApS), and soil moisture was measured by HydraProbe (Stevens Water, America) at depth of 10-20cm. We used ATM.1ST-N (STS, Swiss) to monitor groundwater levels. Depth of groundwater levels was measured at each peatland using a slotted PVC groundwater well.

The monitoring was based on SESAME system (http://midori-eng.com/en/sesame/) that record each variable for every 10-minutes using RTCU MX2Turbo (Logic IO ApS., Denmark).

Peatland water table position and volumetric moisture content

Peat sampling, laboratory analysis, and water retention

In each station, vertically oriented cores were sampled in duplicate using 105cm3 metal cylinders to derive water retention. The samples were taken for two depths, which represents top layer (0-30 cm), and sub layer (40-70 cm).

(35)

Soil water retention at suction (ψ) less than 30 kPa was determined using the undisturbed soil cores (105 cm3) by a

suction plate method similar to that described in ISO 11274:1998.

Soil water retention at suction 1500 kPa (pF 4.2) was determined using fine (<2 mm) peat samples by pressure membrane apparatus (Richards, 1941)

Richards, L.A., 1941. A pressure-membrane extraction apparatus for soil solution. Soil Sci. J. 51 (5), 377–386. Fire-drought model

As climate regulate fire activity, many researches have been performed to develop fire-drought model that depends on climate variables. The model describes moisture deficiency in the top soil layer that cause an easiness of fuel to burn. For applicability, this deficiency then was converted into a drought index. One index, which is widely used due to its simplicity (Petros et al., 2011) is the keetch-bryam drought index (KBDI). The index only requires two climate variables namely rainfall and air temperature. The index is formulated in Equation 1.

KBDI = KBDIt−1+ DFt− RFt (1)

RF denotes rainfall factor and simply accounted if it greater than 5.1 mm, DF explains drought increment that depends on max air temperature, and t is time resolution at daily basis. The KBDI is scaled 0-203 (in metric unit), and it is initialized when the soil is closed to field capacity (value=0). Drought factor reflects water loss through evapotranspiration, which is calculated using Eq. (2).

𝐷𝐹𝑡 = (203 − 𝐾𝐵𝐷𝐼𝑡−1)(0.4982 𝑒(0.0905×𝑇𝑚+1.6096)−4.268)×10−3

1+10.88 𝑒(−0.001736×𝑅0) (2)

𝑇𝑚 is daily maximum temperature, Ro represents annual rainfall in the location, which is ca. 3000

mm. this rainfall is slightly higher than that of in South Sumatera (Taufik et al., 2019a).

The original model in Eq. 1 has a limitation for use in other climate (Garcia-Prats et al., 2015) and soil-hydrological regimes (Reardon et al., 2009; Snyder et al., 2006). In tropical wetland, however, a capillary rise is common phenomenon, due to a shallow groundwater, which supplies water to the surface. This keeps upper layer moist, which prevents fire to occur. This led to reformulate Eq. 1 to accommodate groundwater table as presented in Eq. 3 (M. Taufik et al., 2015). Groundwater table has a vital role in controlling dynamics of moisture content in the upper layer than that of the climate (Taufik et al., 2017). The integration of water table in the fire-drought model has been initiated in recent years in boreal peatland, Canada (Waddington et al., 2012) and in wetland Sumatra, Indonesia (M. Taufik et al., 2015).

mKBDI = KBDIt−1+ dQt− RFt− 𝑊𝑇𝐹𝑡 (3)

WTF is water table factor that represents the contribution of groundwater table to moist upper layer (Eq. 4), which is calculated based on van Genuchten approach in Eq. 5 (Van Genuchten, 1980b).

(36)

𝜃(ℎ) = (1 + [ℎ 𝛼⁄ ]𝑛)𝑚 (5)

𝑎𝐻 is the maximum contribution of water table factor, 𝑏𝐻 is correction factor, 𝜃(ℎ) moisture

retention that depends on groundwater table depth (ℎ), and 𝛼, 𝑛 and 𝑚 is shape parameters of Genuchten.

No Parameters Unit Original model Mineral soil Improved model Peat 𝑎𝐻 mm 10.64 3.85 𝑏𝐻 - 0.2828 0.1165 𝜃𝑠 %vol 0.534 0.8012 𝜃𝑓𝑐 %vol 0.3205 0.3265 𝛼 - 0.526 0.2566 𝑛 - 1.246 1.0968 𝑚 - 0.197 0.088 𝐾𝐵𝐷𝐼𝑚𝑎𝑥 mm 203 300 𝑊𝑇𝐹𝑡 = 8.62 − 0.1522 𝑥 [(1 − 𝜃(ℎ)𝑡) ∗ 300] Parameterization 𝜃 = (1 + [ℎ 0.2457⁄ ]1.214)0.176 𝑊𝑇𝐹𝑡 = 8.62 − 0.1522 𝑥 [(1 − 𝜃(ℎ) 𝑡) ∗ 300]

Full range of groundwater table covers from inundation (wet season) to lower groundwater table (dry season)

(37)

𝜃 = (1 + [ℎ 0.2457⁄ ]1.214)0.176 𝑊𝑇𝐹𝑡 = 6.53 − 0.1134 × [(1 − 𝜃

𝑡) ∗ 300]

Starting a drought index record

The initialization to calculate the drought index is rather tricky as the index accounts for accumulated moisture deficiency. Period of abundant rainfall such as 200 mm per week was suggested (Keetch and Byram, 1968) to begin the calculation. In this study, observed soil moisture close to field saturation was used to start the computation. A similar approach using observed soil moisture was proposed by Garcia-Prats et al. (2015) for use in assessing keetch-byram drought index in Mediterranean climate.

Influence of soil-hydrological characteristics • Peat characteristics

The KBDI is limited by water availability at field capacity, which is assumed to be 200 mm (~8 in.) in forest soil. But this value does not apply to any soil types and soil depth. Keetch and Byram (1968) said a heavy soil at field capacity would require around 30-35 in. deep. For a lighter sandy soil, a deeper soil layer would be expected (Petros et al., 2011). For peat soil, hardly any studies have been conducted to analyze tropical peat moisture at field capacity, instead scientists focused more on soil organic carbon (e.g. Minasny et al. 2017).

Moisture at saturation or near saturation is naturally expected for peat. During dry spells the moisture is depleted due to evapotranspiration leading to drying out the top peat and aboveground fuels. Based on our observations in the field, the drying occurs at the top 5cm only, whereas layer below still moist. The drying has accelerated peat to easily ignited and burned as we observed during the field survey in August 2018 and 2019. This leads to shift boundary for fire-drought assessment from near saturation to field capacity, whereas in the original model was from field capacity to wilting point (Garcia-Prats et al., 2015; Keetch and Byram, 1968).

(38)

Figure X2. Dots are observed moisture, Line modelled based on Genuchten model

• Evaluation procedure of KBDI

We assessed our model performance based on observed top peat moisture and observed fire activities in the field. The observed moisture was monitored in the BRG stations. Assessment with the observed peat moisture was important as the moisture reflect dryness rate in each location. Garcia-Prats et al. (2015) reported that KBDI was well performed in assessing soil moisture at 30 cm deep. In addition, fire activity in the vicinity of the station was recorded including period of fire occurrence. Several statistical criteria were applied including Kling Gupta Efficiency, Nash-Sutcliffe Efficiency, RMSE-standardize ratio, and coefficient of correlation.

Results

Hydro-meteorology Model performance

We calibrated our model against peat moisture, and the model performed well as shown by three statistical criteria used in this study. the KGE 0.74

(39)

Gambar

Gambar 2. Peta lokasi kunjungan lapang ke lahan gambut di Provinsi Jambi tanggal 26- 26-28 Agustus 2019
Gambar 9.  Dinamika indeks mKBDI untuk lahan gambut di Stasiun BRG.3, BRG.6, (KHG S.
Gambar 10. Korelasi  antara  lengas  tanah  (soil  misture,  SM  dalam  %-vol)  dengan  parameter NDPI SAR dari citra Sentinel-1
Gambar 11. Estimasi soil moisture di KHG Jambi pada dasarian 3 bulan Juli 2019
+7

Referensi

Dokumen terkait

estern $lot adalah metode untuk mengidentifikasi antibodi spesifik pada protein yang telah dipisahkan antara satu dengan yang lain lewat elektroforesis gel.

Oleh karena terjadi di daerah spektrum yang umumnya tidak ada absorpsi lain, maka stretching karbonil merupakan metode yang dapat diandalkan untuk mendiagnosis adanya

Ketersediaan vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit menular tertentu maka tindakan pencegahan untuk mencegah menyebarnya penyakit dari satu wilayah ke

Pendekatan ini digunakan Hajiha dan Sobhani (2012) dan Desiliani (2014) karena lebih sering digunakan untuk memperkirakan return dan nilai pasar saham di pasar modal. Perhitungan EPR

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh penulis tentang kompetensi profesional guru Madrasah Ibtidaiyah Negeri Pekuncen Kroya maka dapat disimpulkan

Enam lembaga tersebut adalah Fitch Ratings, Moody’s Investor Service, Standard and Poor’s, PT Fitch Ratings Indonesia, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), dan PT

Tujuan Penelitian untuk mengetahui efektivitas william’s flexion exercise dalam pengurangan nyeri haid (dismenorhea) pada mahasiswi Akbid Graha Mandiri Cilacap..

Nutrisi intravena selalu merupakan indikasi jika kebutuhan nutrisi dan metabolik tidak dapat dipenuhi nutrisi enteral Jam, bukan hari, adalah waktu yang panjang untuk bayi yang