4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Informasi Geografis Desa Teluk Bogam
Kondisi geografis desa Teluk Bogam terletak di daerah pantai, dengan posisi desa berjarak ± 50 km dari kota kecamatan dengan luas wilayah 82 km2. Budidaya rumput laut digalakkan didesa Teluk Bogam dengan bantuan pemerintah Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kotawaringin Barat. Usaha ini dilakukan untuk mengembangkan perekonomian dan pembangunan di wilayah pesisir. Melalui program ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat setempat. Pesisir pantai desa Teluk Bogam terpilih sebagai tempat budidaya rumput laut karena pada musim-musim tertentu akan tumbuh rumput laut secara alami pada perairan ini. Tersedianya rumput laut alami setempat menunjukkan bahwa lokasi perairan tersebut dapat dijadikan areal budidaya rumput laut (Aslan 1998).
Menurut Yu-Feng et al. (2006) kondisi perairan dimana rumput laut tumbuh akan mempengaruhi kondisi nutrien rumput laut. Hasil analisa pengukuran kualitas air baik secara fisik dan kimia oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotawaringin Barat menunjukkan bahwa kualitas perairan desa Teluk Bogam memperoleh nilai yang mendekati standar kualitas perairan yang terbaik untuk budidaya rumput laut. Tabel 6 memaparkan nilai kualitas perairan di desa Teluk Bogam.
Tabel 6 Kualitas perairan yang tepat untuk budidaya rumput laut
No. Parameter Desa Teluk Bogam Standar Budidaya Rumput Laut di Perairan pantai (laut) 1 2 3 4 5 Suhu Salinitas Kecerahan Nilai pH Kecepatan arus 27,5 oC - 32,7 oC 30‰ - 40‰ 7,5 cm - 37,5 cm 7,3 - 7,6 0,06- 0,09 m/detik 26oC - 33 oC 15‰ - 38‰ 1 m cenderung basa 0,2-0,4 m/detik Sumber: data sekunder DKP KOBAR (2010)
Kualitas perairan desa Teluk Bogam berdasarkan tabel di atas cukup layak untuk budidaya rumput laut. Teluk Bogam menjadi daerah pantai pertama untuk
budidaya rumput laut di Kalimantan Tengah. Masalah yang sering dihadapi petani rumput laut adalah keadaan cuaca yang tidak menentu yaitu angin yang cukup kencang dan curah hujan yang relatif tinggi.
Bibit rumput laut dipilih dari dua daerah yang berbeda yaitu Kota Baru dan pulau Karimun karena lokasi pengambilan bibit yang terjangkau sehingga mempermudah transportasi bibit rumput laut. Alasan lain yaitu sebagai uji coba terhadap bibit rumput laut yang mampu bertahan hidup di perairan Teluk Bogam. Secara morfologi rumput laut memiliki bentuk yang hampir sama hanya ada perbedaan sedikit yakni warnanya. Kondisi ini dapat disebabkan oleh pengaruh proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan 1998). Gambar 12 menunjukkan bibit rumput laut yang ditanam di perairan desa Teluk Bogam.
Gambar 12 Bibit Kappaphycus alvarezii yang dibudidayakan (A) asal Kota Baru (B) asal pulau Karimun.
Karakteristik thallus rumput laut asal bibit Kota Baru berbentuk bulat, pipih, gepeng dan warna hitam kecoklatan, semakin lama di perairan warna rumput laut berubah menjadi coklat cerah. Thallus asal bibit pulau Karimun memiliki bentuk hampir sama dengan Kota Baru tetapi ukuran thallus lebih besar membulat dan berwarna hijau dan semakin lama rumput laut di dalam perairan warnanya akan berubah. Keadaan warna rumput laut tidak selalu tetap kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Rumput laut dapat mengubah tampilannya apabila berada pada lingkungan yang baru (Matulessi 2005).
Pada pembuatan karagenan diperlukan rumput laut kering sebagai bahan baku. Maka setelah dibudidayakan, rumput laut dipanen sesuai dengan umur panen yang diperlukan dan dikeringkan di atas para-para. Gambar 13
menunjukkan bahwa bibit rumput laut asal bibit yang berbeda menghasilkan warna rumput laut kering yang berbeda.
Gambar 13 Rumput laut Kappaphycus alvarezii kering hasil budidaya (A) bibit asal Kota Baru (B) bibit asal pulau Karimun.
4.2 Anatomi dan Histologi Kappaphycus alvarezii
Morfologi berpengaruh terhadap anatomi rumput laut. Oleh karena itu pada beberapa spesies yang berbeda menghasilkan bentuk jaringan dalam yang berbeda seperti pada Gambar 5. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh gen yang mengatur sintesis enzim, yang pada akhirnya mengendalikan proses kimia dalam sel. Bahan kimia yang disebut zat tumbuh atau hormon tumbuh berperan penting dalam banyak proses pertumbuhan (Salisbury dan Ross 1995).
Hormon tumbuhan pada umumnya digolongkan dalam beberapa kelompok yaitu golongan auksin, giberelin, sitokinin dan asam absisat yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda pada tanaman tingkat tinggi. Sedangkan pada
K.alvarezii golongan auksin dan giberelin memperlihatkan efek terhadap
pertumbuhan panjang dan golongan sitokinin memperlihatkan pengaruh terhadap perbanyakan sel baik tunggal maupun kelompok, kombinasi dari kedua golongan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan secara keseluruhan (Champbell et al. 2000).
Menurut Suryaningrum (1988) thallus Eucheuma terdiri dari tiga jaringan penyusun yaitu epidermis, lapisan pseudoparenkim dan medula, yang memiliki fungsi dan peranan yang berbeda-beda. Rumput laut ini termasuk alga bersel banyak (multiseluler). Dinding sel terdiri dari selulosa dan polisakarida (agar-agar, karagenan dan fursellarin). Warna kemerah-merahan pada rumput laut merupakan karbohidrat hasil fotosintesis yang bermanfaat sebagai cadangan
makanan bagi rumput laut. Polisakarida dari K.alvarezii mengandung 70% karagenan dari berat kering dinding selnya (Suyitno 1998).
Pada thallus rumput laut karagenan berada pada dinding sel sehingga dapat membentuk gel yang menyebabkan rumput laut terasa berlendir dan seperti karet. Kandungan karagenan pada thallus dipengaruhi oleh umur tanaman. Rumput laut berumur muda belum banyak mengandung karagenan. Komposisi kimia dalam thallus rumput laut dipengaruhi oleh variasi individu, spesies, habitat, kematangan dan kondisi lingkungan. Air merupakan komponen terbanyak pada thallus sedangkan kandungan protein dan lemak sangat sedikit, akan tetapi jumlah kandungan mineral relatif banyak. Bertambahnya umur tanaman maka akan mempengaruhi bentuk anatomi rumput laut dan jumlah kandungan kimia thallus. Pertambahan umur panen rumput laut mempengaruhi bentuk jaringan tanaman. Perkembangan tanaman dapat dilihat dari proses pembentukan jaringan dan organ-organ tanaman sehingga masing-masing individu mempunyai bentuk morfologi yang khas (Sutrian 2004).
4.2.1 Asal Bibit Kota Baru
Karagenan merupakan polisakarida yang terdapat pada thallus rumput laut sehingga rumput laut berlendir dan seperti karet. Bahan ini akan membantu memberikan bantalan bagi thallus melawan agitasi gelombang laut. Senyawa kimia lain yang terdapat pada thallus rumput laut yaitu selulosa, air, karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, vitamin, mineral dan lain-lain. Thallus K.alvarezii mengandung karagenan yang keberadaannya mengisi lamella tengah dan berfungsi menyangga fleksibilitas dinding sel. Pada tumbuhan dinding sel berfungsi untuk penyokong mekanis organ tumbuhan dan mempengaruhi metabolisme jaringan tumbuhan misalnya penyerapan, transpirasi, transkolasi, dan sekresi (Mulyani 2006).
Anatomi rumput laut bibit asal Kota Baru menunjukkan bentuk yang berbeda bersamaan dengan meningkatnya umur tanaman. Pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya terhadap thallus rumput laut menggambarkan struktur jaringan yang hampir sama. Akan tetapi bertambahnya umur tanaman dapat mempengaruhi bentuk dinding sel. Gambar 14 menunjukkan dinding sel tanaman mengalami perubahan bentuk bersamaan dengan bertambahnya umur
tanaman. Komponen terbesar yang menyusun berat kering dinding sel rumput laut adalah karagenan. Karagenan terdapat dalam matriks intraseluler. Secara visual pewarnaan dengan touilidin blue pada umur panen 30 hari memiliki penyerapan warna yang cenderung lebih tipis dari pada saat tanaman berumur 45 dan 60 hari. Hal ini disebabkan oleh masing-masing umur thallus memiliki kadar kandungan kimia yang berbeda sehingga mempengaruhi penyerapan warna histokimia pada setiap jaringan (Suntoro 1983).
Struktur jaringan rumput laut pada thallus berumur 30 hari menggambarkan dengan jelas bentuk jaringan penyusun yang terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, lapisan pseudoparenkim dan medula. Hal ini disebabkan, pada saat tanaman berumur 30 hari kandungan kimia dan zat karagenan yang terdapat di dalam thallus masih sedikit dan ditunjukkan dengan gambar dinding sel yang terbentuk tipis sehingga dapat membentuk organ yang lebih jelas. Akan tetapi saat rumput laut mencapai umur 45 dan 60 hari struktur organ membentuk jaringan yang tidak beraturan serta penyerapan warna yang lebih menyolok dari pada saat tanaman berumur 30 hari, serta terjadi penebalan pada dinding sel yang diduga mengandung karagenan.
Rumput laut asal bibit Kota Baru memiliki bentuk organ yang cenderung bulat. Pseudoparaenkim merupakan lapisan yang terletak di bawah lapisan epidermis. Lapisan ini tersusun atas dua lapisan yaitu lapisan yang berbatasan dengan epidermis dinamakan kortek luar dan yang berbatasan dengan medula dinamakan kortek dalam. Keberadaan korteks dalam, yang berukuran besar menyebabkan rumput laut dapat mengapung pada perairan karena berisi udara di dalamnya. Medula pada rumput laut berfungsi sebagai pusat thallus, lapisan ini tersusun sangat rapat (Suryaningrum 1988). Pada Gambar 14, tanda panah menunjukkan tempat keberadaan karagenan. Karagenan ditunjukkan oleh warna biru keunguan. Bertambahnya umur tanaman memberikan kekontrasan warna yang berbeda, hal ini berhubungan dengan kandungan karagenan yang terkandung di dalam thallus rumput laut. Gambar dibawah ini menunjukkan bentuk jaringan thallus pada asal bibit Kota Baru pada umur tanaman yang berbeda.
Gambar 14 Gambar histologis rumput laut asal bibit Kota Baru pembesaran 10X. (A1) lapisan epidermis dan pseudoparenkim umur 30 hari, (A2) medula umur 30 hari , (B1) lapisan epidermis dan pseudoparenkim umur 45 hari, (B2) medula umur 45 hari, (C1) lapisan epidermis dan pseudoparenkim umur 60 hari, (C2) medula umur 60 hari.
Bertambahnya umur tanaman tampak berpengaruh terhadap bentuk semua jaringan rumput laut. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya umur tanaman maka akan mempengaruhi bentuk jaringan, kandungan kimia serta karagenan sebagai komponen primer penyusun rumput laut. Perubahan bentuk jaringan rumput laut dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan selama di dalam perairan. Pertumbuhan dan perkembangan rumput laut dipengaruhi oleh kualitas cahaya serta zat hara yang cukup misalnya nitrat dan posfat. Unsur ini berfungsi sebagai bahan dasar penyusun protein dan pembentuk klorofil pada proses fotosintesis. Hal lain yang mempengaruhi yaitu
A1 A2
B1 B2
hasil asimilasi, hormon, substansi pertumbuhan dan lingkungan tempat tumbuh rumput laut. Laju pertumbuhan, fotosintesis dan respirasi rumput laut cenderung berkolerasi dengan suhu, cahaya, pH dan nutrient tempat tumbuhnya (Gardner et
al. 1991).
4.2.2 Asal bibit pulau Karimun
Bahan kental yang dapat membentuk gel diperoleh dengan cara ekstraksi dari jenis alga merah ini adalah karagenan. Karagenan pada asal bibit pulau Karimun terletak pada dinding sel. Selain itu, molekul-molekul karbohidrat merupakan unsur terbanyak setelah karagenan terletak pada dinding sel paling luar thallus. Molekul karbohidrat terdapat dalam bentuk selulosa yang merupakan dinding pelindung protoplas. Protoplas merupakan bagian yang terpenting dalam sel tumbuh-tumbuhan dan terdapat didalam ruang sel (lumen). Nutrisi yang terkandung pada thallus dipengaruhi oleh tempat tumbuh dan cara panen. Rumput laut memiliki kemampuan untuk beradaptasi sehingga apabila dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain akan memberikan perkembangan yang berbeda baik pada sel, thallus dan jumlah protoplas (Champbell et al. 2000).
Penyerapan air dan unsur hara yang terlarut terjadi melalui seluruh bagian tubuh tanaman dengan cara difusi. Proses difusi ini terjadi karena konsentrasi beberapa ion dalam sitosol dipertahankan tetap rendah, karena begitu ion-ion tersebut masuk kedalam sitosol akan segera dikonversi kebentuk lain, misalnya NO3- segera direduksi menjadi NH4-, selanjutnya digunakan dalam sintesis asam amino dan protein. Hasil cadangan makanan rumput laut menghasilkan karbohidrat yang berwarna kemerah-merahan pada thallus. Rumput laut
K.alvarezii memiliki sel lebih dari satu (multiseluler). Setiap sel mengandung
satu atau lebih kloroplas yang dapat berbentuk pita atau seperti cakram-cakram dikrit. Didalam matriks kloroplas terdapat gelembung-gelembung pipih bermembran yang dinamakan membran tilakoloid. Membran tilakoloid berisikan klorofil dan pigmen-pigmen pelengkap yang merupakan situs reaksi cahaya pada fotosintesis. Dinding sel alga merah ini mengandung polisakarida tebal dan lengket yang bernilai ekonomis tinggi (Barsanti dan Gualtieri 2006).
Jaringan rumput laut asal bibit pulau Karimun seperti halnya asal bibit Kota baru yang memiliki lapisan epidermis, lapisan pseudoparenkim, dan medula.
Bertambahnya umur tanaman juga mempengaruhi bentuk jaringan tersebut. Akan tetapi bentuk jaringan asal bibit pulau Karimun memiliki sedikit perbedaan dengan asal bibit Kota Baru yaitu memiliki bentuk jaringan yang cenderung lonjong. Pada saat rumput laut berumur 30 hari epidermis terbentuk sangat tipis dan rapuh. Akan tetapi pada umur 45 dan 60 hari terlihat adanya penebalan sehingga terbentuk batas antara epidermis dan korteks luar. Letak dari sel-sel epidermis sangat rapat sehingga tidak terdapat ruang-ruang antar sel. Jaringan epidermis merupakan jaringan yang seragam dari segi topografi sampai tingkat ontogeni (Fahn 1991).
Saat tanaman berumur 45 dan 60 hari terjadi penebalan pada dinding sel. Penebalan dinding sel terjadi karena meningkatnya selulosa dan karagenan pada thallus. Pada saat rumput laut berumur 30 hari memiliki dinding sel yang tipis Gambar 15 (A1) hal ini dapat disebabkan oleh kandungan karagenan pada saat tanaman muda masih sedikit. Dengan bertambahnya umur tanaman maka sel-sel bertambah besar dan berlangsung pula penebalan-penebalan yang merupakan lapisan-lapisan yang akhirnya memberikan bentuk tetap pada sel-sel tersebut (Mulyani 2006).
Bentuk medula asal bibit pulau Karimun tidak menunjukkan perkembangan seperti pada asal bibit Kota Baru karena semakin bertambah umur tanaman maka bentuknya hampir sama. Pada Gambar 15 (C1) saat tanaman berumur 60 hari terjadi penebalan pada dinding sel sehingga menutupi bagian kortek luar dan kortek dalam jaringan rumput laut. Saat tanaman berumur 45 dan 60 hari terjadi penebalan pada dinding sel, hal ini berkolerasi dengan besarnya kandungan karagenan yang berada pada dinding sel yang merupakan hidrokoloid hasil metabolisme primer dari rumput laut dan pengaruh selulosa yang terdapat dalam jumlah banyak pada tanaman (Suyitno 1992).
Perubahan anatomi pada jaringan dapat disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dipengaruhi oleh lingkungan seperti respon nutrien dan pergerakan air pada tempat budidaya (Risjani 1999). Asal bibit Kota Baru dan pulau Karimun memiliki bentuk jaringan yang sedikit berbeda, hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan genetika berdasarkan DNA fragmen kedua varietas tersebut (Sulaeman et al. 2005).
Rumput laut hasil budidaya petani desa Teluk Bogam tumbuh secara vegetatif karena berlangsung tanpa perkawinan. Pada waktu pertumbuhan vegetatif, pembelahan sel (sitokinesis) terjadi setelah pembelahan inti (kariokinesis). Sitokinesis diawali terbentuknya sejumlah mikrotubul dan retikulum endoplasma diantara kedua inti sel anak yang disebut fragmoplas. Fragmoplas membentuk mikrotubul yang baru. Mikrotubul menahan vesikula yang berasal dari diktiosom dan kemudian bersatu menjadi sisterna pipih yang besar. Karbohidrat yang semula berada dalam vesikula disitesis untuk dijadikan bahan dinding primer baru bagi kedua sel anak lamela tengah yang melekatkannya. Selain itu penebalan dinding sel juga dapat disebabkan karena kemampuan sel membelah diri dari umur muda hingga dewasa yang dapat mengakibatkan penebalan dinding sel (Cutler et al. 2007).
Asal bibit rumput laut yang berbeda berpengaruh nyata terhadap bentuk anatominya. Perbedaan bentuk anatomi juga dapat disebabkan oleh pertumbuhan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar tumbuhan dapat disimpulkan sebagai faktor dari lingkungan. Faktor internal yaitu meliputi hormon pertumbuhan (fitohormon) merupakan zat kimia yang berperan dalam proses pertumbuhan tanaman. Fitohormon mempengaruhi bentuk tumbuhan dan pembentukan jaringan tumbuhan. Hormon auxin, giberelin dan cytokinin merupakan hormon yang sangat berperan untuk mempercepat proses pertumbuhan dan perkembangan bibit rumput laut. Auxin berfungsi untuk mempercepat pembentukan dan perpanjangan batang, menaikan tekanan osmosis , meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, meningkatkan sintesis protein, meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel. Hormon giberelin membantu dalam pembentukan enzimatis untuk mengubah pati menjadi gula yang selanjutnya digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan. Selain hal tersebut, hormon tumbuh lainnya yakni cytokinin berperan dalam memacu proses pembelahan sel dan pembentukan jaringan (Silea dan Marsitha 2006). Bentuk organ rumput laut asal bibit pulau Karimun ditunjukkan pada Gambar 15.
Gambar 15 Gambar histologis rumput laut asal bibit pulau Karimun pembesaran 10X. (A1) lapisan epidermis dan pseudoparenkim umur 30 hari, (A2) medula umur 30 hari, (B1) lapisan epidermis dan pseudoparenkim umur 45 hari, (B2) medula umur 45 hari, (C1) lapisan epidermis dan pseudoparenkim umur 60 hari, (C2) medula umur 60 hari.
4.3 Komposisi Kimia Kappaphycus alvarezii
Kering
Bahan dasar untuk membuat karagenan adalah rumput laut kering. Rumput laut kering merupakan hasil dari rumput laut basah yang mengalami penjemuran selama 2-3 hari. Rumput laut kering jenis Kappaphycus alvarezii diperoleh dari pembudidaya rumput laut di desa Teluk Bogam Kabupaten Kotawaringin Barat. Rumput laut dikeringkan di atas para-para dengan bantuan sinar matahari. Umur panen dan asal bibit sangat mempengaruhi mutu rumput laut yang dihasilkan.
A1 A2
B1 B2
Bibit rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii ini diperoleh para petani sebagai bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kotawaringin Barat. Bibit tersebut sengaja diambil dari dua tempat yaitu Kota Baru (Kalimantan Selatan) dan pulau Karimun (Jawa). Sebelum rumput laut diekstraksi maka terlebih dahulu diuji komposisi kimia rumput laut kering meliputi kadar air, kadar abu, dan kadar abu tidak larut asam.
4.3.1 Kadar air
Kandungan air pada rumput laut kering sangat mempengaruhi mutu rumput laut yang dihasilkan. Kadar air pada penelitian ini 20,18-29,73%. Kadar air tertinggi diperoleh pada umur panen 30 hari dari bibit asal Kota baru dan pulau Karimun. Kadar air terendah pada asal bibit Kota baru yaitu pada umur panen 60 hari sedangkan pada asal bibit pulau Karimun pada umur panen 45 hari. Kadar air rendah dapat disebabkan oleh kandungan air bebas pada rumput laut masih banyak sehingga terjadi penguapan pada saat penjemuran lebih besar. Kadar air pada rumput laut kering berpengaruh signifikan pada setiap umur panen (Lampiran 6). Penguapan menyebabkan kadar air pada rumput laut menurun (Syamsuar 2006). Hasil analisis kadar air pada rumput laut kering jenis
Kappaphycus alvarezii dapat dilihat pada Gambar 16.
Pada bibit asal Kota Baru nilai kadar air menurun seiring meningkatnya umur panen tanaman. Akan tetapi pada rumput laut bibit asal pulau Karimun nilai kadar air berfluktuasi. Hal ini dipengaruhi oleh proses pengeringan rumput laut yang menggunakan sinar matahari sehingga kering tidak merata walaupun lama
29,73a 28,16b 22,64c 29,72a 20,15c 23,21c 0 5 10 15 20 25 30 35 30 45 60 Kadar Air (% )
Umur Panen (hari)
Gambar 16 Kadar air Kappaphycus alvarezii kering dari dua asal bibit dan umur panen yang berbeda ( ) Kota Baru ( ) pulau Karimun. Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
waktu pengeringan sama. Hal lain yang dapat meningkatkan kadar air rumput laut kering itu yaitu dipengaruhi saat penyimpanan setelah rumput laut dipanen. Kadar air maksimal yang disyaratkan oleh SNI rumput laut kering (2009) untuk
Eucheuma maksimum 35%, nilai kadar air pada penelitian ini masih memenuhi
standar mutu rumput laut kering.
4.3.2 Kadar abu
Unsur mineral dari rumput laut yaitu kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi dan yodium. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat organiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 1992). Kadar abu rumput laut terutama terdiri dari garam natrium berasal dari air laut yang menempel pada thallus rumput laut. Banyaknya garam yang menempel pada thalus tidak sama sehingga dapat mempengaruhi kandungan abunya. Hasil analisis menyatakan kadar abu asal bibit Kota Baru yaitu 14,82-15,65%. Sedangkan nilai kadar abu asal bibit pulau Karimun 12,79-19,88%. Nilai ini masih memenuhi standar FAO (1972) dalam Angka dan Suhartono (2000) yaitu sebesar 15-40%. Histogram nilai kadar abu rumput laut kering ini pada Gambar 17.
Berdasarkan analisis ragam terhadap rumput laut kering asal bibit Kota Baru dan pulau Karimun (Lampiran 7) menunjukkan nilai kadar abu yang signifikan saat umur panen 30 dan 45 hari. Akan tetapi saat umur panen 60 hari pada asal bibit pulau Karimun nilai kadar abu meningkat. Hal ini disebabkan oleh semakin
15,65b 13,71c 14,82b 12,79c 15,00b 19,88a 0 5 10 15 20 25 30 45 60 Kadar Abu (% )
Umur Panen (hari)
Gambar 17 Kadar abu Kappaphycus alvarezii kering dari dua asal bibit dan umur panen yang berbeda ( ) Kota Baru ( ) pulau Karimun. Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
lama rumput laut di dalam suatu perairan maka semakin besar garam-garam mineral yang diserap oleh rumput laut (Wenno 2009). Sedangkan pada asal bibit Kota Baru meningkatnya umur panen tidak berpengaruh terhadap kadar abu. Hal ini menunjukkan bahwa spesies, umur panen, metode penanaman dan perairan yang sama belum tentu menyebabkan tanaman tersebut memiliki nilai dan komponen yang sama.
4.3.3 Kadar abu tidak larut asam
Kadar abu tidak larut asam merupakan salah satu parameter untuk menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan (Basmal et al. 2003). Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida tidak larut asam yang sebagian adalah garam-garam logam berat dan silika. Nilai kadar abu rumput laut kering asal bibit Kota Baru yaitu 0,76-3,27% dan asal bibit Pulau Karimun yaitu 0,83-1,38%.
Hasil analisis ragam pada kedua asal bibit ini (Lampiran 9) menunjukkan umur panen memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar abu tidak larut asam rumput laut kering. Asal bibit Kota baru menunjukkan nilai berbeda nyata karena semakin bertambah umur panen maka nilai abu tidak larut asam semakin menurun. Rumput laut kering asal bibit pulau Karimun berbeda nyata pada umur panen 30 hari dan tidak berbeda nyata pada umur panen 45 dan 60 hari. Gambar 18 menunjukkan nilai kadar abu tidak larut asam rumput laut kering.
3,27a 1,68b 0,76c 0,83c 1,38b 1,08b 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 30 45 60 Kadar Abu Tidak Larut Asam (% )
Umur Panen (hari)
Gambar 18 Kadar abu tidak larut asam Kappaphycus alvarezii kering dari dua asal bibit dan umur panen yang berbeda ( ) Kota Baru ( ) pulau Karimun. Angka-angka pada histogram diikuti huruf
superscripts berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Nilai kadar abu pada penelitian ini masih dalam standar yang telah ditetapkan oleh EEC yaitu maksimum 2%, FAO dan FCC maksimum 1%, kecuali kadar abu tidak larut asam pada umur panen 30 hari asal bibit Kota Baru yang memperoleh nilai yang melebihi standar yaitu 3,28%. Hal ini dapat disebabkan oleh kontaminasi dari kerang, lumut dan lumpur yang menempel pada thallus selama di dalam perairan, proses penanganan bahan baku yang kurang baik, atau kontaminasi pada saat penjemuran karena dalam keadaan terbuka.
4.4 Ekstrak Karagenan
Karagenan merupakan polisakarida linier atau lurus yang merupakan molekul galaktan dengan unit-unit utamanya adalah galaktosa. Karagenan adalah getah rumput laut dari kelas Rhodophyceae (alga merah) yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali. Pada penelitian ini alkali tidak digunakan namun diganti dengan menggunakan kitosan sebagai absorban. Pada tahap ini untuk menentukan asal bibit dan umur panen yang terbaik berdasarkan hasil ekstraksi penambahan beberapa konsentrasi kitosan dengan rendemen, analisis kekuatan gel, dan viskositas sebagai parameter. Pada tahap tersebut diperoleh hasil umur panen dan konsentrasi kitosan yang terbaik untuk menentukan asal bibit yang terbaik berdasarkan parameter yang sesuai dengan standar mutu karagenan.
4.4.1 Rendemen Karagenan
Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif tidaknya proses pembuatan tepung karagenan. Perhitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui persentase karagenan yang dihasilkan dari rumput laut kering yang digunakan berdasarkan asal bibit, umur panen dan konsentrasi kitosan. Beberapa hal yang mempengaruhi rendemen karagenan yaitu metode ekstraksi, spesies, iklim, waktu pemanenan dan lokasi budidaya (Chapman dan Chapman 1980). Kandungan polisakarida pada rumput laut akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Selain daripada itu rendemen yang tinggi dapat disebabkan masih tingginya serat kasar pada rumput laut. Sebagian besar rumput laut terdiri dari serat yang dikenal dengan dietary fiber (Anggadiredja et al. 2007).
Pada asal bibit Kota Baru, rendemen karagenan meningkat bersamaan dengan umur panen. Umur panen berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen
karagenan. Rendemen karagenan apabila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan nilai yang lebih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan kitosan untuk mereduksi komponen-komponen yang terdapat pada karagenan maka mengurangi nilai rendemen. Demikian pula pada asal bibit pulau Karimun nilai rendemen tertinggi yaitu saat umur panen 60 hari dan terendah pada umur panen 30 hari. Hal ini disebabkan oleh kandungan karagenan pada saat rumput laut muda masih rendah. Pada penelitian ini nilai rendemen masih memenuhi persyaratan minimum yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan (1989) yaitu sebesar 25% kecuali pada karagenan umur panen 30 hari.
Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa asal bibit memiliki nilai yang berbeda nyata karena nilai rendemen pada asal bibit pulau Karimun memperoleh rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan asal bibit Kota Baru. Hal ini diduga disebabkan oleh sifat bawaan dari masing-masing asal bibit yang berbeda. Perbedaan sifat bawaan dapat disebabkan oleh lokasi, cara budidaya yang berbeda serta perkawinan silang untuk mengoptimalkan bibit terbaik pada rumput laut, sebelum alga tersebut dibudidayakan pada perairan yang sama. Laju pertumbuhan rumput laut berpengaruh terhadap nilai rendemen karagenan. Rendemen karagenan yang tinggi biasanya memiliki nilai laju pertumbuhan yang rendah demikian sebaliknya (Zatnika dan Angkasa 1994).
Faktor lain yang mempengaruhi nilai rendemen adalah saat proses menghaluskan lembaran karagenan menjadi tepung terjadi lost weight sehingga sebagian partikel-partikel karagenan tertinggal pada alat atau berterbangan sehingga rendemen berkurang. Menurut Aslan (1998) kadar karagenan dalam spesies Eucheuma berkisar 54%-73% tergantung pada jenis dan lokasinya. Selain karagenan masih terdapat beberapa zat organik lain misalnya protein, lemak, serabut kasar dan air. Rendemen bahan kering dipengaruhi oleh kadar air bahan awal dan akhir yang diinginkan. Semakin tinggi kadar air dalam bahan maka berat akhir yang akan dihasilkan berat juga. Histogram nilai rendemen karagenan dapat dilihat pada Gambar 19.
4.4.2 Kadar air karagenan
Karagenan yang memiliki kemurnian tinggi yaitu apabila memiliki kadar air yang rendah karena pada rongga struktur molekul terdapat komponen-komponen pengotor yang dapat mengikat air. Kadar air mempengaruhi daya tahan suatu bahan dan menunjukkan suatu indeks mutu bahan pangan. Kandungan air pada karagenan yang dihasilkan diduga merupakan air terikat karena dianggap sebagai suatu sistem yang mencakup air yang mempunyai derajat keterikatan berbeda-beda dalam bahan. Sedangkan air bebas kemungkinan telah menguap (Winarno 1992). 19,60 28,39 29,51 a/q b/q b/q a/r b/r bc/r a/p b/p b/p 0 5 10 15 20 25 30 35 30 45 60 Rendemen (% )
Umur Panen (hari)
(A) 20,47 26,08 29,29 a/q b/q c/q a/p b/p bc/p a/r b/r c/r 0 5 10 15 20 25 30 35 30 45 60 Rendemen (% )
Umur Panen (hari)
(B)
Gambar 19 Rendemen karagenan dari rumput laut asal bibit [(A) Kota Baru (B) pulau Karimun], umur panen dan konsentrasi kitosan yang berbeda ( ) kontrol, ( ) kitosan 0,05%, ( ) kitosan 0,10%, ( )kitosan 0,15%. Huruf (a,b,c) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan umur panen (p<0,05) berdasarkan uji Duncan. Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan konsentrasi kitosan (p<0,05) berdasarkan uji Duncan.
Kandungan air karagenan ditentukan oleh kondisi pengeringan, pengemasan dan penyimpanan. Produk akan lebih cepat mengalami kerusakan apabila kondisi penyimpanan dan pengeringan yang kurang baik sehingga menyebabkan kandungan air tinggi. Proses pengeringan karagenan pada penelitian ini menggunakan oven bersuhu 60 oC selama 24 jam. Pengeringan merupakan suatu proses untuk mendapatkan karagenan yang kering dan siap dihaluskan (Syamsuar 2006).
Kadar air berdasarkan analisis ragam (Lampiran 13) menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan bertambahnya umur panen pada kedua asal bibit yang berbeda. Nilai kadar air dari kedua asal bibit pada masing-masing umur panen menunjukkan nilai yang berfluktuasi. Hal ini disebabkan oleh pengeringan menggunakan oven. Pengeringan dipengaruhi faktor suhu, kelembaban dan aliran udara. Panas menyebabkan air menguap ke dalam udara. Lepasnya molekul air dari permukaan bahan tergantung dari bentuk dan luas permukaan. Bentuk dan luas permukaan bahan berhubungan dengan ketebalan karagenan. Semakin tebal karagenan maka laju perpindahan (difusi) cairan kepermukaan semakin terhambat. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan kandungan air pada kondisi kritis meningkat, maka laju penguapan cairan per satuan luas tiap jamnya semakin besar. Pada saat proses pengeringan permukaan karagenan tidak sama luasnya, sehingga mempengaruhi jumlah air menguap pada saat karagenan dikeringkan (Banadib dan Khoiruman 2010).
Utomo dan Satriyana (2006) menyatakan bertambahnya umur panen menyebabkan kadar air cenderung meningkat. Kadar air standar FAO untuk produk karagenan dipasaran yaitu 12%. Nilai kadar air terendah pada penelitian ini diperoleh pada umur panen 30 hari bibit asal kota baru yaitu 10,92% dan tertinggi pada umur panen 60 hari yaitu 12,63%, sedangkan karagenan bibit asal pulau Karimun memperoleh nilai kadar air terendah pada umur panen 45 hari yaitu 11,02% dan tertinggi pada umur panen 60 hari yaitu 12,97%. Histogram kadar air dari tepung karagenan dapat dilihat pada Gambar 20.
Kadar air karagenan yang ditambahkan kitosan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol karena kitosan bersifat higroskopis yaitu memiliki kemampuan menyerap molekul air dari lingkungannya baik melalui absorbsi dan adsorpsi. Nilai kadar air bahan berkolerasi dengan rendemen karena apabila kadar air tinggi maka rendemen bahan meningkat (Suptijah et al. 2009)
4.4.3 Kadar abu karagenan
Nilai kadar abu suatu bahan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan namun kadar abu juga ditunjukkan dengan adanya unsur logam yang tidak larut dalam air terutama Ca yang menempel pada
13,09 12,69 13,57
a/p a/p a/p a/p a/p a/p a/pa/p a/p
0 2 4 6 8 10 12 14 16 30 45 60 Kadar Air (% )
Umur Panen (hari)
(A)
11,94
13,45
11,32
a/pa/p ab/pab/p b/p
b/p a/p ab/p b/p 0 2 4 6 8 10 12 14 16 30 45 60 Kadar Air (% )
Umur Panen (hari)
(B)
Gambar 20 Kadar air karagenan dari rumput laut asal bibit (A) Kota Baru (B) pulau Karimun, umur panen dan konsentrasi kitosan yang berbeda ( )kontrol, ( )kitosan 0,05%, ( ) kitosan 0,10%, ( )kitosan 0,15%. Huruf (a,b,c) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan umur panen (p<0,05) berdasarkan uji Duncan. Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan konsentrasi kitosan (p<0,05) berdasarkan uji Duncan.
bahan rumput laut. Umur tanaman yang semakin meningkat akan mempengaruhi kadar abu karena semakin lama rumput laut di dalam perairan maka semakin banyak kandungan mineral yang diserap. Rumput laut memiliki kemampuan dalam mengabsorb mineral yang berasal dari lingkungannya (Sudarmadji et al. 1984).
Semakin meningkat umur panen tanaman maka akan semakin meningkatkan kadar abu dari karagenan. Umur panen memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar abu karagenan. Hasil analisis ragam (Lampiran 15) menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi kitosan pada masing-masing umur panen berpengaruh terhadap nilai kadar abu karagenan. Penambahan kitosan dalam jumlah sedikit, mampu menurunkan kadar sulfat pada karagenan. Kadar abu pada penelitian ini masih memenuhi standar spesifikasi mutu karagenan yang ditetapkan FAO sebesar 15-40%. Semakin besar nilai kadar abu maka kandungan sulfat pada karagenan pun akan meningkat. Pada penelitian ini kitosan mampu menurunkan nilai kadar abu pada karagenan. Nilai kadar abu tertinggi pada asal bibit Kota Baru yaitu pada karagenan umur panen 60 hari adalah 17,46% dan terendah pada umur panen 30 hari. Karagenan hasil diekstraksi dari rumput laut asal bibit pulau Karimun memperoleh nilai tertinggi pada umur panen 60 hari dan terendah yaitu 16,74% pada umur panen 30 hari. Karagenan tanpa penambahan kitosan mendapatkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan ditambahkan kitosan.
Asal bibit Kota Baru memiliki penyerapan kitosan lebih baik daripada asal bibit pulau Karimun. Cara penyerapan kitosan yang berbeda disebabkan oleh karakteristik rumput laut yang berbeda walaupun berasal dari spesies yang sama. Penyebab lain yang dapat menyebabkan kadar abu tinggi yaitu sisa residu anorganik setelah bahan-bahan organik terbakar habis dapat mengakibatkan meningkatan kandungan mineral yang sangat mempengaruhi peningkatan kadar abu . Rumput laut termasuk bahan pangan yang mengandung mineral cukup tinggi antara lain Na, K, Cl, dan Mg (Winarno 1992). Natrium merupakan unsur mineral yang tidak terbakar (abu). Histogram kadar abu pada karagenan disajikan pada Gambar 21.
4.4.4 Kekuatan gel
Kekuatan gel merupakan sifat fisik karagenan yang utama, karena kekuatan gel menunjukkan kemampuan karagenan dalam pembentukan gel. Parameter yang paling penting untuk menentukan asal bibit, umur panen dan konsentrasi kitosan terbaik dalam proses ekstraksi karagenan adalah kekuatan gel. Kekuatan gel hasil olahan dari rumput laut sangat penting bagi berbagai industri pangan, non pangan, farmasi dan bioteknologi sebagai gelling agent, thickener, viscosifiying
agent, dan emulsifiying agent. Karagenan dapat berinteraksi dengan
makromolekul lain yang bermuatan, misalnya protein sehingga mampu 16,39 16,95 17,63 a/p a/p b/p a/p a/p b/p a/p a/p b/p 13 14 15 16 17 18 30 45 60 Kadar Abu (% )
Umur Panen (hari)
(A) 17,33 18,37 18,74 a/p b/p c/p a/pq b/pq c/pq a/pq b/pq c/pq 15,5 16 16,5 17 17,5 18 18,5 19 30 45 60 Kadar Abu (% )
Umur Panen (hari)
(B)
Gambar 21 Kadar abu karagenan dari rumput laut asal bibit (A) Kota Baru (B) pulau Karimun, umur panen dan konsentrasi kitosan yang berbeda ( ) kontrol, ( )kitosan 0,05%, ( ) kitosan 0,10%, ( ) kitosan 0,15%. Huruf (a,b,c) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan umur panen (p<0,05) berdasarkan uji Duncan. Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan konsentrasi kitosan (p<0,05) berdasarkan uji Duncan.
menghasilkan berbagai produk dengan sifat-sifat yang lebih baik seperti peningkatan viskositas dan pembentukan gel (Anggadiredja et al. 2007).
Konsistensi gel dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis, tipe karagenan, konsentrasi dan adanya ion-ion. Pembentukan gel karagenan dari bentuk cair kebentuk padat melibatkan penggabungan ikatan polimer sehingga membentuk struktur heliks rangkap yang dapat membentuk jaringan tiga dimensi. Adanya kotoran yang terperangkap ke dalam jaringan tiga dimensi, dapat menyebabkan jaringan tersebut berbentuk tidak teratur sehingga berpengaruh terhadap rendahnya kekuatan gel karagenan. Pembentukan gel pada karagenan bersifat reversibel yaitu gel dapat mencair pada saat pemanasan dan membentuk gel kembali pada saat pendinginan. Adanya selulosa pada produk
akhir dapat mengakibatkan gel yang terbentuk akan lebih rapuh (Blakemore dan Harpel 2010).
Pada asal bibit Kota Baru umur panen 30 hari memiliki nilai kekuatan gel yang rendah dibandingkan dengan umur panen 45 dan 60 hari. Penambahan kitosan pada masing-masing umur panen tidak menunjukkan perbedaan nyata (Lampiran 17) karena memperoleh nilai yang tidak jauh berbeda. Demikian halnya dengan asal bibit pulau Karimun menunjukkan nilai terendah pada umur panen 30 hari, meningkat saat dipanen pada umur 45 hari dan menurun kembali saat umur panen 60 hari. Penambahan kitosan pada masing-masing umur panen tanaman tidak menunjukkan nilai yang signifikan berbeda.
Kekuatan gel karagenan dari kedua asal bibit rumput laut ini diasumsikan memiliki nilai kekuatan gel yang efektif yaitu pada asal bibit Kota baru saat umur panen 45 hari dengan penambahan kitosan 0,10% yaitu 244,90 gf dan asal bibit pulau Karimun umur panen 45 hari dengan penambahan kitosan 0,15% yaitu 380,30 gf. Nilai kekuatan gel pada penelitian ini masih rendah, hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya kotoran atau selulosa yang ikut tersaring ke dalam filtrat selama proses. Semakin bertambah umur panen maka semakin meningkat nilai kekuatan gel. Dalam hal ini umur panen memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap kekuatan gel karagenan. Kualitas rumput laut sangat dipengaruhi oleh umur panen, cara panen dan keadaan cuaca pada saat panen. Umur panen 30 hari menghasilkan karagenan berkualitas rendah karena
kandungan karagenan dan kekuatan gelnya rendah. Kandungan sulfat dapat mempengaruhi kekuatan gel, semakin besar kandungan sulfat maka kekuatan gel semakin kecil (Chapman dan Chapman 1980). Pengaruh asal bibit, umur panen dan konsentrasi kitosan tepung karagenan dapat dilihat pada Gambar 22.
Kandungan sulfat pada karagenan berpengaruh terhadap nilai viskositas. Semakin rendah kandungan sulfat pada karagenan maka semakin kecil viskositas yang dihasilkan. Suhu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kekuatan gel. Pada penelitian ini rumput laut diekstraksi pada suhu 90-95 oC dengan air sebagai
113,46 230,60 227,96 a/p c/p b/p a/p c/pq b/p a/p c/p b/p 0 50 100 150 200 250 300 30 45 60 Kekuatan Gel (gf)
Umur Panen (hari)
(A) 210,20 341,40 243,03 a/p c/p b/p a/pq c/pq b/pq a/pq c/pq b/pq 0 50 100 150 200 250 300 350 400 30 45 60 Kekuatan Gel (gf)
Umur Panen (hari)
(B)
Gambar 22 Kekuatan gel karagenan dari rumput laut asal bibit (A) Kota Baru (B) pulau Karimun, umur panen dan konsentrasi kitosan yang berbeda ( ) kontrol, ( )kitosan 0,05%, ( ) kitosan 0,10%, ( ) kitosan 0,15%. Huruf (a,b,c) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan umur panen (p<0,05) berdasarkan uji Duncan. Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan konsentrasi kitosan (p<0,05) berdasarkan uji Duncan.
pelarut selama 2 jam dengan 2 kali penyaringan. Suhu ini merupakan suhu yang optimal untuk mendapatkan kekuatan gel (Stanley 1987).
Semakin kecil kandungan sulfat semakin kecil viskositas tetapi konsistensi gelnya semakin meningkat. Jenis rumput laut dan metode ekstraksi merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kekuatan gel (Glicksman 1983). Suhu ekstraksi selama 90-95 oC adalah suhu optimal untuk mendapatkan kekuatan gel (Stanley 1987). Dalam penelitian ini karagenan diperoleh dengan cara mengekstraksi rumput laut dengan air selama 2 jam dengan suhu 90-95 oC dengan dua kali penyaringan. Waktu absorbansi dengan penambahan kitosan sebagai absorben/pereduksi kotoran selama 30 menit.
Penambahan beberapa konsentrasi kitosan pada asal bibit Kota Baru dan pulau Karimun tidak banyak mempengaruhi nilai kekuatan gel, karena pada karagenan tanpa atau dengan penambahan kitosan memperoleh nilai yang tidak jauh berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang efektif waktu 30 menit untuk mengabsorbsi kotoran oleh kitosan dan kurang optimalnya penambahan konsentrasi kitosan pada karagenan.
4.4.5 Viskositas
Viskositas merupakan cara yang tepat untuk memantau berat molekul karagenan. Karagenan komersial memiliki berat molekul berkisar antara 200.000-800.000 dalton (Blakemore dalam Imeson 2010). Kekentalan karagenan tergantung pada konsentrasi larutan, suhu, tipe karagenan, dan molekul yang terlarut lainnya. Viskositas merupakan faktor kualitas yang penting untuk zat cair dan semi cair (kental) atau produk murni. Viskositas disebabkan oleh adanya daya tolak menolak antar grup sulfat yang bermuatan negatif di sepanjang rantai polimernya, sehingga menyebabkan rantai polimer kaku dan tertarik kencang. Peningkatan umur panen menyebabkan viskositas menurun, menurunnya nilai viskositas juga dapat dipengaruhi oleh kandungan sulfat (Suryaningrum 1988).
Viskositas asal bibit Kota Baru menunjukkan nilai yang menurun bersamaan dengan meningkatnya umur panen tanaman. Penambahan kitosan pada masing-masing umur panen menunjukkan reaksi apabila dibandingkan dengan kontrol. Pada masing-masing umur panen, penambahan kitosan 0,15% dapat menurunkan nilai viskositas. Hal ini diduga karena kitosan mampu menyerap kotoran-kotoran
yang terdapat pada karagenan dan penyaringan berpengaruh efektif untuk menurunkan nilai viskositas. Karagenan yang dihasilkan oleh rumput laut asal bibit pulau Karimun memperoleh nilai yang tidak jauh berbeda dengan asal bibit Kota Baru karena pada karagenan yang ditambahkan kitosan 0,15% dapat menurunkan nilai viskositas.
Nilai viskositas pada penelitian ini masih tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh komponen pengotor yang terbawa. Penyaringan merupakan titik kritis untuk menentukan mutu karagenan. Semakin besar mesh kain saring yang digunakan semakin baik mutu karagenan yang dihasilkan. Industri karagenan pada umumnya menggunakan kain saring dengan ukuran mesh diatas 250-400 (Murdinah 2008). Pada penelitian ini penyaringan pertama menggunakan kain blacu dengan mesh masih sangat rendah sehingga masih banyak pengotor, kemudian dilanjutkan dengan penyaringan kedua menggunakan kain saring dengan ukuran 300 mesh.
Asal bibit Kota Baru dan pulau Karimun memberikan nilai viskositas yang berbeda nyata. Viskositas pada asal bibit Kota Baru menurun bersamaan dengan meningkatnya umur panen. Umur panen memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap viskositas karagenan (Lampiran 19). Akan tetapi pada asal bibit pulau Karimun menunjukkan nilai viskositas tinggi saat umur panen 30 hari dan menurun pada umur panen 45 hari kemudian kembali meningkat pada saat umur panen 60 hari. Selain dipengaruhi oleh faktor umur tanaman, viskositas juga dapat dipengaruhi oleh ukuran filter yang digunakan. Viskositas suatu larutan sebelum disaring akan lebih tinggi dibandingkan filtratnya, karena proses filtrasi dengan ukuran partikel tertentu dapat memisahkan dan menahan ukuran molekul yang lebih besar (Uju 2005).
Nilai viskositas berbanding terbalik dengan nilai kekuatan gel. Jika viskositas tinggi maka kekuatan gel cenderung rendah demikian pula sebaliknya. Viskositas karagenan menurun apabila suhu pada saat ekstraksi ditingkatkan. Perubahan tersebut bersifat dapat kembali bila pemanasan dilakukan tidak terlalu lama karena ekstraksi yang singkat menghasilkan larutan karagenan yang tidak terlalu kental, kemungkinan proses eliminasi sulfat dapat lebih sempurna. Viskositas larutan karagenan tidak dipengaruhi oleh kation monovalen, akan tetapi saat konsentrasi tinggi, kation divalent cenderung mampu menurunkan
viskositas karagenan dan meningkat kembali pada konsentrasi rendah (Angka dan Suhartono 2000). Nilai viskositas karagenan yang diperoleh masih memenuhi standar yang ditetapkan FAO minimal 5 cP. Histogram nilai viskositas karagenan dapat dilihat pada Gambar 23.
4.5 Karakteristik Karagenan Terbaik
Secara kualitatif karagenan berdasarkan analisa sebelumnya memperoleh nilai rendemen yang lebih baik pada saat rumput laut berumur 60 hari untuk kedua asal bibit yang berbeda tersebut. Akan tetapi secara kualitas berdasarkan parameter kadar air, kadar abu, kekuatan gel dan viskositas, karagenan pada umur panen 45 hari dari kedua asal bibit tersebut memperoleh kriteria yang terbaik. Oleh karena itu karakteristik karagenan yang terbaik diambil berdasakan kualitas.
59,81 40,51 45,84 c/r a/r b/r c/q a/q b/q c/p a/p b/p 0 10 20 30 40 50 60 70 30 45 60 Vi skosi tas (cP)
Umur Panen (hari)
(A) 49,77 44,00 59,33 b/r a/r c/r b/q a/q c/q b/p a/p c/p 0 10 20 30 40 50 60 70 30 45 60 Vi skosi tas (cP)
Umur Panen (hari)
(B)
Gambar 23 Viskositas karagenan dari rumput laut asal bibit (A) Kota Baru (B) pulau Karimun, umur panen dan konsentrasi kitosan yang berbeda ( ) kontrol, ( ) kitosan 0,05%, ( ) kitosan 0,10%, ( ) kitosan 0,15%. Huruf (a,b,c) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan umur panen (p<0,05) berdasarkan uji Duncan. Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan konsentrasi kitosan (p<0,05) berdasarkan uji Duncan.
Karagenan dari penambahan konsentrasi kitosan 0,10% pada umur panen 45 hari asal bibit Kota baru dan penambahan konsentrasi kitosan 0,15% pada umur panen 45 hari asal bibit Pulau Karimun. Sifat fisika dan kimia karagenan terbaik dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sifat fisiko-kimia karagenan terbaik
Parameter Asal Bibit Standar Karagenan
Kota Baru Pulau Karimun
Tanpa Kitosan Kitosan 0,10% Tanpa Kitosan Kitosan 0,15% FAO FCC EEC Titik jendal (oC) 34,40 36,60 33,30 33,50 - - - Titik leleh (oC) 48,80 53,90 52,80 52,90 - - - Derajat putih (%) 34,85 39,13 28,88 31,00 - - - Sulfat (%) 17,18 15,80 17,12 16,19 15-40 18-40 15-40 Logam berat (ppm)
Pb Ttd Ttd Ttd Ttd Maks.10 Maks.10 Maks.10
Cu 5,56 4,62 3,61 3,57 Maks.3 Maks.3 Maks.3
Zn 21,46 19,73 22,21 18,05 - - Maks.50
As Ttd Ttd Ttd Ttd - - Maks.25
4.5.1 Titik jendal dan titik leleh
Ketika karagenan mampu membentuk gel maka struktur heliks akan stabil dan menjadi sangat kuat (Blakemore dan Harpel 2010). Titik jendal karagenan merupakan kemampuan karagenan membentuk gel pada suhu larutan karagenan dalam konsentrasi tertentu. Pada penelitian ini nilai titik jendal pada asal bibit Kota Baru dengan kitosan 0,10% yaitu 36,60 oC lebih tinggi dari pada kontrol. Moraino (1977) diacu dalam Suryaningrum et al. (1991) menyatakan bahwa suhu titik gel kappa karagenan 10-15 oC diatas suhu titik gelnya. Karagenan dapat membentuk gel secara reversible, artinya membentuk gel pada saat pendinginan dan mencairkan kembali jika dipanaskan. Suhu titik jendal asal bibit pulau Karimun mendapatkan nilai lebih rendah daripada asal bibit Kota Baru. Hal ini dipengaruhi oleh nilai sulfat, daerah asal bibit dan cara ekstraksi. Tingginya kandungan sulfat dapat menyebabkan nilai suhu titik jendal dan titik leleh menurun. Sulfat cenderung menyebabkan polimer-polimer terdapat dalam bentuk sol, sehingga suhu titik gel sulit terbentuk (Syamsuar 2006).
Titik leleh adalah suhu dimana pertama kali gel mengalami pelelehan. Titik jendal dan titik leleh saling berhubungan karena semakin tinggi suhu titik gelnya maka semakin tinggi pula suhu titik lelehnya. Nilai titik leleh pada asal bibit Kota
Baru yaitu 53,90 oC dengan penambahan kitosan 0,10% dan 48,80 oC tanpa penambahan kitosan. Penambahan kitosan 0,10% pada karagenan dari hasil ekstraksi rumput laut asal bibit Kota baru menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan karena kitosan mampu meningkatkan nilai titik leleh. Nilai titik jendal dan titik leleh rendah disebabkan oleh besarnya kandungan sulfat pada tepung karagenan.
Pada karagenan asal bibit pulau Karimun, titik leleh memperoleh nilai 52,90 oC dengan penambahan kitosan 0,15% dan 52,80 oC tanpa penambahan kitosan. Penambahan kitosan 0,15% tidak memberikan pengaruh yang besar pada karagenan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh tingginya sulfat karagenan dari rumput laut asal bibit pulau Karimun, sehingga penambahan kitosan 0,15% belum mampu untuk mengurangi kandungan sulfat tepung karagenan.
4.5.2 Derajat putih
Tepung karagenan yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna agak kecoklatan. Karagenan yang bermutu tinggi yaitu tidak berwarna atau diharapkan derajat putih mendekati 100% sehingga penggunaannya dapat diaplikasikan secara luas. Warna kecoklatan pada karagenan yang dihasilkan dari rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii disebabkan oleh masih adanya selulosa dan warna (pigmen) alami rumput laut tersebut. Pada tanaman selulosa terdapat dalam jumlah banyak karena selulosa merupakan serat-serat panjang yang bersama-sama hemiselulosa, pektin dan protein membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel tanaman (Winarno 2008).
Keadaan warna thallus rumput laut dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berubah, hal ini merupakan proses modifikasi yaitu perubahan bentuk dan sifat luar (fenotif) yang tidak kekal akibat pengaruh lingkungan antara lain iklim dan oseanografis yang relatif cukup besar. Selain itu pigmen juga menentukan warna rumput laut. Pigmen utama pada beberapa makroalga adalah klorofil, karoten, fikoeritrin dan fikosianin namun memiliki kadar yang berbeda pada setiap spesiesnya. Selulosa dan pigmen yang tidak dapat dipisahkan akan menyebabkan karagenan yang dihasilkan berwarna keruh (Zamorano et al. 2002).
Penelitian Syamsuar (2006) pada karagenan memperlihatkan nilai derajat putih yaitu 62,40% dengan ekstraksi menggunakan KOH 9% mendekati derajat
putih karagenan komersial sebesar 65,14%. Pada Tabel 7 dipaparkan nilai derajat putih karagenan asal Bibit Kota Baru yaitu 39,13% dan pada bibit asal Pulau Karimun yaitu 31,00%. Pada asal bibit Kota baru penambahan kitosan 0,10% mampu meningkatkan nilai derajat putih karagenan dibandingkan dengan tanpa penambahan kitosan. Sedangkan pada asal bibit pulau Karimun, penambahan kitosan 0,15% hanya memberikan sedikit peningkatan terhadap nilai derajat putih tepung karagenan. Hal ini diduga karena rumput laut asal bibit pulau Karimun mempunyai warna yang lebih coklat serta saat pemucatan dengan menggunakan NaOH dan H2O2 belum mampu menghilangkan warna coklat rumput laut yang berasal dari pigmen fikoeritrin dan fikosianin yang bersifat larut dalam air tetapi tidak larut dalam pelarut organik (Uju 2005). Selain itu proses pengeringan menggunakan oven pada suhu 60 oC juga menjadi penyebab warna karagenan menjadi buram dibandingkan dengan dijemur secara alami (Banadib dan Khoiruman 2009).
4.5.3 Kadar sulfat
Karagenan adalah ekstrak yang tidak berubah dari karagenofit.
Carrageenate adalah garam tertentu dari asam karagenik. Karagenan adalah
hidrokoloid yang mengandung sulfat tinggi. Konsentrasi sulfat pada karagenan dipengaruhi oleh perbedaan jenis, asal rumput laut, metoda ekstraksi, serta umur panen. Kadar sulfat merupakan parameter yang digunakan untuk berbagai jenis polisakarida yang terdapat pada alga merah (Winarno 1996). Sulfat merupakan salah satu komponen pengotor yang dapat menurunkan kekuatan gel pada karagenan. Berdasarkan kandungan sulfatnya maka karagenan dibagi menjadi dua fraksi yaitu kappa karagenan yang mengandung sulfat kurang dari 28%, sedangkan iota karagenan yang lebih dari 30% (Doty 1987).
Kadar sulfat karagenan tanpa penambahan kitosan pada bibit asal kota baru dan pulau Karimun memperoleh nilai yang tidak berbeda jauh, yaitu 17,18% dan 17,12%. Kandungan sulfat karagenan dengan penambahan kitosan 0,10% pada bibit asal kota baru memperoleh nilai 15,98%, sedangkan sulfat bibit asal pulau Karimun dengan penambahan kitosan 0,15% yaitu 16,19%. Kadar sulfat yang distandarkan oleh FAO untuk karagenan yaitu 15-40%. Nilai sulfat dari penelitian
ini masih memenuhi standar yang telah ditentukan. Kadar sulfat karagenan dapat dilihat pada Tabel 7.
Karagenan asal bibit Kota Baru bila dibandingkan dengan asal bibit pulau Karimun memperoleh nilai sulfat yang tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa komponen pengotor pada kedua jenis asal bibit rumput laut ini masih tinggi. Kandungan sulfat berbanding lurus dengan viskositas karagenan. Rendahnya kandungan sulfat dapat menyebabkan viskositas karagenan menurun. Karagenan dan agar dibedakan berdasarkan kandungan sulfatnya, karagenan mengandung minimal 18% dan agar-agar hanya mengandung sulfat 3-4% (Food Chemical Codex, 1974).
4.5.4 Logam berat
Logam berat merupakan logam yang masa atom relatifnya besar. Logam berat pada perairan berpotensi sebagai pencemar yang berbahaya karena logam berat memiliki sifat yang tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup yang ada dilingkungan. Logam berat merupakan parameter yang menunjukan adanya pencemaran pada lokasi penanaman rumput laut, karena rumput laut mampu menyerap logam berat dari perairan melalui proses absorbsi. Umumnya logam berat bersifat racun meskipun dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh. Logam Cu dan Zn dibutuhkan oleh organisme perairan sebagai kofaktor dalam proses fisiologi enzim, sedangkan Pb, Hg dan Cd belum diketahui manfaatnya bagi organisme, sebaliknya dapat menimbulkan penyakit (Fahmi 2009).
Pada penelitian ini tidak terdeteksi adanya Pb dan As pada tepung karagenan melainkan Cu dan Zn. Nilai kadar logam dari kedua asal bibit dapat dilihat pada Tabel 7. Logam berat pada karagenan berasal dari perairan tempat budidaya rumput laut. Rumput laut mampu menyerap logam berat dari perairan melalui proses absorbsi. Adanya seng dalam karagenan disebabkan akumulasi seng oleh rumput laut melalui absorbsi atau proses pertukaran ion. Proses ini terjadi melalui dinding sel rumput laut, yang kemudian bersenyawa dengan protein dan polisakarida. Kandungan logam Cu dan Zn karagenan pada penelitian ini masih memenuhi standar EEC yaitu maksimal 50 dan 25 ppm.
Kitosan mempunyai bentuk kristal rombik dengan struktur saling silang antar bentuk alfa, beta dan gamma, membentuk suatu matriks sebagai resin sehingga cocok untuk digunakan sebagai absorben. Kitosan mampu mengikat logam berat karena kitosan polielektrolit bermuatan negatif sedangkan logam bermuatan positif. Kitosan bersifat polikatonik karena dapat mengikat lemak dan logam berat pencemar. Kitosan memiliki gugus amina yaitu unsur N yang sangat reaktif dan bersifat basa. Pada penelitian ini kitosan dimanfaatkan sebagai absorban untuk memurnikan karagenan (Rumapea 2009). Logam Cu dan Zn pada asal bibit Kota Baru dan pulau Karimun mendapat nilai yang berbeda. Logam berat pada karagenan disebabkan oleh pencemaran air yang berasal dari perairan. Beberapa logam berat yang sering di jumpai pada perairan antara lain Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Seng (Zn) dan Tembaga (Cu) dalam bentuk senyawa toksik.
4.6. Produksi Karagenan
Sebelum tahun 90-an rumput laut masih diekspor dalam bentuk kering, akan tetapi saat ini telah diekspor bentuk hasil olahan misalnya karagenan setengah jadi yang dikenal dengan semi-refined karagenan (SRC) dan kappa refined-karagenan (SC). Kappa dan iota adalah dua tipe karagenan yang berhasil dibudidayakan sebagai bahan untuk membuat karagenan (SRC) dan (RC). Produsen karagenan di dalam negeri lebih banyak memproduksi SRC food grade dibanding RC karena memiliki harga cukup tinggi.
Produksi karagenan kini telah banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa daerah terbukti telah mencoba memproduksi karagenan dari rumput laut kering. Beberapa PT dan CV dalam negeri yang melakukan kegiatan industri karagenan yaitu PT Bantimurung Indah, CV Cahaya Cemerlang, PT Giwang Citra Laut di Sulawesi; PT Centram, PT Surya Indo Algas, PT Algalindo, PT Seamatec, PT Amarta Carrageenan di Surabaya, PT Khalis di Madura, PT Phoenix Mas di Mataram; PT Michelindo di Jawa Tengah, PT Galic Artha Bahari di Bekasi, PT Gumindo Perkasa Indonesia (PT Lautan Luas) di Banten, PT Indoking Aneka Agar-agar di Medan. Produk karagenan yang diproduksi dalam bentuk SRC chips dan powder dimanfaatkan sebagai food dan non-food grade.
Karagenan yang berasal dari rumput laut asal bibit Kota Baru dan pulau Karimun menghasilkan tepung berwarna agak kecoklatan dan proses pengolahan
karagenan dilakukan pada skala laboratorium. Sebelum masuk ke skala besar diperlukan perincian biaya produksi dalam skala laboratorium. Karagenan yang berkembang sekarang ini menggunakan proses perlakuan dengan alkali untuk memperoleh bentuk gel yang lebih baik dari karagenan. Penambahan alkali ini umum digunakan di industri pembuatan karagenan sebagai nilai tambah dari karagenan. Kalium hidroksida merupakan bahan alkali yang umum digunakan pada proses pembuatan karagenan. Akan tetapi pada penelitian ini bahan alkali diganti dengan kitosan. Kitosan merupakan bahan alami yang berasal dari kulit udang dan kepiting sehingga aman untuk dikonsumsi dan menekan penggunaan bahan kimia pada pengolahan karagenan. Biaya poduksi karagenan sebagai bahan pemurni dapat dilihat pada Lampiran 3.