• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMUNGKINAN BUDIDAYA PORPHYRA ( RHODOPHYTA, BANGIALES ) DI PERAIRAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMUNGKINAN BUDIDAYA PORPHYRA ( RHODOPHYTA, BANGIALES ) DI PERAIRAN INDONESIA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XV, Nomor 1 : 1 - 1 1 ISSN 0216-1877

KEMUNGKINAN BUDIDAYA PORPHYRA ( RHODOPHYTA, BANGIALES ) DI PERAIRAN INDONESIA

oleh AGUS M.HATTA 1)

ABSTRACT

A POSIBILITY ON CULTURING PORPHYRA ( RHODOPHYTA, BANGIA-LES ) IN INDONESIAN WATERS The occurance of Porphyra in Indonesia is well

known, but the period of its vegetative phase is very restricted. In Ambon Island this period takes place from July to September. Apparently this algae is showing a good prospect by having a very high price. Further the outhor considers, especially in Indo-nesia, only by culturing Porphyra the dried product of this algae can be raised. To support the realization of this culture, some aspects on culturing Porphyra have been discussed, such as the prediction on its phenology, the environmental factors asso-siated and the culturing method.

PENDAHULUAN

Porphyra sebagai anggota kelompok Rhodophyta ternyata mempunyai nflai eko-nomi yang sangat pen ting. Berbeda dengan Eucheuma, Gracilaria dan Gelidium yang nilai ekonomisnya tergantung dari hasil peng-olahan ekstrak phycocolloidnya, maka pada Porphyra nilai ekonomisnya diperoleh dari pemanfaatannya sebagai sayur laut. Disam-ping itu Porphyra dapat juga digunakan da-lam bidang medis terutama sebagai "kom-pres panas" (poultices dan cataplasms). Konsumen terbesar sayur laut ini adalah masyarakat Jepang, dengan tingkat kebutuh-annya semakin naik dari tahun ke tahun. Diperkirakan sejak tahun enampuluhan pro-duksi Porphyra kering (lebih dikenal sebagai

"nori") sekitar 120.000 metrik ton/tahun (= 4 x 109 lembar/tahun). Di kawasan Indo-Pasifik sayur laut Porphyra juga dikenal dan tentunya dengan nama daerah masing-ma-sing, seperti : limu luau dan limu lipahee dari kepulauan Hawaii; garnet dari provinsi flocos, Filipina; dan sayur laut dari Malu-ku, Indonesia. Tetapi pemanfaatan di kawa-san ini masih belum sebesar di Jepang. Kenapa Porphyra banyak dikonsum-si ?. Ini tentunya tidak lepas dari berbagai faktor, diantaranya adalah : rasanya yang khas, teksturnya yang halus dan lembut dan kandungan nutrieanya yang cukup tinggi (Tabel 1). Dari tabel 1 tersebut tam-paknya sayur laut ini sangat ideal sebagai salah satu jenis makanan penunjang sehari-hari, bahkan lebih baik nutrieanya dari pada

(2)

sayuran daratan. Bagi masyarakat Indonesia yang mudah terbiasa memakan sayur-sayur-an, tampaknya pengenalan sayur laut ini tidak akan menemui kesulitan.

Dari segi nilai ekonomi ternyata Por-phyra memberikan prospek yang sangat baik sebagai gambaran bila musim sayur laut ini tiba, di Pulau Ambon, harganya bisa men-capai Rp. 15.000,- - Rp. 20.000,- perkilo-gram berat kering di pasar. Hal ini tentu-nya memberikan suatu tantangan baru dalam bidang usaha budidaya rumput laut, kehu-susnya di daerah yang potensial akan jenis sayur laut ini.

Berbeda dengan jenis-jenis rumput laut ekonomis penting lainnya yang bisa dijum-pai pada periode yang panjang setiap tahun, maka waktu "blooming" Porphyra sangat terbatas. Di Pulau Ambon periode itu ber-langsung sekitar bulan Juli — September, dan hanya dijumpai di lokasi-lokasi tertentu yang sulit didatangi orang. Keadaan ini yang menyebabkan produktivitas alamiahnya ren-dah, dan aspek ini pulalah yang memberi arti penting bagi usaha budidaya Porphyra di Indonesia.

Adapun jenis yang ditemukan di Pulau Ambon adalah Porphyra marcosii CORDE-RO. Berbeda dengan jenis-jenis Porphyra dari daerah subtropis yang bisa mencapai panjang 35 cm dan lebar 10 cm, maka jenis yang ditemukan di Pulau Ambon berukuran jauh lebih kecil, yaitu panjang antara 3 - 7 cm serta lebar antara 0,5 — 2 cm. Algae ini tum-buh menempel pada batuan karang di daerah pasang - surut di daerah pantai bertepi terbuka.

Untuk mengupayakan budidaya Por-phyra ternyata tidaklah semudah membu-didayakan Gracilaria, Eucheuma maupun Caulerpa, Belajar dari kesuksesan budidaya Porphyra di Jepang, maka aspek biologi algae ini harus betul-betul dikuasai, yaitu meliputi pola reproduksi dan ekologinya. Disamping itu tentunya tehnik budidayapun harus disesuaikan dengan kondisi di Indone-sia.

BIOLOGI PORPHYRA Siklus Hidup

Porphyra adalah rumput laut merah yang mempunyai sifat dimorfisme, yaitu dalam siklus hidupnya terdapat dua bentuk morfologi yang berlainan karakternya (Gam-bar 2). Bentuk pertama adalah bentuk mi-kroskopis dan biasa disebut fase vegetatif. Fase ini bersifat haploid ( n ), dan bentuk inilah yang akan dimanfaatkan. Bentuk ke-dua adalah bentuk (semi) mikroskopis, berupa filamen (benang-benang) halus dan kecil yang tumbuh menempel pada permuka-an cpermuka-angkpermuka-ang bivlavia ypermuka-ang sudah mati. Bentuk ini biasa disebut dengan fase kon-khoselis serta bersifat diploid (2n). Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa fase vege-tatif algae pada umumnya menghasilkan spermatia (spora beta) dan benih telur (kar-pogonia). Kedua alat reproduksi ini terletak

(3)

pada permukaan thallus (lembar algae) dan bisa dibedakan satu dengan yang lain berda-sarkan ukuran dan bentuk kelompoknya. Proses reproduksi seksual dimulai dengan le-pasnya spermatia, yang kemudian menem-pel pada karpogonia. Pada tahap berikutnya akan terbentuk saluran kecil, "prototri-chogynes", yang memungkinkan terjadinya fusi kedua organ seksual tersebut. Dari hasil proses ini akan terbentuk karpospora (spora alfa) yang akan memulai pembentukan fase konkhoselis. Suatu hal yang perlu diperhati-kan adalah adanya kemampuan algae untuk

menghasilkan aplanospora yang bisa berkem-bang langsung menjadi Thalli dewasa. Karpospora setelah menempel; pada cangkang bivalvia akan berkecambah mem-bentuk algae halus, dan dibedakan atas bagian yang menjalar ("prostrate") dan bagian benang tegak ("erect"). Setelah periode tertentu fase ini menghasilkan konskhospora, yang nantinya akan di-lepaskan dan tumbuh sebagai algae vegetatif. Tetapi pada kondisi tertentu fase ini mampu menghasilkan monospora (spora tunggal), dan darinya bisa muncul algae fase konkhoselis baru.

Gambar 1. Porphyra marcosii

Gambar 1 A. Morfologi fase vegetatif algae pada bulan Agustus. Gambar 1 B. Perbesaran gerigi halus pada tepi thallus.

(4)
(5)

Pada Porphyra ternyata proses repro-duksi seksual sangat menonjol, sementara perbanyakan aseksual lewat penggandaan vegetatif (fragmentasi) belum pernah dila-porkan. Dalam budidaya perbanyakan bibit juga harus melalui fase reproduksi seksual.

Hal yang menarik dari proses repro-duksi ini adalah peranan faktor fisik ling-kungan yang meliputi suhu dan lama penyi-naran matahari. Di daerah subtropis, sepan-jang tahun kedua faktor tersebut mempu-nyai amplitudo yang sangat besar. Sebalik-nya di daerah tropis amplitudo tersebut relatif kecil, tetapi efeknya tetap nyata. Untuk menjelaskan pentingnya pengaruh kedua faktor tersebut KAPRAUN & LEMUS (1987) telah berhasil membuktikannya pada Porphyra spiralis var. Amplifora yang di-jumpai di Venezuela, salah satu negara di Amerika Tengah yang masih dipengaruhi oleh iklim tropis Atlantik. Hasil penelitian mereka dilaboratorium menunjukkan bahwa pembentukan dan pelepasan konkhospora dipengaruhi oleh suatu kombinasi antara periode siang yang pendek ( < 12 jam) dan suhu air laut yang tinggi (19—30°C) untuk hal pertama dan suhu air laut rendah (15-23°C) untuk hal yang kedua. Sementa-ra di alam konkhospoSementa-ra melimpah pada bulan September — Oktober pada saat periode siang pendek dan suhu air laut > 25°C. Dalam beberapa minggu konkhos-pora ini berkembang menjadi thalli dewasa (fase vegetatif) dan mencapai ukuran maksi-mum pada bulan Februari. Kedua peneliti tersebut juga berpendapat bahwa turunnya suhu air laut sebesar 2 — 3°C cukup untuk memacu pelepasan konkhospora di alam. Berbeda dengan hal di atas, pembentukan karpospora dan spermatia berada pada ki-saran suhu dan periode siang yang lebar. Pada jenis-jenis Porphyra yang lain pemben-tukan kedua organ seksual ini bisa terjadi

pada periode siang hari yang pendek (8Jam) maupun panjang (16 jam) dengan kisaran suhu air laut antara 10 - 30°C (KARPRA-UN& LUSTER 1980).

Meskipun penelitian siklus Porphyra di Indonesia belum pernah ada, tetapi dari fenologi algae ini (khususnya di Pulau Ambon) bisa diperkirakan bagaimana dan kapan proses reproduksi tersebut berlang-sung. Pada Gambar 3 penulis mencoba mere-ka periode-periode fase reproduksi. Remere-kaart ini didasari atas data-data metecrologi yang diambil dari tahun 1983 dan 1984. Diharap-kan suhu rata-rata permukaan air laut pada bulan-bulan bersangkutan masih berada diba-wah suhu udara.

Fenologi Porphyra di Pulau Ambon menunjukkan bahwa fase lembaran thalli terjadi antara bulan Juli — September. Ukuran thalli maksimum dicapai pada bulan Agustus saat suhu minimum terendah, ke~ mudian perkembangan dihambat oleh naik-nya suhu yang melebilii 31°C pada buian Oktober. Pada sampel yang dikoieksi pada bulan Agustus ditemukan adanya spermatia dan karpogonia. Ini menjelaskan bahwa Porphyra di Indonesia cepat mengalami pemasakan seksual. Munculnya lembaran thalli tentunya diawali dengan pelepasan konkhospora. Dan bila proses perkembang-annya menjadi vegetatif dewasa berkisar antara 4 — 6 minggu, maka diduga pelepasan konkhospora terjadi sekitar bulan Juni — Juli, dimana suhu maksimum terendah udara dicapai pada bulan Juni. Sedang pemben-tukan konkhospora diperkirakan mulai terjadi pada bulan Mei, pada saat ini panjang siangnya kurang dari 12 jam dan suhu menu-run drastis sebesar 2,65°C dari saat terting-ginya (31,9°C) pada bulan Maret. Kondisi pada bulan Mei tersebut sesuai dengan persyaratan pertumbuhan konkhospora.

(6)

Gambar 3. Hubungan antara kondisi klimatologi dengan rekaan fenologi Porphyra mar-cosii di Pulau Ambon, (pk) : fase pembentukan konkhospora; (bk) : fase pelepasan konkhospora; (up) : fase lembaran thalli; bidang terarsir tegak = temperatur rata-rata tahunan udara, garis putus-putus = curah hujan. Penje-lasan lengkap baca teks.

(7)

Ekologi

Meskipun sebaran horizontal Porphyra boleh dikatakan kosmopolitan, mulai dari perairan subtropis sampai daerah tropis, te-tapi sebaran vertikalnya sangat terbatas. Pada umumnya di alam algae ini dijumpai di daerah pasang - surut (littoral), tepatnya di supra - littoral. Hidup di atas batuan ka-rang pada pantai yang terbuka serta bersa-linitas tinggi. Meskipun demikian ada pula jenis yang menyukai daerah muara sungai dengan pantai yang agak terlindung (semi-exposed) serta salinitas perairan yang relatif rendah, yaitu Porphyra tenera.

Telah disinggung di bagian pendahulu-an tentpendahulu-ang keberadapendahulu-an Porphyra di Pulau Ambon. Keterbatasan periode munculnya lembaran thalli di pulau tersebut sejauh ini hanya dikaitkan dengan adanya perubahan kondisi lingkungan fisik akibat perubahan musim. Suatu hal yang perlu diteliti lebih lanjut adalah kemungkinan adanya peranan "local upwelling" di sekitar lokasi algae muncul, mengingat topografi dasar laut di daerah tersebut memungkinkan munculnya fenomena tersebut.

USAHA BUDIDAYA

Bisakah Porphyra dibudidayakan di perairan Indonesia ?. Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita harus mengevaluasi paling tidak dua faktor dasar yang merupakan indikator untuk bahan per-timbangan suatu usaha budidaya, yaitu :

a).Potensi biologi b).Potensi lingkungan.

Indikator pertama secara fisik ditun-jukkan oleh tersedianya bibit. Hal ini meru-pakan suatu indikator yang mudah diamati. Untuk Pulau Ambon hal ini bulan masalah. Indikator kedua sebetulnya sangat kom-

pleks, karena bisa meliputi : salinitas, kan-dungan nutriea (fosfat dan nitrat), kekuatan arus, suhu dan kekeruhan serta kecepatan pengendapannya. Indikator kedua tampak-nya lebih menentukan daripada yang perta-ma. Kesesuaian kombinasi faktor-faktor ling-kungan bagi suatu jenis algae sebetulnya bisa diuji dengan indikator pertama. Bila indikator pertama tidak ada dan guna mem-peroleh kepastian maka dengan jalan pengu-kuran bisa diperoleh hasil yang lebih pasti dan memudahkan dalam evaluasi.

Dari indikator kedua tersebut muncul pertanyaan baru : Apakah kombinasi fak-tor-faktor lingkungan ini memenuhi persya-ratan optimal bagi pertumbuhan thalli Por-phyra ?. Jawabannya adalah tidak. Karena salah satu syarat untuk tumbuh maksimal diperlukan suhu air laut permukaan opti-mal antara 20 - 25°C. Meskipun demikian suhu maksimum air laut permukaan pada bulan-bulan sejuk di Indonesia masih dalam batas toleransi pertumbuhannya.

Dari penjelasan di atas, maka terbuka kemungkinan diperairan Indonesia (khusus-nya Pulau Ambon) untuk melakukan usaha budidaya Porphyra. Dengan suatu catatan bahwa hasil yang diperoleh adalah lembaran thalli berukuran kecil. Karena tingkat per-tumbuhan algae tersebut tidak pada kondisi optimal. Hal ini disebabkan oleh tingginya suhu lingkungan perairan tempat algae ter-sebut hidup.

Suatu catatan lain mengenai kedua in-dikator budidaya di atas adalah bahwa tiadanya bibit pada suatu lokasi bukan ber-arti budidaya tidak bisa dijalankan. Bila persyaratan lingkungan memenuhi, maka bibit bisa didatangkan dari daerah lain.

Usaha budidaya Porphyra marcosii yang akan dijelaskan berikut ini bertujuan untuk memperbesar peluang memperoleh lembaran thalli secara alamiah, memudah-

(8)

kan pengambilan hasil dan kemungkinan untuk memperluas daerah budidaya. Dalam tulisan ini sengaja metoda budidaya yang ditampilkan masih berpola tradisionil tanpa memerlukan tehnik yang lebih maju, karena sasaran pemakainya adalah masyarakat desa pantai serta tidak diperlukan tersedianya modal yang relatif besar.

Budidaya ini terdiri atas tiga tahapan usaha,yaitu :

1. Penangkapan konkhospora, 2. Pembesaran lembaran thalli, dan 3. Pembuatan lembaran thalli kering.

Di alam karpospora yang dilepaskan oleh fase konkhoselis akan disebarkan oleh air laut kesegala arah, sehingga sukar untuk

memperolehnya. Berdasarkan metode budi-daya Porphyra yang dilakukan di Jepang (MIURA 1975), maka di Indonesia bisa diupayakan suatu tehnik untuk meftangkap karpospora tersebut. Caranya adalah dengan menyediakan suatu substrat buatan yang terbuat dari anyaman belahan bambu, suatu bahan konstruksi alami yang mudah dipero-leh dan murah. Bentuk konstruksi substrat ini menyerupai krei (penapis sinar matahari) (Gambar 4 a,b) hanya disini ukuran bilah dan jaraknya lebih besar. Ukuran substrat ini dibuat kecil, sekitar 200 cm x 140 cm, untuk memudahkan penggelaran dan ke-mungkinan untuk memindahkan substrat yang telah ditempeli konkhospora ke lokasi lain yang lebih baik.

Gambar 4 a. Bentuk substrat buatan penangkap konkhospora, terbuat dari anyaman bambu.

(9)

Penggelaran substrat penangkap kon-khospora ini sebaiknya dilakukan pada per-tengahan Mei, karena pada saat ini konkhos-pora sudah mulai terbentuk. Pemasangan sebaiknya dilakukan pada saat surut ter-besar di perairan yang mempunyai kedala-man sekitar 40 - 50 cm. Tali pengikat se-baiknya tidak terlau panjang, sedemikian rupa sehingga pada waktu air laut pasang besar substrat masih ada di bawah permu-

an air (Gambar 5). Untuk memperbaiki daya apung subtrat, diperlukan tambahan pelampung yang bisa dibuat dari ban vespa bekas.

Keberhasilan penangkapan konkhos-pora ini bisa diamati bila setelah 3-4 ming-gu tampak adanya kecambah Porphyra. Bila ini terjadi berarti tahap pembesaran thalli segera dimulai.

/»//////////•//////

Gambar 5. Cara penggelaran substrat penangkap konkhospora. Penjelasan baca teks. (ars) : air surut besar; (acp) : air pasang besar; (p) : pelampung; 0) :Jan8" kar (penahan substrat).

20

(10)

Tahap pembesaran ini bisa dilakukan di tempat penggelaran substrat tanpa meru-bah tatacara pemasangannya, atau dipindah-kan ke lokasi lain yang dipandang lebih baik. Bfla hal terakhir ini akan dilakukan, maka harus dikerjakan dengan hati - hati. Selama pemindahan, substrat bisa digulung tetapi harus tetap basah. Pemindahan se-baiknya dilakukan secepat mungkin. Pada tahap ini perawatan sangat diperlukan. Di Pulau Ambon lembaran thalli Porphyra biasa ditempel oleh algae merah yang ber-bentuk seperti rambut dari jenis Eritro-trichia parietalis. Kebetulan sekali epifit ini juga bisa dikonsumsi sebagai sayuran, tetapi lebih baik bila secara teratur kebera-daannya bisa dikontrol. Karena bagaimana-pun juga epifit akan mengurangi efekti-fitas tumbuh algae inang.

Tahap terakhir adalah pemanenan. Ini bisa dilakukan setelah 4 — 6 minggu atau bila thalli sudah mencapai panjang maksi-mum sekitar 5 — 7 cm. Kelambatan pema-nenan bisa menyebabkan hasil yang dipero-leh tidak memuaskan. Karena pada periode panen ini suhu udara akan semakin tinggi sehingga dikhawatirkan bisa menyebabkan kerusakan pada thalli. Pemanenan dilakukan dengan tangan. Lembaran thalli yang dipero-leh kemudian dicuci dengan air laut untuk membersihkannya dari benda-benda penem-pel serta diseleksi. Thalli yang sudah mati (warna merahnya telah hilang) disisihkan, hal ini perlu untuk menjaga kualitas hasil keringnya. Di toko atau di pasar, algae ini biasa dijual sebagai gulungan atau lembaran kering, bentuknya bisa bulat atau persegi dengan berat sekitar 25 gram per lembarnya dalam kemasan isi 4 lembar. Cara pembuatan hasil kering tersebut adalah dengan me-nuangkan adonan thalli basah kedalam suatu cetakan kayu yang berukuran sekitar 20 x 20 cm , dan bagian sisi bawah cetakan ter-

buat dari kasa (bisa dari kawat baja atau sintesis) halus. Setelah adonan dituang de-ngan ketebalan tertentu, maka akan terben-tuk lembaran besar, dan ini kemudian di-pindahkan ke alas pengering.

Setelah musim algae ini berakhir, subtrat sebaiknya dibersihkan dari benda-benda penempel, dikeringkan, digulung dan disimpan di tempat yang terlindung dari matahari untuk digunakan pada musim beri-kutnya. Sebelum digunakan, tali-tali penga-nyam yang kendor harus dikencangkan dan bilah-bilah yang rapuh mesti diganti.

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI ALAMI

Usaha untuk meningkatkan stok alami Porphyra ternyata sudah lama dikenal. Prinsipnya adalah mengupayakan sebanyak mungkin fase konkhoselis serta sebanyak mungkin menangkap konkhospora. Oleh ka-rena fase konkhoselis ini sangat spesifik dalam memilih substrat, yaitu pada cangkang bivalvia tertentu yang sudah lama mati, maka sangatlah perlu untuk menyediakan substrat tersebut dalam jumlah yang besar.

Dengan menyebarkan cangkang-cang-kang tersebut pada dasar laut yang sudah diketahui potensial menghasilkan Porphyra, maka diharapkan pada musim selanjutnya hasil penangkapannya bisa bertambah ba-nyak, dan otomatis hasil lembaran thalli-nyapun akan meningkat.

PENUTUP

Di Jepang usaha budidaya Porphyra sudah dalam fase fabrikasi. Proses penga-daan bibit sampai kepengolahan hasil dila-kukan secara mekanis. Hal semacam ini bisa dijadikan motivasi untuk meningkat-kan usaha budidaya rumput laut di Indo-

(11)

nesia. Meskipun hasil budidaya Porphyra di Indonesia tidak akan menyamai produksi di negara beriklim subtropis, tetapi seti-daknya-tidaknya suatu diversifikasi budidaya bisa dilakukan, dan hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan pasaran lokal (dalam negeri).

DAFTAR BACAAN

BARDACH, J.E., J.H. RYTHER and WD. MCLARNEY, 1972. Aquaculture: The Farming and Husbandry offreswater and Marine Organisms, John Wiley & Sons. Hal.: 790-814.

KAPRAUN, D.F., and A.J. LEMUS, 1987. Field and culture studies of Porphyra spiralis var. amplifolia Oliveira Filho

et Coll (Bangiales, Rhodophyta) from Isla de Margarita, Venezuela. Botanica Marina, 301:483-490.

KAPRAUN, D.F., and D.G. LUSTER, 1980. Field and culture studies of Porphyra rosengurti Coll et Cox (Rhodophyta, Bangiales) from Nort Carolina. Botanica Marina, 23 : 449 - 457.

MIURA, A., 1975. Porphyra cultivation in Japan. Dalam : "Advanced of phycology in Japan". (J. Tokida and H. Hirose eds.). Dr. W. Junk b.v. Publiser. The Hague. Hal.: 273-303.

WEST, J.A. and M.H. HOMMERSAND, 1981. Rhodophyta : life histories. Dalam : The biology of seaweeds (C.S. Lobban and M.J. Wynne eds.). Blackwell Scientific Publ., Oxford. Hal. : 133 - 193.

Gambar

Gambar 1. Porphyra marcosii
Gambar 2. Siklus hidup anggota Porphyra (WEST &amp; HOMMERSAND, 1981).
Gambar 3. Hubungan antara kondisi klimatologi dengan rekaan fenologi Porphyra mar- mar-cosii di Pulau Ambon, (pk) : fase pembentukan konkhospora; (bk) : fase  pelepasan konkhospora; (up) : fase lembaran thalli; bidang terarsir tegak =  temperatur rata-rata
Gambar 4 a.    Bentuk substrat buatan penangkap konkhospora, terbuat dari anyaman  bambu
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan tingginya kandungan minyak dalam sedimen di Perairan Pantai Rupat Selatan (Selat Rupat) disebabkan perairan ini merupakan kawasan semi tertutup yang padat

Secara umum sebaran di sekitar muara dan sepanjang pantai merupakan sedimen jenis pasir, kemudian pada Perairan Sumuradem didominasi oleh jenis sedimen pasir

Secara umum sebaran di sekitar muara dan sepanjang pantai merupakan sedimen jenis pasir, kemudian pada Perairan Sumuradem didominasi oleh jenis sedimen pasir

Hal ini dikarenakan wilayah Perairan Mlonggo merupakan perairan yang semi tertutup sehingga memiliki rata-rata kecepatan arus yang relatif kecil menyebabkan sebaran konsentrasi

Seperti yang dijumpai pada stasiun 5, 2 dan 4, lokasinya terletak pada daerah yang relatif terlindung, sehingga kandungan material organik yang berada pada perairan

Berdasarkan hasil penelitian perubahan garis pantai di sepanjang pantai perairan muara Cisadane (Kali Adem sampai dengan Tanjung Pasir) dengan menggunakan data citra Landsat 5TM

Secara umum, koefisien total hamburan (scattering) relatif tinggi ditemui di perairan pesisir khususnya dekat muara sungai setiap musim dan relatif rendah di

Sedangkan tingginya kandungan minyak dalam sedimen di Perairan Pantai Rupat Selatan (Selat Rupat) disebabkan perairan ini merupakan kawasan semi tertutup yang padat