• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Lingkungan Perairan Pada Lahan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Desa Jayakarsa Kabupaten Minahasa Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kondisi Lingkungan Perairan Pada Lahan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Desa Jayakarsa Kabupaten Minahasa Utara"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

172

Kondisi Lingkungan Perairan Pada Lahan Budidaya Rumput Laut

Kappaphycus alvarezii Di Desa Jayakarsa Kabupaten Minahasa Utara (Waters Environment Condition in Culture Area of Seaweed

Kappaphycus alvarezii at Jayakarsa Village North Minahasa)

Joppy D. Mudeng1), Magdalena E. F. Kolopita1), Abdul Rahman2)

1)

Staf Pengajar pada Program Studi Budidaya Perairan FPIK Unsrat Manado Email: joppy_mdg@yahoo.com

2)

Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan FPIK Unsrat Manado

Abstract

A research had been conducted to evaluate seaweed and waters condition at seaweed culture area at Jayakarsa Village. Research locations were divided into three station: 1) at former culture area near mangrove area and the beach, 2) at active culture area, 3) at former culture area with sandy bottom and ”lamun” field. Water quality measured included temperature, salinity, pH, DO, turbidity, flow rate, water depth, bottom type. Protectivenss, risk, and accesibility were also observed. Data was analyzed descriptively and then compared to standard value established in Kangkan (2006). Water condition at station 1 and 2 was categorized Grade 2 (moderately suitable) while at station 3 was marginally suitable which was categorized Grade 3. Major problems faced by the farmers was ice-ice disease, silt and epiphytes that could reduce the production.

Keywords: Kappaphycus alvarezii, water quality, Jayakarsa Village, moderately suitable, marginally suitable

PENDAHULUAN

Rumput laut merupakan salah satu komoditi perikanan budidaya yang saat ini sementara digalakkan oleh pemerintah guna meningkatkan devisa negara. Komoditi ini bahkan telah ditetapkan sebagai komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan sejak tahun 2005, sehingga dibutuhkan budidaya secara cepat dan tepat dalam melayani permintaan produksi secara kuantitas, kualitas dan kontinuitas dengan menggunakan paket teknologi sederhana yang dapat digunakan oleh pembudidaya.

Program tersebut telah menunjukkan peningkatan produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama khususnya di sektor rumput laut dari tahun 2008 mencapai 2.145.060 ton, jika dibandingkan dengan produksi rumput laut pada tahun 2013 sebesar 5.663.641 ton. Sektor produksi rumput laut memperlihatkan capaian yang terus mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan selama tahun 2013, dengan rata-rata kenaikan sebesar 6,45% (Anonim, 2013).

Walaupun ada peningkatan produksi dari tahun ke tahun, namun di beberapa daerah produksi termasuk di

(2)

173 Sulawesi Utara terjadi penurunan produksi yang diakibatkan dari berbagai hal seperti: masalah permodalan, harga jual yang terlalu fluktuatif, serta masalah tehnis budidaya. Disamping itu kondisi lingkungan yang diakibatkan karena perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu dapat menghambat peningkatkan produksi rumput laut.

Desa Jayakarsa yang terletak di Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara merupakan desa penghasil rumput laut yang masih terus membudidayakan

Kappahycus alvarezii. Kondisi pembudidaya rumput laut saat ini tinggal delapan kepala keluarga yang masih tetap menjadikan usaha budidaya rumput laut ini sebagai mata pencaharian utama disamping sebagi nelayan. Masalah utama yang dihadapi adalah serangan penyakit “ice-ice” yang menyerang tanaman rumput laut sehingga gagal produksi. Produksi rumput laut di Jayakarsa sempat terhenti selama dua tahun untuk mencegah serangan “ice-ice” ini, namun penyakit ini masih saja muncul kembali. Diduga faktor penggunaan bibit yang digunakan secara berulang-ulang dari hasil panen dan faktor lingkungan perairan.

Berdasarkan hal tersebut diatas

maka dilakukan penelitian melalui

pengamatan parameter kualitas air di areal budidaya sekaligus mengamati kondisi usaha budidaya rumput laut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kondisi lingkungan perairan di lahan budidaya rumput laut dan kondisi usaha rumput laut di desa Jayakarsa.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada areal budidaya rumput laut K. alvarezii di Desa

Jayakarsa, KabupatenMinahasa Utara. Waktu penelitian dilaksanakan selama 6 minggu pada bulan November hingga bulan Desember 2014. Lokasi penelitian berada di lahan budidaya rumput laut yang sementara digunakan maupun lahan budidaya yang pernah digunakan, dibagi 3 stasiun. Stasiun 1 di bekas lahan budidaya dekat pantai dan mangrove, Stasiun 2 di lahan budidaya yang masih aktif, dan stasiun 3 di bekas lahan budidaya dengan dasar perairan berpasir dan padang lamun.

Pengumpulan Data

Pengamatan kondisi perairan

dilakukan terhadap berbagai faktor

ekologis, keterlindungan, resiko, dan kemudahan. Parameter kualitas air diukur menggunakan alat-alat yang telah

disiapkan. Sedangkan faktor

keterlindungan, resiko dan kemudahan dilakukan pengamatan secara visual dan wawancara langsung dengan responden.

Pengukuran parameter kualitas air

dilakukan pada tiga stasiun dan diukur pada tiga waktu yang berbeda. Alat-alat dan parameter yang diamati seperti pada tabel 1.

Wawancara dilakukan dengan membagikan kuisioner pada delapan orang pembudidaya di Desa Jayakarsa. Pertanyaan pada kuisioner tersebut disusun sesuai alur kerja dan pemahaman pembudidaya tentang perawatan rumput laut, pertanyaan terbagi dalam 25 pertanyaan. Selanjutnya, ikut serta dalam aktifitas dilokasi budidaya rumput laut

untuk mengetahui penanganan dan

pengontrolan yang dilakukan oleh

pembudidaya.

Analisis Data

Data kondisi umum lokasi budidaya rumput laut di Desa Jayakarsa dibuat dalam bentuk tabel dan gambar

(3)

174 kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis kelayakan lokasi dan rumput laut yang diperoleh selanjutnya di nilai dengan menggunakan Sistem penilaian kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut yang ditetapkan oleh Kangkan (2006) yang tertera pada Tabel 2.

Hasil evaluasi dari sistem penilaian kesesuaian lokasi bagi budidaya rumput laut diperlihatkan pada Tabel 3 (Kangkan, 2006). Evaluasi penilaian kesesuaian untuk budidaya rumput laut (Tabel 3) merupakan hasil penjumlahan skor dari semua variabel yang telah di nilai berdasarkan angka penilaian dan dikalikan dengan bobot sesuai pertimbangan pengaruh variabel dominan.Tingkat kesesuaian dibagi atas empat kelas oleh Bakosurtanal (1996) dalam Kangkan (2006) yaitu: 1) Kelas S1 : Sangat Sesuai (Highly

Suitable)

Lokasi ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya.

2) Kelas S2 : Cukup Sesuai (Moderately Suitable)

Lokasi ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakukan yang harus diterapkan.

3) Kelas S3 : Sesuai Marginal (Marginally Suitable)

Lokasi ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan.

4) Kelas N : Tidak Sesuai (Not Suitable) Lokasi ini mempunyai pembatas permanen, sehingga mencegah segala

kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Perairan Jayakarsa

Kondisi perairan yang baik dapat menunjang keberhasilan dalam membudidayakan rumput laut, sedangkan kondisi yang tidak sesuai dengan persyaratan lokasi budidaya rumput laut dapat menimbulkan kerugian ataupun

masalah dalam usaha tersebut dan

mempengaruhi karaginofit yang terkandung pada rumput laut. Tabel 4 berikut menampilkan data pengukuran parameter kualitas air di perairan Jayakarsa.

Keterlindungan

Keterlindungan suatu areal budidaya rumput laut perlu dipertimbangkan, sebab kerusakan secara fisik sarana budidaya maupun rumput laut dari pengaruh angin dan gelombang yang besar, maka diperlukan lokasi yang terlindung. Lokasi yang terlindung biasanya terletak di perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung oleh adanya penghalang atau pulau didepannya

(Sunaryat, 2004). Selanjutnya Aslan

(1998) menyatakan bahwa perairan harus cukup tenang, terlindung dari pengaruh angin dan ombak yang kuat karena arus yang baik akan membawa nutrisi bagi tumbuhan, tumbuhan akan bersih karena kotoran maupun endapan yang menempel akan hanyut oleh arus.

(4)

175

Tabel 1. Alat-alat dan parameter yang diamati

No Alat Parameter Keterangan

1. Horiba U-50 Series Salinitas pH Suhu DO 2. Secchi disc Kecerahan

3. Drift float Kecepatan Arus 4. Pemberat & tali Kedalaman

5. Kamera - Untuk dokumentasi penelitian

6. Perahu - Alat bantu penelitian

Tabel 2. Sistem penilaian kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut Variabel Kisaran Angka Penilaian (c) Bobot (d) Skor (c x d)

1 2 3 4 5 Kedalaman (m) 1 – 10 11 – 15 < 1 &> 15 5 3 1 3 15 9 3 Kecerahan (m) > 3 1 – 3 < 1 5 3 1 3 15 9 3 Arus (cm/det.) 20 – 30 10 – 19 & 31 – 40 < 10 &> 40 5 3 1 3 15 9 3 Salinitas (ppt) 30 – 32 22 – 29 & 33 – 34 < 22 &> 34 5 3 1 2 10 6 2 Suhu (0C) 24 – 30 20 – 23 < 20 &> 30 5 3 1 2 10 6 2 Substrat Karang Pasir Pasir berlumpur 5 3 1 1 5 3 1 DO (mg/l) > 6 4 – 6 < 4 5 3 1 1 5 3 1 pH 6.5 – 8.5 4 – 6.4 & 8.6 – 9 < 4 &> 9 5 3 1 1 5 3 1 Keterlindungan Terlindung Kurang terlindung Terbuka 5 3 1 2 10 6 2 Pencapaian Lokasi Mudah Cukup mudah Sulit 5 3 1 2 10 6 2

Tenaga kerja Selalu ada

Jumlah cukup Jumlah sedikit 5 3 1 1 5 3 1

Ketersediaan bibit Baik

Sedang Burut 5 3 1 1 5 3 1

Total skor maksimum 120

(5)

176 Keterangan:

1. Angka penilaian berdasarkan petunjuk DKP (2002) dalam Kangkan (2006), yaitu: 5 = Baik

3 = Sedang 1 = Kurang

2. Bobot berdasarkan pertimbangan pengaruh variabel dominan. 3. Skor yaitu ∑𝑛𝑖=1𝑐 𝑥 𝑑

Tabel 3. Evaluasi penilaian kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut No. Kisaran nilai (Skor)1) Tingkat Kesesuaian2) Evaluasi/Kesimpulan

1. > 84 S1 Sangat sesuai

2. 75 - 84 S2 Sesuai

3. 65 - 74 S3 Sesuai bersyarat

4. < 65 N Tidak sesuai

Letak areal budidaya di Jayakarsa termasuk strategis karena sangat terlindung oleh pulau-pulau kecil dan bebatuan karang yang tumbuh alami diantara hamparan lautan terbuka yang berfungsi sebagai pemecah ombak dan gelombang besar sehingga arus relatif stabil dan tidak merusak rumput laut serta sarana budidaya. Perairan di lokasi budidaya tidak digunakan sebagai jalur transportasi kapal maupun perahu yang menggunakan bahan bakar yang dapat menyebabkan tumpahan minyak dan terganggunya kualitas air di areal tersebut.

Lokasi perairan budidaya rumput laut di Desa Jayakarsa juga terdapat hutan mangrove di areal pantai (stasiun 1), hal ini sangat dimanfaatkan oleh pembudidaya sebagai tempat untuk tambatan perahu dan juga kayunya sebagai tiang pancang (patok) untuk konstruksi wadah budidaya rumput laut. Menurut Mudeng (2007), dalam usaha budidaya rumput laut perlu mempertimbangkan konservasi dan kelestarian lingkungan. Seperti halnya di pulau Nain, kawasan terumbu karang dijadikan lokasi penanaman rumput laut dengan menggunakan metode tali rawai

sangat tepat digunakan pada lokasi seperti ini, namun penggunaan tiang pancang (patok) dari kayu bakau secara langsung maupun tidak langsung memberi pengaruh pada kelestarian lingkungan perairan tersebut. Selain itu, perairan Jayakarsa tedapat pula terumbu karang dan pulau kecil yang berfungsi sebagai barrier reef

yang dapat mempengaruhi laju arus dan gelombang.

Kecepatan Arus

Rumput laut memperoleh makanan (nutrien) melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup akan membawa nutrien yang cukup pula dan sekaligus mencuci kotoran yang menempel pada thallus, membantu pengudaraan dan mencegah adanya fluktuasi suhu air yang besar(Anonim, 2005). Besarnya kecepatan arus yang ideal antara 20-40 cm/det. Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik, yakni adanya tumbuhan karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran.

Kecepatan arus yang tertinggi pada perairan Jayakarsa terlihat pada stasiun 2 saat pagi yakni 30,55 cm/det. Selanjutnya,

(6)

177 arus yang terendah teramati di stasiun 2 pada sore hari dengan kecepatan 18,01 cm/det, hasil pengukuran kecepatan arus dapat dilihat pada Tabel 4. Menurut Afrianto (1987), arus dapat membawa zat makanan bagi rumput laut serta dapat membersihkan kotoran yang menempel, kecepatan arus jangan melebihi 50 cm setiap detiknya karena dapat merusak tanaman, arus yang kuat dapat menyebabkan kekeruhan hingga menghalangi fotosintesis dan juga menimbulkan kesulitan pada saat penanaman, pemeliharaan maupun pemanenan rumput laut. Berdasarkan sistem penilaian kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut menurut Kangkan (2006), kecepatan arus pada stasiun 1 dan stasiun 2 dapat dikategorikan dalam kelas S2 (Moderately Suitable) yakni cukup sesuai, nilai rata-rata kecepatan arus terlihat pada Gambar 1 berikut:

Kedalaman dan Kecerahan

Rumput laut sangat membutuhkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan untuk proses fotosintesis. Menurut Sunaryat (2004), kedalaman perairan yang baik untuk budidaya

Eucheuma cottoni dengan menggunakan metode lepas dasar berkisar 30-60 cm pada waktu surut terendah dan 1-1,5 m untuk metode apung. Kondisi ini untuk meghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari. Selanjutnya, Puslitbangkan

(1991) dalam Astriwayana (2010)

menyatakan bahwa kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak kurang dari 5 m cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut. Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut, hal ini dimaksud agar cahaya

penetrasi dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar matahari yang di terima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis.

Kedalaman perairan di Desa Jayakarsa berada pada kisaran 5-10 m, rata-rata kedalaman setiap stasiunnya berbeda-beda seperti di Stasiun 1 berkedalaman 4 m, Stasiun 2 sedalam 10 m dan kedalaman di Stasiun 3 yaitu 5 m. Menurut Kangkan (2006), kedalaman perairan di lokasi budidaya ini dapat dikategorikan sesuai atau dapat di terima, namun perlunya jaminan bahwa nutrien dari kedalaman ini masih bisa tersuplai oleh arus untuk proses pertumbuhan.

Kecerahan sangat berkaitan dengan

kedalaman. Nilai kecerahan pada stasiun 1 dan 3 sama dengan kedalaman perairan, sedangkan pada stasiun 2 memiliki kecerahan 9 m dengan kedalaman yang berjarak 10 m.

Substrat Dasar Perairan

Pasir yang tercampur patahan karang merupakan dasar perairan yang ideal, hal ini sangat berhubungan dengan sediaan nutrien berupa fosfat yang berasal dari bebatuan tersebut seperti yang dikemukakan oleh Anonim (2005), perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar, di pandang baik untuk budidaya K.alvarezii.

Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik. Substrat dasar perairan tipe ini terdapat pada lokasi budidaya pada stasiun 2.

(7)

178

Gambar 1. Nilai rata-rata kecepatan arus

Tabel 4. Hasil pengukuran kualitas air di areal budidaya rumput laut di Jayakarsa

No. Parameter kualitas Air

Waktu dan Stasiun Pengukuran

Pagi Siang Sore

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1. Suhu ( o C) 31,00 31,53 31,16 31,17 31,69 32,76 32,27 31,60 32,29 2. DO (mg/L) 11,8 4,65 14,92 7,90 4,62 9,43 8,90 4,9 11,43 3. pH 7,13 7,42 6,18 7,10 7,64 7,37 7,00 7,24 7,21 4. Salinitas (ppt) 36 37,0 36,8 36,2 37,7 37,6 36,6 37,45 37,0 5. Kecepatan arus (cm/det) 30.10 30.55 27.86 29.45 28.32 30.44 27.12 18.01 18.24 6. Kedalaman 4 10 5 4 10 5 4 10 5 7. Kecerahan Air (m) 4 9 5 4 9 5 4 9 5 Keterangan:

• Stasiun 1 : Bekas lokasi budidaya dekat mangrove

• Stasiun 2 : Lokasi Budidaya

• Stasiun 3 : Bekas lokasi budidaya di padang lamun Stasiun 3 merupakan lokasi yang

pernah dijadikan areal budidaya ini memiliki substrat pasir yang ditumbuhi oleh lamun, tipe substrat seperti ini di jelaskan oleh Ramadhani (2014), lamun yang bertumbuh di dasar perairan budidaya rumput laut akan terjadi kompetisi dalam penyerapan unsur hara yang terbawa oleh arus. Akibatnya rumput

laut yang dibudidayakan tidak bertumbuh sebagaimana diharapkan dan masa pemanenan bisa berlangsung lama. Selanjutnya pada stasiun 1 yang berada di pantai dekat hutan mangrove memiliki substrat berlumpur yang dikategorikan kurang layak oleh Kangkan (2006) karena lokasi tersebut mengindikasikan arus yang kurang. Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0 10 20 30 40 Pagi Siang Sore 30.1 29.45 27.12 30.55 28.32 18.01 27.86 30.44 18.24 Ke ce pa ta n a rus (c m /de t)

(8)

179

Salinitas

Menurut Anonim (2005),

Kappaphicus alvarezii merupakan rumput laut yang bersifat stenohalyne. Ia tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi, salinitas yang baik berkisar antara 28-35 ppt, untuk memperoleh kondisi perairan dengan kondisi salinitas tersebut harus dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai karena dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi salinitas yang mengganggu pertumbuhan rumput laut. Berdasarkan hasil pengukuran di ketiga stasiun, salinitas berada pada

kisaran 36-37,7 ppt maka dapat

dikategorikan cukup sesuai oleh Kangkan (2006). Nilai rata-rata salinitas dapat di lihat pada Gambar 2 berikut:

Gambar 2. Nilai rata-rata salinitas pada setiap stasiun

Berdasarkan hasil pengukuran, salinitas yang tertinggi terlihat pada stasiun 2 di siang hari yakni 37.7 ppt, sedangkan salinitas yang terendah terlihat di stasiun 1 pada waktu pagi berkisar 36 ppt.Stasiun 1 yang terletak di pantai yang terdapat hutan mangrove adalah yang terendah jika di bandingkan dengan stasiun 2 (areal budidaya rumput laut) dan stasiun 3 (bekas areal budidaya rumput laut).

Derajat Keasaman (pH)

Hasil pengukuran pH di perairan Jayakarsa rata-rata berada pada kisaran

7-7,5 pada setiap stasiun dan waktu pengukuran. Rataan pH tersebut sangat sesuai menurut Kangkan (2006). Nilai derajat keasaman sangat berhubungan dengan kadar karbondioksida yang terdapat di perairan, rumput laut membutuhkan pH yang cenderung basa

(Anonim, 2005). Berdasarkan

Kep.Men.02/MenKLH/I/1988, pH untuk budidaya rumput laut yang diperbolehkan berada pada kisaran 6-9, kemudian pH yang diinginkan untuk budidaya rumput laut berkisar antara 6,5-8,5. Gambar berikut memperlihatkan nilai rata-rata pH di setiap stasiun: Gb3

Gambar 03. Nilai rata-rata derajat keasaman (pH)

Hasil pengukuran pH pada stasiun 1 menunjukkan nilai pH yang relatif stabil dari 7.13 (pagi), 7.10 (siang) dan 7.00 (sore), pH pada areal budidaya rumput laut (stasiun 2) berkisar antara 7.42(pagi), 7.64 (siang) dan 7.24(sore). Bekas areal budidaya rumput laut memperlihatkan pH yang berkisar antara 6.18 (pagi), 7.37 (siang) dan 7.21 (sore).

36 36.2 36.6 37 37.7 37.4 36.8 37.6 37 35 35.5 36 36.5 37 37.5 38

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Sa lin ita s ( pp t)

Pagi Siang Sore

Pagi Sore 0 2 4 6 8 Stasiun 1 Stasiun2 Stasiun 3 7.13 7.42 6.18 7.1 7.64 7.37 7 7.24 7.21 D er aj at K eas am an (p H )

(9)

180

Suhu Perairan

Suhu merupakan salah satu faktor ekologis yang terkandung di perairan serta memiliki nilai bobot yaitu 2 berdasarkan tabel sistem penilaian keesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut yang diterapkan oleh Kangkan (2006), hal ini disebabkan suhu merupakan salah satu parameter ekologis yang dikategorikan

cukup penting. Anggadiredja (2011)

menyatakan bahwa suhu air yang optimal untuk membudidayakan rumput laut yaitu berkisar antara 26-30°C. Hasil pengukuran suhu di perairan Jayakarsa pada tiga stasiun pengamatan berada pada kisaran 31-33°C dan dapat dikategorikan kurang baik oleh Kangkan (2006) karena melebihi 30 °C. Anonim (2005) menyatakan bahwa kualitas air yang perlu diperhatikan antara lain suhu yang berkisar 27-29°C,

K.alvarezii memberikan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5%. Nilai rata-rata suhu pada stasiun pengamatan dapat di lihat pada Gambar 4 berikut:

Gambar 4. Nilai rata-rata suhu perairan pada setiap stasiun

Oksigen Terlarut (DO)

Penelitian di perairan Jayakarsa memberi hasil penilaian terhadap oksigen terlarut yang terkandung di perairan pada stasiun 1 beraa pada kisaran 7,90-11,8 mg/L, kisaran tersebut dapat dikategorikan sesuai pada sistem penilaian kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut. Oksigen terlarut pada stasiun 2 berkisar antara 6,62-4,9 mg/L, menurut penilaian kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut DO lebih dari 6 mg/L dapat dikatakan baik atau sesuai. Selanjutnya, kisaran oksigen terlarut di stasiun 3 yaitu 9,43-14,92 mg/L.

Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran dan pergerakan masa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk kedalam badan air. Oksigen terlarut di perairan laut berkisar antara 11mg/L pada suhu 0 °C dan 7 mg/L pada suhu 25 °C, pada perairan alami oksigen terlarut biasanya kurang dari 10 mg/L.

Ketersediaan Bibit

Bibit rumput laut yang akan ditanam harus yang berkualitas baik agar tanaman dapat tumbuh sehat. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilihan bibit dengan kriteria yaitu banyak bercabang, rimbun dan berujung runcing, tidak terdapat bercak atau luka, terlihat segar dan berat bibit antara 50-100 g per ikatan (Anggadiredja, 2011). Selanjutnya Anonim (2005) menyatakan bahwa penyediaan bibit harus tepat waktu yaitu segera setelah konstruksi wadah telah terpasang. Bibit sebaiknya di pilih dari tanaman yang masih segar yang diperoleh dari rumput laut yang tumbuh secara alami maupun dari tanaman budidaya.

Pembudidaya di Desa Jayakarsa pada umumnya menggunakan bibit rumput

31 31.53 31.16 31.17 31.69 32.76 32.72 31.6 32.29 30 30.5 31 31.5 32 32.5 33

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Suhu P er ai ra n ( °C)

(10)

181 laut yang ditanam sendiri, yang pada awal mulanya menggunakan bibit yang didatangkan dari Pulau Nain. Gerung (2006) menyatakan bahwa alga ekonomis yang sudah dibudidayakan ada 2 spesies

yaitu Eucheuma denticulatum dan

Kappaphycus alvarezii. Kedua spesies ini bukan spesies asli perairan Teluk Manado. Benihnya sudah lama yang didatangkan dari Filipina dan bertumbuh baik di perairan Pulau Nain (salah satu pulau yang berada di Teluk Manado). Oleh karena itu, areal perairan di Desa Jayakarsa tidak terdapat rumput laut spesies K.alvarezii

yang bertumbuh secara alami. Bibit yang digunakan pembudidaya rumput laut di Desa Jayakarsa belum memenuhi syarat dalam pemilihan bibit yang baik, hal ini disebabkan kebiasaan pembudidaya yang suka meminimalkan pekerjaan (waktu dan tenaga) dan tidak mengindahkan informasi yang didapat. Kebiasaan dalam melakukan

proses pemanenan dilakukan secara

bersamaan dengan penanaman bibit baru tanpa menyeleksi berat bibit dan kondisi bibit yang digunakan. Selain itu, perubahan musim juga mempengaruhi ketersediaan bibit hasil dari penanaman sendiri karena perubahan musim sehingga terjadinya perubahan kualitas air yang menyebabkan timbulnya serangan hama dan pertumbuhan biofouling lumut dan teritip yang menjadi pesaing bagi rumput laut, sehingga pembudidaya memelihara bibit untuk bertahan dan menunggu musim yang baik untuk mengulang penanaman. Ketersediaan bibit di Desa Jayakarsa dapat dikategorikan cukup sesuai dan tidak sesuai, hal ini didasari perubahan musim yang mempengaruhi ketersediaan bibit yang layak untuk dibudidayakan.

3.1.10 Pencapaian Lokasi

Desa Jayakarsa yang terletak di Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten

Minahasa Utara merupakan Desa yang memiliki arus transportasi yang lancar sehingga memudahkan proses pemasaran. Sebagaimana dinyatakan oleh Afrianto (1987), sarana dan prasarana transportasi sangat penting untuk dipertimbangkan dalam penentuan lokasi budidaya, hal inisebab sarana dan prasarana yang minim akan mengakibatkan harga jualnya menjadi tinggi sehingga kurang dapat bersaing di pasaran.

Umumnya pembudidaya di Jayakarsa berdomisili di sekitar areal pantai sehingga memudahkan aktifitas budidaya rumput laut seperti tahap penanaman, pengontrolan hingga tahap panen. Hal ini telah dijelaskan oleh Sunaryat (2004), pemilik usaha rumput laut cenderung memilih lokasi yang berdekatan dengan tempat tinggal, sehingga kegiatan monitoring, pertumbuhan dan penjagaan keamanan dapat dilakukan dengan mudah. Faktor kemudahan seperti pencapaian lokasi dan aksesibilitas yang baik di Desa Jayakarsa sehingga dikategorikan sesuai jika di nilai berdasarkan tabel penilaian kelayakan lokasi budidaya rumput laut oleh Kangkan (2006).

Tenaga Kerja

Budidaya rumput laut yang dilakukan di Desa Jayakarsa umumnya menggunakan tenaga kerja dari anggota keluarga sendiri dengan cara pembagian tugas, hal ini dimaksud untuk menghemat biaya operasional dan tenaga. Pembagian tugas yang dilakukan seperti kepala keluarga bertugas dalam melakukan pengontrolan setiap hari, ibu rumah tangga bertugas dalam proses penjemuran, pengangkutan hasil panen biasanya ditugaskan kepada anak laki-laki dan proses penanaman bibit dan proses panen

(11)

182 dilakukan secara besama-sama.Tenaga kerja yang digunakan oleh pembudidaya di Desa Jayakarsa berkategori sesuai karena selalu ada, berdasarkan sistem penilaian kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut. Aslan (1998) menyatakan bahwa kemudahan memperoleh tenaga kerja akan sangat menunjang dalam mempersiapkan lahan, penanaman dan saat panen. Usahakan tenaga kerja yang diperoleh berasal dari sekitar lokasi, untuk memudahkan dalam pengerahan pan pengawasan yang kadang-kadang dibutuhkan sewaktu-waktu.

Kondisi Rumput Laut

Secara umum kondisi rumput laut yang dibudidayakan di Desa Jayakarsa tampak baik karena faktor keterlindungan dan penanganan secara berkala yang dilakukan, akan tetapi pengaruh perubahan musim mengakibatkan rumput laut mengalami stress dan mudah terserang penyakit. Menurut Pong-Masak (2010), rumput laut sangat bergantung unsur mikro nutrien yang tersedia dalam perairan serta faktor-faktor fisik yang sangat mudah berubah, khususnya karena perubahan musim. Perubahan kualitas air yang ekstrim atau jauh dari kondisi yang optimalmenyebabkan rumput laut stres dan mudah terserang oleh penyakit. Selain itu, faktor eksternal seperti serangan hama, pertumbuhan biofouling teritip dan lumut akan menjadi pesaingbagi rumput laut yang dibudidayakan.

Hama yang hidup secara epifitik yang teramati di areal bidudaya terlihat seperti rambut yang berwarna hitam kecoklatan, menempel pada thallus, seluruh bagian tubuhnya tertanam dipermukaan, hal ini mengakibatkan permukaan thallus menjadi kasar seperti terdapat tonjolan-tonjolan halus.

Umumnya pembudidaya setempat menyebut tipe epifit ini dengan istilah “bulu kucing”. Epifit ini dapat bertumbuh lalu menutupi semua lapisan permukaan luar thallus serta menyebar di rumput laut yang terikat di tali ris lainnya. Epifit tersebut dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Epifit yang menempel pada

thallus rumput laut

Silt (endapan lumpur) merupakan kotoran yang terbawa oleh arus yang menempel di thallus yang terputus, terluka atau terkelupas akibat kesalahan dari pembudidaya di areal budidaya. Silt yang menempel lama di permukaan thallus yang rusak dapat menyebabkan pembusukan hingga matinya rumput laut tersebut. Tetapi penempelan silt yang berwarna coklat kehitaman itu mudah terlepas atau menempel lemah sehingga dengan pengontrolan yang berkala dapat dihindari dengan mengoyang-goyangkan tali ris, hal itu dapat melepaskan Silt dari permukaan

thallus. Silt banyak menempel di tubuh rumput laut karena penurunan kualitas air ketika terjadinya perubahan musim yakni pada kondisi musim penghujan dan tingkat salinitas air yang menurun. Gambar 06 memperlihatkan kondisi rumput laut yang tertempel oleh Silt.

(12)

183 Gambar 6. Silt yang menempel pada thally

Penurunan kualitas air seperti salinitas dan pH dapat menyebabkan rumput laut mengalami stress dan terlihat pucat sehingga mudah untuk terserang penyakit. Ciri-ciri rumput laut yang stress akan terlihat pucat dan thallus yang baru bertumbuh tidak terlihat runcing (tumpul). Faktor perubahan musim yang menyebabkan kondisi perairan menjadi buruk dan mempengaruhi kondisi rumput laut, kriteria rumput laut yang sehat seperti

thallus tidak terluka, banyak bercabang dan rimbun, warna terlihat cerah dan thallus terlihat runcing dan bertumbuh sesuai arah matahari. Menurut Anonim (2005), kondisi ekstrim perairan seperti faktor rendahnya salinitas akibat sering turun hujan, suhu pada permukaan air terlalu panas (lebih dari 31°C) atau terlalu dingin (kurang dari 26°C). Pencegahannya adalah dengan penentuan lokasi, musim tanam dan teknologi yang tepat serta pengontrolan yang rutin, jangka panjangnya yaitu mencari bibit unggul yang baru.

Penanganan dan Pengontrolan

Pengontrolan rumput laut dilakukan secara rutin pada pagi dan sore, bila ditemukan sampah-sampah yang tersangkut di tali ris berupa sampah organik atau sampah plastik, maka pembudidaya akan membersihkannya. Sampah organik berupa lamun yang telah mati dapat menjadi perantara dalam

membawa kompetitor atau hama dari dasar perairan, pembersihan sampah yang dilakukan agar mengurangi beban pada tali agar tidak terputus. Berdasarkan hasil dari kuisioner, benda yang sering menempel yaitu silt, rumput laut jenis lain dan sampah plastik yang terbawa oleh arus. Tumbuhan penempel dapat tumbuh karena kondisi perairan berada pada kondisi yang terlalu dingin maupun panas. Pada musim panas yang terjadi pada bulan Mei hingga bulan Agustus rumput laut sering diserang penyakit ice-ice sedangkan pada musim hujan rumput laut tampak pucat dan pertumbuhan thallus menjadi lambat.

Pembudidaya di Jayakarsa melakukan pengontrolan untuk meminimalkan serangan hama, penyakit dan kompetitor, apabila ditemukan epifit atau penyakit yang mulai mengganggu

pertumbuhan rumput laut dengan

intensitas serangan yang luas. Penanganan selanjutnya pembudidaya akan melepas rumput laut dari ikatan tali ris utama lalu memindahkannya ke lokasi yang sudah disiapkan sebelumnya, pemindahan tersebut bermaksud untuk memindahkan rumput laut yang masih sehat dari areal yang mengalami perubahan kualitas air. Cara lain yang digunakan pembudidaya jika hama atau penyakit masih menyerang di areal baru yaitu pembudidaya akan melakukan panen lebih awal meski

pertumbuhan thallus belum terlihat

rimbun, hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian. Pada kondisi tersebut pembudidaya biasanya lebih memprioritaskan sisa rumput laut yang masih sehat dan segar untuk memelihara bibit yang akan digunakan sebagai bibit pada penanaman selanjutnya, kemudian rumput laut yang terjangkiti penyakit atau hama akan di angkat untuk melakukan proses penjemuran.

(13)

184

3.4 Evaluasi Lingkungan Perairan

Pemilihan lokasi yang tepat merupakan faktor penentu dalam menentukan keberhasilan budidaya rumput laut. Data pengukuran kualitas air yang diperoleh dari hasil penelitian pada ketiga stasiun berdasarkan Sistem penilaian

kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut oleh Kangkan (2006) dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:

Gambar 03. Nilai rata-rata derajat keasaman (pH)

Hasil evaluasi lingkungan perairan di perairan Desa Jayakarsa pada Tabel 05 yang diamati pada setiap stasiun merupakan hasil perbandingan dengan tabel kelayakan lokasi budidaya rumput laut dari Kangkan (2006). Selanjutnya, perolehan nilai disesuaikan berdasarkan kelas tingkatan kesesuaian yang terbagi empat kelas Bakosurtanal (1996) dalam

Kangkan (2006.), hasil penilaian yang didapatkan yaitu pada stasiun 1 dapat dikategorikan kelas S2 yakni cukup sesuai (Moderately Suitable) dengan perolehan jumlah 78, hal yang sama juga terdapat pada stasiun 2 yang dikategorikan cukup sesuai pada kelas S2 (Moderately Suitable) dengan jumlah nilai 80 dan pada stasiun 3 mendapatkan jumlah nilai 68 dengan kategori sesuai bersyarat atau sesuai

marginal (Marginally Suitable) yang

tergolong dalam kelas S3.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

• Kondisi lingkungan perairan di Desa Jayakarsa dapat dikategorikan cukup sesuai (moderately suitable) untuk bekas lahan budidaya dekat mangrove (stasiun 1) dan lahan budidaya rumput laut yang masih aktif (stasiun 2), sedangkan lokasi bekas lahan budidaya di padang lamun dengan dasar perairan berpasir dikategorikan sesuai bersyarat atau sesuai marginal (marginally suitable).

• Penyakit ice-ice, silt (endapan lumpur), dan epifit merupakan masalah bagi

Pagi Siang Sore 0 2 4 6 8 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 7.13 7.42 6.18 7.1 7.64 7.37 7 7.24 7.21 D er aj at K eas am an (p H )

(14)

185 pembudidaya rumput laut di desa Jayakarsa.

Saran

Perlu adanya penelitian tentang pola tanam rumput laut untuk mendapatkan kalender musim tanam agar masalah – masalah dapat tertanggulangi dan usaha dapat berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto E, Liviawati E. 1987. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bhratara Niaga Media. Jakarta.

Anggadiredja J, Purwoto A, Istini S. 2011. Seri Agribisnis Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Anonim. 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Anonim. 2013. Kelautan dan Perikanan

Dalam Angka 2013. Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Aslan LM. 1998. Seri Budi Daya Rumput

Laut. Kanisius. Yogyakarta

Astriwana. 2010. Peran Perendaman Dengan Air Tawar Dalam

Menekan Penyakit Pada

Budidaya Rumput Laut

Kappaphycus alvarezii Dotty di Perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu, Jakarta. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 Hal.

Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan

Marin Kupang, Nusa

Tenggara Timur. Pusat Bina

Aplikasi Inderaja dan SIG. Cibinong.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Gerung SG. 2006. Seaweeds From Manado Bay Indonesia. Advances In Seaweed Cultivation and Utilisation in USA. Phang, Critchley & Ang eds. Proceedings

of a workshop held in conjuction with the 7th Asian Fisheries Forum, Penang, Malaysia, December 2004. University of Malaysia Research Centre. p 35-40.

Hatta AM, Hemiati ET. 1992 Perairan Maluku dan Sekitarnya: Metode Suhu Jerdal dan Kekuatan Gel pada Agar dan karaginan. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, LIPI.

Kangkan AL. 2006. Studi Penentuan

Lokasi Untuk Pengembangan

Budidaya Laut Berdasarkan

Parameter Fisika, Kimia dan Biologi di Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tesis. Universitas Diponegoro, Program Pasca Sarjana. Semarang. 102 hal. Mudeng JD. 2007. Pertumbuhan Rumput

Laut Kappaphycus alvarezii dan

Eucheuma denticulatum yang Dibudidayakan Pada Kedalaman Berbeda Diperairan Pulau Nain Profinsi Sulawesi Utara. Tesis. Universitas Sam Ratuangi, Program Pasca Sarjana. Manado. 61 hal.

(15)

186 Mudeng JD, Ngangi ELA. 2014. Pola

Tanam Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Pulai Nain, Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Perikanan Universitas Sam Ratulangi Vol 2. Manado. Hal 27-37.

Peranginangin R, Sinurat E, Darmawan M. 2013. Memproduksi Karaginan Dari Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pong-Masak PR. 2010. Penentuan Pola Musim Tanam Bagi Pengembangan Budidaya Rumput

Laut, Kappaphycus alvarezii.

Laporan Kegiatan Riset Intensif Peneliti dan Perekayasa Tahun 2010. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Maros. 18 Hal.

Ramadhani R. 2014. Cara Memilih Tempat Untuk Budidaya Rumput Laut Eucheuma Cottoni. http://www.inaseaseaweed.com/20

14/02/cara-memilih-tempat-untuk-budidaya.html. Diunduh 10 Mei 2014.

Sunarto. 2008. Peranan Ekologis dan

Antropogenis Ekosistem Mangrove. Karya ilmiah. Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran. 33 Hal.

Sunaryat. 2004. Pemilihan Lokasi Budidaya Rumput Laut. Makalah Pelatihan INBUDKAN Budidaya Kerapu dan Rumput Laut 24 s/d 29 Mei 2009 di Balai Budidaya Laut. Lampung. 7 hal.

Gambar

Tabel 1. Alat-alat dan parameter yang diamati
Tabel 3. Evaluasi penilaian kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut  No.  Kisaran nilai (Skor) 1)   Tingkat Kesesuaian 2)   Evaluasi/Kesimpulan
Tabel 4. Hasil pengukuran kualitas air di areal budidaya rumput laut di Jayakarsa
Gambar 03. Nilai rata-rata derajat  keasaman (pH)
+5

Referensi

Dokumen terkait

menggunakan alat komunikasi dalam bentuk apapun (hand-phone, pager, dsb) pada saat ujian berlangsung berada pada kategori kurang efektif dan efektif (rerata 2,03). 14)

(2007) mempunyai korelasi dalam pembentukan dioksin pada sampel yang sama, namun pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan DDT pada sampel daging

air hujan, maka udara atau atmosfir wilayah Lebak Bulus, Jakarta Selatan relatif bersih terjadi pada bulan Desember 2009, sedangkan mengalami pencemaran relatif tinggi

Pengaruh Permukaan Jalan terhadap Sudut Slip Ban Pada tabel 2 dapat diketahui hasil perhitungan yang menunjukkan bahwa sudut slip ban akan lebih besar ketika

 Memberikan dukungan dana untuk pelaksanaan penelitian yang berkontribusi pada pembelajaran 40% dosen melakukan penelitian yang berkontribusi pada pembelajaran 6 Jumlah

bahwa untuk pemberian kompensasi kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf b, telah dialokasikan dana kompensasi guna memberikan kompensasi atas

Bahwa dengan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, maka prinsip desain dan pembentukan Organisasi Perangkat Daerah di Lingkungan

Berdasarkan hal ini, maka akan diusulkan prosedur penempatan karyawan melalui list Surat Mutasi Jabatan (SMJ) yang akan dibuat oleh divisi Human Resource untuk meminta