• Tidak ada hasil yang ditemukan

Burhanudin AY ISSN :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Burhanudin AY ISSN :"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 21

PENGEMBANGAN INDUSTRI MEBEL KAYU DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT DI KABUPATEN KLATEN

(STRATEGI UNTUK MENJADIKAN PENGUSAHA MANDIRI) Burhanudin AY

(Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Batik Surakarta) Abstrak

Dalam rangka meningkatkan daya tawar atau bargaining power pelaku usaha industri mebel kayu di Kabupaten Klaten untuk pemberdayaan ekonomi kerakyatan, agar pelaku usaha industri kecil mebel semakin berdaya dan mandiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi peningkatan yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan bargaining power terhadap relasi-relasi usaha pada rantai hulu-hilir yang meliputi: Peningkatan bargaining Power industri kecil mebel terhadap pelaku-pelaku di jalur input bahan baku. Strategi ini akan menjadikan pihak pengusaha lebih berdaya, karena bukan menjadi obyek semata. Pelaku-pelaku yang berada di jaulur input bahan baku adalah: PT Perhutani, pedagang kayu, dan bakul kayu. Peningkatan bargaining power industri kecil mebel terhadap pelaku-pelaku di jalur hilir. Dengan strategi ini pengusaha memiliki akses dengan konsumennya. Pelaku yang ada adalah: konsumen akhir, pedagang kulakan dan pedagang eceran di pasar ekspor, eksportir dan pedagang lokal. Peningkatan bargaining power industri mebel terhadap relasi di antara pelaku usaha. Strategi ini untuk meningkatkan kesetaraan dengan sesama pelaku usaha. Pelaku di jalur ini adalah: penyedia kayu, pasar out-put, dan buruh.

Kata kunci: Pengembangan, Pemberdayaan, Ekonomi Rakyat, Pengusaha mandiri. A. Pendahuluan

Potensi usaha kecil untuk tumbuh ditentukan terutama oleh aspek permintaan dari pasar terhadap produk tersebut. Banyak Usaha kecil sulit berkembang dan tidak dapat bertahan hidup semata-mata karena tidak ada pasar untuk produknya. Untuk dapat masuk ke pasar dan mempertahankan posisi pasarnya, aspek persaingan menjadi sangat krusial untuk ditelaah. Mempelajari potensi pasar dan daya saing usaha kecil akan menggambarkan situasi nyata yang dihadapi oleh usaha kecil sebagai bagian dari aktivitas ekonomi yang ada. Potensi pasar dari produk atau jasa yang dihasilkan usaha kecil dipengaruhi terutama oleh

karakteristik demand dan supply dari produk atau jasa tersebut. Demand yang besar terhadap suatu produk atau jasa belum tentu secara otomatis menjadi peluang pasar bagi usaha kecil, karena hal ini biasanya akan menarik unit usaha yang lebih besar untuk melakukan penetrasi pasar. Sebaliknya, ada kasus dimana pertumbuhan produk tertetu yang negatif misalnya karena tingkat konsumsi yang berkurang, membuat produk tersebut menjadi lebih effektif diproduksi oleh usaha skala kecil. Ini berarti terbukanya peluang pasar bagi usaha kecil.

Bahkan ada kecenderungan terjadinya gejala Small Sizing (Naisbitt, John, 1993), bahwa hanya perusahaan berukuran kecil dan sedang atau

(2)

peru-Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 22

sahaan besar yang sudah merestruktur dirinya menjadi kecil yang bertahan hidup. Gejala pengecilan skala usaha ini banyak dilakukan dengan cara restru-kturisasi, mencari ukuran kecil yang optimal agar keluwesan dan kecepatan bertindak dalam era persaingan yang cepat ini dapat diperoleh. Berbagai laporan juga mendukung adanya kecenderungan ini; Mc Kinsey misalnya, dalam laporannya berjudul “Emerging Exporters” menyebutkan bahwa me-mang di dunia ini terjadi pergeseran ke arah flexible manufacturing dan penerapan pola outsourcing sehingga perusahaan kecil merupakan bagian yang makin memainkan peran penting dalam peta bisnis dunia. Hal ini dilakukan untuk membuatnya lebih innovatif dan fleksibel dalam melakukan penetrasi pasar. Gejala lain dalam upaya menjaga keunggulan karena skala kecil ini adalah makin berkurangnya upaya menggabung / merger dan pengambil-alihan perusahaan antar negara yang membuat perusahaan makin besar, dan menggan-tikannya dengan kerjasama strategis (strategic alliances), suatu kerjasama internasional antar perusahaan kecil. Melalui cara ini, mereka tetap meraih keuntungan perusahaan berskala kecil: yaitu luwes, cepat beradaptasi dan innovatif; tetapi juga mempunyai jaringan dan daya saing besar yang di masa lalu hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar.

Usaha Kecil Mebel Kayu, yang banyak terdapat di Kabupaten Klaten; merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan kemam-puannya untuk bertahan dalam masa krisis, merupakan alternatif pencipta lapangan kerja di luar sektor pertanian, memperbesar Pendapatan Asli Daerah, maupun kaitannya dengan implementasi

kebijakan pemerintah dalam pemerataan hasil pembangunan. Untuk itulah, penulis mengajukan penelitian ini dengan judul: Pengembangan Produk Mebel Kayu dalam Rangka Pember-dayaan Ekonomi Rakyat di Kabupaten Klaten.

B. Hambatan dan Permasalahan Industri Mebel di Kabupaten Klaten.

Beberapa faktor yang dirasa sebagai hambatan dan permasalahan yang dihadapi oleh para pengrajin mebel kayu di Kabupaten Klaten, antara lain: 1. Sedikitnya jumlah eksportir mebel

kayu di Kabupaten Klaten, sehingga para pengrajin mebel di Kabupaten Klaten sangat tergantung pada pedagang pengepul yang memasang harga kurang menguntungkan para pengrajin, namun membebankan resiko kepada mereka.

2. Produk Mebel Antik Repro yang pada umumnya memiliki konsumen tetap di negara pengimport, telah memasang harga standard dalam dollar AS; akan tetapi dari tahun ke tahun nilai rupiah terhadap dollar AS semakin menurun, akibatnya beban menurunnya nilai rupiah tersebut ditanggung oleh pengrajin, di sam-ping naiknya harga-harga bahan / kayu, beaya transportasi dan seba-gainya.

3. Rendahnya akses informasi dan jaringan para pengrajin mebel kayu Kabupaten Klaten,

4. Rendahnya kemampuan sumber daya manusia dan terbatasnya teknologi produksi, mengakibatkan sering dito-laknya/dikembalikannya produk-produk yang dinyatakan tidak meme-nuhi syarat (misalnya menyangkut kadar air, finishing yang tidak ramah lingkungan dan sebagainya).

(3)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 23

C. Strategi Pemberdayaan Industri Untuk Menjadikan Pengusaha Mandiri

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi kerakyatan, maka semua potensi yang ada di masyarakat perlu dikembangkan. Apalagi terbukti bahwa dalam krisis ekonomi jenis usaha yang mampu bertahan dan tidak terpuruk adalah industri kecil. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penguatan terhadap relasi-relasi industri mebel dari rantai hulu sampai hilir dalam industri mebel kayu, yang pengkajiannya adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan Daya

Tawar(Bargaining Power) Industri Mebel Terhadap Relasi-relasi Usaha pada Rantai Hulu - Hilir Mebel Kayu

Rantai hulu hilir menggambarkan alur produksi dan perdagangan komoditi yang didalamnya terdapat pelaku-pelaku yang menempati posisi tertentu dalam mata rantai tersebut. Rantai hulu menggambarkan arus input, yaitu bahan baku, termasuk juga modal dan tenaga kerja; sedangkan rantai hilir menggambar-kan jalur pemasaran produk. Sebagai satu mata rantai dalam jalur input, modal dan tenaga kerja juga merupakan input bagi sistem produksi dan pemasaran.

Dalam Struktur usaha mebel kayu, pengrajin mebel berfungsi sebagai produsen, yaitu pelaku usaha yang melakukan proses produksi dari bahan mentah (kayu) sampai meng-hasilkan barang setengah jadi atau barang jadi. Para pengrajin memiliki bengkel (temapt usaha) sendiri-sendiri yang tersebar di berbagai sentra sebagaimana diuraikan di atas. Pada

umumnya mereka memperoleh kete-rampilan yang diwariskan turun-temurun dari keluarga.

Unit usaha (kecil) yang dimiliki pengrajin masih berupa industri rumahan yang belum memisahkan secara jelas antara pengelolaan usaha dengan rumah tangga. Dalam mata rantai produksinya, para pengrajin umumnya bekerja dalam sistem subkontrak. Terdapat dua tingkatan sub kontrak, yaitu pengrajin tingkat pertama (yaitu pengrajin yang memperoleh order langsung dari eksportir), dan pengrajin tingkat kedua (yaitu pengrajin yang memperoleh order dari pengrajin tingkat pertama).

a. Peningkatan Bargaining Power Industri Mebel terhadap Pelaku-pelaku di Jalur Input Bahan Baku

Input utama industri mebel adalah kayu jati. Pelaku utama dalam rantai perdagangan bahan baku adalah PT Perhutani. Pelaku lainnya adalah pedagang kayu dan pemilik kayu rakyat. 1. PT Perhutani

PT Perhutani merupakan satu-satunya pemegang hak dalam penge-lolaan hutan jati. Kekuatan yang dimiliki PT Perhutani untuk melaku-kan monopoli penjualan kayu jati bersumber pada regulasi Pemerintah. Penunjukan Perum Perhutani sebagai BUMN yang memiliki kewenngan mengelola hutan di Pulau Jawa, pertama kali diatur melalui PP nomor: 15 tahun 1972; kemudian diperbaharui beberapa kali pada tahun 1978, 1986, namun tanpa mengalami perubahan kewenangan. Melalui PP nomor 14 tahun 1999, Perum Perhutani diubah menjadi PT Persero Perhutani yang semakin

(4)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 24

memperkuat hak Perhutani dalam pengelolaan hasil hutan, khususnya kayu jati.

2. Pedagang Kayu

Pedagang kayu merupakan pelaku yang menghubungkan PT. Perhutani dengan pengrajin. Untuk masuk ke dalam usaha ini, tidak ada prosedur atau ketrampilan khusus yang perlu dimiliki, tetapi modal tunai dalam jumlah besar merupakan prasyarat yang harus dipenuhi karena pembelian kayu ke Perhutani harus dilakukan dalam skala besar dan secara tunai. Perdagangan kayu merupakan usaha yang dapat memberikan keuntungan dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Usaha perdagangan kayu relatif mudah dimasuki karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang rumit serta hampir tanpa resiko, artinya kayu yang dibeli pasti akan habis terjual. Resiko buruknya adalah kualitas kayu dan fluktuasi harga kayu tidak ditanggung oleh pedagang kayu melainkan menjadi tanggungan pembeli, yang dalam hal ini adalah pengrajin. Hal ini bisa terjadi karena pedagang kayu menjual kayu dalam bentuk gelondongan dan pembeli baru dapat membelah kayu untuk melihat bagian dalamnya setelah penjualan.

Resiko kerugian yang mung-kin terjadi terhadap pedagang kayu adalah jika ada pengrajin yang tidak membayar kayu yang sudah dibeli. Namun demikian, resiko ini sangat jarang terjadi karena pengrajin menggantungkan suplai kayu dari pedagang kayu sebagai pelaku utama penyedia bahan baku. Pengrajin yang tidak membayar kayu umumnya

adalah pengrajin yang mengalami penolakan (reject) oleh eksportir. Sebagai gantinya, pedagang kayu akan mengambil produk-produk milik pengrajin yang belum sempat terjual.

3. Bakul Kayu

Bakul kayu adalah pedagang kayu namun dalam skala yang lebih kecil. Bakul kayu memperoleh kayu gelondongan dari pedagang kayu. Modal mereka relatif kecil sehingga tidak dapat menembus pasar lelang yang diadakan Perhutani. Pedagang kayu memberikan harga yang lebih murah kepada bakul kayu dengan alasan resiko pembelian dari bakul kayu lebih kecil daripada dengan pengrajin serta memberikan kesem-patan kepada bakul kayu untuk mengambil keuntungan. Pengrajin bisa memperoleh bahan baku dari bakul kayu atau pedagang kayu. b. Peningkatan Bargaining Power Industri Mebel terhadap Pelaku-Pelaku di Jalur Hilir

Pengrajin model garden tidak pernah berhubungan langsung dengan konsumen akhir tetapi harus melewati rantai pemasaran yang cukup panjang dan melibatkan eksportir, pedagang kulakan atau eceran di negara yang bersangkutan, dan baru mencapai konsumen akhir. Lain halnya dengan pedagang mebel ukir yang dapat berhubungan langsung dengan konsu-men akhir yang datang langsung. 1. Konsumen Akhir

Untuk produk mebel ukir, pengrajin seringkali berhubungan langsung dengan konsumen akhir dalam memasarkan produknya. Keberadaan showroom mebel ukir

(5)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 25

memberi peluang bagi konsumen akhir untuk membeli langsung mebel pada pengrajin dengan harga yang relatif lebih murah. Konsumen yang datang langsung kepada pengrajin di Jepara tidak selalu membeli mebel yang tersedia di showroom, tetapi banyak juga yang memesan mebel sesuai selera yang diinginkan. Pemesanan dapat dikerjakan di lokasi yang diinginkan pemesan. Untuk pesanan di luar kota, pengrajin mengerjakan di kota yang bersangkutan karena biaya yang dikeluarkan lebih murah daripada memproduksi dan mengirimkan barang ke tempat pembeli. Penjualan kepada konsumen akhir umumnya dalam bentuk satuan namun memungkinkan pengrajin untuk mengambil marjin keuntungan yang cukup tinggi. Konsumen domestik umumnya berasal dari kalangan menengah ke atas karena mahalnya produk mebel jati, terutama yang menggunakan ukiran Jepara. Namun, banyak pula konsumen yang menginginkan mebel dengan kualitas yang lebih rendah.

Pada produk mebel garden, konsumen akhir merupakan mata rantai terakhir dalam jalur perda-gangan eksport. Pengrajin mebel garden hampir tidak pernah berhu-bungan langsung dengan konsumen akhir. Di antara pengrajin mebel garden dan konsumen akhir terdapat peran-peran pedagang perantara seperti pedagang eceran dan pedagang kulakan, serta broker yang menghubungkan pengrajin dengan konsumen akhir. Karena itu, sangat jarang ditemui konsumen akhir yang berasal dari luar negeri dan mela-kukan pembelian langsung kepada

pengrajin karena biaya pengangkutan jauh lebih tinggi daripada harga mebel itu sendiri.

2. Pedagang Kulakan (Wholesaler) dan Pedagang Eceran (Retailer) di Pasar Eksport

Pedagang kulakan dan eceran biasa disebut buyer. Terdapat dua tipe buyer, yaitu buyer yang meru-pakan perwakilan atau pemilik perusahaan impor di negara asalnya yang relatif memiliki volume permintaan rutin, dan buyer insidentil termasuk di dalamnya pemain baru yang sedang melakukan penjajagan atau turis yang tidak berencana melakukan investasi jangka panjang.

Pedagang kulakan atau eceran yang datang disebut sebagai buyer memiliki karakteristik yang berbeda dalam permintaan jenis barang, sistem pembayaran, dan kontinuitas permintaan. Buyer dari negara-negara Eropa Barat, Amerika Seri-kat, dan Jepang biasanya meng-inginkan mebel berkualitas tinggi, sedangkan buyer dari negara-negara Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia lebih banyak menginginkan mebel berkualitas sedang atau rendah.

3. Eksportir

Terdapat pelbagai jenis atau tipe eksportir yang menjalankan usaha mebel jati. Berdasarkan kepemilikannya, terda-pat tiga jenis eksportir yaitu:

1. Eksportir PMA (Penanaman Modal Asing). Usaha ini dimiliki secara formal oleh warga negara asing, termasuk dana yang digunakan sebagai modal. Informasi mengenai tipe eksportir ini tidak cukup banyak digali karena sulitnya akses melakukan wawancara dengan

(6)

aktor-Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 26

aktor kunci di perusahaan semacam ini.

2. Eksportir lokal asing, umumnya merupakan perusahaan dengan kepe-milikian lokal tetapi mendapat sebagian atau seluruh modal dari investor asing. Dewasa ini, banyak ditemui kasus orang asing yang menikah dengan orang pribumi dengan maksud mendirikan perusa-haan atas nama orang pribumi untuk menghindar dari pelbagai peraturan. Namun begitu, ada juga yang memang murni hubungan usaha; eksportir buyer mendirikan usaha patungan.

3. Eksportir lokal dengan skala usaha yang bermacam-macam. Kebanyak-an eksportir jenis ini memiliki keluarga yang sudah menggeluti usaha mebel sejak lama namun awalnya hanya terbatas pada pasar domestik. Ketika terbuka peluang penjualan ke pasar ekspor, peluang tersebut langsung diambil sehingga terjadi pengalihan orientasi pasar. Beberapa eksportir mengawali usahanya sebagai pengrajin dan setelah berhasil mendapat order langsung dari buyer, lalu beralih menjadi eksportir. Di samping itu, ada juga eksportir yang pada awalnya sama sekali tidak memiliki usaha kayu jati kemudian melihat peluang pasar dan akhirnya mencari buyer melalui tamu-tamu hotel, buyer asing yang datang, atau melalui internet. Jenis yang terakhir banyak muncul ketika krisis; sejumlah korban PHK di perusahaan besar, melihat pelu-ang dari booming permintaan dari pasar ekspor. Walaupun demikian, eksportir lokal baru relatif berasal dari status sosial ekonomi yang cukup tinggi sehingga

mereka memulai bisnis ekspor mebel dengan menggunakan modal sendiri atau keluarga.

Berdasarkan kegiatannya, eksportir dibagi atas dua kategori, yaitu:

1. Eksportir produsen. Tipe eksportir ini melakukan proses produksi sampai menghasilkan barang jadi. Eksportir produsen umumnya berin-vestasi dalam bentuk pabrik dan mesin-mesin. Proses produksi dila-kukan di dalam pabrik milik eksportir dengan mengupah buruh, baik secara harian maupun borongan. Eksportir PMA dan lokal-asing umumnya merupakan eksportir produsen. Mereka umumnya meru-pakan pemain lama yang sudah memulai usaha sejak kedatangan buyer asing sekitar tahun 1990. 2. Eksportir pengumpul. Eksportir tipe

ini mengalihkan seluruh proses produksi pada pengrajin dengan sistem subkontrak. Eksportir pe-ngumpul tidak melakukan investasi dalam bentuk pabrik untuk melaku-kan proses produksi, tapi memiliki gudang sebagai tempat penyimpanan barang dan peralatan untuk melaku-kan proses finishing berupa amplas halus, teak oil, dan warna. Eksportir pengumpul umumnya merupakan eksportir lokal dan terutama ekspor-tir yang baru memasuki usaha ini. Jumlah eksportir pengumpul me-ningkat pesat ketika terjadi krisis moneter tahun 1998; banyak pendu-duk yang semula bekerja di luar melihat peluang memperoleh keun-tungan yang cukup besar dalam waktu relatif singkat dengan menjadi eksportir pengumpul. Kecilnya resiko yang mesti ditanggung eks-portir pengumpul juga menjadi daya tarik masuknya banyak pelaku ke

(7)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 27

dalam kelompok ini. Hampir semua resiko produksi mulai dari kerusakan kayu, fluktuasi harga bahan baku, dan rendahnya harga jual dialihkan kepada pengrajin. Esportir pengum-pul hanya menanggung resiko barang yang ditolak oleh buyer setelah barang tersebut sampai di negara tujuan.

Bagi eksportir lokal, investasi dalam bentuk pabrik tidak terlalu menguntungkan karena mereka terpaksa menang-gung resiko produksi sendiri. Bahkan eksportir produsen banyak yang kemudian beralih menjadi eksportir pengumpul karena tidak sanggup mengatasi tingginya harga kayu. Investasi dalam bentuk showroom juga tidak banyak dilakukan, mereka lebih banyak menawarkan barang melalui katalog umum yang banyak beredar. 4. Pedagang Lokal

Seperti telah disebutkan di atas, produk mebel jati untuk konsumen lokal berbeda karakter dengan produk ekspor. Mebel ukir lebih banyak dijual secara eceran daripada kulakan, bahkan banyak yang didesain sesuai permintaan konsumen secara pribadi.

Seringkali eksportir juga meng-ambil peran sebagai pedagang lokal sebagai strategi menambah keuntungan. Mebel-mebel sederhana berkualitas rendah yang diperdagangkan di pasar domestik ternyata memberikan peluang mendapatkan marjin keuntungan yang tinggi dengan resiko yang lebih kecil dibandingkan pasar ekspor. Beberapa eksportir pemula mengambil peluang pasar domestik terutama untuk daerah-daerah di luar Jawa. Pemesanan dilakukan dalam skala besar sehingga memungkinkan pedagang untuk meng-ambil keuntungan yang lebih tinggi

sampai mencapai 40%. Hanya saja, permintaan pasar domestik tidak kontinyu sehingga pedagang tidak dapat mengandalkan pasar ini sebagai sumber pendapatan utama.

c. Peningkatan Bargaining Power Industri Mebel terhadap Relasi di Antara Pelaku Usaha

1. Pengrajin - Penyedia Kayu Jati Pedagang kayu yang ingin mengikuti sistem penjualan langsung harus memiliki Surat Izin (SI) yang diperoleh dari Perhutani. Pada sistem lelang, pedagang harus memiliki Surat Izin Tebang (SIT) dari TPK yang bersangkutan sebagai syarat untuk dapat mengangkut kayu yang telah dibeli dari TPK tersebut. Setiap kayu yang sudah diberi cap izin dari TPK yang mengeluarkan surat izin tersebut baru dinyatakan sebagai kayu legal.

Pedagang kayu dapat memilih melakukan pembelian kayu melalui penjualan langsung atau lelang. Umumnya pedagang akan melihat harga limit yang ditawarkan Perhutani. Jika diperkirakan harga lelang akan naik tinggi, maka pembelian dilakukan dengan SI, dan sebaliknya. Untuk mengetahui harga limit yang ditetapkan Perhutani, pedagang dapat memperoleh daftar kayu yang akan dilelang sehari sebelum proses lelang di KPH yang bersangkutan.

Pembelian dalam sistem penjualan langsung lebih mengun-tungkan karena boleh memilih kayu dan dijamin mendapatkan kualitas yang bagus. Dalam sistem lelang pembeli diharuskan membeli satu kavling penuh dan kayu dalam satu kavling tidak boleh dipilih. Untuk mengatasi masalah ini, pedagang kayu yang sudah mengenal petugas Perhutani dapat melakukan

(8)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 28

penin-jauan sehari sebelum lelang dengan maksud memilih kavling yang diinginkan. Untuk itu, ia akan membayar sejumlah uang tertentu pada petugas tersebut dan juga juru lelang agar keesokannya dimenangkan dalam lelang. Cara ini tidak selalu berhasil karena sistem lelang yang terbuka disaksikan oleh banyak orang. Jika dalam lelang ada pembeli yang menawar lebih tinggi, pedagang kayu yang bersangkutan dapat bernegosiasi dengan pemenang agar bisa mendapatkan kayu yang sudah dipilihnya.

Keempat sistem penjualan yang diberlakukan Perhutani menuntut pembayaran tunai pada hari pembelian. Tetapi pedagang kayu lama yang sudah sering memenangkan lelang dapat menunda pembayaran satu hari dan dengan cara mentransfer ke rekening petugas Perhutani.

Umumnya pedagang kayu besar membeli dan menjual kayu dalam bentuk gelondongan. Kayu dijual ke pengrajin dan bakul kayu dengan sistem bon. Penjualan ke bakul kayu rata-rata mengambil keuntungan 5% karena pembayaran biasanya dilakukan dalam waktu kurang lebih satu minggu, sedangkan penjualan ke pengrajin mengambil keuntungan 15% karena pembayarannya bisa mencapai satu bulan, atau beberapa bulan, bahkan ada yang kemudian tidak membayar. Dalam kasus ini pedagang menarik mebel produksi pengrajin sebagai ganti pembayaran.

Kebijakan yang memberi hak monopoli penyediaan dan penjualan kayu kepada Perhutani menyebabkan semua pengrajin membeli kayu melalui pedagang kayu, dan menutup akses langsung ke Perhutani (PUPUK, 2001). Tertutupnya akses pengrajin ke

Perhutani disebabkan adanya perbedaan kekuatan modal antara pengrajin dengan pedagang kayu. Kekuatan modal ini berpengaruh pula pada kemampuan membeli kayu dalam skala besar dan membayar secara tunai seperti yang disyaratkan oleh Perhutani.

Warung kayu yang disediakan Perhutani untuk melayani pembelian skala kecil bagi pengrajin tidak diminati karena di situ hanya dijual kayu-kayu sisa berkualitas rendah. Pengrajin dituntut menjaga kualitas sesuai perjanjian dengan eksportir, maka tentunya pengrajin membutuhkan kayu-kayu berkualitas bagus tidak seperti yang disediakan di warung kayu. Karena itu, pengrajin lebih banyak memilih bakul kayu untuk memperoleh kayu.

Selain itu, terdapat penyimpangan dalam praktik-praktik perdagangan kayu melalui keempat sistem yang digunakan Perhutani sehingga hanya pemilik modal besar seperti eksportir berskala besar dan pedagang kayu yang dapat membeli langsung ke Perhutani. Saat ini eksportir lokal tidak bersedia lagi menyediakan bahan baku bagi pengrajin karena mereka tidak mau menanggung fluktuasi dan tingginya harga kayu. Dengan kondisi ini pengrajin harus membeli kayu pada pedagang kayu yang ada, sebagai satu-satunya alternatif. Pedagang kayu melayani pembelian dengan sistem bon sehingga pengrajin relatif tidak membutuhkan uang tunai untuk membeli kayu.

2. Pengrajin -Pasar Output (Eksportir dan Buyer)

Pada prinsipnya, pengrajin memiliki banyak alternatif jalur pemasaran dengan banyaknya jumlah eksportirm buyer, maupun pedagang lokal. Namun pada kenyataannya,

(9)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 29

kebanyakan pengrajin bergantung pada order dari satu atau dua eksportir saja. Kondisi eksportir yang belum mampu menjaga hubungan jangka panjang dengan buyer sangat berpengaruh bagi kelangsungan usaha pengrajin. Untuk mempertahankan jalannya usaha, pengrajin harus aktif mencari eksportir maupun buyer langsung, atau terpaksa menerima order dengan marjin keuntungan yang sangat rendah atau bahkan rugi. Pada beberapa kasus, kondisi ini membawa kecenderungan pengrajin melakukan banting harga terhadap eksportir demi mendapatkan order. Strategi ini merugikan kelompok pengrajin secara keseluruhan dalam jangka panjang karena jatuhnya harga produk.

Dalam membangun hubungan subkontrak, umumnya eksportir sudah memiliki pengrajin-pengrajin yang sudah dipercaya untuk mengerjakan order-order tertentu. Untuk satu jenis produk, eksportir biasa membagikan order kepada beberapa pengrajin yang sudah terbukti dapat memenuhi persyaratan yang dibutuhkan eksportir, seperti jaminan kualitas, ketepatan waktu, dan kesepakatan harga. Sangat jarang terjadi eksportir memberikan semua order yang diterimanya dari buyer kepada satu pengrajin. Selain eksportir menyang-sikan kemampuan pengrajin tersebut untuk menyelesaikan order dengan kualitas dan jangka waktu sesuai yang disepakati, eksportir juga mengambil keuntungan dengan menawarkan harga yang berlainan di antara pengrajin yang mengerjakan order untuk jenis produk yang sama. Berbeda dengan eksportir produsen yang menjalankan produksi di dalam pabrik, eksportir pengumpul menye-rahkan seluruh produksinya kepada pengrajin

dengan sistem subkontrak. Sistem subkontrak lebih banyak digunakan karena sistem itu memberi peluang bagi eksportir untuk meng-alihkan sebanyak mungkin resiko produksi kepada pengrajin.

Dengan memanfaatkan posisinya sebagai aktor yang menghubungkan pengrajin sebagai produsen dengan buyer sebagai konsumen, eksportir memiliki kekuatan tawar yang lebih besar daripada pengrajin. Akibatnya harga, desain, dan kualitas produk hampir sepenuhnya ditentukan oleh eksportir. Walaupun pengrajin memi-liki standar harga tertentu, eksportir seringkali dapat menekan para pengrajin untuk menerima harga yang telah ditetapkannya.

Dalam kasus jati, resiko barang reject dibebankan oleh buyer sepe-nuhnya pada eksportir. Sistem quality control yang dibangun menyebabkan eksportir harus menanggung sendiri resiko reject tersebut. Produk yang sudah lolos QC di tingkat eksportir sepenuhnya menjadi tanggung jawab eksportir walaupun kemudian produk tersebut mengalami penolakan oleh buyer. Buyer tidak melakukan quality control sendiri dan menyerahkan sepenuhnya kepada eksportir. Kebanyakan eksportir melakukan QC sendiri walaupun ada juga di antara eksportir lama yang sudah memiliki staf QC tersendiri. Produk pengrajin yang tidak memenuhi kualitas yang dijanjikan akan langsung ditolak saat itu juga dan pengrajin harus memperbaiki atau menggantinya dengan biaya pengrajin. Kadang-kadang ada pengrajin yang berkolusi dengan staf QC eksportir agar barangnya dilolos-kan. Jika ada reject barang dari eksportir yang ternyata merupakan kesalahan pengrajin,

(10)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 30

eksportir tidak dapat menimpakan resiko denda kepada pengrajin tetapi pengrajin tersebut kemungkinan besar tidak lagi mendapatkan order.

Dalam beberapa kasus buyer menolak barang yang sudah diterima di negara tujuan tanpa bukti-bukti penolakan yang jelas selain foto. Alasan penolakan antara lain desain atau kualitas tidak sesuai dengan yang diminta padahal seringkali buyer mengirimkan desain melalui fax dengan gambar yang kurang jelas sehingga eksportir pun sulit menerjemahkannya. Dalam kondisi ini eksportir dihadapkan pada pilihan yang sulit yaitu mengimpor kembali barang mereka dengan konsekuensi membayar biaya pengiriman yang besarnya bisa mencapai tiga kali biaya ekspor, atau membayar denda yang besarnya ditentukan buyer dan sisa pembayaran tidak dilunasi oleh buyer. Eksportir baru seringkali tidak mampu melakukan tawar-menawar sehingga mereka terpaksa harus membayar denda yang besarnya ditetapkan buyer atau mengganti dengan barang baru.

Produk mebel jati yang diekspor umumnya mencapai tahap finishing hanya sampai pada tahap amplas halus karena order dari buyer umumnya menginginkan mebel dalam bentuk setengah jadi. Proses finishing dilakukan di luar Indonesia dengan alasan pengiriman barang jarak jauh cenderung merusak kualitas kayu sehingga mebel yang diekspor dari Indonesia lebih disukai yang masih berupa barang setengah jadi.

Sejauh yang ditemui di lapangan, eksportir lokal skala kecil tidak memiliki buyer tetap dengan permintaan rutin atau jangka panjang. Umumnya buyer yang berhubungan dengan mereka bersifat

insidentil. Bentuk kerjasama yang dilakukan juga banyak yang masih dalam taraf penjajagan. Belum dapat diketahui karakter eksportir PMA dan lokal asing, namun diduga mereka lebih banyak berhubungan dengan buyer tipe importir yang sudah memiliki permintaan relatif tetap di negara tujuannya.

Eksportir lokal, khususnya, hampir selalu kalah dalam proses tawar-menawar dengan buyer. Walaupun eksportir memiliki standar harga produk, umumnya buyer lebih banyak menentukan harga yang diinginkannya. Dalam beberapa kasus, fenomena banting harga oleh eksportir skala kecil juga ditemui.

Eksportir baru atau yang masih berskala kecil lebih memilih menggunakan sistm T/T karena mereka tidak punya cukup modal untuk berproduksi maupun untuk membuka L/C. Ketidaktahuan ekspor-tir mengenai sistem-sistem pembayar-an sering dimanfaatkan oleh buyer untuk kemudian melakukan reject barang atau tidak melunasi sisa pembayaran.

Buyer yang merupakan pedagang kulakan di negaranya sangat memperhatikan kualitas produk, bahkan sampai mengirimkan staf quality control (QC) untuk memastikan kualitas barang sesuai dengan permintaan. Buyer tipe ini juga cenderung membangun hubungan jangka panjang sehingga menjamin kontinuitas produksi dan pemasaran bagi eksportir. Sistem pembayaran yang digunakan biasanya adalah L/C (letter of credit).

Selain buyer tipe di atas, banyak juga buyer yang berperilaku sebagai broker. Buyer tipe ini tidak selalu membangun hubungan jangka panjang, bahkan seringkali buyer tersebut

(11)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 31

merupakan pemain pemula yang belum memiliki permintaan tetap di negaranya. Buyer tipe ini tidak hanya berhubungan dengan eksportir tetapi juga seringkali datang langsung kepada pengrajin. Kontrol terhadap kualitas produksi tidak terlalu ketat, tetapi juga tidak menjamin kontinuitas pembelian. Sistem pembayaran yang digunakan biasanya T/T (transfer tunai).

Cara-cara yang dilakukan buyer untuk menjajagi eksportir dan melakukan tawar-menawar serta aturan yang berlaku antara buyer dan eksportir mengenai penentuan sistem pembayaran, kontrol terhadap kualitas barang, dan prosedur klain atau reject barang sama dengan cara-cara yang dilakukan oleh buyer yang bergerak dalam industri rotan. Buyer tipe importir lebih mengutamakan kualitas dan ketepatan waktu pengiriman barang (delivery time) sehingga mereka lebih banyak berhubungan dengan eksportir-eksportir lama yang berskala menengah dan besar serta memiliki pabrik dan showroom tersendiri. Sejauh ini, pemain baru diketahui banyak berhubungan dengan eksportir baru karena eksportir lama umumnya sudah lebih hati-hati dalam menghadapi buyer baru walaupun tidka tertutup kemungkinan buyer baru berhubungan dengan eksportir lama.

Hubungan eksportir dengan pengrajin ditandai dengan kerjasama dalam bentuk subkontrak. Eksportir yang mendapatkan order kemudian memberikan order kepada pengra-jinnya. Pengrajin tingkat I mem-bangun hubungan dengan beberapa eksportir dalam periode waktu yang sama sebagai strategi mempertahan-kan jalannya usaha. Setiap eksportir memiliki musim sepi-ramai order yang berlainan tergantung pada jenis buyer yang

disuplainya. Oleh karena itu, pengrajin berusaha membangun hubungan dengan beberapa eksportir yang memiliki musim yang berbeda sehingga pengrajin mendapatkan jaminan memperoleh order sepanjang tahun. Walaupun secara prinsip pengrajin memiliki kebebasan dan peluang untuk meneripa order dari eksportir mana pun, pada kenyata-annya pihak eksportirlah yang memiliki kekuatan lebih besar untuk menentukan pengrajin yang akan diberikan order.

Pengrajin tingkat II tidak memiliki hubungan langsung dengan eksportir dan hanya mendapat order dari pengrajin tingkat I. Pengrajin tingkat I akan memberikan sebagian atau semua order yang diterimanya kepada pengrajin tingkat II jika jumlah order yang diterimanya ternyata melebihi kapasitas produksi mereka. Dalam hal ini, pengrajin tingkat I mengambil keuntungan Rp 2.500/ buah. Pengalihan order dari pengrajin tingkat I kepada pengrajin tingkat II, selain karena adanya keterbatasan kemampuan berproduksi, tetapi juga sebagai strategi menda-patkan keuntungan dengan cara menghemat biaya produksi sekaligus mengurangi resiko produksi baik dari sisi biaya maupun waktu yang dihabiskan.

2. Pengrajin – Buruh

Di tingkat pengrajin tingkat I, proporsi upah buruh dibandingkan biaya produksi keseluruhan mencapai 10 – 15%. Proporsi tersebut tidak memperhitungkan tenaga pengrajin itu sendiri yang bersama-sama buruh mengerjakan tahapan produksi. Jika permintaan banyak dan sedang mengejar target waktu penyelesaian order, pengrajin mempekerjakan beberapa buruh sesuai kebutuhan. Hubungan

(12)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 32

pengrajin dengan buruh bersifat informal dan tidak mengikat. Buruh dipekerjakan jika pengrajin sedang memiliki order untuk dikerjakan. Jumlah buruh yang dipekerjakan pun disesuaikan dengan volume order yang harus dipenuhi dalam kurun waktu tertentu. Pengrajin akan melepas buruh ketika pengrajin sedang tidak memiliki order, dan buruh yang dilepas dapat bekerja pada pengrajin lainnya.

Buruh amplas berada pada posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan buruh produksi karena tahapan mengamplas dianggap tidak membu-tuhkan ketrampilan khusus. Mereka tidak menikmati kenaikan upah secara proporsional dibandingkan dengan buruh-buruh produksi yang dianggap memiliki ketrampilan. Persoalan over supply juga menyebabkan posisi tawarnya makin rendah. Meskipun dari sisi upah relatif sama terhadap UMR, jenis pekerjaan tersebut tidak memungkinkan buruh mengakumulasi pengetahuan atau ketrampilan. Dengan demikian, peluang atau akses terhadap peningkatan kapasitas mereka untuk dapat meningkatkan penghasilan menjadi tertutup. Hal ini berlainan dengan buruh produksi yang memiliki ketrampilan khusus; bagi mereka persoalan over supply hampir tidak pernah terjadi.

D. Kesimpulan

Perubahan yang dikaji adalah meningkatkan daya tawar atau

bargaining power pelaku usaha industri mebel kayu di Kabupaten Klaten dalam rangka pemberdayaan ekonomi kerak-yatan. Tujuan perubahan adalah pelaku usaha industri kecil mebel semakin berdaya dan mandiri.

Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi peningkatan yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan bargaining power terhadap relasi-relasi usaha pada rantai hulu-hilir yang meliputi:

a. Peningkatan bargaining Power industri kecil mebel terhadap pelaku-pelaku di jalur input bahan baku. Strategi ini akan menjadikan pihak pengusaha lebih berdaya, karena bukan menjadi obyek semata. Pelaku-pelaku yang berada di jaulur input bahan baku adalah: PT Perhutani, pedagang kayu, dan bakul kayu. b. Peningkatan bargaining power

industri kecil mebel terhadap pelaku-pelaku di jalur hilir. Dengan strategi ini pengusaha memiliki akses dengan konsumennya. Pelaku yang ada adalah: konsumen akhir, pedagang kulakan dan pedagang eceran di pasar ekspor, eksportir dan pedagang lokal. c. Peningkatan bargaining power

industri mebel terhadap relasi di antara pelaku usaha. Strategi ini untuk meningkatkan kesetaraan dengan sesama pelaku usaha. Pelaku di jalur ini adalah: penyedia kayu, pasar out-put, dan buruh.

(13)

Burhanudin AY ISSN : 1693 - 0827

Paradigma Vol 04, No. 01 Semester Ganjil 2007 33

DAFTAR PUSTAKA

Andrews, K.R., The concept of corporate Strategy. Homewood, III. Dow Jones Irwin, 1971

Ansoff, H.I., Corporate Stategy. New York: McGraw-Hill, 1965

---, Stategic Management. New York: John Wiley and Sons, 1979. Davidson, W. H., Global Strategic Management. New York: John Wiley and

Sons,1982

Drucker, P.F. Managing in Turbulent Time, New York: Harper and Row, 1980. Galbraith, Jay R., and Daniel A. Nathanson, Strategy Implementation: The Role

Of Stucture and Process. St. Paul, Minn.: West Publising, 1982

Glueck, William F., Business policy and Stategic Management. New York: McGraw Hill, 1980

Nurul Widyaningrum & Elok Ponco Mulyoutami, Relasi-relasi yang tidak adil dalam rantai hulu hilir Usaha Kecil

Perkumpulan untuk Pengembangan Usaha Kecil (PUPUK) Bandung & The Asia Foundation (TAF), Laporan Penelitian mengenai Perdagangan Kayu Jati, 1998.

Porter, Michael E., Competitive Advantage. New York: Free Press, 1985

Siagian, Sondang P., Perumusan dan Analisis Kebijaksanaan serta Strategi Organisasi. Jakarta, P.T. Gunung Agung, 1981.

Steiner, G.A., Strategic Planning, New York: Free Press, 1979 Suwarsono, Majemen Strategik, BPFE Yogyakarta, 1998

Referensi

Dokumen terkait

Telah terjadi bencana banjir bandang di 3 (tiga) Desa Kecamatan Tambakrejo pada tanggal 23 Februari 2009 pukul 18.30 s.d 19.30 WIB yang di sebabkan curah hujan yang tinggi,

(1) Kepala Seksi Kesejahteraan Masyarakat dan Pelayanan Umum mempunyai tugas membantu Lurah dalam melaksanakan urusan di bidang Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan

Analisis yang dapat diambil dari data diatas adalah gambar grafik dengan semua parameter yaitu COD, TSS, nitrat dan fosfat pada reaktor biosand filter 3 bahwa penyisihan yang

RKPD adalah dokumen perencanaan tahunan Pemerintah Daerah yang menggambarkan permasalahan pembangunan daerah serta indikasi program dan kegiatan yang akan dilaksanakan

Peserta Lelang harus Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin dari Bapepam sebagai Perantara Pedagang Efek dan atau Penjamin Emisi Efek, belum memiliki Saham Bursa dan

Berdasarkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan dan bukti pembayaran dari Kas Daerah, maka Dinas Pendapatan Daerah, Suku Dinas Pendapatan Daerah, atau Seksi Dinas

Memenuhi Seluruh kayu hasil produksi yang diangkut keluar dari areal konsesi PT ITCI Hutani Manunggal dari TPK hutan ke TPK Antara serta ke tujuan industri

3) Peneliti selanjutnya dapat menggali lagi keterkaitan antara compassion dengan pola asuh orangtua, untuk mengetahui apakah orangtua dengan tingkar compassion