• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK. terjadi pada penyaluran gaya-gaya dari balokbalok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK. terjadi pada penyaluran gaya-gaya dari balokbalok"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Pembangunan gedung bertingkat sekarang ini banyak yang menggunakan metode pracetak karena waktu pelaksanaan relatif lebih cepat dibandingkan dengan metode beton bertulang biasa. Pada metode beton pracetak ini sambungan balok-kolom menempati fungsi yang sangat kritis, karena mekanisme respon struktur terhadap beban, terjadi pada penyaluran gaya-gaya dari balok ke kolom bangunan.

Mengingat tipe sambungan balok-kolom pracetak ada berbagai macam tipe, maka sebelum melakukan studi lebih lanjut diperlukan suatu seleksi untuk memilih tipe sambungan balok-kolom pracetak. Perbandingan dilakukan berdasarkan faktor pembanding biaya, mutu, waktu, dan kemudahan dalam pelaksanaannya. Untuk melakukan studi sambungan pracetak tersebut penulis menggunakan program bantu LUSAS (London University Stress Analysis System).

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sambungan pracetak yang distudi memiliki perilaku kurang daktail dibandingkan dengan sambungan yang monolit.

Kata Kunci :Beton Pracetak, Sambungan Balok-kolom, LUSAS

.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Saat ini lahan yang diperlukan untuk pembangunan menjadi semakin sempit, sehingga pembangunan gedung lebih diarahakan ke arah vertikal. Oleh sebab itu saat ini sangat banyak pembangunan gedung bertingkat di banyak daerah. Pembangunan gedung bertingkat sekarang ada dua metode, yaitu dengan menggunakan metode beton bertulang konvensional dan metode beton bertulang pracetak. Penggunaan metode beton bertulang konvensional ini memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan penggunaan metode beton pracetak yang memerlukan waktu relatif lebih cepat. Beton bertulang pracetak selain unggul dalam segi waktu juga unggul dalam kemudahan pelaksanaan, keseragaman mutu beton, penghematan lahan, keuntungan ekonomis pada pemakaian bahan dan tenaga kerja, dll.

Oleh karena itu saat ini pemakaian beton bertulang pracetak menunjukkan suatu peningkatan yang sangat besar dalam pembangunan gedung-gedung di Indonesia.

Seiring dengan meningkatnya pemakaian beton bertulang pracetak dalam pembangunan gedung, maka semakin banyak juga macam-macam tipe sambungan muncul yang dianggap sangat penting dalam konstruksi beton pracetak tersebut. Untuk bangunan gedung-gedung dengan sistem rangka pemikul momen (SRPM), terdapat sambungan-sambungan yang terpasang pada pertemuan antara komponen balok dengan kolom, kolom dengan kolom, balok dengan pelat lantai, dan seterusnya. Dari jenis sambungan tersebut sambungan balok-kolom menempati fungsi yang sangat kritis, karena mekanisme respon struktur terhadap beban terjadi pada penyaluran gaya-gaya dari balok-balok ke kolom-kolom bangunan.

Sambungan balok-kolom beton pracetak memiliki bermacam-macam tipe. Pada setiap tipe sambungan balok-kolom memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing bila ditinjau dari beberapa faktor, misalnya keawetan, kemudahan pelaksanaan, harga, fabrikasi, kemudahan ereksi, waktu, ketahanan bakar, dan bahan penyusun sambungan. Untuk itu perlu dilakukan perbandingan dari berbagai macam tipe sambungan balok-kolom guna mendapatkan tipe sambungan balok-kolom yang baik untuk diterapkan di Indonesia. Perbandingan berbagai tipe sambungan ini nanti akan dilakukan berdasarkan evaluasi perbandingan berdasar beberapa faktor-faktor di atas. Tindakan ini dimaksudkan untuk mendaptakan tipe sambungan yang sederhana, mudah untuk dilaksanakan, dan murah tetapi masih memenuhi aspek-aspek yang disyaratkan pada struktur bangunan gedung terutama di Indonesia.

Setelah mendapatkan tipe sambungan balok-kolom terbaik dari evaluasi perbandingan berdasarkan faktor-faktor tersebut, masih perlu dilakukan suatu studi lebih lanjut terhadap tipe sambungan tersebut supaya memenuhi aspek-aspek yang disyaratkan pada struktur bangunan gedung secara umum. Melakukan studi terhadap sambungan balok-kolom perlu dilakukan untuk dapat mengetahui perilaku sambungan terhadap faktor-faktor yang mengacu pada kekuatan, kekakuan, daya layan, daktilitas,

(2)

kesatuan, dan keawetan. Untuk menganalisa sambungan balok-kolom pracetak terhadap faktor-faktor tersebut digunakan program bantu LUSAS. Sedangkan untuk mendapatkan faktor-faktor evaluasi perbandingan sambungan menggunakan buku-buku tinjauan dan dari hasil eksperimen terhadap tipe sambungan balok-kolom tersebut.

Hasil dari perbandingan dan studi dari beberapa tipe sambungan yang dilakukan ini penting, karena akan didapatkan tipe sambungan balok-kolom yang efektif untuk diterapkan di Indonesia. Selain itu hasil studi sambungan tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh pembaca untuk melakukan modifikasi terhadap tipe sambungan balok-kolom yang sudah ada. Modifikasi terhadap sambungan dilakukan untuk mendapatkan tipe sambungan balok-kolom baru yang lebih sederhana dan murah tetapi masih dapat memenuhi aspek-aspek yang disyaratkan pada struktur bangunan gedung di Indonesia. Karena itu tugas akhir ini sangat bermanfaat bagi perkembangan konstruksi pracetak di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimana mendapatkan tipe sambungan balok-kolom beton pracetak terbaik berdasarkan evaluasi perbandingan faktor-faktor pembanding yang digunakan?

2. Bagaimana melakukan studi sambungan balok-kolom terhadap perilakunya dengan pembebanan maksimal?

3. Bagaimana membuat pemodelan pada program bantu LUSAS untuk mendapatkan hasil perhitungan yang baik dan tepat?

4. Bagaimana perbandingan antara sambungan pracetak dengan sambungan monolit?

1.3. Tujuan

1. Mendapatkan tipe sambungan balok-kolom beton pracetak terbaik berdasarkan evaluasi perbandingan faktor-faktor pembanding yang digunakan.

2. Mendapatkan hasil studi sambungan balok-kolom terhadap perilakunya dengan pembebanan maksimal.

3. Mampu menyimpulkan sambungan balok-kolom beton pracetak berdasarkan hasil dari studi program bantu LUSAS. 4. Mampu menyimpulkan hasil

perbandingan antara sambungan pracetak dengan sambungan monolit.

1.4. Batasan Masalah

1. Bentuk penampang balok dan kolom berbentuk persegi atau persegi panjang. 2. Faktor-faktor pembanding hanya terbatas

pada biaya, mutu, waktu, dan kemudahan dalam pelaksanaan.

3. Bahan beton untuk komponen pracetak dari mutu tinggi dengan nilai tegangan karakteristik lebih dari K-350.

4. Bahan baja tulangan diusahakan menggunakan jenis-jenis yang tersedia di Indonesia.

5. Hanya mengacu pada studi sambungan balok-kolom saja.

6. Konstruksi terletak pada zona gempa 1 dan 2 sehingga beban gempa tidak diperhitungkan

1.5. Manfaat

Dengan diselesaikannya tugas akhir ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan bagi pembaca pada umumnya. Tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi penulis dan para pembaca mengenai hasil studi sambungan balok-kolom beton pracetak yang sudah dipilih berdasarkan evaluasi perbandingan dari beberapa faktor yang dianggap penting dan berpengaruh besar. Tugas akhir ini nantinya akan memberikan hasil studi sambungan balok-kolom beton pracetak terhadap aspek-aspek yang disyaratkan pada struktur bangunan gedung terutama di Indonesia. Selain itu, tugas akhir ini juga bisa dimanfaatkan bagi para pembaca yang ingin melakukan studi lebih lanjut dengan memodifikasi tipe sambungan balok-kolom beton pracetak yang sudah ada saat ini guna mendapatakan tipe sambungan balok kolom baru yang lebih efektif dan efisien untuk diterapkan di Indonesia.

(3)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum

Menurut SNI (Standar Nasional Indonesia) disebutkan bahwa bangunan gedung beton bertulang dibagi ke dalam sistem dinding geser, sistem rangka pemikul momen (SRPM), sistem ganda (dual system), sistem rangka ikatan (bracing). Kemudian SNI memasukkan pembagian bangunan gedung beton bertulang tersebut ke dalam SNI 03-1726-2002. Untuk penggunaan sistem rangka pemikul momen pada konstruksi pracetak dibutuhkan kinerja yang bagus dari sambungan-sambungan balok-kolom.

Tata cara perencanaan untuk struktur beton pracetak masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan peraturan desain untuk beton bertulang biasa (cor setempat), khususnya pada kolom bangunan. Berikut ini disajikan uraian secara ringkas beberapa pedoman desain sambungan pracetak yang disebutkan oleh peraturan bangunan (building codes). Provisi 1994 dari NEHRP (National Earthquake Hazard Reduction Program) yang menyebutkan ada dua pendekatan di dalam melakukan desain sistem struktur beton pracetak SRPM khususnya untuk wilayah kegempaan tinggi, yaitu zona 5 & zona 6 menurut SNI 03-1726-2002 [Ghosh, dkk., 1997]. Pertama disebut Emulation of Monolithic Reinforced Concrete Construction (EMRC), dan yang kedua Jointed Precast relying on Unique Properties (JPUP). EMRC yang diadopsi oleh hampir semua peraturan yang ada pada saat ini terbagi menjadi monolithic connection (yang berupa sambungan basah) dan strong connection (sambungan kuat, yang bisa berupa sambungan basah atau kering). Sedangkan JPUP sendiri didominasi oleh sambungan kering. Pada penggunaan monolithic connection harus dipenuhi semua kriteria beton bertulang yang monolit. Sedangkan pada strong connection harus dijamin berlangsungnya mekanisme strong column– weak beam, serta disyaratkan daerah aksi nonlinier tidak boleh terjadi di dalam sambungan tetapi paling tidak sejarak setengah tinggi balok dari muka kolom.

Menurut metode pengerjaannya sambungan balok-kolom pada konstruksi pracetak dikelompokkan menjadi dua, yaitu

sambungan basah (wet connection) dan sambungan kering (dry connection). Sambungan basah dilakukan dengan cara mengecor sambungan di antara panel-panel pracetak. Untuk mendapatkan kestabilan struktural, sebelumnnya dilakukan pengelasan dan penyambungan pada tulangan sebelum dilakukan penutupan dengan pengecoran di tempat (cast in place). Sedangkan untuk sambungan kering dilakukan dengan penyambungan menggunakan baut dan las tanpa ada pengecoran pada daerah sambungan.

Sambungan basah dan sambungan kering masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. Untuk sambungan basah waktu pelaksanaan lebih lama karena adanya proses pengecoran beton pada area sambungan, sedangkan sambungan kering hanya menggunakan sambungan berupa baut dan las yang prosesnya tidak terlalu lama. Sambungan basah hampir sama dengan konstruksi cor setempat karena penyaluran gaya diterima oleh area yang lebih luas. Sedangkan sambungan kering penyaluran gaya hanya diterima oleh titik-titik sambungan atau pengelasan. Sambungan kering biasanya juga lemah terhadap korosi dan bakar karena area sambungan tidak tertutup oleh beton.

ACI (American Concrete Institute) mencantumkan tata cara bangunan beton pracetak tahan gempa mulai dari ACI 318-02, yaitu dengan provisinya mengenai Special Moment Frames (SMF) atau sistem rangka pemikul moment khusus (SRPMK) menurut SNI 03-1726-2002. SMF beton pracetak dicantumkan di dalam pasal 21.6, dan sistem dinding beton pracetak di dalam pasal 21.8 dan 21.13. Di dalam pasal 21.6 disebutkan bahwa bangunan beton pracetak di dalam zona gempa tinggi (zona 5 dan 6 menurut SNI 03-1726-2002) harus menggunakan SMF dengan menerapkan sambungan daktail (pasal 21.6.1) maupun sambungan kuat (pasal 21.6.2). Sambungan daktail merencanakan terjadi pelelehan lentur pada sambungan. Untuk sambungan kuat pelelehan harus terjadi minimal pada h/2 di luar badan sambungan. Tetapi disebutkan bahwa sambungan daktail dan sambungan kuat harus memenuhi semua syarat pada bangunan beton cor setempat. Prinsip tersebut tetap dipertahankan pada dua edisi berikutnya ACI 318-05 (pasal 21.6) dan ACI 318-08 (pasal 21.8).

(4)

2.2. Konsep Desain a. Transfer beban

Tujuan dari sambungan adalah untuk meneruskan beban dari suatu bagian struktur pracetak ke bagian struktur pracetak yang lain, atau dari suatu bagian pracetak ke bagian elemen struktur yang lain. Nyatanya beban akan ditransfer melewati beberapa elemen sambungan dengan berbagai cara.

b. Analisa potensi kegagalan

Di dalam cara perhitungan transfer beban, orang yang mendesain harus menguji setiap kemungkinan terjadi kegagalan dalam sambungan termasuk juga komponen penyusun sambungan tersebut. Pada beberapa sambungan yang sederhana, kegagalan kritis akan terlihat agak nyata. Pada sambungan lainnya itu mungkin sulit untuk dapat dimengerti dan tes laboratorium diperlukan untuk menentukan perilaku sambungan.

c. Besar tekanan yang diterima

Selama integritas struktur masih terjaga, sambungan masih diperbolehkan terjadi beberapa pergerakan antara bagian pracetak dan alangkah baiknya apabila pada sambungan tersebut diperhitungakan pengekangannya. Beban yang diterima oleh pengekang dapat dibesarkan dan mungkin penambahan kelebihan beban yang diterima sangat penting dalam mendesain sambungan dan bagiannya. Kegunaan pengekangan yang utama untuk beban wajib, perubahan volume dan gaya gempa.

Untuk perlindungan ekstrim diperlukan desain sambungan dengan pengekangan tetapi harus tahan juga terhadap beban lateral. Pada umumnya diwajibkan untuk mencapai sambungan yang kaku tanpa shear wall atau rangka yang gunanya untuk menahan beban lateral. Semua sambungan lainnya harus didesain dengan pengekangan yang kuat.

d. Ekspansion joint

Istilah ini digunakan pada sambungan yang merupakan tambahan pada bangunan dan efektif memisahkan bangunan menjadi 2 atau 3 struktur. PCI Design Handbook 4, Sect. 3.3.3 memuat diskusi mengenai ekspansion joint dalam konstruksi pracetak. Ekspansion joint sebenarnya hanya dibutuhkan jika hasil pergerakan akibat kenaikan suhu lebih besar

dari perpendekan akibat susut dan rangkak.. Di konstruksi pracetak hal ini sering terjadi kecuali pada komponen yang tidak terlindung contohnya dinding panel dan struktur garasi. Walaupun begitu sambungan yang mengijinkan terjadi kontraksi diperlukan untuk mengantisipasi perpendekan yang disebabkan oleh efek tambahan dari turunnya temperatur, rangkak, dan penyusutan.

2.3. Perbandingan Pada Beberapa Pilihan Jenis Sambungan

Pada tahap ini akan dilakukan evaluasi terhadap beberapa pilihan tipe sambungan balok-kolom beton pracetak yang sudah diseleksi. Metode evaluasi dengan peringkat nilai berdasarkan faktor-faktor yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu kemudahan pelaksanaan, harga, dan waktu pelaksanaannya.

2.3.1. Kemudahan Pelaksanaan

Saat ini para peneliti ingin menciptakan suatu tipe sambungan baru yang sesederhana mungkin agar dapat dilaksanakan dengan mudah, tetapi masih tetap dapat memenuhi kriteria standar kekuatan yang diinginkan. Faktor kemudahan pelaksanaan sangat berpengaruh besar terhadap biaya dan waktu. Dengan semakin mudahnya sambungan tersebut dilaksanakan, maka akan semakin meminimalkan biaya dan waktu pengerjaan sambungan. Untuk itu faktor ini sangat perlu dipertimbangkan dalam evaluasi perbandingan pada beberapa pilihan jenis sambungan.

2.3.2. Harga

Dalam kegiatan konstruksi, harga

merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Begitu pula dalam desain sambungan balok-kolom konstruksi pracetak, harga merupakan salah satu unsur paling penting. Tipe sambungan yang memiliki harga lebih murah dari tipe sambungan yang lain akan lebih banyak diminati oleh para pengguna konstruksi pracetak.

2.3.3. Mutu

Dalam suatu kegiatan konstruksi mutu adalah hal yang sangat penting. Banyak berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan mutu terbaik dalam suatu konstruksi. Pada sambungan balok-kolom pracetak diperlukan mutu yang sesuai untuk mendapatkan suatu

(5)

sambungan yang kuat menahan beban dan awet. Untuk itu mutu menjadi faktor pembanding yang harus dipertimbangkan.

2.3.4. Waktu

Waktu dalam pelaksanaan sambungan dalam konstruksi pracetak dipengaruhi oleh beberapa faktor, misal proses ereksi, proses tension, proses grouting, dll. Untuk itu diperlukan tipe sambungan balok-kolom yang memudahkan faktor tersebut sehingga waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan akan semakin cepat. Apabila waktu pelaksanaan sambungan semakin cepat maka biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih ekonomis. Waktu sangat berpengaruh besar terhadap nilai ekonomis suatu proyek konstruksi pracetak.

2.4. Program LUSAS

Pada program LUSAS ini dibutuhkan suatu pemahaman tentang cara pelaksanaan berbagai macam perintah dalam program tersebut. Perintah yang dilakukan harus benar dan sesuai dengan kriteria yang terdapat pada program LUSAS. Apabila terjadi kesalahan pada perintah dan input data maka akan terjadi error pada program tersebut, sehingga proses perhitungan tidak dapat berjalan. Kesalahan yang terjadi harus diperbaiki terlebih dahulu agar program tersebut dapat berjalan dan menghasilkan perhitungan yang benar.

Untuk mendapatkan hasil perhitungan yang baik dan benar diperlukan ketelitian dalam input data-data yang sesuai, karena program ini akan tetap dapat berjalan dan menghasilkan perhitungan apabila hanya terjadi salah input data tetapi prosedur program sudah benar. Untuk itu diperlukan ketelitian input data pada waktu menjalankan program ini.

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Umum

Pada Tugas Akhir ini diperlukan suatu peninjauan terhadap beberapa tipe sambungan balok-kolom beton pracetak yang sudah ada. Tipe sambungan yang berbeda-beda ini akan dibandingakan berdasarkan faktor-faktor tertentu yang berpengaruh pada sambungan tersebut. Hasil perbandingan tadi akan memberikan hasil berupa peringkat nilai tiap tipe sambungan, sehingga bisa didapatkan tipe

sambungan terbaik berdasarkan perbandingan tersebut.

Setelah didapatkan tipe sambungan yang paling baik perlu dilakukan studi terhadap sambungan balok-kolom beton pracetak. Studi sambungan balok-kolom beton pracetak ini dilakukan dengan program bantu LUSAS. Sambungan balok-kolom yang distudi ini nantinya juga akan dibandingkan dengan perilaku sambungan balok-kolom yang monolit.

3.2. Flow Chart

3.3. Langkah - Langkah Pengerjaan

Secara garis besar langkah-langkah pekerjaan dikelompokkan menjadi beberapa tahapan, yaitu : (1) tahap persiapan, (2) tahap seleksi, (3) tahap studi, dan (4) tahap penyimpulan.

3.3.1. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan ini akan dilakukan pemilihan beberapa tipe sambungan balok-kolom beton pracetak yang telah ada saat ini dari berbagai sumber. Pengambilan untuk tipe sambungan balok-kolom mencakup sepuluh jenis sambungan yang berbeda. Tipe sambungan yang dipilih adalah tipe sambungan kering dan sambungan basah. Pada pemilihan tipe sambungan balok-kolom ini

(6)

tidak sembarangan, tetapi dilakukan berdasarkan faktor-faktor tertentu yang akan dibahas pada tahap selanjutnya.

3.3.2. Tahap Seleksi

Pada tahap seleksi ini akan dilakukan penyeleksian terhadap sepuluh macam tipe sambungan balok-kolom beton pracetak yang telah dipilih untuk diambil satu sambungan yang terbaik berdasarkan evaluasi peringkat nilai dari berbagai faktor penentu. Evaluasi pemberian nilai pada sambungan didasarkan pada baik buruknya sifat sambungan tersebut terhadap faktor yang ditentukan.

3.3.3. Tahap Studi

Pada tahap studi ini dua tipe sambungan balok-kolom beton pracetak yang terpilih berdasarkan evaluasi perbandingan peringkat nilai akan diuji perilakunya terhadap kelayakannya dengan menggunakan program bantu LUSAS.

3.3.4. Tahap Penyimpulan

Pada tahap ini akan disimpulkan satu tipe sambungan balok-kolom beton pracetak terbaik berdasarkan evaluasi perbandingan dengan peringkat nilai dari sepuluh tipe sambungan yang telah dipilih sebelumnya.

Hasil perilaku sambungan dari studi dengan bantuan program LUSAS akan memberikan gambaran terhadap kelayakan sambungan tersebut. Dari dua sambungan yang distudi dengan program bantu LUSAS, akan didapatkan satu sambungan yang lebih baik berdasarkan hasil tersebut. Dengan hasil studi ini juga dapat disimpulkan apakah tipe sambungan tersebut memenuhi syarat umum konstruksi struktur bangunan di Indonesia.

Setelah sambungan tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, selanjutnya sambungan tersebut akan dibandingkan dengan sambungan balok-kolom yang monolit. Sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe sambungan balok-kolom tersebut.

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Perbandingan pada Beberapa Pilihan Jenis Sambungan

Berikut ini akan dilakukan evaluasi pada beberapa pilihan jenis sambungan balok-kolom pracetak daktail. Metoda pemberian

nilai (akan dilakukan untuk mendapatkan jenis sambungan yang terpilih. Adapun butir-butir untuk penilaian meliputi harga, mutu, waktu, dan kemudahan dalam pelaksanaan.

4.1.1. Beberapa Pilihan Jenis yang Dipertimbangkan

4.1.1.1. Pilihan 1

Sambungan ini diberi nama BC 16 pada standar sambungan dalam PCI (Martin & Korkosz, 1982), seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.1. Sambungan ini biasanya banyak digunakan pada struktur rangka daktail. Sambungan ini termasuk sambungan komposit, dimana beton grouting di cor kemudian sebagai pelat lantai. Sambungan ini menggunakan konsol yang melekat pada kolom untuk menyangga balok, dengan diberi las pelat baja pada siku antara konsol dan balok sebagai penyangga.

Gambar 4.1 : Sambungan balok-kolom Pilihan 1.

4.1.1.2. Pilihan 2

Sambungan ini diberi nama BC 17 pada standar sambungan dalam PCI (Martin & Korkosz, 1982), seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.2. Sambungan ini juga sambungan komposit dengan beton grouting untuk pelat lantai. Sambungan jenis ini hampir sama dengan sambungan BC 16 sebelumnya, perbedaan hanya terdapat pada konsol di kolom yang dihilangakna pada sambungan ini. Karena tidak ada konsol sebagai penyangga balok maka diperlukan konstruksi perancah sementara untuk menahan balok.

(7)

Gambar 4.2 : Sambungan balok-kolom Pilihan 2.

4.1.1.3. Pilihan 3

Sambungan ini diberi nama BC 18 pada standar sambungan dalam PCI (Martin & Korkosz, 1982), seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.3. Sambungan ini juga termasuk sambungan komposit seperti BC 16 dan BC 17. Sambungan ini memiliki konsol pada kolomnya dan kolom dapat dikerjakan terlebih dahulu sampai beberap tingkat tanpa menunggu beton grouting. Tulangan negatif balok akan disambungkan ke kolom dengan sambungan mekanis yang dipasang melintang pada kolom. Setelah tulangan balok tersambung barulah dilakukan grouting beton untuk pelat lantai.

Gambar 4.3 : Sambungan balok-kolom Pilihan 3.

4.1.1.4. Pilihan 4

Sambungan ini diberi nama BC 19 pada standar sambungan dalam PCI (Martin & Korkosz, 1982), seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.4. Sambungan ini sama dengan BC 16, BC 17, dan BC 18 yang tahan terhadap

momen dan komposit. Pada sambungan ini kolom-kolom dipersiapkan denga cor setempat sampai pada elevasi ujung bawah balok. Setelah kolom kering, balok dipersiapkan di atas perancah untuk dilakukan penyambungan stek-stek tulangan antar balok baik dengan menggunakan las, sambungan lewatan, atau sambungan mekanis. Ujung-ujung balok pracetak bisa dibuat miring atau diberikan takikan untuk digunakan sebagai ketahanan terhadap geser. Sesudah selesai melakukan penyambungan tulangan antar balok dilakukan grouting beton sampai ketinggian elevasi pelat lantai.

Gambar 4.4 : Sambungan balok-kolom Pilihan 4.

4.1.1.5. Pilihan 5

Sambungan ini adalah sistem sambungan TCY ( Tension-Compression Yielding ) dari program PRESS seperti yang terlihat pada Gambar 4.5. Pada sambungan ini kolom-kolom dibuat terlebih dahulu sampai beberapa tingkat kemudian balok pracetak bentang tunggal disisipkan secara melintang untuk membentuk sistem perangkaan yang diinginkan. Sambungan ini mencoba untuk menirukan perilaku pelelehan tradisional pada batang tarik dan tekan pada sambungan beton cor setempat. Sambungan ini juga mencoba untuk memusatkan pelelehan pada sambungan bukan pada panjang tertentu dari sendi plastik. Untuk meyakinkan agar batang tulangan dapat tahan dalam memikul momen dan mampu dalam mendissipasi energi, maka diberikan suatu perlindungan terhadap tulangan dari gesekan dengan beton di sekelilingnya, yaitu dengan pemberian selongsong pada batang-batang tulangan sampai ke bidang muka sambungan tersebut.

(8)

Di dalam pengujian, sambungan ini memperlihatkan pola perilaku histerik yang agak kurus sehubungan dengan slip vertikal yang terjadi pada bidang muka pertemuan antar balok dengan kolomnya. Bila terjadi slip besar, maka konsol baja perlu disisipkan agar dia tidak mempengaruhi kinerja menyeluruh dari sambungan.

Gambar 4.5 : Sambungan balok-kolom Pilihan 5.

4.1.1.6. Pilihan 6

Sambungan ini adalah sistem sambungan TCY dengan Gap dari program PRESS seperti yang terlihat pada Gambar 4.6. Sambungan ini hampir sama dengan sambungan pilihan 5, hanya saja terdapat celah kecil antara balok dan kolom. Celah kecil ini hanya pada bagian bawah yang digrout sedangakn bagian atasnya dibiarkan terbuka. Berpusat pada daerah grout di bawah, batang-batang post-tension dipasangakn untuk mengikat rangka bangunan secara bersama. Pada bagian atas yang masih terdapat celah kecil, batang tulangan dimasukkan ke dalam selongsong dan digrout, kemudian dipasang membentang balok sampai menembus kolom. Baja tulangan ini dibebaskan dari gesekan dengan beton disekelilingnya sampai panjang tertentu di daerah celah sehingga tulangan ini dapat melakukan pelelehan tarik dan tekan secara bergantian tanpa mengalami patah. Karena celah membuka di suatu sisi dan menutup di sisi lain dengna jumlah yang sama maka balok ragka tetap panjangnya, bahkan saat sambungan mengalami pelelehan.

Gambar 4.6 : Sambungan balok-kolom Pilihan 6.

4.1.1.7. Pilihan 7

Sambungan ini adalah sambungan hibrida yang merupakan produk dari STRESS, seperti yang terlihat pada Gambar 4.7. Sambungan ini menggunakan baja tulangan yang diberi selongsong untuk menghindari gesekan antara baja dengan beton disekelilingnya. Baja tulangan ini nanti dipasang di bagian atas dan bawah balok hingga menembus kolom dan kemudian di lakukan grouting. Baja tulangan ini secara bergantian mengalami leleh dalam tarik dan tekan, sehingga dapat menyediakan kemampuan dissipasi yang tinggi. Ketika bangunan mengalami gerakan ke samping karena beban tertentu, baja-baja lunak dari balok tersebut akan mengalami perpanjangan dan perpendekan secara bergantian. Hal tersebut dapat menyebabkan celah yang ada membuka dan menutup. Tulangan untuk post-tensioning harus dibuat seimbang agar rangka struktur dapat melakukan re-centering sesudah beban gempa berlalu.

Gambar 4.7 : Sambungan balok-kolom Pilihan 7.

(9)

4.1.1.8. Pilihan 8

Sambungan ini adalah jenis sambungan yang dikaji oleh para peneliti dari Turki (Ertas dkk., 2006), seperti terlihat pada gambar 4.8. Sambungan ini termasuk sambungan komposit dengan pengecoran pelat lantai dilakukan setelah sambungan antara tulangan balok dilakukan. Sambungan ini dilakukan dengan membengkokkan tulangan balok atas dan bawah pada ujung balok, kemudian terdapat tulangan yang dibuat untuk menyambung antara tulangan balok yang menembus kolom yang disambungkan dengan panjang lewatan antara tulangan balok dan tulangan tersebut. Pada sambungan ini prinsip dari strong column weak beam dapat tercapi dengan hasil retakan-retakan yang sedikit terjadi pada kolom dan balok pracetak, tetapi terjadi lebih banyak pada daerah sambungan tersebut.

Gambar 4.8 : Sambungan balok-kolom Pilihan 8

4.1.1.9. Pilihan 9

Sambungan pilihan 9 adalah jenis sambungan sederhana yang paling banyak dijumpai di dalam praktek konstruksi. Sambungan ini menggunakan tulangan yang nantinya akan dibengkokkan 900 pada

ujungnya dan ditanamkan di badan kolom. Setelah tulangan dikaitkan dilakukan grouting pada bagian sambungan tersebut. Kinerja sambungan nantinya akan banyak tergantung pada efektivitas penjangkaran tulangan yang dilakukan dan kepada beton grouting di daerah sambungan tersebut. Untuk perangkaan pada balok yang berada pada kedua sumbu horisontal akan terjadi penumpukan tulangan yang sangat rapat di daerah sambungan. Hal tersebut menjadikannya sulit untuk dapat

menyalurkan ujung-ujung kait tersebut dengan seksama.

Gambar 4.9 : Sambungan balok-kolom Pilihan 9

4.1.1.10. Pilihan 10

Pilihan 10 ini merupakan tipe sambungan dengan menggunakan las. Pada sambungan jenis ini menggunakan konsol pendek untuk membantu menahan beban. Gambar sambungan dengan las dapat dilihat pada Gambar 4.10(a) dan 4.10(b).

(a) (b) Gambar 4.10 : Sambungan balok-kolom

Pilihan 10(a) dan 10 (b) 4.1.2. Butir-butir Evaluasi 1. Kemudahan Pelaksanaan 2. Harga 3. Mutu 4. Waktu 4.1.3. Hasil Perbandingan

Tingkat penilaian setiap faktor pembanding didapatkan dari kelemahan dan kelebihan sambungan serta penjelasan mengenai sambungan tersebut yang telah dipaparkan di atas sebelumnya. Untuk perbandingan mengenai harga dilihat dari volume bahan yang digunakan untuk membuat sambungan tersebut dan tingkat kesulitannya.

(10)

Adapun nilai yang digunakan sebagai berikut: 1 = sangat jelek 2 = jelek 3 = cukup 4 = baik 5 = sangat baik

Berikut ini akan dilakukan perbandingan berdasarkan evaluasi pembanding di atas dengan cara ditabelkan sebagai berikut :

Tabel 4.1 : Hasil evaluasi perbandingan sambungan Faktor Pembanding 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kemudahan Pelaksanaan 4 4 4 4 3 3 3 5 4 5 Harga 3 4 4 3 4 3 3 4 5 4 Mutu 3 3 3 4 4 3 5 5 4 3 Waktu 3 3 4 3 4 4 5 4 4 5 Total nilai 13 14 15 14 15 13 16 18 17 17

Jenis Sambungan Pilihan

4.2. Menentukan Dimensi Balok–Kolom

Penentuan dimensi balok–kolom antara sambungan monolit dengan sambungan pracetak harus sama. Hanya terdapat sedikit perbedaan pada sambungan pracetak, yaitu adanya toping beton sebagai pelat lantai yang ikut berperan serta dalam menahan beban.

Berikut ini dapat dilihat tabel dimensi dari sambungan monolit dan sambungan pracetak :

Tabel 4.2. Tabel material sambungan Monolit dan Pracetak

Pelat lantai - 10 cm -Tulangan pelat Tulangan sambungan 6 φ 16 12 φ 19 4 φ 16 -Pracetak 30 x 40 cm 50 x 50 cm 6 φ 16 12 φ 19 2 φ 12 Monolit Material Balok Kolom Tulangan balok Tulangan kolom 30 x 40 cm 50 x50 cm

Mutu beton f’c = 40 MPa

Mutu baja fy = 240 MPa

Modulus young beton = 29725 MPa Modulus young baja = 210000 Mpa Potion ratio beton = 0,2

Potion ratio baja = 0,3 Decking balok = 30 mm Decking kolom = 40 mm

4.3. Studi Sambungan Balok-Kolom Dengan Program LUSAS

Proses studi dengan program LUSAS ini dimaksudkan untuk melihat perilaku

sambungan balok – kolom pracetak dan sambungan balok–kolom monolit. Setelah didapatkan hasil dari analisis oleh program LUSAS, kedua sambungan tersebut akan dibandingkan perilakunya terhadap pembebanan yang diterima.

4.3.1. Sambungan Monolit

Sambungan monolit dimodelkan dengan elemen tulangan balok, tulangan kolom, dan beton. Setelah pemodelan sudah dibuat kemudian dilakukan input attributes pada setiap elemen-elemen sambungan monolit. Selanjutnya sambungan tersebut akan diberikan perletakan dan pembebanan sesuai dengan yang telah direncanakan.

4.3.2. Tahap Pemodelan

Pada tahapan ini dilakukan pemodelan struktur sambungan balok kolom monolit. Untuk elemen beton dipakai volume sedangkan untuk elemen tulangan dipakai garis. Pemodelan dapat lebih mudah dilakukan dengan melakukan sweeping.Setelah selesai melakukan pemodelan struktur dilakukan grouping untuk memisahkan antara tulangan dengan beton.

4.3.3. Tahap Pembebanan

Pada tahap ini dilakukan pembebanan terhadap elemen struktur yang telah dimodelkan. Pembuatan pembebanan dilakukan pada program LUSAS ini dengan input pembebanan yang berkonsentrasi pada arah sumbu y. Karena pada input pembebanan arah sumbu y beban terarah ke bawah maka pada nilai beban diberi tanda minus ( - ). Pembebanan yang diberikan sebesar 2000 N.

Pembebanan ini nantinya akan dikalikan dengan faktor pembebanan secara terus menerus untuk mendapatkan tegangan beton dan penurunan beton akibat pembebanan yang terus membesar tersebut.

4.3.1.2. Tahap Running

Pada tahap ini setelah pemodelan dan pembebanan sudah diselesaikan menurut perancangan yang telah direncanakan, maka dapat dilakukan running pada program LUSAS. Sebelum melakukan running perlu dilakukan pengaturan pada model data.

4.3.2. Sambungan Pracetak

Pada sambungan pracetak dengan adanya tulangan sambungan dari kolom, maka

(11)

nantinya antara tulangan balok dan tulangan sambungan tersebut akan terdapat panjang penyaluran. Panjang penyaluran ini diambil dengan perhitungan semaksimal mungkin sejarak 500 mm. Selain tulangan sambungan juga terdapat tulangan pelat dan pelat beton di atas balok. Hal ini akan berpengaruh pada perilaku struktur sambungan pracetak ini nantinya. Setelah pemodelan selesai dilakukan, maka tahap selanjutnya input attributes seperti pada sambungan monolit sebelumnya.

4.4. Hasil Analisa Sambungan Balok-Kolom Dengan Program LUSAS

Pada tahap analisa sambungan balok– kolom dengan program LUSAS ini didapatkan perilaku sambungan balok–kolom monolit dan sambungan balok–kolom pracetak.

Pada tahap analisa ini dilakukan dua pemodelan, yaitu pemodelan untuk sambungan balok-kolom dengan dua dimensi dan pemodelan sambungan balok–kolom dengan tiga dimensi.

4.4.1. Analisa Sambungan dengan Pemodelan Dua Dimensi

Pada analisa yang pertama digunakan pemodelan dengan dua dimensi untuk dapat mengetahui retak yang terjadi pada beton. Pemodelan dengan dua dimensi ini dibuat semirip mungkin dengan keadaan aslinya baik dari segi ukuran, material, dan mutu dari elemen penyusun sambungan balok–kolom tersebut.

4.4.1.1. Sambungan Monolit

Sambungan monolit setelah distudi dengan program akan mengeluarkan hasil sebagai berikut :

Gambar 4.11 Tegangan beton pertama retak

Gambar 4.11 menunjukkan tegangan beton yang terjadi pada saat beton pertama kali mengalami retak. Hal ini terjadi pada pembebanan dengan faktor pembebanan 15 kali dari beban awal.

Gambar 4.12 Displacement

Gambar 4.12 menunjukkan displacement yang terjadi di sepanjang balok. Displacement yang ditunjukkan ini pada saat balok mengalami retak pertama kali yaitu pada saat pembebanan 15 kali dari beban awal.

Pada Gambar 4.13 menunjukkan grafik antara displacement yang terjadi dengan faktor beban yang diberikan. Pada grafik

(12)

terlihat semakin besar faktor pembebanan maka displacement yang terjadi juga semakin besar.

Gambar 4.13 Grafik displacement vs load factor

Gambar 4.14 menunjukkan grafik antara tegangan yang terjadi dengan faktor pembebanan yang diberikan. Pada grafik terlihat semakin besar faktor pembebanan yang diberikan akan semakin besar juga tegangan yang terjadi.

Gambar 4.14 Grafik stress vs load factor 4.4.1.2. Sambungan Pracetak

Sambungan pracetak setelah dianalisa dengan program akan mengeluarkan hasil sebagai berikut:

Gambar 4.15 Tegangan beton pertama retak

Gambar 4.15 menunjukkan tegangan beton yang terjadi pada keadaan beton pertama kali retak. Keadaan ini terjadi pada faktor pembebanan 11 kali dari beban awal.

Gambar 4.16 Displacement

Gambar 4.16 menunjukkan displacement yang terjadi pada saat beton pertama kali retak dengan faktor pembebanan 11 kali dari beban awal.

(13)

Gambar 4.17 menunjukkan grafik antara displacement yang terjadi dengan faktor beban yang diberikan. Pada grafik terlihat semakin besar faktor pembebanan maka displacement yang terjadi juga semakin besar.

Gambar 4.17 Grafik displacement vs load factor

Gambar 4.18 menunjukkan grafik antara tegangan yang terjadi dengan faktor pembebanan yang diberikan. Pada grafik terlihat semakin besar faktor pembebanan yang diberikan akan semakin besar juga tegangan yang terjadi.

Gambar 4.18 Grafik stress vs load factor 4.4.2. Analisa Sambungan dengan

Pemodelan Tiga Dimensi

Pada analisa yang kedua digunakan pemodelan dengan tiga dimensi untuk dapat mengetahui tegangan yang terjadi pada beton. Pemodelan dengan tiga dimensi ini dibuat semirip mungkin dengan keadaan aslinya baik dari segi ukuran, material, dan mutu dari elemen penyusun sambungan balok – kolom tersebut.

4.4.2.1. Sambungan Monolit (alternatif 1)

Sambungan monolit setelah dianalisa dengan program akan mengeluarkan hasil sebagai berikut :

Gambar 4.19 Tegangan pada balok-kolom

Gamabr 4.19 menunjukkan tegangan beton yang terjadi akibat pembebanan yang terjadi pada ujung balok.

(14)

Gambar 4.20 menunjukkan displacement yang terjadi akibat pembebanan yang diberikan pada ujung balok.

Gambar 4.21 menunjukkan grafik antara displacement yang terjadi dengan faktor beban yang diberikan. Pada grafik terlihat semakin besar faktor pembebanan maka displacement yang terjadi juga semakin besar.

Gambar 4.21 Grafik displacement vs load factor

Gambar 4.22 menunjukkan grafik antara tegangan yang terjadi dengan faktor pembebanan yang diberikan. Pada grafik terlihat semakin besar faktor pembebanan yang diberikan akan semakin besar juga tegangan yang terjadi.

Gambar 4.22 Grafik stress vs load factor 4.4.2.2. Sambungan Pracetak (alternatif 1)

Sambungan pracetak setelah dianalisa dengan program akan mengeluarkan hasil sebagai berikut:

Gambar 4.23 Tegangan pada balok-kolom

Gamabr 4.23 menunjukkan tegangan beton yang terjadi akibat pembebanan yang terjadi pada ujung balok.

(15)

Gambar 4.24 menunjukkan displacement yang terjadi akibat pembebanan yang diberikan pada ujung balok.

Gambar 4.25 menunjukkan grafik antara tegangan yang terjadi dengan faktor pembebanan yang diberikan. Pada grafik terlihat semakin besar faktor pembebanan yang diberikan akan semakin besar juga tegangan yang terjadi.

Gambar 4.25 Grafik stress vs load factor

Gambar 4.26 menunjukkan grafik antara displacement yang terjadi dengan faktor beban yang diberikan. Pada grafik terlihat semakin besar faktor pembebanan maka displacement yang terjadi juga semakin besar.

Gambar 4.26 Grafik displacment vs load factor

4.4.2.3. Sambungan Monolit (alternatif 2)

Sambungan monolit dengan pembebanan 5000 N sebagai beban titik setelah distudi dengan program akan mengeluarkan hasil sebagai berikut :

Gambar 4.27 menunjukkan displacement yang terjadi akibat pembebanan yang diberikan pada ujung balok pada saat balok sudah gagal.

Gambar 4.27 Displacement yang terjadi

4.4.2.4. Sambungan Pracetak (alternatif 2)

Gambar 4.28 menunjukkan displacement yang terjadi akibat pembebanan yang diberikan pada ujung balok pada saat balok sudah gagal

Gambar 4.28 Displacement yang terjadi

(16)

4.4.2.5. Sambungan Pracetak dengan penambahan panjang sambungan lewatan (alternatif 2)

Pada studi ini dilakukan penambahan pada sambungan lewatan sepanjang 25 cm. Hal ini berpengaruh terhadap perilaku sambungan tersebut.

Gambar 4.29 Displacement yang terjadi

4.4.3. Studi Sambungan dengan Pemodelan Dua Dimensi dengan Penambahan Interface

Pada pemodelan ini dimasukkan variabel interface pada daerah antara beton pracetak dengan beton grouting. Pada hasil running yang dilakukan ini hanya memunculkan displacement yang terjadi pada sambungan balok-kolom tersebut seperti terlihat pada Gambar 4.30. Hasil dari penambahan variabel interface ini berpengaruh pada perilaku sambungan tersebut.

Gambar 4.30 Displacement yang terjadi

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil studi sambungan balok-kolom monolit dan sambungan balok-balok-kolom pracetak yang telah dilakukan dengan program bantu LUSAS, didapatkan sebuah kesimpulan mengenai perbandingan antara sambungan balok-kolom yang telah distudi tersebut. 1. Dari beberapa macam tipe sambungan

balok-kolom pracetak yang telah diseleksi berdasarkan faktor pembanding yang telah ditentukan, maka didapatkan sambungan pilihan 8 sebagai sambungan yang distudi. Sambungan pilihan 8 dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Sambungan pilihan 8

2. Sambungan balok-kolom pracetak pilihan 8 mulai mengalami retak pada saat tegangan beton mencapai 2,549 MPa (Gambar 5.1), sedangakan sambungan

(17)

balok-kolom monolit mulai mengalami retak pada saat tegangan beton mencapai 3,004 Mpa (Gambar 5.2).

(a)

(b)

Gambar 5.2

(a)Tegangan beton pertama kali retak (b) Nilai tegangan

(a)

(b)

Gambar 5.3

(a) Tegangan beton pertama kali retak (b) Nilai Tegangan

3.1. Sambungan monolit pada saat mengalami retak pertama kali memiliki displacement yang lebih besar dari pada sambungan pracetak. Hal ini menggambarkan bahwa sambungan monolit memiliki daktilitas yang lebih baik dari pada sambungan pracetak. Untuk sambungan monolit terjadi pada displacement 0,4989 mm (Gambar 5.3), sedangkan pada sambungan pracetak terjadi pada displacement 0,316 mm (Gambar 5.4). (a) (b) Gambar 5.4 (a) Displacement (b) Nilai displacement (a)

(18)

(b)

Gambar 5.5 (a) Displacement (b) Nilai displacement

3.2. Sambungan monolit memiliki kekakuan yang lebih besar dari sambungan pracetak yang distudi. Hal ini dapat dilihat pada grafik antara faktor pembebanan dengan displacement yang terjadi pada balok. Penjelasan perbandingan antara displacement sambungan monolit dengan sambungan pracetak dapat dilihat pada Gambar 5.6. 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 0,16 0,18 0,2 0,22 0,24 0,26 0,28 0,3 0,32 0,34 0,36 0,38 0,4 Loa d Fa ct or Displacement Chart Title Monolit Pracetak

Gambar 5.6 Load factor vs Displacement

3.3. Sambungan pilihan 8 ini memiliki perilaku yang kurang daktail karena displacement yang terjadi pada sambungan pilihan 8 lebih kecil jauh dari pada sambungan monolit. Perbedaan displacement yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 5.7 untuk displacement sambungan monolit dan Gambar 5.8 untuk displacement sambungan pracetak.

(a) (b) Gambar 5.7 (a) Displacement (b) Nilai displacement (a) (b) Gambar 5.8 (a) Displacement (b) Nilai displacement

(19)

3.4. Untuk sambungan pilihan 8 dengan penambahan pada sambungan lewatan sangat berpengaruh terhadap perilaku daktail sambungan tersebut. Dengan penambahan sambungan lewatan displacement yang terjadi saat sebelum runtuh lebih besar. Besarnya displacement yang terjadi dengan penambahan sambungan lewatan dapat dilihat pada Gambar 5.9. (a) (b) Gambar 5.9 (a) Displacement (b) Nilai displacement 5.2. Saran

Dalam studi sambungan balok-kolom pracetak selanjutnya perlu diperhatikan pada panjang sambungan lewatan karena hal ini sangat berpengaruh. Untuk studi lebih detail mengenai perilaku sambungan balok-kolom pracetak dapat dibuat pemodelan dengan pemberian interface pada daerah sambungan beton pracetak dengan beton grouting.

Pemodelan secara lebih detail hanya pada bagian sambungan pracetak saja dengan pemodelan tiga dimensi dapat juga dilakukan untuk melihat lebih jelas perilaku sambungan pracetak tersebut. Untuk studi sambungan balok-kolom pracetak selanjutnya dapat dibuat sebuah modifikasi pemodelan untuk

mendapatkan suatu sambungan pracetak yang perilakunya mendekati sambungan monolit.

DAFTAR PUSTAKA

ACI Committee 318.”Building Code

Requirements for Structural Concrete (ACI

318-02) and Commentary (ACI

318R-02),” American Concrete Institute, 2002

Badan Standarisasi Nasional (BNS), “ Tata

Cara Perencanaan Ketahanan Gempa

untuk Bangunan Gedung (SNI

03-1726-2002),” 2002.

Finite Element Analysis, Ltd., “Lusas

Finite Elemnet System,” Forge House,

UK, 389 hal.

Joint ACI – ASCE Committee 352,

“Recommendations for Design of

Beam-Column Connections in Monolithic

Reinforced Concrete Structures (ACI 352

R-02),” Farmington Hills, Nichigan,2002.

Nawy, E.G.; Tavio; dan Kusuma, B.

“Beton Bertulang: Sebuah Pendekatan

Mendasar,” Edisi ke-5, Jilid 1, ITS Press,

Surabaya, 2010, 974 hal.

Nawy, E.G.; Tavio; dan Kusuma, B.

“Beton Bertulang: Sebuah Pendekatan

Mendasar,” Edisi ke-5, Jilid 2, ITS Press,

Surabaya, 2010, 880 hal.

PCI, “Design And Typical Details Of

Connections For Precast and Prestressed

Concrete,” Jackson Blvd, Chicago, 1988,

246 hal.

Purwono, R., Tavio; “Evaluasi Cepat

Sistem Rangka Pemikul Momen Tahan

Gempa,” ITS Press, cetakan ke-2, Maret

2010, Surabaya, 51 hal.

Purwono, R., Tavio, Imran ,I., dan Raka,

I.G.P., “Tata Cara Perhitungan Struktur

Beton untuk Bangunan Gedung (SNI

03-2847-2002) Dilengkapi Penjelasan

(20)

(S-2002),” ITS Press, cetakan ke-1, Maret

2007, Surabaya

Tavio; Kusuma, B., “Desain Sistem

Rangka Pemikul Momen dan Dinding

Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa

(Sesuai SNI 2847-2002 dan SNI

03-1726-2002 dilengkapi pemodelan dan

analisis dengan program bantu ETABS

v.9.07),” ITS Press, Maret 2009, Surabaya,

141 hal.

Wahyudi,

D.I.,

Perilaku

Daktail

Sambungan Cor Setempat Komposit

Balok-Ke-Kolom Untuk SRPMM Beton

Bertulang Pracetak Dengan Penjangkaran

Kait Siku Standar,” Proposal Disertasi

Program Doktor Bidang Keahlian

rekayasa Struktur, Institut Teknologi

Sepuluh Nopember, Surabaya, 2009, 66

hal.

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan sistem pakar ini menggunakan metode penalaran forward chaining yaitu dimulai dari sekumpulan fakta atau gejala yang diberikan oleh user

Hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa pascasarjana menggunakan smartphone atau gadget ± 12 jam per hari sehingga penggunaan smartphone

Hasil menunjukkan indeks vigor setelah perendaman dalam etanol selama 30 menit memiliki korelasi yang erat dengan daya berkecambah benih setelah disimpan selama enam bulan

Identifikasi bahaya yang telah dilakukan diketahui bahwa potensi bahaya yang terdapat di sektor pertanian bawang merah Desa Kendalrejo berjumlah 69 (enam puluh sembilan) dari semua

Dalam rangka kegiatan Sertifikasi Guru dalam Jabatan untuk guru-guru di lingkungan Departemen Agama (Depag), Panitia Sertifikasi Guru Rayon 15 telah melaksanakan Pendidikan dan

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dalam Bentuk Perserikatan

Dalam konteks bahasa perempuan, kajian terhadap ideologi akan menghasilkan sebuah perian, tafsir, dan eksplanasi tentang bagaimana perempuan melihat dan menafsirkan dunia

Teknik persuasif yang digunakan di dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 19 teknik persuasif, dan setelah melewati proses analisis dan coding ditemukan bahwa