• Tidak ada hasil yang ditemukan

NORMA NORMA PERLINDUNGAN ANAK Kajian ata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NORMA NORMA PERLINDUNGAN ANAK Kajian ata"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

NORMA-NORMA PERLINDUNGAN ANAK

(Kajian atas peraturan tentang kesejahteraan keluarga dan anak)

Muchammadun

Penulis adalah dosen Tetap Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram, Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Peraih Stuned Fellowship untuk bidang Management of Development di Van Hall Larenstein Scholen, Wageningen Universiteit and Research Centrum ini aktif sebagai fasilitator bidang Pendidikan dan Perlindungan Anak, termasuk staff Penelitian dan Pengembangan LPA NTB.

BINGKAI HUKUM KESEJAHTERAAN KELUARGA DI INDONESIA

(2)

tentang Pemetaan Kekerasan terhadap Anak,2 menunjukkan dua temuan penting yang terkait dengan isu pemahaman. Pertama, bahwa statistik kekerasan yang terjadi terhadap anak di sekolah maupun di rumah dikarenakan pemahaman sempit orang dewasa atas kekerasan sebagai kekerasan fisik semata. Kedua, pemahaman tadi membawa sejumlah temuan terjadinya kekerasan psikis dan pengabaian yang dilakukan orang tua dan guru di tiga daerah penelitian.

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi NTB juga menguatkan data itu. Kepala BPPKB NTB mengungkapkan contoh pemahaman kesejahteraan keluarga yang masih menjadi isu penting sbb3:

”Saya miris melihat contoh di desa Ra****, yang sekarang desanya telah mekar menjadi dua, tempat 600 penduduk wanitanya berstatus janda muda. Sejumlah janda itu harus menanggung anak pada umur yang masih begitu muda tanpa bantuan keuangan apapun dari mantan suami. Bagaimana anak bisa bertumbuh kembang dengan baik? Kajian pada proses pembuatan kebijakan harusnyalah tidak copy paste tetapi membawa perspektif gender.”

Meneruskan keterangan Hj. Ratningdyah, Ibu Mujiyati juga membahas bahwa angka bayi di NTB juga merupakan salah satu bukti kebijakan yang masih membawa praktik diskriminatif sehingga posisi anak rentan terhadap kekerasan. 4

(3)

latar belakang apapun. Konvensi ini berbasis pada alasan yang sangat logis, anak adalah aset bangsa. Jika kebijakan negara kurang baik sehingga tidak mampu menjamin proses tumbuh kembang anak, alih-alih menjadi aset, anak justru akan menjadi sumber masalah yang penangannya akan memakan biaya tinggi.

Amanah UUD 1945 juga jelas menyatakan perlindungan anak. Amandemen kedua pasal 28 (b) dan amandemen pasal 28 (c) berisi tentang hak anak untuk melangsungkan hidup, bertumbuh kembang, dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi serta mengembangkan diri melalui terpenuhinya kebutuhan dasar. Mandat konsitusi ini dijabarkan dalam sejumlah UU, terutama UU tentang Kesejahteraan Anak dan UU tentang Perlindungan Anak.

Saat dikaji secara mendalam, ada sejumlah hal dalam UU Kesejahteraan Anak dan UU Perlindungan Anak yang memerlukan pembenahan demi tersedianya layanan kesejahteraan keluarga dan anak yang lebih baik. Kajian ini bertujuan memetakan kejelasan peran pemerintah pada aspek struktur, mekanisme, sumber daya, dan layanan untuk peningkatan kualitas kesejahteraan keluarga dan perlindungan anak.

TANGGUNG JAWAB KESEJAHTERAAN KELUARGA DAN PERLINDUNGAN ANAK.

(4)

kesejahteraan keluarga dan anak diatur dalam dua UU-UU no.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan UU no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU no. 4 tahun 1979 melihat tanggung jawab kesejahteraan keluarga dan anak ada pada masyarakat dengan supervisi dari pemerintah. UU ini menyatakan bahwa:

’’upaya kesejahteraan anak harus dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat serta menentukan tanggung jawab pemerintah untuk memberikan arahan, bimbingan, bantuan, dan upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat.”

UU ini jelas menyatakan bahwa masyarakat bertanggung jawab atas kesejahteraan anak dan pemerintah berkewajiban membimbing masyarakat. Saat merujuk lebih lanjut pada UU no.23 tahun 2002, ada sebuah temuan tentang ketidakjelasan lembaga pemerintah pemegang peran ini. Hal ini bisa jadi berkontribusi atas sejumlah permasalahan kesejahteraan keluarga dan anak yang masih terjadi. Tabel analisis berikut menjelaskan perlunya kejelasan tanggung jawab ini.

Tabel 1. Penanggungjawab Kesejahteraan Keluarga dan Anak

Pendekata

(5)
(6)

Dilihat dari pendekatan evaluatif, dua pasal ini telah menyatakan siapa penanggung jawab tetapi UU tidak menyatakan secara jelas lembaga pemerintah yang mana harus bertindak sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan pelayanan kesejahteraan keluarga dan anak.

KESINAMBUNGAN PROGRAM PENANGANAN

Ditinjau dari penanganan kesejahteraan sosial, aspek pre-emptive dan preventive muncul sebagai isyarat kesinambungan (continuum) program.5 Artinya, pemerintah diharap memberikan layanan yang memungkinkan masyarakat mampu menangkal dan mencegah permasalahan kesejahteraan keluarga dan anak. Hal ini sangat penting karena anak yang bermasalah tidaklah disebabkan oleh kejadian tunggal, tetapi oleh serangkaian peristiwa, tindakan yang dialami, dan perilaku yang perlahan terakumulasi dan berkelanjutan. Karenanya penanganannya pun harus melalui sebuah continuum yang jelas. Sejalan dengan prinsip-prinsip intervensi, Kementerian Sosial dan UNICEF6 telah merekomendasikan sebuah continuum penanganan yang rangkumannya bisa dicermati dalam tabel berikut ini.

Tabel 2: Kesinambungan Program Penanganan Kesejahteraan Keluarga dan Anak.

Jenis

Intervensi Sasaran dan tujuan cakupan kegiatan

Primer Seluruh lapisan

masyarakat untuk memeperkuat

kapasitas masyarakat dalam

Perubahan sikap dan perilaku, dorongan penggunaan metode konsekuensi tindakan

(7)

pemastian

(8)

Pada isu penanganan anak–anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK), UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga menyisakan pekerjaan tentang penanggungjawab yang harus segera diperjelas. Tabel berikut merinci kekurangan ini.

Tabel 2. Penanganan AMPK

Pendekata

n Pernyataan Intisari dan Evaluasi

Empirik

Setiap anak yang menyandang cacat

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari; a. Penyalahgunaan

dalam kegiatan politik

b. Pelibatan dalam sengketa

bersenjata

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial d. Pelibatan dalam

peristiwa kekerasan

(9)

 Ps. 78 UU 23/2002:

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang

diperdagangkan, anak yang menjadi korban

penyalahgunaan narkotika, alcohol, dan psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan

(10)

pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta.

Ditinjau dari pendekatan evaluatif, ketidakjelasan penanggungjawab utama mengenai pencegahan dan penanganan AMPK akan menimbulkan kebingungan peran lembaga pemerintah dan masyarakat.7 Pedoman Departemen Sosial tahun 2004 mengenai AMPK justru menempatkan penanganan keseluruhan atas AMPK dari perencanaan, intervensi penanganan, pengambilan keputusan layanan, dan layanan pada organisasi masyarakat dan panti asuhan anak. Hal ini tidak sesuai dengan mandat amandemen UUD 45 mengenai hak-hak anak.

Saat dibaca secara keseluruhan, UU Perlindungan Anak telah menyatakan rinci mengenai aturan pengangkatan anak, pencatatan kelahiran, dan KPAI, tetapi aspek penting lain seperti lembaga pemerintah yang mana di tingkat pusat maupun daerah serta peran dan tanggung jawab instansi tersebut pada pengelolaan kesejahteraan anak belum terurai. Sayangnya, UU ini juga tidak menyatakan perintah tentang perlunya peraturan lanjut.

KEJELASAN PERAN DAN TANGGUNG JAWAB

(11)

pada ranah peran dan tanggung jawab, pemerintah telah membuat satu langkah lebih maju dengan penetapan UU no.11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang juga mencakup ranah perlindungan anak. UU ini jelas menyatakan bahwa pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial di daerah harus dikoordinir oleh instansi sosial yang berwenang dan dilaksanakan secara terencana, terfokus, serta berkelanjutan. Pada kesejahteraan anak contohnya, telah ada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang mengatur peran Kementerian Sosial sbb: (1.)mengembangkan pedoman dan prosedur tentang pelaksanaan pengasuhan dan bantuan kepada anak-anak bermasalah; (2.) menetapkan persyaratan dan prosedur untuk pembangunan panti-panti asuhan anak; (3.) dan mengawasi upaya-upaya masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial.8

(12)

anak. Hal yang hampir sama juga ada pada tataran pemerintah tingkat II. Tabel berikut memberikan pemetaan lembaga pemerintah tingkat I yang terkait dengan penanganan kesejahteraan keluarga dan anak.

Tabel 2: Lembaga Pemerintah Tingkat Provinsi yang terkait dengan Isu Kesejahteraan Keluarga

dan Anak

No. Nama Lembaga Pemerintah

1 BPPKB/Badan Pemberdayaan Perempuan

dan Keluarga Berencana

2 BKKBN/Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional

3 Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan

HAM

4 Kantor Wilayah Kementerian Agama

5 Dinas Sosial, Kependudukan, dan Catatan Sipil

6. Dinas Kesehatan

PENUTUP

UU telah mendefinisikan dengan jelas penanggung jawab, tetapi belum menunjuk penanggungjawab utama. Kewajiban atas layanan kesejahteraan keluarga dan anak-menimbang aspek keberlanjutan dan hak haruslah dipandang sebagai kewajiban negara, bukan disandarkan pada prakarsa masyarakat ataupun inisiatif sukarela. Kejelasan mengenai wewenang dan detil peran antar lembaga pemerintah yang terkait dengan sistem kesejahteraan keluarga dan anak juga harus diatur dalam peraturan yang mengikat.

(13)

yang mana sebagai kepanjangan tangan kewajiban negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak beserta peran dan tanggung jawab yang rinci.

(14)
(15)

3 Sambutan Hj. Ratningdyah, MH. dalam Sosialisasi Konsep Parameter Gender dalam Pembentukan Peraturan

Perancangan Perundang-undangan, Hotel Lombok Raya, 22 Agustus 2011.

4 Presentasi Deputi Bidang PUG Bidang Polsoskum KPP dan PA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak pada Sosialisasi Draft Parameter Kesetaraan Gender, Hotel Lombok Raya, 22 Agustus 2011.

5 Penanganan kesejahteraan sosial menyatakan bahwa ada sejumlah interversi yang bisa dilakukan oleh para pekerja

sosial. Dua di antaranya bersifat antisipatif, yaitu pre-emptive dan preventive sebelum kejadian berlangsung. Dua yang lain bersifat rehabilitative dan integrative setelah kejadian berlangsung. Lihat Brenda Dubois dan Karla Kroosruud Miley dalam Social Work: an Empowering Profession, Allyn and Bacon: 2000

6 Kementerian Sosial dan Unicef, Pelayanan Kesejahteraan Anak dan Keluarga di Indonesia. (Jakarta: Kemensos

dan Unicef Indonesia, 2010), 60-61.

7 UU Perlindungan Anak tidak menyatakan rinci peran lembaga pemerintah untuk pencegahan dan penanganan

AMPK, tetapi hanya menyatakan bahwa AMPK sebaiknya diberi upaya pengawasan, pencegahan, pengasuhan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini perlu dirinci dalam peraturan yang mengikat.

8 Peraturan Pemerintah no.2 tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan bagi Anak yang Mempunyai Masalah dan

Gambar

Tabel 2. Penanganan AMPK

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok yang mempunyai kekuatan dalam memberikan rekomendasi dan bahkan mengharuskan anggotanya untuk menggunakan suatu produk tertentu akan mempunyai pengaruh kuat

Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B,

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan Otonomi Daerah

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan antara ventilasi rumah, kepadatan hunian, dan pencemaran udara dalam rumah dengan kejadian

Stres yang dialami oleh pekerja tersebut ialah sesuai dengan pengertian menurut Palupi (2003) yang menyatakan bahwa stres kerja merupakan ketegangan yang dengan mudah muncul

Penyakit wasir atau ambeien memiliki beberapa bahaya yang mungkin dapat terjadi apabila wasir tidak segera di obati atau di tangani.. Memicu sel kanker anus = Pendarahan

Peserta didik ada beberapa respon terhadap media Sparkol Videoscribe rata-rata 4,5 dengan kriteria interpretasi yang dicapai yaitu “sangat menarik”, hal ini

Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengimplementasikan gagasan ini adalah dengan memberikan infromasi pada masyarakat pedesaan terlebih untuk memperhatikan kondisi sekitar