BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bank Syariah
2.1.1 Pengertian Bank Syariah
Menurut ensiklopedia Islam (dalam Warkum Sumitro 2004: 5) Bank Islam
adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa
dalam lalu lintas pembayaran serta memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu
lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan
dengan prinsip-prinsip Syariat Islam. Warkum Sumitro mengatakan bahwa bank
Islam berarti bank yang tata cara operasinya dilandaskan pada tata cara
bermuamalah secara Islami, yaitu yang mengacu pada Al-Quran dan hadist.
Menurut Undang-Undang No 21 tahun 2008, yang dimaksud dengan bank syariah
adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan
menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah. (www.bi.co.id ”Perbankan Syariah” diakses Januari 2014).
Berdasarkan rumusan tersebut, bank syariah berarti bank yang tata cara
beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Islam yakni mengacu
kepada ketentuanketentuan Al-Quran dan Hadits, atau apabila kita mengacu
kepada undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan bahwa bank yang berprinsip
lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.
2.1.2 Sejarah Bank Syariah
2.1.2.1 Berdirinya Bank Syariah di Dunia
Sejarah perkembangan bank syariah modern tercatat di Pakistan dan
Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu dengan upaya pengelolaan dana jamaah haji
non-konvensional (Heri, 2005: 28). Gagasan mengenai bank yang menggunakan
sistem bagi hasil telah muncul sejak lama, ditandai dengan banyaknya
pemikir-pemikir muslim yang menulis tentang keberadaan bank syariah. Uraian yang
terperinci tentang gagasan itu ditulis oleh Muhammad Hamidullah yang ditulis
pada 1944,1955,1957, dan 1962, bisa dikategorikan sebagai gagasan pendahulu
mengenai perbankan Islam (Heri, 2005: 28).
Gagasan berdirinya bank syariah di tingkat internasional secara kolektif
muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia, di Kuala Lumpur,
Malaysia pada tanggal 21-27 April 1969 yang diikuti 19 negara peserta. Pada
bulan Desember 1970 untuk mempermudah berkembangnya bank syariah di
negara-negara muslim, diajukan proposal untuk mendirikan bank syariah pada
Sidang Menteri Luar Negeri negara-negara Organisasi Konferensi Islalm (OKI) di
Karachi, Pakistan dan pada Sidang Menteri Luar Negeri Oki di Benghazi, Libya,
Maret 1973. Pada tahun 1974 rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau
Islamic Development Bank (IDB) pada sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah
Berdirinya IDB memberikan motivasi kepada negara-negara Islam untuk
mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada awal dekade 1980-an, lembaga
keuangan syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan,
Iran, Malaysia, serta Turki. Selain itu ada negara-negara non muslim yang
mendirikan bank Islam, seperti Inggris, Denmark, Bahamas, Swiss, dan
Luxemburg (Heri, 2005: 29).
2.1.2.2 Berdirinya Bank Syariah di Indonesia
Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke
Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai
pilar ekonomi Islam mulai dilakukan dan para tokoh yang terlibat dalam kajian
teersebut adalah Karnaen A. Perwataatmaja, M. Dawam Rahardjo, M. Amien
Azies dan lain-lain (Muhammad, 2001: 25). Saat pemerintah mengeluarkan Paket
Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan, para ulama
berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga namun tidak ada satupun perangkat
hukum yang dapat dirujuk kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga
sebesar 0%. Tahun 1990, dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank
syariah di Indonesia setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang
bunga bank dan perbankan. Kelompok kerja ini di bentuk pada Musyawarah
Nasional IV Majelis Ulama Indonesia. Dari kelompok kerja tersebut lahirlah Bank
Muammalat Indonesia, dengan Akte Pendirian yang di tanda-tangani tanggal 1
Nopember 1991 dengan nama PT Bank Muammalat Indonesia. Kemudian tanggal
Pendirian Bank Muammalat Indonesia ini diikuti oleh bank-bank
perkreditan rakyat syariah (BPR syariah). Namun keberadaan dua jenis lembaga
keuangan itu belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah. Oleh
karena itu dibentuk lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut baitul maal
wattamwil (BMT). Pada tahun 1992-1998 hanya ada satu unit bank syariah, pada
tahun 2005, jumlah bank syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit,
yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit syariah. Sementara itu, jumlah BPRS
hingga akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 unit (Amir-Rukmana, 2010 : 20).
Era Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kebijakan hukum perbankan
di Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system). Kebijakan
ini intinya memberikan kesempatan bagi bank-bank umum konvensional untuk
memberikan layanan syariah melalui mekanisme Islamic window dengan terlebih
dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). Akibatnya pasca undang-undang
ini memunculkan banyak bank konvensional yang ikut andil dalam memberikan
layanan syariah kepada nasabahnya.
2.2 Produk Bank Syariah
Peran yang dimiliki bank syariah yakni sebagai lembaga perantara
(intermediary) anatara unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana
(surplus units) dengan unit-unityang lain yang mengalami kekurangan dana
(deficit units). Untuk memenuhi kebutuhan modal dan pembiayaan, bank syariah
memiliki ketentuan-ketentuan yang berbeda dengan bank konvensional. Secara
umum, prinsip-prinsip yang digunakan bank syariah terdiri atas tiga kategori
1. Produk penghimpunan dana (funding)
2. Produk penyaluran dana (financing)
3. Produk jasa (services)
Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/19/2007 disebutkan bahwa
pemenuhan Prinsip Syariah dalam kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana
dan pelayanan jasa, dilakukan sebagai berikut:
1. Dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain
Akad Wadi’ah dan Mudharabah;
2. Dalam kegiatan peyaluran dana berupa Pembiayaan dengan
mempergunakan antara lain Akad Mudharabah, Musyarakah, Murabahah,
Salam, Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bittamlik dan Qardh; dan
3. Dalam kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain Akad
Kafalah, Hawalah, dan Sharf.
2.2.1 Produk Penghimpunan Dana
Prinsip-prinsip dasar produk bank syariah yang diaplikasikan dalam
kegiatan menghimpun dana (Produk pendanaan), antara lain :
1. Wadiah
Titipan dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan
hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat bila pemilik
menghendaki. Wadiah diterapkan untuk produk berbentuk giro. Wadiah
amanah pada prinsipnya simpanan tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh
pihak bank walaupun ia bertanggungjawab terhadap keutuhan simpanan
simpanan tersebut dan tetap bertanggung jawab terhadap keutuhan
simpanan tersebut (Irsyad, 2010:110).
2. Mudharabah Muthlaqah
Kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan modal
dan memberikan kewenangan penuh kepada pihak kedua dalam
menentukan jenis dan tempat investasi, sedangkan keuntungan dan
kerugian dibagi menurut kesepakatan bersama.
3. Mudharabah Muqayyadah
Kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan modal
dan memberikan kewenangan terbatas kepada pihak kedua dalam
menentukan jenis dan tempat investasi, sedangkan keuntungan dan
kerugian dibagi menurut kesepakatan dimuka.
2.2.2 Produk Penyaluran Dana
Prinsip-prinsip dasar produk syariah yang diaplikasikan dalam kegiatan
penyaluran dana atau produk pembiayaan :
1. Murabahah (Deferred Payment Sale)
Suatu perjanjian yang disepakati antar bank syariah dengan nasabah
dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan
baku/modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah yang akan dibayar
kembali oleh nasabah sebesar harga jual (harga beli bank + margin
2. Mudharabah (Trust Financing, Trust Investment)
Kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan modal
sedangkan pihak kedua mengelola dana dimana keuntungan dan kerugian
dibagi bersama menurut kesepakatan dimuka.
3. Musyarakah (Partnership, Project Financing Participation)
Perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah yang
membutuhkan pembiayaan, dimana bank dan nasabah secara bersama
membiayai suatu usaha/proyek yang juga dikelola secara bersama atas
prinsip bagi hasil sesuai dengan penyertaan dimana keuntungan dan
kerugian dibagi sesuai kesepakatan dimuka.
Perbedaan antara mudharabah dan musyarakah dapat dilihat dalam Tabel
2.1 berikut ini:
Tabel 2.1
Perbedaan Mudharabah dan Musyarakah
Elemen Musyarakah Mudharabah
Sumber modal/ dana Partisipasi dari semua mitra usaha yang terlibat.
Shahibul maal sendiri
Tanggungan resiko Semua mitra usaha menanggung sebesar persentase investasinya
Shahibul maal sendiri
Kepemilikan asset Milik bersama semua mitra usaha
Shahibul sendiri
Bentuk penyertaan Dana, barang, kewiraswataan, hak paten, peralatan dll
Dana
4. Salam (In-front Payment Sale)
Pembiayaan jual beli dimana pembeli memberikan uang terlebih dahulu
terhadap barang yang dibeli yang telah disebutkan spesifikasinya dengan
pengantaran kemudian.
5. Istishna (Purchase by Order or Manufacture)
Pembiayaan jual beli yang dilakukan bank dan nasabah dimana penjual
(pihak bank) membuat barang yang dipesan oleh nasabah.
6. Ijarah (Operational Lease)
Perjanjian sewa yang memberikan kepada penyewa untuk memanfaatkan
barang yang akan disewa dengan imbalan uang sewa sesuai dengan
persetujuan dan setelah masa sewanya berakhir maka barang dikembalikan
kepada pemilik, namun penyewa juga dapat memiliki barang yang disewa
dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain.
7. Al-Qardh (Soft and Benevolent Loan)
Pemberian harta kepada nasabah yang dapat ditagih atau diminta kembali
atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
2.2.3 Produk Jasa (services)
Adapun prinsip produk-produk syariah dalam penyelenggaraan jasa-jasa
1. Kafalah (Guaranty)
Akad pemberian garansi/jaminan oleh pihak bank kepada nasabah untuk
menjamin pelaksanaan proyek dan pemenuhan kewajiban tertentu oleh
pihak yang dijamin.
2. Wakalah (Deputyship)
Akad perwakilan antara kedua belah pihak (bank dan nasabah) dimana
nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya
melakukan pekerjaan/jasa tertentu.
3. Hawalah (Transfer Service)
Akad pemindahan piutang nasabah kepada bank untuk membantu nasabah
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya dan bank
mendapat imbalan atas jasa pemindahan piutang tersebut.
4. Ar-Rahn (Mortgage)
Menahan salah satu harta milik nasabah yang memiliki nilai ekonomis
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
2.3 Prinsip–Prinsip Operasional Perbankan Syariah
Prinsip syariah yang dianut oleh lembaga keuangan syariah dilandasi oleh
nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan dan keuniversalan (rahmatan lil
‘alamin). Prinsip utama yang dianut oleh lembaga keuangan syariah dalam
menjalankan kegiatan usahanya sering disebut dengan bebas ” Maghrib” yaitu :
1. Maysir (spekulasi)
Secara bahasa maknanya judi, secara umum, mengundi nasib dan setiap
transaksi yang bersifat untung-untungan dan digantungkan kepada suatu
keadaan yang tidak pasti.
2. Gharar
Secara bahasa berarti menipu, memperdaya, ketidakpastian. Gharar adalah
sesuatu yang memperdayakan manusia di dalam bentuk harta, kemegahan,
jabatan, keinginan, dan lainnya. Gharar berarti menjalankan suatu usaha
secara buta tanpa memilki pengetahuan yang cukup atau menjalankan
suatu transaksi yang risikonya berlebihan tanpa mengetahui dengan pasti
apa akibatnya atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan
konsekuensinya jika dilaksanakan.
3. Haram
Secara bahasa berarti larangan dan penegasan. Larangan bisa timbul
karena beberapa kemungkinan, yaitu dilarang oleh tuhan dan bisa juga
karena pertimbangan akal. Dalam aktivitas ekonomi setiap orang di
harapkan untuk menghindari semua yang haram baik haram zatnya
maupun haram selain zatnya.
4. Riba
Secara bahasa berarti bertambah dan tumbuh. Riba merupakan
penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil) misalnya dalam hal
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas dan waktu
penyerahan, atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mensyaratkan
nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi
5. Bathil
Secara bahasa artinya batal, tidak sah. Dalam aktivitas ekonomi tidak
boleh dilakukan dengan jalan yang batil misalnya dengan, mencampurkan
barang rusak diantara barang yang baik untuk mendapatkan keuntungan
lebih besar, menimbun barang, menipu atau memaksa dan mengurangi
timbangan.
2.4 Keunggulan Bank Syariah
Juli Irmayanto (2009: 136) mengemukakan beberapa keunggulan bank
syariah jika dibandingkan dengan bank konvensional. Keunggulan-keunggulan
bank syariah tersebut antara lain:
1. Ditanggung halal : bahagia dunia dan akhirat.
Bank syariah dapat mengembalikan masyarakat sesuai fitrah alam dan
fitrah usaha. Sekeras apapun usaha yang dilakukan setiap orang kadang
kala berhasil-terkadang gagal. Sedangkan sistem bunga, berpendapat
bahwa segala usaha dianggap pasti berhasil. Kalau terjadi kegagalan,
resiko ditanggung penuh oleh pengusaha (peminjam). Dengan sistem bagi
hasil, fitrah bisnis yang rusak akan kembali lurus, yakni pola berpikir
Yahudi yang berlandaskan ajaran Machiaveli yang menghalalkan segala
cara tanpa aturan dan norma hukum (Irmayanto, 2009 : 136).
2. Lebih tahan banting ketika terjadi gejolak moneter.
Krisis moneter pada Juli 1997 telah menjadikan perekonomian Indonesia
nyaris hancur dan sebagian besar bank-bank konvensional hampir gulung
tidak hanya mencekik para peminjam bermata uang asing tetapi juga
merepotkan perbankan. Usaha-usaha dalam berbagai sektor lumpuh karena
fluktuasi harga dan daya beli merosot. Kredit macet semakin tinggi dan
investasi menurun secara drastis. Akibatnya bank-bank konvensional
mengalami negative spread.
Namun pada bank Syariah, laba yang dibagikan kepada penyimpan sangat
tergantung pada keuntungan yang diperoleh pengusaha yang menggunakan
dana dari bank sehingga bank syariah tidak mengenal negative spread.
Ketika pengusaha mengalami kegagalan, para penyimpan tidak menuntut
pembagian keuntungan dari bank. Sampai kapanpun dan dalam kondisi
apapun perbankan syariah tetap bertahan karena menggunakan sistem bagi
hasil. Selama krisis moneter (1997-1998) bank syariah dapat bertahan dan
dapat menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan lembaga
perbankan konvensional. Itu dapat dilihat dari relatif lebih rendahnya
penyaluran pembiayaan yang bermasalah (non performing loan, tahun
2000 sebesar 12,96 % dan tahun 2001 sebesar 4,04 %, (sumber: Bank
Indonesia) pada bank syariah dan tidak terjadinya negative spread dalam
kegiatan operasionalnya. Dengan filosofi utamanya, kemitraan dan
kebersamaan dalam maupun risk, bank syariah terbukti prospektif untuk
berkembang di tanah air.
3. Tidak elastis terhadap kebijakan moneter.
Ketika dilakukan kebijakan uang ketat (tight money policy), misalnya suku
sedangkan bank syariah akan tetap tenang-tenang saja. Perubahan suku
bunga SBI harus direspon dengan menaikkan suku bunga simpanan, lalu
menaikkan suku bunga pinjaman. Perubahan suku bunga simpanan dan
pinjaman tidak dapat dilakukan secara serentak, terdapat rentang waktu
antara kenaikan suku bunga simpanan dengan bunga pinjaman. Akibatnya,
masyarakat akan meningkatkan tabungannya, sehingga jumlah uang yang
beredar akan menurun dan harga barang/jasa juga cenderung menurun.
Pada saat suku bunga pinjaman dinaikkan, permintaan investasi turun dan
akhirnya akan mengakibatkan kesempatan kerja berkurang dan hal ini
akan berdampak pada peningkatan pengangguran.
4. Kemampuan manajerial sebagai daya tarik.
Perilaku bunga bank cenderung fluktuatif, sedangkan perilaku manajemen
bank cenderung stabil karena memiliki “learning curve” yang efisien
dalam jangka panjang. Tingginya suku bunga pada bank konvensional
merupakan salah satu daya tarik bagi investor untuk menyimpan dananya
pada bank konvensional. Pada bank syariah, pemilik dana mau menitipkan
dananya karena sangat percaya pada kemampuan manajerial bank. Pada
bank syariah yang menjadi daya tarik bagi pengusaha adalah karena sistem
bagi hasil untung-rugi. Segala resiko bisnis ditanggung bersama sesuai
kesepakatan. Karena ikut menanggung resiko, manajemen bank selalu
proaktif memantau dan melayani konsultasi dan manajemen pada
5. Prinsip bagi hasil dan jual beli yang lebih menguntungkan.
Dalam prinsip bagi hasil, pembagian hasil yang diberikan disesuaikan
dengan kondisi usaha sehingga tidak membebani nasabah terutama ketika
sedang terjadi penurunan usaha. Apabila kondisi usaha baik dan
menguntungkan, maka nasabah yang menyimpan dananya akan mendapat
bagi hasil yang proporsional dari keuntungan bisnis bank. Sehingga
dimungkinkan investor akan memperoleh pembagian hasil yang nilai
nominalnya jauh lebih besar dibandingkan dengan bunga bank.
Dalam prinsip jual beli tidak ada floating rate, hal ini akan memberikan
rasa aman kepada nasabah. Nilai kewajibannya sudah ditentukan dalam
perjanjian harga jual-beli yang disepakati di awal perjanjian.
Prinsip-prinsip lain yang dijalankan dalam melaksanakan operasional bank
syariah adalah:
1. Prinsip Keadilan, tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil
dan pengambilan margin keuntungan yang telah disepakati oleh bank dan
nasabah.
2. Prinsip Kesederajatan, bank syariah menempatkan nasabah penyimpan
dana, nasabah pengguana dana, maupun bank pada kedudukan yang sama
dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, resiko, dan
keuntungan yang berimbang di antara nasabah penyimpan dana, nasabah
pengguna dana, maupun pihak bank.
3. Prinsip Ketenteraman, produk-produk bank syariah telah sesuai dengan
menerapkan zakat harta. Dengan demikian nasabah merasakan
ketenteraman lahir dan batin.
2.5 Perbedaan antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah
Perbankan syariah mempunyai beberapa perbedaan dengan perbankan
konvensional. Hal ang paling utama dalam operasinya, perbankan syariah
menerapkan sistem bagi hasil sedangkan perbankan konvensional menerapkan
sistem bunga. Perbedaan utama kedua sistem ini dapat dilihat dalam Tabel 2.2
sebagai berikut:
Tabel 2.2
Perbedaan Bagi Hasil dengan Sistem Bunga
Bunga Bagi Hasil
Besarnya bunga di tetapkan pada saat perjanjian dan mengikat kedua puhak yang melaksanakan perjanjian dengan asumsi bahwa pihak penerima pinjaman akan selalu mendapatkan keuntungan.
Bagi hasil di tetapkan dengan rasio nisbah yang di sepakati antara pihak yang melaksanakan akad pada saat akad dengan berpedoman adanya kemungkinan keuntungan atau kerugian.
Besarnya bunga yang diterima berdasarkan perhitungan persentasse bunga dikalikan dengan jumlah dana yang dipinjamkan.
Besarnya bagi hasil dihitung berdasarkan nisbah yang diperjanjikan dikalikan dengan jumlah pendapatan dan/atau keuntungan yang diperoleh. Jumlah bunga yang diterima tetap,
meskipun usaha peminjam meningkat atau menurun.
Jumlah bagi hasil akan dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan/atau keuntungan. Bagi hasil akan berfluktuasi.
Sistem bunga tidak adail, karena tidak terkait dengan hasil usaha peminjam.
Sistem bagi hasil adil, karena perhitungannya berdasarkan hasil usaha.
Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama.
Tidak ada agama satu pun yang meragukan bagi hasil.
Selain perbedaan yang mendasar tentang sistem operasional bank syariah
dan bank konvensional yang tersebut di atas terdapat beberapa perbedaan lain
yaitu dapat dilihat dalam Tabel 2.3 berikut:
Tabel 2.3
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
No Bank Syariah Bank Konvensional
1 Investasi hanya untuk proyek dan produk yang halal serta menguntungkan.
Investasi, tidak mempertimbangkan halal atau haram asalkan proyek yang dibiayai menguntungkan.
2 Return yang dibayar dan/atau
diterima berasal dari bagi hasil atau pendapatan lainnya berdasarkan prinsip syariah.
Return baik yang di bayar kepada
nasabah penyimpan dana dan return yang diterima dari nasabah pengguna dana berupa bunga.
3 Perjanjian dibuat dalam bentuk akad sesuai dengan syariah Islam.
Perjanjian menggunakan hukum positif.
4 Orientasi pembiayaan, tidak hanya untuk keuntungan akan tetapi juga
falah oriented, yaitu berorientasi
kesejahteraan masyarakat.
Orientasi pembiayaan, untuk memperoleh keuntungan atas dana yang di pinjamkan.
5 Hubungan antara bank dan nasabah adalah mitra.
Hubungan antara bank dan nasabah adalah kreditor dan debitur.
6. Dewan pengawas terdiri dari BI, Bapepam, Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Dewan pengawas terdiri dari BI, Bapepam, dan Komisaris.
7 Penyelesaian sengketa, diupayakan diselesaikan secara musyawarah antara bank dan nasabah, melalui peradilan agama.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri setempat.
Sumber: Ismail (2013)
2.6 Pengertian Pemahaman
Menurut Suharsimi Arikunto (1995: 115) pemahaman (comprehension)
siswa diminta untuk membuktikan bahwa ia memahami hubungan yang sederhana
antara lain : (1) tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari
menerjemahkan dalam arti yang sebenarnya, mengartikan prinsip-prinsip, (2)
tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yaitu menghubungkan
bagian-bagian terendah dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan dengan
kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok, dan (3) tingkat
ketiga merupakan tingkat tertinggi yaitu pemahaman ektrapolasi. (Nana, 1992: 24)
Pengertian pemahaman menurut Anas Sudijono (2005), adalah
kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu
diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui
mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Pemahaman
merupakan jenjang kemampuan berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan
dan hafalan. Dari berbagai pendapat di atas, indikator pemahaman pada dasarnya
sama, yaitu dengan memahami sesuatu berarti seseorang dapat mempertahankan,
membedakan, menduga, menerangkan, menafsirkan, memerkirakan, menentukan,
memperluas, menyimpulkan, menganalisis, memberi contoh, menuliskan kembali,
mengklasifikasikan, dan mengikhtisarkan. Indikator pemahaman menunjukkan
bahwa pemahaman mengandung makna lebih luas atau lebih dalam dari
pengetahuan. Dengan pengetahuan, seseorang belum tentu memahami sesuatu
yang dimaksud secara mendalam, hanya sekedar mengetahui tanpa bisa
menangkap makna dan arti dari sesuatu yang dipelajari. Sedangkan dengan
pemahaman, seseorang tidak hanya bisa menghapal sesuatu yang dipelajari, tetapi
juga mempunyai kemampuan untuk menangkap makna dari sesuatu yang
2.7 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jurnal pengaruh pengetahuan pelajar terhadap perbankan syariah. Dimana
judul dari penelitian tersebut adalah Conventional Versus Islamic Finance:
Student Knowledge And Perception In The United Arab Emirates. Jurnal
tersebut dianalisis oleh Jorg Bley and Kermit Kuehn pada tahun 2004 studi
kasus pada School of Business and Management at the American
University of Sharjah, UEA.Pada jurnal tersebut digunakan variabel
independen berupa Kemampuan bahasa, Jumlah SKS, Agama, IPK, Jenis
kelamin, dan Fakultas. Jurnal yang ditulis oleh Jorg Bley dan Kermit
Kuehn (2004) yang menggunakan sampel 667 mahasiswa ini
menunjukkan bahwa variabel Kemampuan bahasa, Jumlah SKS, Agama,
IPK, Jenis kelamin dan Fakultas memberikan pengaruh positif terhadap
pengetahuan mahasiswa tentang prinsip dan produk-produk bank syariah.
Selain itu, Penelitiannya menujukkan bahwa orang memilih bank syariah
hanya karena agama dan tidak tahu tentang konsep dan jenis produknya.
2. Abdul Halim Abdul Hamid, dalam papernya yang diterbitkan
International Journal Of Islamic Financial Services awal 2001
menyebutkan bahwa penyebab banyak nasabah kurang paham terhadap
produk bank syariah adalah tentang cara mengkomunikasikan produk bank
yang sulit dimengerti oleh sebagian nasabah. Salah satunya tentang
Produk
Mudharabah Musyarakah
Di Malaysia, negeri yang mempunyai sejarah bank Islam lebih lama
daripada Indonesia (sejak 1983), dari 967 responden kurang dari 15% yang
mengerti dengan tepat arti dari produk-produk syariah. Ternyata kurang
dari 6% yang mengetahui arti ba’i al-Salam, dan ba’i al-Murabahain.
Singapura, merupakan negeri yang sekitar 20% penduduknya beragama
Islam. Hasilnya hanya 3% yang dengan tepat tahu arti Mudharabah,
Musyarakah, dan ijarah. Hal yang mengejutkan, tak seorang pun dari
responden yang mampu menyebutkan dengan tepat arti mudharabah.
2.8 Kerangka Konseptual
Adapun kerangka pemikiran penulis yang menjadi pijakan dalam
penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Pemahaman Masyarakat terhadap Produk-produk Bank Syariah
Murabahah Wadiah Wakalah
Pemahaman Masyarakat Kota Medan