• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KUALITATIF PERILAKU PASIEN TUBERKULOSIS MULTI DRUGS RESISTANT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS POASIA KOTA KENDARI TAHUN 2017 Devica Sarah Putri Kusuma Hapsari1 La Dupai2 Fikki Prasetya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STUDI KUALITATIF PERILAKU PASIEN TUBERKULOSIS MULTI DRUGS RESISTANT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS POASIA KOTA KENDARI TAHUN 2017 Devica Sarah Putri Kusuma Hapsari1 La Dupai2 Fikki Prasetya"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KUALITATIF PERILAKU PASIEN TUBERKULOSIS

MULTI DRUGS RESISTANT

DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS POASIA KOTA KENDARI TAHUN 2017

Devica Sarah Putri Kusuma Hapsari

1

La Dupai

2

Fikki Prasetya

3

23Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo123

[email protected][email protected]2[email protected]3

ABSTRAK

TuberkulosisMulti Drugs Resistant(TB-MDR) adalah kasus TB yang disebabkan basil Mycobacterium tuberculosis

yang resisten terhadaprifampicindanisoniazid.Penelitian ini bertujuan untuk perilaku pasien TuberkulosisMulti Drugs Resistantdi Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari tahun 2017. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode pendekatan studi kasus. Informan dalam penelitian ini yaitu, 8 orang yang terdiri dari 3 orang informan kunci dan 5 orang informan biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap terhadap riwayat pengobatan yakni kebiasaan minum obat yang dilakukan pasien TB-MDR sebagian teratur dan tidak teratur. Gejala dan efek samping yang dirasakan pasien, nyeri sendi, mual dan muntah, gangguan psikologis, gangguan `pendengaran dan penglihatan, susah tidur, nafsu makan berkurang. Penyebab pasien putus berobat yaitu, kelalaian pasien mengingat jadwal minum obat, adanya rasa malas dikarenakan efek samping obat. Motivasi untuk sembuh dari diri pasien menjalani pengobatan secara teratur, selalu sabar dan mengingat Tuhan, serta kebiasaan mendengarkan musik yang slow.Motivasi dari keluarga, diingatkan untuk selalu meminum obat dan menjaga kesehatan diri, sebagian keluarga menolak pengobatan yang dijalani pasien dikarenakan stigma tidak ada riwayat TB dalam keluarganya. Motivasi dari lingkungan pasien, lingkungan pasien memberikan motivasi seadanya sehingga tidak ada umpan balik pasien merasa termotivasi untuk sembuh. Motivasi dari petugas kesehatan, diberikan saran dan solusi kepada pasien. Untuk pasien agar memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh. Diharapkan adanya kerjasama antara keluarga dan petugas kesehatan untuk memberikan motivasi yang baik bagi pasien TB-MDR. Untuk peneliti selanjutnya yang tertarik mengambil tema yang sama perlu untuk mengkaji lebih lanjut melalui beberapa penelitian tentang perilaku pasien TB-MDR.

Kata Kunci:Perilaku, Pasien, TB-MDR, Motivasi, Sikap, Riwayat Pengobatan

ABSTRACT

Multi Drugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) defined as TB that’s resistant to the two most effective first line therapeutic drugs, isoniazid and rifampicin. The study about behavior of MDR-TB patients in the work area of Primary Health Center Poasia Kendari City in 2017. Using qualitative research with case study method. Informants in this research are, 8 people consisting of 3 key informants and 5 ordinary informants. This study shows drug history taking of MDR-TB patients, less of patients taking drug irregular and disorganized. Most of side effect that occur is joint pain, nausea, vomiting, psychological disorders, hearing and eyesight disorders, insomnia, and decreased appetite. Causes of patients who drop out for treatment are, negligence of patients remembering the schedule of taking drugs, the sense of laziness due to drug side effects. Patients motivation to get healing is taking regular treatment, being patient and keep in faith as well as listening slow music habits. Motivation from family are reminding the patient to take medicine regularly and maintain personal health, several family reject treatment for patient due to stigma of no history TB in family. Motivation from environment patient shows that the environment didn’t support patient in healing process from MDR-TB. Motivation from health workers is given advice and solutions to patients have a strong motivation in healing process. The cooperation between family and health workers are expected to provide good motivation for MDR-TB. For next researcher that interesting take same study need to research more about patient behavior in MDR-TB.

(2)

VOL.3 /NO. 1/ Januari 2018; ISSN 2502-731X ,

PENDAHULUAN

Menurut WHO Global Tuberculosis Report

(2016) TB-MDR disebabkan oleh bakteri yang tidak merespon OAT (Obat Anti Tuberkolosis) paling sedikit

rifampicin dan isoniazid, di mana keduanya

merupakan OAT yang paling ampuh untuk

menyembuhkan penyakit TB. WHO Global

Tuberculosis Control (2011) mencatat bahwa Indonesia menempati urutan ke delapan di antara 27 negara yang mempunyai beban tinggi untuk TB-MDR. Hal ini terjadi karena program TB-MDR di negara Indonesia belum berjalan dengan baik sebagaimana

mestinya. WHO (2017a) menyatakan bahwa

prevalensi TB-MDR di dunia diperkirakan 2-3 kali lipat lebih tinggi dari angka insidens. Beban TB-MDR terdapat di 3 negara yaitu, Cina, India, dan Federasi Rusia yang memiliki kasus TB hampir setengah dari kasus TB global.

Berdasarkan survei resistansi OAT yang dilakukan di Indonesia, di Kabupaten Timika Papua tahun 2004 data kasus TB-MDR di antara kasus baru TB sebesar 2%, di Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 data kasus TB-MDR di antara kasus baru TB sebesar 1,9%, di Kota Makassar tahun 2007 data kasus TB-MDR di antara kasus baru TB sebesar 4,1%, di Provinsi Jawa Timur menunjukkan angka 2% untuk kasus baru dan 9,7% untuk pengobatan ulang (Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara (2016), menyatakan bahwa kasus TB di provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2014 sebanyak 4.498 kasus, tahun 2015 sebanyak 3.625 kasus, dan di tahun 2016 sebanyak 3.043 kasus. Data tersebut menunjukkan penurunan sampai tahun 2016.

Penemuan kasus TB bervariasi antara kabupaten/kota. Tahun 2016, penemuan kasus TB terbanyak di Kota Kendari 543 kasus, Kabupaten Muna sebanyak 463 kasus, Kabupaten Konawe 446 kasus, dan Kabupaten Buton sebanyak 309 kasus. Di samping itu, terjadi peningkatan penemuan kasus TB-MDR, jumlah kasus TB-MDR tahun 2014 sebanyak 7 kasus, tahun 2015 8 kasus, dan tahun 2016 sebanyak 23 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2016).

Jumlah suspek dan penderita TB resisten terbanyak di Kota Kendari sebanyak 155 orang suspek dan 5 orang penderita TB resisten (4 MDR; 1 TB-XDR(Extensive Drugs Resistant)) serta 2 orang penderita MDR yang tidak berobat. Penderita TB-MDR di Kabupaten Konawe sebanyak 3 orang, Konawe Selatan 2 orang, Buton 2 orang, Muna 2 orang, Wakatobi 2 orang, Kabupaten Bombana 1 orang,

Konawe Utara 2 orang dan Kota Bau – bau 2 orang, sehingga total penderita TB-MDR di Sulawesi Tenggara berjumlah 23 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2016).

Data yang diperoleh dari Puskesmas Poasia, tahun 2015 jumlah penderita TB Paru ditemukan sebanyak 78 orang dan tahun 2016 sebanyak 94 orang. Penderita TB-MDR sebanyak 5 orang (Puskesmas Poasia, 2017).

Studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan

pada dokter bidang programmer TB-MDR di

Puskesmas Poasia mengatakan bahwa TB-MDR salah satunya dapat disebabkan dari motivasi pasien untuk sembuh baik dalam diri sendiri ,keluarga, maupun lingkungannya serta riwayat pengobatan pasien TB-MDR dapat dijadikan landasan alasan pasien tersebut terpapar oleh penyakit TB-MDR dikarenakan riwayat pengobatan yang tidak mumpuni sehingga sebagian besar pasien TB mengalamidrop outsehingga menjadi TB resisten / MDR.

TB-MDR adalah kasus TB yang disebabkan basil

Mycobacterium tuberculosis yang resisten obat minimal terhadap dua OAT yang paling poten, yaitu

Isoniazid dan Rifampicin secara bersamaan atau disertai resisten terhadap OAT lini pertama lainnya sepertiEthambutol,Streptomicin, danPirazinamid.

Di Indonesia masih banyak ditemukan ketidak-berhasilan dalam terapi tuberkolosis. Hal ini disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat secara rutin sehingga dapat menyebabkan resistensi kuman tuberkulosis terhadap obat-obat anti tuberkulosis dan kegagalan terapi (Mapparenta & Ibnu, 2013). Kurangnya motivasi diri dan dukungan keluarga berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan pasien TB Paru dalam menjalani masa pengobatan yang sedang dilakukan (Sallamena, 2015).

METODE

(3)

TB-MDR. Informan biasa dalam penelitian ini yaitu petugas kesehatan P2M bidang programmer TB dan keluarga penderita sebanyak 2 orang.Peneliti melakukan penelitian ini untuk mendapatkan data mengenai objek yang diteliti dengan menggunakan beberapa teknik yaitu wawancara mendalam (in-depth interview), observasi,dan dokumentasi.

HASIL DAN DISKUSI

Berdasarkan hasil penelitian terkait perilaku pasien TB-MDR di wilayah kerja Puskesmas Poasia Tahun 2017. Riwayat pengobatan dapat dilihat kebiasaan minum obat yang teratur, menilai kepatuhan pasien, menilai rasionalitas obat yang di resepkan, membandingkan profil pengobatan sekarang dan sebelumnya, memverifikasi riwayat

pengobatan yang diperoleh yang dapat

mempengaruhi penyebab pasien TB menjadi TB-MDR di Wilayah kerja Puskesmas Poasia.

a. Kebiasaan Minum Obat

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah rata – rata kebiasaan minum obat pasien TB-MDR memiliki dosis yang tinggi bahkan dapat mencapai 20 butir obat perhari dan pengobatan TB-MDR menghabiskan waktu sekitar 2 tahun untuk sembuh sempurna sehingga pasien TB-MDR kadang merasa jenuh. Lamanya pasien dalam

mengonsumsi obat dapat menyebabkan

kejenuhan pasien dan akan memengaruhi tingkat kerutinan pasien dalam mengonsumsi obat43

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Biasa sa minum obat TB-MDR itu perhari sekitar 20 biji..”(Informan Kunci S, 53 tahun, wc: 27 November 2017)

“..Kadang 15 [biji obat] tapi di kurangi 2 [biji obat] jadi 13 [biji obat], kan sa mau tambah berat badan. Waktu masuk di bahteramas 35 [biji obat], bertahap – tahap..”(Informan Kunci M, 34 tahun, wc: 28 November 2017)

“..Tiap hari harus minum, baru 15 biji perhari..”(Informan Kunci AH, 29 tahun, wc: 23 November 2017)

Kebiasaan minum obat yang diungkapkan informan bahwa mereka memiliki jadwal tertentu untuk meminum obat untuk menghindari terganggunya aktivitas keseharian mereka dari efek samping obat. Hal ini dapat dijelaskan semakin positif presepsi pasien TB-MDR tentang kemanfaatan (benefit), kecenderungan mengambil tindakan (cues to action) dan kepercayaan diri (self efficacy) dalam menjalankan pencegahan penularan TB akan

semakin baik perilaku pencegahannya dan sebaliknya31

Berikut cuplikan wawancara informan : “Saya minum obat sekarang mulai setengah 4 sore, karena kalau pagi sa minum obat nda bisa sa beraktivitas saya. Karena itu kalau minum obat itu [obat TB-MDR], setelah kita minum obat itu ada – ada saja rasanya [efek samping] kadang, minum obat itu nda bisa konsentrasi..”(Informan Kunci M, 34 tahun, wc: 28 November 2017)

Selain meminum obat – obatan yang

diresepkan oleh dokter beberapa informan bahwa mengatakan bahwa dengan meminum obat herbal, mereka percaya dapat menyembuhkan penyakit mereka dimana obat herbal yang didapatkan berasal dari teman maupun keluarga.

Cues to action bisa bersifat internal atau faktor eksternal yang mendukung kecenderungan pasien bertindak. Hal – hal yang terkait berupa pesan – pesan kesehatan melalui media massa, konsultasi dengan tenaga kesehatan atau anjuran teman

yang mempengaruhi seseorang dalam

memutuskan tindakannya31

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Mungkin banyak sekali mi itu obat [obat TB-MDR] yang di coba, ada itu biasa obat tradisional yang herbal. Sampai di Makassar ini kita berobat. Tapi obat dari Makassar cuman itu ji yang herbal – herbal..” (Informan Biasa J, 22 tahun, wc: 27 November 2017)

“...Tapi terus terang bukan hanya obat dari dokter saya minum.obat herbal apakah itu da kasikan saya orang itu..” (Informan Kunci S, 53 tahun, wc: 27 November 2017)

“..jadi sudahmi sa minum mi obat herbal, itu pak R temanku yang di FKIP, selalu itu stigmanya da selalu tanamkan kalau ramuan herbal itu ada efeknya. Itu selalu herbal [hanya obat herbal saja yang dikonsumsi]..”(Informan Kunci M, 34 tahun, wc: 28 November 2017)

Hasil penelitian yang didapatkan bahwa keluarga pasien sengaja memutuskan kebiasaan minum obat pasien TB-MDR di karenakan efek samping yang terjadi pada pasien sangatlah parah. Hal ini berhubungan dengan respon terhadap sakit yaitu tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa – apa (no action). Alasannya antara lain bahwa dengan kondisi tersebut tidak akan memperarah gejala yang dirasakan oleh pasien TB-MDR30

(4)

VOL.3 /NO. 1/ Januari 2018; ISSN 2502-731X ,

“.. Teratur, itu hari sempat, tapi sudah lama mi toh, sempat dikasi berhenti [minum obat TB], karena keras sekali obatnya itu. Kadang kalau sudah minum da kejang – kejang itu, kadang dingin sekali [badannya], pokoknya kayak orang mau meninggal..” (Informan Biasa J, 22 tahun, wc: 27 November 2017)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan selaku petugas kesehatan bidang TB-MDR mengungkapkan kebiasaan minum obat pasien TB-MDR yang harus dijalani adalah selama 2 tahun untuk sembuh secara sempurna walaupun dari sudut pandang informan sendiri pengobatan TB-MDR bisa saja diperoleh hanya dalam waktu 6 bulan sampai sembuh asalkan rutin. Harus diakui pengobatan terhadap tuberkulosis dengan resistensi ganda ini amat sulit dan memerlukan waktu yang lama bahkan sampai 24 bulan39

Berikut cuplikan wawancara informan :

“Dua tahun [masa pengobatan TB-MDR]. Tapi sebenarnya biar sudah di kasi obat sudah sembuh mi. tapi kalau 6 bulan di kasi obat baru rutin sudah selesai mi itu virusnya. Tapikan namanya paket pengobatan dua tahun, kita harus antisipasi virusnya itu. Pokoknya kalau mau sehat betul minimal 24 bulan baru bisa sembuh..”

(Informan Biasa AR, 45 tahun, wc: 23 November 2017)

b. Gejala dan Efek Samping Obat

Hasil penelitian yang didapatkan bahwa informan mengalami gejala dan efek samping berupa nyeri sendi, nafsu makan berkurang, rasa khawatir yang berlebihan. Kemudian informan yang memiliki riwayat penyakit lambung mengakui bahwa efek samping yang dirasakan berupa loyo, pusing, sakit kepala, sesak napas.

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Nyeri sendi, baru apalagi nafsu makan mulai berkurang, baru rasa khawatir terus, lebih berat..” (Informan Kunci F, 15 tahun, wc: 23 November 2017)

“..Tiada nafsu makan itu, otomatis ada hubungannya dengan lambung itu, ini sa rasa kayak sa loyo terus kune, loyo, panas, kemudian pusing, sakit kepala, kalau sa halangan tiba sa haid, sakitt, sa rasa loyo, kenapa sesak-sesak napasku kayak da takancing [terhenti]..”

(Informan Kunci M, 34 tahun, wc: 28 November 2017)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada beberapa informan pasien TB-MDR bahwa gejala

yang sering terjadi selama menjalani pengobatan adalah mual dan muntah. Mual dan muntah (gangguan gastrointestinal) merupakan efek samping yang paling sering ditemukan dibandingkan efek samping lainnya yaitu 79,8% dan 78,9%17

Berikut cuplikan wawancara informan :

“Gara – gara itu hari sebelumnya toh, kan pernah sa tidak tau, muntah, mual sa masuk dirawat di periksa di ahli dalam kalau kena TB, tapi itu baru TB.."(Informan Kunci AH, 29 tahun, wc: 23 November 2017)

“..kalau sudah minum ini [obat TB-MDR] kadang mual – mual kadang sa muntah habis minum. Disitu mi sa tidak bisa keluar [keluar rumah]..” (Informan Kunci S, 53 tahun, wc: 27 November 2017)

Menurut penjelasan informan bahwa

pengaruh efek samping obat berdampak pada stress dan psikologis serta susah tidur dan makan. Kemudian keluhan yang disampaikan oleh pasien adalah perasaan akan gila dan susah tidur yang merupakan efek samping obat.

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Banyak sebenarnya, dari pertamakan sampe 8 bulan itu, apalagi nyeri persendian, stress juga. Kalau minum obat [obat TB-MDR], stress itu, kalau di bilang tingkat tinggi stresnya. Kemudian apalagi susah tidur, bahkan makan pun juga lain – lain juga. Jadi kalau malam juga itu sa nda bisa tidur tengah malam pengaruh stress juga, mungkin pengaruh pengobatan juga, jadi kalau kita berimajinasi juga pasti tinggi sekali kita berimajinasi, sudah jauh..” (Informan Kunci AL, 20 tahun, wc : 25 November 2017)

“Semua keluhan banyak… ‘ibu sa mau muntah, sa mual, sa pusing, sa tida bisa biar tidur, kayak sa mau gila’. Itu obatnya 1 bulan belum ada reaksi, 2 bulan sudah mulai pusing muntah. Ada yang kayak sarap – sarap sampai mau, pokoknya begitu. Jadi kalau MDR itu harusnya rujuk di rumah sakit jiwa karena efeknya dari itu obatnya, tergantung kalau dia bisa kendalikan dirinya sendiri [tidak gila].. karena efeknya itukan mereka kayak mau gila, kayak perasaan lainnya..”..”(Informan Biasa AR, 45 tahun, wc: 23 November 2017)

(5)

penelitian lainnya17 mengemukakan bahwa

bahwa gangguan pendengaran cukup banyak ditemukan sebanyak 59,6%.

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Kalau efek samping kadang kurang pendengarannya begitu, kadang da buram mi juga matanya kabur – kabur. Kayaknya efek sampingnya obat itu [obat TB-MDR]. Karena dulu itu penyakitnya diabetes pertama toh, pendengarannya bagus ji tapi tidak kayak begitu pas yang sekarang. Da stress juga kadang obatnya itu...” (Informan Biasa J, 22 tahun, wc: 27 November 2017)

“..Bayangkan sa tida’ bisa dengar bunyi besar, sa tida bisa, kayak mau pecah kepalaku. sa tida’ tandai bagaimanakah itu penglihatannya kita kabur, tuli, kabur. Bayangkan itu sa tuli sebelah..”(Informan Kunci M, 34 tahun, wc: 28 November 2017)

“..Kalau pertama kan itu hari da minum obat [pasien TB MDR] biasa kan da cuman merasakan nyeri kakinya, kalau sekarang lebih nyeri juga kadang susah da jalan.” (Informan Biasa S, 20 tahun, wc: 25 November 2017)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui beberapa informan pasien TB-MDR memiliki gejala sering buang air kecil disertai batuk-batuk selama menjalani masa pengobatan berupa suntikan setiap harinya. Sejalan dengan penelitian lainnya17yang menyatakan bahwa efek

samping gangguan renal pada penelitian terdapat 59,6%.

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..bohamma luar biasa efeknya, da bilang ibu S, 3 hari mulai baru terasa efeknya, da ta’ kencing – kencing terus [informan M], baru sa ada pergi pake popok, mana impus pulang bale terus ini, bengkak juga ini tangan, da tida putus – putus itu kencing, batuk – batuk, kening – kencing terus. Sa heran juga dari malam sampe pagi tida putus itu kencing, anu itu...”(Informan Kunci M, 34 tahun, wc: 28 November 2017)

c. Penyebab Putus Obat sehingga Menjadi TB-MDR

Informan mengatakan penyebab ia putus berobat karena pada saat sebelumnya informan tidak tahu tentang penyakit TB-MDR yang ia derita, ia menganggap gejala yang ia rasakan hanyalah penyakit TB biasa, namun ketika gejala tersebut sudah cukup parah ia langsung memeriksakan dirinya ke rumah sakit dan kemudian divonis menderita TB-MDR. Banyaknya

pasien yang tidak mengetahui tentang TB-MDR atau TB yang kebal dengan obat akan berpengaruh terhadap pengobatan pasien itu sendiri41

“..kan pernah sa tidak tau, muntah, mual sa masuk dirawat di periksa di ahli dalam kalau kena TB, tapi itu baru TB, cuman ditau kalau sudah minum obat toh, tapi sa putus jadi nda ada yang kasi tau kalau harus pengobatan lagi jadi disitu mi [putus berobat], pas sa ke rumah sakit lagi, leher ku selalu gatal toh, batuk – batuk terus baru berlendir toh, diperiksa langsung nae’ itu TB-MDR. Itu karena sa putus sudah banyak kali, lama, pokoknya belum 3 bulan berobat sa putus mi. tidak tau kalau penyakit ini [TB-MDR] bagaimana toh, nae’ mi TB-MDR, langsung mi di tau, nanti pi mungkin sa tau itu. Karena mungkin kalau di kasitau pertama tidak mungkin seperti begitu..”

(Informan Kunci AH, 29 tahun, wc: 23 November 2017).

Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa penyebab pasien putus berobat karena keperluan pasien untuk pergi ke luar kota sehingga pasien lupa untuk membawa obat, kelalaian ini disebabkan kurangnya pengetahuan tentang TB-MDR dan ketidakpatuhan pasien. Penderita akan lebih dituntut mengikuti prosedur pengobatan yang lebih intensif sehingga pasien harus lebih patuh dalam menjalani pengobatan9

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Bagaimana ddi.. mau jalan terus dia [pasien TB-MDR] tidak mau di rumah, kita tidak tau apa anu-nya,karena biasa kadang pulang Kendari- Makassar. Jadi kadang dia lupa bawa obatnya. Karena itu mi pas putus obatnya di diagnosakan di anu, di bahteramas diagnosakan TB-MDR..” (Informan Biasa S, 20 tahun, wc: 27 November 2017)

Hal yang mempengaruhi penyebab putus obat pasien seperti yang diungkapkan oleh informan kunci AH bahwa penyebab putus obat bisa terjadi karena ada rasa malas dari diri sendiri penyebabnya karena efek samping obat yang begitu menganggu sehingga pasien malas untuk meminum obat TB-MDR.

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Hmm, iya malas. Biasa sa terganggu kalau sa kerja apa, yang pertama memang malas, tidak mau sekali toh dari efeknya..” (Informan Kunci AH, 34 tahun, wc: 23 November 2017)

(6)

VOL.3 /NO. 1/ Januari 2018; ISSN 2502-731X ,

pengaruh yang besar terhadap tingkat keberhasilan pengobatan pasien TB-MDR sampai sembuh. Motivasi yang diberikan untuk pasien berasal dari keluarga, orang lain dan petugas kesehatan. Tetapi yang memiliki pengaruh cukup besar adalah motivasi dari petugas kesehatan. a. Motivasi dari Diri Sendiri untuk sembuh

Hasil penelitian yang didapatkan bahwa pasien TB-MDR mengatakan bahwa meminum obat secara rutin, mengikuti anjuran dokter termasuk salah satu cara dalam memotivasi diri mereka sendiri karena adanya niat keinginan untuk sembuh. Langkah terakhir dalam proses pemudah sebelum tindakan yang sebenarnya terjadi adalah merumuskan behavioral intention

(niat) sejalan dengan penelitian lainnya30

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Minum obat terus jalani pengobatan terus ikuti anjuran dokter. Untuk sembuh..” (Informan Kunci F, 15 tahun, wc: 23 November 2017)

“Oh ada, jelasmi ada kalau mau sembuh,.. Nda tau mi dia itu [pasien TB-MDR]..”(Informan Biasa S, 20 tahun, wc: 25 November 2017)

“Ya pasti itu ada, kalau orang minum obat biasanya pasti ada keinginan untuk sembuh toh..”

(Informan Kunci S, 53 tahun, wc: 27 November 2017)

Pasien juga mengungkapkan motivasi dalam diri sendiri untuk bisa sembuh dituangkan dengan mendengarkan musik, walaupun sebelumnya pasien tidak melakukan hal tersebut. Karena dengan mendengarkan musik membantu pasien untuk membuat perasaannya senang dan terhindar dari stress minum obat.Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya40 yang

menyatakan bahwa musik klasik dapat

memberikan rangsangan yang nantinya

menghasilkan efek mental dan fisik, yaitu antara lain dapat menutupi bunyi dan perasaan yang

tidak dapat dinyatakan, musik dapat

memperlambat dan menyeimbangkan gelombang otak, musik mempengaruhi pernafasan, musik mempengaruhi denyut jantung, nadi, tekanan darah, musik dapat mengatur hormon-hormon yang berkaitan dengan stress, dapat mengubah persepsi tentang ruang dan waktu, serta musik dapat meningkatkan daya tahan tubuh.

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Kalau sa dengar musik toh sa suka, tapi yang slow. Tapi saya sa pintar, sa cari yang membuatku senang, jadi perasaan tida enak di badanku sa lupakan lagi. Nanti sa pulang di

rumah sendiriku sa begini [sambil menirukan senandung lagu] kalau sa tidak begitu tida’ enak, sa pusing..”(Informan Kunci M, 34 tahun, wc: 28 November 2017)

Pasien mengungkapkan bahwa dengan

adanya hubungan kedekatan dengan Tuhan dalam spiritualitas dapat menjadikan salah satu motivasi mereka untuk sembuh sehingga ia merasakan beban gejala dan efek samping yang ada selama menjalani pengobatan terasa ringan. Peran spiritualitas merupakan hal yang tidak boleh diabaikan guna mengatasi permasalahan seputar kejiwaan15

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Sa cerita sama Allah kayak enak itu ceritanya kayak rasanya heeh enak sekali jadi ringan apa semua. Jadi kita pasien MDR ini memang punya berbagai macam rasa, karena apa? Efeknya pengobatan itu macam – macam , karena dia pasien tidak boleh dimarahi, dikucilkan, tidak boleh dia di bentak – bentak..

(Informan Kunci M, 34 tahun, wc: 28 November 2017)

Informasi yang didapatkan dari petugas kesehatan bahwa salah satu motivasi diri pasien TB-MDR untuk sembuh dan dapat menjalani masa pengobatan adalah karena imbalan uang. Dengan adanya uang yang diberikan rutin dari puskesmas setiap bulannya, hal tersebut dijadikan motivasi sendiri bagi pasien untuk mau menjalani tahap pengobatan. Pasien yang datang berobat membawa harapan yang ingin dipenuhi yakni untuk mendapat imbalan uang24

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..itu tiap bulan mereka [pasien TB-MDR] di gaji, di gaji itu tiap bulan untuk berobat selama dua tahun. Sementara kita petugas tidak dapat apa – apa. Untuk apa di gaji ? supaya mau berobat, ko mau kah itu disuntik terus tiap bulan ? selama 8 bulan ? kalau tidak di kasi begitu mana mereka mau datang suntik. Uang, ini saja [informan F] ‘ ibu sudah ada uangku?’ hahaha. Ini sa kasi tau lagi dokter pokoknya sa tidak mau mi, sa mau potong mi juga, Perbulan 750 itu he, biasa sa kasi per 600. Bulan-bulan ini sa kasi 600..”

(Informan Biasa AR, 45 tahun, wc: 23 November 2017)

b. Motivasi dari Keluarga

(7)

membuat mereka merasa senang dan bahagia. Dorongan anggota keluarga untuk berobat secara teratur dan adanya dukungan keluarga yang menjalin hubungan yang harmonis dengan penderita membuat penderita diuntungkan lebih dari sekedar obat saja, melainkan juga membantu pasien tetap baik dan patuh meminum obatnya16

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Ya pertamakan motivasi terbesar saya kan dari keluarga juga ketika ada dorongan ada dukungan maka itu yang membuat kita kuat, pokoknya motivasinya full itu semua, artinya dengan itu saya termotivasi juga..” (Informan `Kunci AL, 20 tahun, wc: 25 November 2017)

“..karena dari teman temanku dan terutama anak – anak, saya apa ddi saya bernaung dengan kehidupannya mereka yang serba hanya tertawa ketika tertawa-tertawa, da ngomong sembarang dan membuat lucu saya tertawa. Ternyata saya suka , saya ikuti..”

(Informan Kunci M, 34 tahun, wc: 28 November 2017)

Informasi lain yang didapatkan bahwa pasien tidak diberikan motivasi sama sekali dari saudara – saudaranya malahan ada perlakuan untuk sengaja memberhentikan kebiasaan minum obat pasien karena stigma keluarga pasien yaitu meminum obat berbahaya serta penyakit TB tidak ada dalam garis keturunan keluarga pasien.

Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya9

bahwa budaya masyarakat yang menganggap TB merupakan penyakit keturunan, atau penyakit kutukan, mengakibatkan meningkatnya angka kematian.

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Sebenarnya kalau keluargaku itu, terus terang saja nda usah mi kita sembunyi. Keluargaku malah da tidak dukung saya minum obat begini, dorang bilang ‘kenapa kamu minum obat begini, nah kamu ini bukan penyakitmu TBC, tida ada kita punya turunan TBC’ tapi saya tetap minum [obat TB-MDR]. Harus minum karena itu sa pikirkan, istriku, keluargaku, nah kan sa punya anak 7. Kalau istriku itu dia selalu ji dukung saya, kalau sa tidak minum da marah, hanya sa punya sodara mereka bilang ‘ jangan mi ko minum obat begitu, obat begitu katanya bahaya juga’ tapi saya tetap minum karena saya mau sembuh..”

(Informan Kunci S, 53 tahun, wc: 27 November 2017

Dilihat dari hasil penelitian, petugas kesehatan mengungkapkan bahwa biasanya

keluarga pasien memberikan motivasi, tetapi jika keluarga pasien tersebut tidak peduli yang terjadi adalah pasien tidak memiliki motivasi sama sekali untuk sembuh ataupun berobat.

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Iya dikasi motivasi dari keluarganya supaya da bisa bimbing ini seperti itu, tapi bagaimana kalau keluarganya cuek? Nda ada [motivasi untuk sembuh]. (Informan Biasa AR, 45 tahun, wc: 23 November 2017)

c. Motivasi dari Lingkungan Pasien

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa sebagian besar teman – teman pasien bersikap biasa saja terhadap pasien TB-MDR dan diberikan motivasi seadanya yaitu diingatkan selalu sabar dan selalu minum obat.

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Ko sabar ehh,, itu bagaimana. Sebenarnya ada yang tau ada yang tidak [teman – teman informan AH], iya di dukung ji...”(Informan Kunci AH, 29 tahun, wc: 23 November 2017)

“..Nda ada ji dorang [teman-teman informan F] perlakukan ji saya seperti biasa, tapi maksudnya bemana ddi, tidak peduli juga tidak, mereka peduli juga tidak, maksudnya biasa – biasa ji..” (Informan Kunci F, 15 tahun, wc: 23 November 2017)

“..Mereka bilang [kepada pasien TB], ‘selalu saja berobat ko saja terus jangan sampai anu, kalau mau sembuh, berobat saja’. Di dukung ji terus harus di semangati..” (Informan Biasa S, 20 tahun, wc: 25 November 2017)

Hasil penelitian lainnya menyatakan bahwa pasien mendapatkan bantuan dari lembaga – lembaga tertentu dan dari Puskesmas yaitu berupa makanan yang meningkatkan nutrisi pasien serta uang yang diberikan tiap bulannya dari Puskesmas. Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain, teman, waktu dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan terhadap program – program medis9

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Banyak orang ini sa nda bisa hitung, dengan adanya AISYAH, masya Allah tiap bulan kita dikasi nutrisi, dari puskesmas kita di kasi uang, ada uangnya kita itu..”(Informan Kunci M, 34 tahun, wc: 28 November 2017)

d. Motivasi dari Petugas Kesehatan

(8)

VOL.3 /NO. 1/ Januari 2018; ISSN 2502-731X ,

TB-MDR berupa pemantauan minum obat diberikan semangat untuk tetap bersabar dalam menjalani pengobatan dan rutin datang ke rumah pasien setiap harinya untuk memantau pasien meminum obat selama pasien menjalani masa pengobatannya. Peran PMO atau petugas kesehatan dalam proses pengobatan TB adalah membawa pasien TB ke tenaga kesehatan, mengingatkan pasien dalam meminum obat, member obat untuk diminum setiap malam, memotivasi pasien serta mengantarkan pasien dalam melakukan pengobatan di Puskesmas33

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Dari ini hee ([menunjuk ke petugas kesehatan TB-MDR yang menjadi informan biasa AR]. Nda ada juga motivasi bemana tapi sa sering ji di suruh datang begitu [datang berobat]..”

(Informan Kunci AH, 29 tahun, wc: 23 November 2017)

“..Da suruh saya minum obat terus dia yang ingatkan [petugas kesehatan informan biasa AR]. Mereka juga yang belikan [obat]. Ada juga perawat yang sering datang di rumah setiap bulan..” (Informan Kunci F, 15 tahun, wc: 23 November 2017)

“..Iyaa, di kasi ji terus motivasi dikasitau ji minum terus obat mu jangan sampai putus..”

(Informan Biasa S, 20 tahun, wc: 25 November 2017)

“..Iya, ibu AR [informan biasa AR] baik sekali itu, itu kan berapa kali sa suntik sama dia, 6 bulan. Terus ada pendampingku [PMO] selalu ji datang tiap bulan, dokter juga biasa datang ji juga.. (Informan Kunci S, 53 tahun, wc: 27 November 2017)

Menurut informasi dari petugas kesehatan bahwa salah satu bentuk motivasi yang diberikan kepada pasien selama ia menjadi petugas kesehatan bidang TB-MDR yaitu memberikan perlakuan lembut, sering memberi perhatian serta semangat dan juga doa. Sehingga pasien TB-MDR dapat merasakan motivasi tersebut dan dapat ditanamkan untuk dirinya sendiri selama tahap penyembuhannya.

Berikut cuplikan wawancara informan :

“..Di kasi motivasi yang masuk akal supaya mereka mau minum obat itu tantangan itu. Pertama kita hadapi pasien dan saya itu doaku pertama bagaimana caranya da bisa menyesuaikan suntikan selama 8 bulan, sehingga harus dikasi motivasi untuk bisa minum obat[obat

TB], jadi kayak bagaimana kita lembutkan mereka. Sehingga mereka mau minum obat. Saya hadapi dengan tenang [pasien TB-MDR], da bicara – bicara [berkeluh kesah] setelah da berhenti bicara baru sa bicara mi juga, jangan lawan dia..”(Informan Biasa AR, 45 tahun, wc: 23 November 2017)

SIMPULAN

1. Attitude towards the behavior (sikap terhadap riwayat pengobatan pasien TB-MDR).

Sikap terhadap riwayat pengobatan yakni kebiasaan minum obat yang dilakukan pasien TB-MDR sebagian teratur dan tidak teratur. Gejala dan efek samping yang dirasakan pasien, nyeri sendi, mual dan muntah, gangguan psikologis, gangguan pendengaran dan penglihatan, susah tidur, nafsu makan berkurang. Penyebab pasien putus berobat yaitu, kelalaian pasien mengingat jadwal minum obat, adanya rasa malas dikarenakan efek samping obat.

2. Subjective Norms(motivasi untuk sembuh pasien TB-MDR)

Motivasi untuk sembuh dari diri pasien menjalani pengobatan secara teratur, selalu sabar dan mengingat Tuhan, serta kebiasaan mendengarkan musik yang slow. Motivasi dari keluarga, diingatkan untuk selalu meminum obat dan menjaga kesehatan diri, sebagian keluarga menolak pengobatan yang dijalani pasien dikarenakan stigma tidak ada riwayat TB dalam keluarganya. Motivasi dari lingkungan pasien, lingkungan pasien memberikan motivasi seadanya sehingga tidak ada umpan balik pasien merasa termotivasi untuk sembuh. Motivasi dari petugas kesehatan, diberikan saran dan solusi kepada pasien.

SARAN

1. Diharapkan pasien TB-MDR dapat menanamkan motivasi yang lebih baik pada diri sendiri dan memiliki niat secara utuh untuk sembuh.

2. Perlu adanya kerjasama antara keluarga dan petugas kesehatan untuk memberikan motivasi yang baik bagi pasien TB-MDR.

(9)

4. Bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik mengambil tema yang sama perlu untuk mengkaji lebih lanjut melalui beberapa penelitian tentang perilaku – perilaku pasien TB-MDR.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anias. (2006). Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular Solusi Pencegahan dari. Aspek Perilaku dan Lingkungan. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2. BPS Kota Kendari. (2016). Kecamatan Poasia dalam Angka 2016. Kendari: Badan Pusat Statistik Kota Kendari.

3. Bungin, B. (2015). Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Rajawali Press.

4. Carolia, N., & Mardhiyyah, A. (2016). Multi Drug Resistant Tuberculosispada Pasien Drop Out dan Tatalaksana OAT Lini Kedua.Jurnal Majority, 5(2), 11-16.

5. Depkes RI. (2007). Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan

Lingkungan.

6. Dinas Kesehatan Kota Kendari. (2017). Data Kesehatan Kota Kendari. Kendari.

7. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. (2016). Profil Kesehatan Tuberkolosis Sultra. Kendari.

8. Fajri, T. (2013). Hubungan Motivasi Kesembuhan Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Pengobatan Pada Pasien TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Mojosari Mojokerto.Medica Majapahit, 5(2). 9. Farida P. Situmorang, Kendek, R., & Putra, W. F.

(2016). Solusi Mengatasi Ketidakpatuhan Minum Obat Pasien Tuberkulosis. Papuan Youth Health Journal

10. Ghony, M. D., & Almanshur, F. (2016).Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 11. Kemenkes RI. (2014).Petunjuk Teknis Manajemen

Terpadu Pengendalian Tuberkolosis Resistan Obat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

12. Kemenkes RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.

13. Kemenkes RI. (2016a). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkolosis. Jakarta: Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan

14. Kemenkes RI. (2016b).Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.

15. Kinasih, K. D., & Wahyuningsih, A. (2012). Peran

Pendampingan Spiritual Terhadap Motivasi Kesembuhan Pada Pasien Lanjut Usia. Jurnal STIKES, 5(1).

16. Kurniawati, E. (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Menular Pada Pasien Mdr-Tb Paru Di RSUD Dr Soedarso Pontianak. UM Pontianak.

17. Kusnanto, P., Eko, V., Pakiding, H., & Nurwidiasih, D. (2014).Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB): Tinjauan Epidemiologi dan Faktor Risiko Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis. Majalah Kedokteran Bandung, 46(4), 189-196.

18. Kurniawan, N., Rahmalia, S., & Indriati, G. (2015). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru.JOM, 2(1).

19. Linda. (2012). Hubungan karateristik Klien tuberkolosis dengan pengetahuan Multi Drugs Resisten Tuberkulosis (MDR-TB) di Poli Paru Puskesmas Kecamatan Jagakarsa. (Skripsi), UI, Depok.

20. Loriana, R., Thaha, M., & Ramdan, I. M. (2014). Efek Konseling Terhadap Pengetahuan, Sikap Dan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota

Samarinda. Skripsi Fakultas Kesehatan

Masyarakat, Unhas.

21. Mapparenta, M. A., & Ibnu, I. F. (2013). Perilaku Pasien Tuberkulosis Tipe MDR di BBKPM dan RSUD Labuang Baji Kota Makassar Tahun 2013. (Artikel Ilmiah). Universitas Hasanuddin

22. Martha, E., & Kresno, S. (2016).Metode Penelitian Kualitatif Untuk Bidang Kesehatan. Jakarta: Rajawali Press.

(10)

VOL.3 /NO. 1/ Januari 2018; ISSN 2502-731X ,

RSUP Persahabatan.Jurnal Respirologi Indo30(2), (91-104)

24. Nirmalawati, L. (2013).Hubungan Motivasi Pasien Datang Ke Rumah Sakit Gigi Dan Mulut Universitas Jember Terhadap Tingkat Kooperatif Pasien.(Skripsi), Universitas Jember.

25. Notoatmodjo. (2003). Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. 26. Notoatmodjo. (2010). Promosi Kesehatan Teori

dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

27. Notoatmodjo. (2011).Kesehatan Masyarakat Ilmu dan SeniJakarta: Rineka Cipta.

28. Notoatmodjo. (2012a). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

29. Notoatmodjo. (2012b). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan Edisi Revisi Jakarta: Rineka Cipta.

30. Notoatmodjo. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

31. Nurhayati, I., Kurniawan, T., & Mardiah, W. (2015). Perilaku Pencegahan Penularan dan Faktor-Faktor yang Melatarbelakanginya pada Pasien Tuberculosis Multidrugs Resistance (TB MDR).Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 3(3). 32. Priyoto. (2014). Teori Sikap dan Perilaku dalam

Kesehatan. Yogyakarta Nuha Medika.

33. Putri, J. A. (2015). Hubungan Pengetahuan dan Tingkat Pendidikan PMO (Pengawas Minum Obat)

Terhadap Kepatuhan Minum Obat

Antituberkulosis Pasien TB Paru. Jurnal Majority, 4(8), 81-84.

34. Puskesmas Poasia. (2017). Data Kesehatan Puskesmas Poasia Kota Kendari. Kendari.

35. Puspasari, N. (2014). Karakteristik Pasien Tuberkulosis yang Memperoleh Pengobatan Kategori 2 di Pengobatan Penyakit Paru-paru (UP4) Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2009-2012. (Artikel Ilmiah). Pontianak: Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.

36. Sallamena, A. S. (2015). Studi Kualitatif Dukungan

Keluarga Dalam Memberikan Motivasi

Kesembuhan Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Rumah Sakit Santa Anna Kota Kendari Tahun

2015. (Skripsi). Program Sarjana Universitas Halu Oleo, Kendari.

37. Suharmiati, S., & Maryani, H. (2011). Analisis Hubungan Penggunaan Obat FDC/KOMBIPAK Pada Penderita yang di Diagnosis TB Paru Berdasarkan Karakteristik. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 14(2 ).

38. Syahrezki, M. (2015). Faktor Risiko Tuberkulosis

Multidrug Resistant (TB-MDR). Jurnal Agromedicine, 2(4), 403-418.

39. Tirtana, B. T., & Musrichan, M. (2011). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan Pada Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Resistensi Obat Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah. (Artikel Ilmiah). (Faculty of Medicine), Undip.

40. Utomo, A. W. (2013). Studi Pengembangan Terapi Musik Islami Sebagai Relaksasi Untuk Lansia.

Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 3(1).

41. WHO. (2017a). Drug-resistant TB

.http://www.who.int/tb/areas-of-work/drug-resistant-tb/en/. Diakses pada tanggal 24 September 2017

42. WHO. (2017b). Tuberculosis.

http://www.who.int/tb/en/. Diakses pada tanggal 24 September 2017

43. WHO. Global Tuberculosis Control. (2011).Global Tuberculosis Control 2011. France: WHO.

44. WHO. Global Tuberculosis Report. (2016). Global

Tuberculosis Report 2016.

http://www.who.int/tb/publications/global_repor t/en/. Diakses pada tanggal 24 September 2017 45. Yuni, I. D. A. M. A. (2016). Hubungan Fase

Pengobatan TB Dan Pengetahuan Tentang MDR TB dengan Kepatuhan Pengobatan Pasien TB.

Referensi

Dokumen terkait