• Tidak ada hasil yang ditemukan

Risk Factors Affecting Multi-Drug Resistant Tuberculosis in Surakarta and Ngawi, Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Risk Factors Affecting Multi-Drug Resistant Tuberculosis in Surakarta and Ngawi, Indonesia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

90

Risk Factors Affecting Multi-Drug Resistant Tuberculosis

in Surakarta and Ngawi, Indonesia

Novi Indah Aderita1), Bhisma Murti2), Nunuk Suryani3) 1) Polytechnic of Health Sciences Bhakti Mulia, Sukoharjo, Central Java

2) Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta

3) Faculty of Teaching and Educational Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta ABSTRACT

Background: The success rate of Tuberculosis treatment in Indonesia decreased by 81.3% in 2014, which below the 85% target. The current increasing problem in the developing world is multidrug resistance of Tuberculosis (MDR-TB). Many factors may contribute to MDR-TB. At the individual level these factors may include adherence to medication, perception of vulnerability, seriousness, benefit, barrier, and nutritional status. At the institutional level these factors may include the availability of drugs and implementation of DOTS program. This study aimed to analyze factors that affect MDR-TB in Surakarta and Wonogiri district, Central Java, Indonesia.

Subjects and Method: This was an observasional analytic study with case control design. It was carried out in August-October 2016 in Surakarta and Ngawi, Indonesia. A total of 120 patients were selected by fixed disease sampling. Another sample of 44 health workers was also selected for the study. The endogenous variables: adherence, nutritional status, and implementation of the treatment of DOTS. The exogenous variables: perception of vulnerability, seriousness, benefits, barriers, the availability of anti Tuberculosis drugs. The data was collected by questionnaire and analyzed by path analysis.

Results: Nutritional status (b=-2.98; 95% CI =-5.31 to -0.64; p = 0.012), adherence to anti Tuberculosis drugs (b=-3.38; 95% CI =-5.94 to -0.82; p = 0.010), treatment with DOTS for MDR TB (b=-0.88; 95% CI = 1.43-3.18 ; p = 0.456) were associated with MDR-TB. Perceived vulnerability (b= 2.81; 95% CI= 0.99 to 4.64; p = 0.003), seriousness (b=4.47; CI 95% = 2.38 to 6.57; p 0.001), benefits (b= 3.4; CI 95%= 1.52 to 5.18; p=0.001), barriers (b =-1.81; 95% CI =-3.48 to -1.39; p=0.034), as well as availability of DOTS treatment (b = 3.14; CI 95% = 0.95 to 5.32; p = 0.002), were associated with adherence to treatment.

Conclusion: Nutritional status, adherence to treatment, implementation of DOTS strategy for MDR-TB affect the risk of MDR TB. Perceived vulnerability, seriousness, benefit, and barrier, as well as availability of DOTS treatment, affect adherence to treatment. Partnership between patients and health care personnel is recommended to increase the success of TB treatment.

Keywords: tuberculosis, risk factor, MDR-TB, adherence to treatment

LATAR BELAKANG

Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) sampai dengan saat ini masih merupakan

salah satu masalah kesehatan masyarakat didunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS) telah diterapkan di

Correspondence :

Novi Indah Aderita

Polytechnic of Health Sciences Bhakti Mulia, Sukoharjo, Central Java adherita_alhaniin@yahoo.com

(2)

91 banyak negara sejak tahun 1995 (Erah dan

Ojieabu, 2009). Pada tahun 2012, kasus TB paru di dunia terdapat 8.6 juta (Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (WHO, 2014). Sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi 9.6 juta (WHO, 2015).

Salah satu upaya mengendalikan TB yaitu dengan pengobatan. Indonesia meng-alami penurunan angka keberhasilan peng-obatan pada tahun 2014 dibandingkan 6 tahun sebelumnya. Tahun 2014 angka keberhasilan sebesar 81.3%. WHO mene-tapkan standar angka keberhasilan peng-obatan sebesar 85%. Dengan demikian, pada tahun 2014 Indonesia tidak mencapai standar tersebut (Kemenkes RI, 2015).

Obat TB paru harus diminum oleh penderita secara rutin selama enam bulan berturut-turut tanpa henti. Apabila pengo-batan terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali penyakitnya dan bakteri Myco-bacterium tuberculosis kembali resisten sehingga membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya (Faustini et al., 2006). Se-lain itu, faktor status gizi yang rendah pada kebanyakan penderita TB akan mem-perlambat proses penyembuhan dan menu-runkan kekebalan tubuh yang berakibat meningkatkan risiko bakteri menjadi lebih berbahaya atau resisten (Budiyanto, 2014). Resistennya bakteri terhadap pengobatan dikenal dengan istilah Multi Drug Resis-tant (MDR).

Prevalensi kasus MDR TB dunia pada tahun 2010 sebanyak 290.000 kasus. Sedangkan Indonesia berada pada urutan 9 dengan jumlah kasus 6.100 (Kemenkes RI, 2011). Pada tahun 2013 WHO memperkira-kan di Indonesia terdapat 6.800 kasus baru TB dengan MDR TB setiap tahun. Diperki-rakan 2% dari kasus TB baru dan 12% dari

kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus MDR TB (Kemenkes RI, 2015).

Faktor yang mempengaruhi angka MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi TB (Sihombing, 2012). Selain itu faktor yang memberikan kontribusi terhadap resistensi obat pada negara berkembang termasuk ketidaktahu-an penderita tentketidaktahu-ang penyakitnya, kepatuh-an penderita buruk, pemberikepatuh-an monoterapi atau regimen obat yang tidak efektif, dosis tidak adekuat, instruksi yang buruk, ketera-turan berobat yang rendah, motivasi pen-derita kurang, suplai obat yang tidak ter-atur, ketersediaan obat dan kualitas obat memberikan kontribusi terjadinya resis-tensi obat sekunder (Masniari et al., 2007). Salah satu model yang dikembang-kan untuk melihat faktor-faktor yang mem-pengaruhi tindakan seseorang untuk men-cari upaya hidup sehat adalah model keper-cayaan kesehatan atau Health Belief Model (HBM) (Safri et al., 2014). Ditinjau dari teori HBM, perilaku kesehatan individu dipengaruhi persepsi kerentanan terhadap suatu penyakit, persepsi terhadap ke-seriusan akibat penyakit, keuntungan yang didapat untuk melakukan perilaku kesehat-an ykesehat-ang disarkesehat-ankkesehat-an dkesehat-an besarnya hamba-tan yang ditemui.

Pada tahun 2010 mulai dilaksanakan program pengobatan MDR TB di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, kasus MDR TB di RSUD dr. Moewardi Surakarta mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 sebanyak 40 kasus dan pada tahun 2016 sebanyak 100 kasus. TB resisten OAT pada dasarnya adalah akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menye-babkan terjadinya penularan pada pasien MDR TB ke masyarakat. Oleh karena itu, peneliti tertarik mengadakan penelitian

(3)

92

untuk mengetahui faktor-faktor yang mem-pengaruhi MDR TB.

SUBJEK DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasi menggunakan desain ko-relasional dengan pendekatan case control. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2016 di RSUD Dr. Moe-wardi Surakarta, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta, Puskesmas Sukoharjo, RS Paru Sukosari Sukoharjo, Puskesmas Bendosari Sukoharjo dan Pus-kesmas Ngawi Jawa Timur. Jumlah subjek

penelitian yang digunakan sejumlah 164 subjek. Jumlah subjek penelitian untuk pasien sejumlah 120 subjek, sedangkan jumlah subjek penelitian untuk tenaga kesehatan sejumlah 44 subjek dengan teknik pengambilan sampel fixed disease sampling. Teknik pengumpulan data gunakan kuesioner. Analisis data meng-gunakan path analysis.

HASIL

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteriatik subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Subjek Penelitian MDR TB

Karakteristik n Kasus % n Kontrol %

Jenis kelamin Laki-laki 37 61.7 33 55.0 Perempuan 23 38.3 27 45.0 Usia < 35 tahun 31 51.7 23 38.3 ≥ 35 tahun 29 48.3 37 61.7 Pendidikan terakhir Rendah/dasar (SD,SMP sederajat) 30 50.0 31 51.7

Tinggi/lanjutan (SMA, akademi, perguruan tinggi) 30 50.0 29 49.3

Pendapatan keluarga (Rp) < 1.500.000/bulan 53 88.3 45 75.0 ≥1.500.000/bulan 7 11.7 15 25.0 Kebiasaan merokok Merokok 15 25.0 20 33.3 Tidak merokok 45 75.0 40 66.7

Kebiasaan minum minuman beralkohol

Minum 5 8.30 3 5.00

Tidak minum 55 91.7 57 95.0

Riwayat kontak dengan pasien TB

Pernah 20 33.3 17 28.3 Tidak pernah 40 66.7 43 71.7 Lama menderita TB < 1 tahun 17 28.3 44 73.3 ≥ 1 tahun 43 71.7 16 26.7 Riwayat pengobatan TB Baru 16 26.7 50 83.3

Dulu sudah pernah (kambuh) 44 73.3 10 26.7

Penyakit lain yang diderita

Tidak ada 46 76.7 42 70.0

Ada (HIV, kanker, DM) 14 23.3 18 30.0

(4)

93 Karakteristik subjek penelitian

me-nunjukkan bahwa subjek penelitian pasien jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan pada kelompok kasus dan kontrol sebanyak 61.7% dan 55%. Kelom-pok kasus mayoritas berusia kurang dari 35 tahun sebanyak 51.7%, sedangkan pada kelompok kontrol mayoritas berusia di atas 35 tahun sebanyak 61.7%.

Proporsi pendidikan terakhir subjek penelitian pasien sama untuk kelompok kasus dan kelompok kontrol. Pendapatan keluarga selama sebulan pada kelompok kasus dan kontrol lebih banyak yang memiliki penghasilan <1.500.000/bulan yaitu sebesar 88.3% dan 75%. Sebagian besar pasien pada kelompok kasus dan kontrol tidak memiliki kebiasaan merokok (sebesar 75% dan 66.7%) dan kebiasaan

minum alkohol yaitu 91.7% dan 95%. Kelompok kasus dan kontrol sebagian besar tidak pernah kontak dengan pasien tuber-kulosis sebelumnya, yaitu sebesar 66.7% dan 71.7%. Kelompok kasus kebanyakan telah menderita penyakit tuberkulosis ≥ 1 tahun yaitu 71.7% dan kelompok kontrol mayoritas telah menderita penyakit tuber-kulosis <1 tahun yaitu 73.3%. Kelompok kasus, memiliki riwayat pengobatan tuber-kulosis sebelumnya lebih dominan yaitu 73.3%, sedangkan pasien kelompok kontrol sebagian besar baru mendapatkan peng-obatan tuberkulosis yaitu sebanyak 83.3%. Sebagian besar kelompok kasus dan kontrol tidak menderita penyakit lain selain tuber-kulosis sebesar 76.7% dan 70%. Sebagian besar kelompok kasus dan kontrol tinggal di lingkungan bersih yaitu 95% dan 80%.

Tabel 2. Distribusi subjek penelitian (tenaga kesehatan)

Karateristik Kasus Kontrol

n % n % Jenis kelamin Laki-laki 6 27.3 1 4.5 Perempuan 16 72.7 21 95.5 Usia < 35 tahun 7 31.8 5 22.7 ≥ 35 tahun 15 68.2 17 77.3 Pendidikan terakhir Diploma 4 18.2 12 54.5 S1 3 13.6 2 9.1 S1+Profesi 13 59.1 8 35.4 Spesialis 2 9.10 0 0 Lama bekerja < 5 tahun 5 22.7 2 9.1 ≥ 5 tahun 17 77.3 20 90.9

Sumber : Data primer, 2016

Hasil karakteristik responden menunjuk-kan tenaga kesehatan yang memberimenunjuk-kan pelayanan pengobatan tuberkulosis lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan pada kelompok kasus dan kontrol yaitu 72.7% dan 95.5%. Usia tenaga kesehatan mayoritas berusia di atas 35 tahun baik pada kelompok kasus maupun kelompok

kontrol, yaitu 68.2% dan 77.3%. Pendidik-an terakhir yPendidik-ang dimiliki kelompok kasus sebagian besar S1+Profesi sebesar 59.1% dan kelompok kontrol proporsinya hampir sama subjek penelitian dari diploma III dan S1+ Profesi yaitu sebesar 54.5% dan 35.4%. Mayoritas kelompok kasus dan kontrol telah bekerja di institusi pelayanan

(5)

94 Kerentanan Keseriusan Manfaat Hambatan Status_Gizi Ketersediaan_Obat Kepatuhan binomial logit -4.2 MDR_TB binomial logit 3.8 Pengobatan_DOTS binomial logit -2.3 2.8 4.5 3.4 -1.8 -3 -3.4 -.88 3.1 Kerentanan Keseriusan Manfaat Hambatan Status_Gizi Ketersediaan_Obat Kepatuhan binomial logit MDR_TB binomial logit Pengobatan_DOTS binomial logit

kesehatan selama ≥5 tahun yaitu 77.3% dan 90.9%.

2. Analisis Jalur

Hasil pengolahan data dengan menggu-nakan analisis jalur dengan bantuan

STATA 13 diperoleh hasil sebagai berikut : a. Spesifikasi Model

Model awal dalam analisis jalur dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Spesifikasi model analisis jalur a. Identifikasi Model

Variabel terukur sebanyak 9, variabel endogen sebanyak 3, variabel eksogen sebanyak 6, jumlah parameter sebanyak 9. Degree of freedom (df) = (jumlah variabel terukur x (jumlah variabel terukur+1) /2 (variabel endogen + variabel eksogen + jumlah parameter) = (9x10)/2–(3+6+9) = 27. Identifikasi model pada analisis jalur

kali ini di dapatkan nilai df over identified yang berarti analisis jalur bisa dilakukan. b. Kesesuaian Model Dan Estimasi

Parameter

Model analisis jalur yang dibuat oleh peneliti berdasarkan teori dicek kesesuai-anya dengan model hubungan variabel yang terbaik yang dibuat berdasarkan data sampel yang dikumpulkan oleh peneliti.

(6)

95 Gambar 2 menunjukkan bahwa hasil

analisis jalur dengan bantuan STATA 13 didapatkan hasil hubungan antara MDR TB dan faktor risikonya. Hasil nilai koefisien pada setiap variabel di setiap jalur, yaitu ada hubungan positif antara persepsi kerentanan dengan kepatuhan minum obat, yaitu sebesar 2.8, ada hubungan positif antara persepsi keseriusan dengan ke-patuhan minum obat yaitu sebesar 4.5, ada hubungan positif antara persepsi manfaat dengan kepatuhan minum obat yaitu

se-besar 3.4, ada hubungan negatif antara persepsi hambatan dengan kepatuhan mi-num obat yaitu sebesar -1.8. Nilai koefisien jalur antara kepatuhan minum obat dengan MDR TB bernilai negatif yaitu sebesar -3.4. Nilai koefisien jalur antara ketersediaan obat dengan MDR TB bernilai positif yaitu sebesar 3.1. Nilai koefisien jalur antara pengobatan DOTS dengan MDR TB bernilai negatif yaitu sebesar -8.8, ada hubungan negatif antara status gizi dengan MDR TB yaitu sebesar -3.

Tabel 3. Hasil analisis jalur faktor risiko kejadian Multi Drug Resistant

Tuberculosis (MDR TB)

Hubungan variabel dependen dan

independen Koef. Jalur

CI 95%

p Batas

Bawah Batas Atas

Direct MDR TB 

Status gizi (normal) Kepatuhan (patuh) Pengobatan DOTS (DOTS)

-2.98 -3.38 -0.88 -5.31 -5.94 -3.18 -0.64 -0.82 1.43 0.012 0.010 0.456 Indirect Kepatuhan  Kerentanan (tinggi) Keseriusan (tinggi) Manfaat (tinggi) Hambatan (tinggi) 2.81 4.47 3.35 -1.81 -0.99 2.38 1.52 -3.48 4.64 6.57 5.18 -0.14 0.003 <0.001 <0.001 0.034 Indirect Pengobatan DOTS 

Ketersediaan obat (tersedia) 3.14 0.95 5.32 0.005

N Observasi = 120

Log likelihood =-56.73 AIC = 135.46

BIC = 166.13 Keterangan :  = Dihubungkan

Signifikansi P ≤ 0,05

Sumber : Data primer, 2016

Tabel 3. menunjukkan bahwa hasil perhi-tungan menggunakan software program komputer STATA 13, terdapat hubungan antara status gizi pasien tuberkulosis dan penurunan logit risiko untuk terjadinya MDR TB dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Pasien tuberkulosis dengan status gizi yang baik atau normal memiliki logit risiko 2.98 lebih rendah dari pada pasien dengan status gizi yang tidak

normal (b = -2.98; CI 95% = -5.31 sd -0.64; p = 0.012).

Terdapat hubungan antara kepatuhan pasien dalam minum obat dan penurunan logit risiko untuk terjadi MDR TB dan hubungan tersebut secara statistik signi-fikan. Pasien yang patuh dalam minum obat tuberkulosis memiliki logit risiko 3.38 lebih rendah dari pasien yang tidak patuh dalam minum obat tuberkulosis (b= -3.38; CI 95% = -5.94 sd -0.82; p=0.010).

(7)

96

Terdapat hubungan antara pengobatan dengan strategi DOTS dan penurunan logit risiko untuk terjadi MDR TB dan hubungan tersebut secara statistik tidak signifikan. Tenaga kesehatan yang melaksanakan pengobatan dengan menggunakan strategi pengobatan DOTS memiliki logit risiko 0.88 lebih rendah daripada tenaga kesehat-an ykesehat-ang melakukkesehat-an pengobatkesehat-an tidak deng-an menggunakdeng-an strategi pengobatdeng-an DOTS (b= -0.88; CI 95% = -3.18 sd 1.43; p=0.456).

Terdapat hubungan antara persepsi kerentanan dan peningkatan logit untuk memiliki kepatuhan pasien dalam minum obat tuberkulosis dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Pasien tuber-kulosis yang memiliki persepsi kerentanan tinggi memiliki logit risiko 2.81 lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis yang memiliki persepsi kerentanan rendah (b= 2.81; CI 95% = 0.99 sd 4.64; p=0.003).

Terdapat hubungan antara persepsi keseriusan dan peningkatan logit untuk memiliki kepatuhan dalam meminum obat tuberkulosis dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Pasien tuberkulosis yang memiliki persepsi keseriusan tinggi memiliki logit risiko 4.47 lebih tinggi dari pada pasien tuberkulosis yang memiliki persepsi keseriusan rendah (b= 4.47; CI 95% = 2.38 sd 6.57; p<0.001).

Terdapat hubungan antara persepsi manfaat dan peningkatan logit untuk memiliki kepatuhan dalam meminum obat tuberkulosis dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Pasien tuberkulosis yang memiliki persepsi manfaat tinggi memiliki logit risiko 3.35 lebih tinggi dari pada pasien tuberkulosis yang memiliki persepsi manfaat rendah (b= 3.35; CI 95% = 1.52 sd 5.18; p<0.001).

Terdapat hubungan antara persepsi hambatan dan penurunan logit untuk me-miliki kepatuhan dalam meminum obat

tuberkulosis dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Pasien tuberkulosis yang memiliki persepsi hambatan tinggi memiliki logit risiko 1.81 lebih rendah dari pada pasien tuberkulosis yang memiliki persepsi hambatan rendah (b= -1.81; CI 95% = -3.48 sd -1.39; p=0.034).

Terdapat hubungan antara keterse-diaan obat dan peningkatan logit dalam pelaksanaan pengobatan dengan strategi DOTS dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Tenaga kesehatan yang menyediakan obat sesuai dengan strategi DOTS logit risiko 3.14 lebih tinggi dari pada tenaga kesehatan ynag tidak menyediakan obat sesuai dengan strategi pengobatan DOTS (b= 3.14; CI 95% = 0.95 sd 5.32; p=0.002).

c. Respesifikasi Model

Model dalam penelitian ini sudah sesuai dengan data sampel sebagaimana ditunjuk-kan oleh model saturasi dan juga koefisien regresi yang bernilai lebih dari nol serta secara statistik sudah signifikan, maka tidak perlu dibuat ulang model analisis jalur.

PEMBAHASAN

1. Hubungan Antara Kepatuhan Pasien dalam Minum Obat Tuberkulosis dengan MDR TB

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan langsung antara kepatuhan pasien dalam minum obat tuberkulosis pada kejadian MDR TB. Kepatuhan pengobatan merupakan hal yang penting untuk menghindari terjadinya MDR TB dan kegagalan dalam pengobatan. Kepatuhan pasien sangat dituntut dalam menjalani pengobatan jangka panjang ini. Kepatuhan minum obat ini diperlukan pada seluruh penyakit terutama penyakit tuberkulosis yang membutuhkan pengawasan ekstra dalam pengobatannya (Nurismi, 2014).

(8)

97 Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian Fauziah (2013) yang menun-jukkan bahwa penderita MDR TB lebih banyak pada responden yang tidak patuh dalam pengobatan dibandingkan dengan yang patuh. Pasien yang tidak patuh memi-liki peluang 10.8 kali untuk mengalami MDR TB dibandingkan dengan pasien yang patuh dengan pengobatannya.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nurismi (2014) yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kepatuhan pengobatan dengan kejadian MDR TB di RSUD Labuang Baji Makasar dan besarnya risiko dapat dilihat dari nilai OR = 28.02 yang artinya responden dengan tingkat kepatuhan pengobatan yang tidak baik kemungkinan terjadi MDR TB sebesar 28 kali dibandingkan dengan responden dengan tingkat kepatuhan baik.

Ketidakpatuhan dalam pengobatan menjadi faktor penting dalam berkem-bangnya resistensi. Ketidakpatuhan terha-dap pengobatan sering diunderestimasikan oleh tenaga kesehatan dan sulit untuk diprediksi. Hal tersebut kemungkinan dika-renakan banyaknya faktor yang mempeng-aruhinya. Faktor-faktor tertentu, seperti ke-sakitan, konsumsi alkohol, konsumsi obat-obatan dan gelandangan menjadi faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Se-lain itu, pengobatan yang kompleks, efek samping obat dan waktu pengobatan yang butuh waktu yang lama sehingga membuat pasien memutuskan untuk berhenti minum obat (Jain dan Dixit, 2008).

2.Hubungan Antara Persepsi Keren-tanan dengan MDR TB melalui Variabel Kepatuhan

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara persepsi kerentanan dengan kejadian MDR TB melalui variabel kepatuhan pasien dalam minum obat TB.

Salah satu model yang dikembangkan untuk melihat faktor-faktor yang mem-pengaruhi tindakan seseorang untuk men-cari upaya hidup sehat adalah model keper-cayaan kesehatan atau Health Belief Model. HBM dikembangkan untuk menjelaskan sebab kegagalan sekelompok individu dalam menjalani program pencegahan penyakit dan diperluas untuk mempelajari perilaku seseorang terhadap diagnosis yang ditegakkan khususnya masalah kepatuhan terhadap pengobatan (Safri et al., 2014).

Persepsi kerentanan merupakan cara seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut. Dengan perkataan lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut (Nurhayati et al., 2015).

Hasil penelitian Safri et al., (2014) yang menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi kerentanan terhadap ke-patuhan minum obat tuberkulosis yang dilihat dari nilai p=0.998. Artinya persepsi kerentanan tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan jika tidak bersama deng-an variabel lain. Namun variabel ini akdeng-an memiliki hubungan jika dianalisis secara bersama-sama sebagai satu kesatuan deng-an variabel lain yaitu kerentdeng-andeng-an ( perceiv-ed susceptibility), keseriusan yang dirasa-kan (perceived seriousness), manfaat ( per-ceived benefit) dan hambatan (perceived barrier).

Faktor yang mempengaruhi individu dan keluarga penderita tuberkulosis dalam mencari pertolongan kesehatan dan patuh dalam pengobatan adalah tingkat pendi-dikan, pengetahuan, sikap, pekerjaan, pen-dapatan, jarak pelayanan kesehatan dan dukungan pengawas minum obat serta didukung oleh peran petugas kesehatan

(9)

da-98

lam memotivasi perubahan perilaku (Safri et al., 2014).

3.Hubungan Antara Persepsi Kese-riusan dengan MDR TB Melalui Variabel Kepatuhan

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara persepsi keseriusan dengan kejadian MDR TB melalui variabel kepatuhan pasien dalam minum obat TB.

Model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidak-patuhan, dimana keyakinan tentang kese-hatan dan kepribadian seseorang berperan dalam menentukan respon pasien terhadap anjuran pengobatan. Tindakan individu untuk melakukan pengobatan dan pence-gahan penyakit akan didorong oleh kese-riusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh pasien tuberkulosis adalah patuh untuk minum obat tuber-kulosis mengingat penyakit ini merupakan penyakit yang serius dan dapat menyebab-kan kematian (Safri et al., 2014).

Hasil penelitian Safri et al., (2014) yang menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi keseriusan terhadap kepa-tuhan minum obat TB yang dilihat dari p=0.998. Artinya persepsi keseriusan tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan jika tidak bersama dengan variabel lain. Namun variabel ini akan memiliki hubungan jika dianalisis secara bersama-sama sebagai satu kesatuan dengan variabel lain yaitu kerentanan (perceive susceptibility), kese-riusan yang dirasakan (perceive serious-ness), manfaat (perceive benefit) dan ham-batan (perceive barrier).

Tindakan individu untuk melakukan pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masya-rakat. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh pasien TB adalah patuh

untuk minum obat TB, mengingat tuber-kulosis adalah penyakit serius yang dapat menyebabkan kematian. Semakin berat risiko penyakit maka semakin besar ke-mungkinan individu tersebut merasa terancam. Ancaman ini mendorong tindak-an individu untuk melakuktindak-an tindaktindak-an pencegahan dan penyembuhan penyakit (Safri et al., 2014).

4.Hubungan Antara Persepsi Man-faat dengan MDR TB Melalui Vari-abel Kepatuhan

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara persepsi manfaat dengan kejadian MDR TB melalui variabel kepatuhan pasien dalam minum obat TB.

Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang di-anggap serius, maka ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini ter-gantung pada manfaat yang dirasakan. kebutuhan yang dirasakan untuk melaku-kan tindamelaku-kan dipengaruhi oleh variabel-variabel yang mempengaruhi persepsi sese-orang dan akibatnya secara tidak langsung mempengaruhi perilaku kesehatannya (Safri et al., 2014).

Hasil penelitian Safri et al., (2014) yang menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi manfaat terhadap kepatuh-an minum obat tuberkulosis ykepatuh-ang dilihat dari nilai p=0.998. Artinya persepsi man-faat tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan jika tidak bersama dengan variabel lain. Namun variabel ini akan memiliki hubungan jika dianalisis secara bersama-sama sebagai satu kesatuan dengan variabel lain yaitu kerentanan (perceive susceptibility), keseriusan yang dirasakan (perceive seriousness), manfaat (perceive benefit) dan hambatan (perceive barrier).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nurhayati (2015) yang

(10)

menyata-99 kan bahwa terdapat hubungan antara

persepsi manfaat dengan perilaku pen-cegahan tuberkulosis (p<0.05), yaitu se-makin positif persepsi pasien MDR TB tentang kemanfaatan maka kecenderungan mengambil tindakan dan kepercayaan diri dalam menjalankan pencegahan penularan tuberkulosis semakin baik dan sebaliknya.

5.Hubungan Antara Persepsi Ham-batan dengan MDR TB Melalui Variabel Kepatuhan

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara persepsi hambatan dengan kejadian MDR TB mela-lui variabel kepatuhan pasien dalam minum obat TB.

Pembentuk terakhir HBM adalah persepsi terhadap hambatan yang akan dihadapi dari tindakan atau perilaku kesehatan. Bagaimanapun, sebuah tin-dakan bisa saja tidak diambil oleh sese-orang, meskipun individu tersebut percaya terhadap keuntungan mengambil tindakan tersebut. Ini bisa saja disebabkan oleh hambatan. Hambatan mengacu kepada karakteristik dari pengukuran sebuah pencegahan seperti merepotkan, mahal, tidak menyenangkan. Karakteristik ini akan menyebabkan individu menjauh dari tindakan yang diinginkan untuk dilak-sanakan (Nurhayati, 2015).

Hasil penelitian Safri et al., (2014) yang menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi hambatan terhadap kepatuhan minum obat TB yang dilihat dari nilai p = 0.998. Artinya persepsi hambatan tidak memiliki hubungan dengan ke-patuhan jika tidak bersama dengan variabel lain. Namun variabel ini akan memiliki hubungan jika dianalisis secara bersama-sama sebagai satu kesatuan dengan vari-abel lain yaitu kerentanan (perceived susceptibility), keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness), manfaat (

perceiv-ed benefit) dan hambatan (perceived barrier).

Salah satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap kepatuhannya untuk minum obat yaitu pengalaman pribadi responden. Dalam hal ini pengalaman pribadi yang dimaksud yaitu pengalaman tentang efek samping dari OAT. Adanya efek samping yang dirasakan oleh respon-den seperti mual muntah menjadi ham-batan seseorang dalam minum OAT. Hal inilah yang cukup berpengaruh terhadap kepatuhan pasien untuk minum obat, karena mereka seakan-akan merasa trauma dengan efek samping yang timbul setelah minum obat (Safri et al., 2014).

6.Hubungan Antara Pelaksanaan Pengobatan DOTS dengan MDR TB.

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan langsung antara pelaksanaan pengobatan DOTS dengan kejadian MDR TB. Konsep DOTS merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin ketera-turan berobat penderita dan menang-gulangi masalah MDR TB (Syahrini, 2008). Pengobatan yang terputus ataupun yang tidak sesuai dengan standar DOTS juga dapat berakibat pada munculnya kasus kekebalan multi terhadap obat anti tuberkulosis yang menimbulkan jenis kuman tuberculosis yang lebih kuat yang dikenal dengan MDR TB (Sarwani et al., 2012).

Kurangnya dukungan pendanaan dan fasilitas seperti untuk terkultur dan sensi-tivitas yang tidak tersedia sering menjadi hambatan utama dalam penanggulangan MDR TB. Selain itu guideline yang telah dikeluarkan oleh WHO sering disortir kem-bali untuk memilih kemkem-bali pengobat-annya. Beberapa pendekatan program yang dipakai untuk manajemen kegagalan peng-obatan pasien dapat gagal di beberapa sisi,

(11)

100

hal tersebut dapat dilihat setelah mengikuti pencatatannya (Fauziah, 2013).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Nurismi (2014) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi responden tentang manajemen pengobatan tuber-kulosis dengan kejadian MDR TB. Manajemen program pengobatan yang baik setengah dari responden tuberkulosis dan sebagian kecil manajemen program peng-obatan tidak baik pada responden MDR TB, dikarenakan informasi yang diberikan oleh petugas kesehatan sangat jelas dan peng-awasan minum obat (PMO) berperan deng-an baik.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al., (2012) yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengobatan tuberkulosis yang tidak efektif dengan DOTS dapat mening-katkan risiko kejadian MDR TB dengan nilai OR=1.84. Pada penelitian ini faktor risiko yang melatarbelakangi kejadian MDR TB selain pelaksanaan DOTS yang buruk, faktor buruknya penanganan dan peng-obatan tuberkulosis juga menjadi pemicu kejadian MDR TB. Penelitian Jain dan Dixit (2008) menunjukkan program untuk mengontrol tuberkulosis dengan terapi lini pertama dan DOTS dilakukan pada 467 pasien dengan BTA+ di sebuah penjara. Setelah dilakukan observasi dihasilkan kesimpulan bahwa efektifitas dari program DOTS dengan terapi lini pertama menurun dari 85% target yang dibuat oleh WHO. Masih lemahnya kontrol pada infeksi TB di pusat-pusat kesehatan dan kurangnya pelatihan dari petugas juga menjadi risiko untuk terjadi MDR TB. Kesalahan dan ketidaktaatan dalam penulisan resep oleh petugas kesehatan sering terjadi dan diremehkan sehingga hal tersebut juga sulit untuk diprekdiksi.

7. Hubungan Antara Ketersediaan OAT dengan MDR TB Melalui Vari-abel Antara Pelaksanaan Peng-obatan DOTS

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara keter-sediaan OAT dengan kejadian MDR TB. Banyak faktor penyebab MDR TB. Beberapa analisis difokuskan pada ketidak-patuhan pasien. Ketidakketidak-patuhan lebih ber-hubungan dengan hambatan pengobatan seperti kurangnya pelayanan diagnostik, obat, transportasi, logistik dan biaya pengendalian program TB. Salah satu strategi yang terdapat pada program pengobatan DOTS adalah adanya keter-sediaan obat anti tuberkulosis yang tepat meliputi jenis, dosis dan jangka waktu yang sesuai dengan terapi pengobatan (Jain dan Dixit, 2008).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al., (2012) yang menyatakan bahwa rendahnya kualitas pelaksanaan pengobatan DOTS berhubungan dengan rendahnya kualitas pengobatan TB (jenis obat dan dosis yang diberikan) yang dapat menyebabkan pasien TB menjadi resisten terhadap terapi yang diberikan yang meningkatkan risiko ter-jadinya MDR TB (OR=2.65).

Hasil penelitian Mulu et al., (2015) menunjukkan bahwa adanya pengobatan yang kurang baik dan obat yang digunakan tidak sesuai akan meningkatkan risiko ter-jadinya MDR TB. Pada penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pasien yang men-jalani pengobatan secara tidak intensif dan berkesinambungan berisiko terkena MDR TB. Hal ini berhubungan dengan kematian bakteri dan siklus perkembangannya, kare-na memberikan kesempatan pada bakteri dalam individu tersebut untuk bermutasi dan menciptakan gen atau bakteri jenis baru.

(12)

101 Fauziah (2013) menyatakan dalam

sebuah observasi yang dilakukan diantara pasien MDR TB, dari 35 pasien terdapat kesalahan manajemen pada 28 pasien dengan rata-rata kesalahannya 3.93 tiap pasien. Kesalahan paling banyak adalah pada penambahan obat yang tidak berhasil, kegagalan dalam mengidentifikasi yang ada sebelumnya atau resistensi obat yang ada, inisiasi dari regimen primer yang in-adekuat, kegagalan dalam mengidentifikasi dan mengenali ketidaksesuaian obat dan ketidaktepatan terapi pencegahan dengan isoniazid.

8.Hubungan Antara Status Gizi dengan MDR TB

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan langsung antara status gizi pasien tuberkulosis dengan kejadian MDR TB. Status gizi merupakan bagian penting dalam menentukan tingkat kesehatan sese-orang. Status gizi disamping akan mem-pengaruhi sistem imun secara langsung juga berperan dalam proses penyembuhan penyakit termasuk pasien yang menderita tuberkulosis (Patiung, 2014). Status gizi merupakan salah satu faktor penyebab utama meningkatnya angka kesakitan dan kematian pada kasus tuberkulosis (Kumar, 2014).

Pasien tuberkulosis seringkali meng-alami penurunan status gizi, bahkan dapat menjadi status gizi buruk bila tidak diimbangi diet yang tepat. Hasil penelitian Patiung et al., (2014) menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mem-punyai risiko 3.7 kali untuk menderita tu-berkulosis yang lebih berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih.

Penyakit tuberkulosis dan status gizi buruk cenderung berinteraksi satu sama lain (Patiung et al., 2014). Pasien tuber-kulosis memiliki status gizi yang lebih buruk dibandingkan dengan yang sehat.

Hal ini dapat disebabkan oleh karena terdapat penurunan nafsu makan pada pasien tuberkulosis (Wokas et al., 2015).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Muaz (2014) menunjukkan hasil terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian tuberkulosis dengan nilai p=0.001 dan OR = 2.513 yang berarti status gizi yang kurang baik akan meningkatkan risiko 2.5 kali terkena tuberkulosis diban-dingkan dengan status gizi yang baik.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fauziah (2013) yang menun-jukkan responden yang menderita MDR TB lebih banyak diderita oleh responden yang memiliki IMT <18.5. Jain (2008) menyata-kan bahwa pasien TB yang underweight memiliki risiko yang lebih tinggi untuk relaps setelah selesai melakukan peng-obatan. Rendahnya status gizi juga me-ningkatkan kegagalan pada pengobatan TB atau berkembang menjadi infeksi TB laten. Status gizi yang rendah dapat menyebab-kan kuman yang semakin cepat ber-kembang biak sehingga menghambat ke-jadian konversi, selain itu juga menyebab-kan daya tahan tubuh yang rendah se-hingga mempersulit penyembuhan dan memudahkan kekambuhan kembali tuber-kulosis yang sudah reda (Nurismi, 2014).

Kepatuhan minum obat, pengobatan dengan strategi DOTS dan status gizi pasien tuberkulosis berhubungan langsung dengan kejadian MDR TB. Persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan berhubungan secara tidak langsung dengan MDR TB melalui kepatuhan minum obat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi pasien hadap MDR TB dapat mempengaruhi ter-jadinya MDR TB dengan adanya kepatuhan pasien tuberkulosis dalam meminum obat.

(13)

102

DAFTAR PUSTAKA

Bhargava A, Chatterjee M, Jain Y, Chatterjee B, Kataria A, Bhargava M, Kataria R, Souza RD, Jain R, Benedetti A, Pai M, Menzies D. (2013). Nutritional Status of Adult Patients with Pulmonary Tuberculosis in Rural Central India and Its Association with Mortality. Plos one, 8(10): 1-11.

Erah PO, Ojieabu WA. (2009). Success of the Control of Tuberculosis in Nigeria – A Review. Publisher international journal of health research, 2(1):3-14. Faustini A, Hall AJ, Perucci CA. (2006).

Risk Factors for Multi Drug Resistant Tuberculosis in Europe: A Systematic Review. Thorax an International Journal of respiratory medicine (61): 158-116.

Fauziah LA. (2013). Faktor-Faktor Yang Berpengaruh terhadap Kejadian Tu-berkulosis Multidrug Resistant (TB-MDR) di RSUP Persahabatan Tahun 2013. Jakarta, Universitas Indonesia. Skripsi.

Jain A, Dixit P. (2008). Multidrug Resistant to Extensively Drug Resistant Tuber-culosis: What is Next? Indian Academy of Sciences, 33(4): 605-616. Kemenkes RI. (2011). Terobosan Menuju

Akses Universal: Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta

_____. (2014). Pedoman Nasional Pengen-dalian Tuberkulosis. Jakarta : Kemen-terian Kesehatan Republik Indonesia. _____. (2015). Profil Kesehatan Indonesia

Tahun 2014. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kumar A, Kakkar R, Kandpal SD, Sindhawani G. (2014). Nutritional Status in Multi-Drug Resistance-Pul-monary Tuberculosis Patients. Indian

journal of community health, 26(2): 204-208.

Masniari L, Priyanti ZS, Tjandra YA. (2007). Faktor-faktor yang Mempe-ngaruhi Kesembuhan Penderita TB Paru. Jurnal Respiratori Indonesia, 27 (3), 176-183.

Maulidia DF. (2014). Hubungan Antara Du-kungan Keluarga dan Kepatuhan Mi-num Obat pada Penderita Tuberku-losis di Wilayah Ciputat Tahun 2014. Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi. Muaz F. (2014). Faktor-faktor yang

Mem-pengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam Positif di Pus-kesmas Wilayah Kecamatan Serang. Kota Serang Tahun 2014. Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hida-yatullah Jakarta. Skripsi.

Mulu W, Mekonnen D, Yimer M, Admassu A, Abera B. (2015). Risk Factors for Multidrug Resistant Tuberculosis Patients in Amhara National Regional State. African health science, 15(2): 368-377.

Nurhayati I, Kurniawan T, Mardiah W. (2015). Perilaku Pencegahan Penula-ran dan Faktor-Faktor yang Melatar-belakanginya pada Pasien Tubercu-losis Multidrug Resistance (TB MDR). Jurnal Keperawatan Padjajaran, 3(3):166-175.

Nurismi. (2014). Faktor-Faktor yang Ber-hubungan dengan Terjadinya Multi Drug Resistant pada Pasien Tuber-kulosis Paru Terhadap Penyembuhan di Poliklinik TB MDR RSUD Labuang Baji Makasar 2013. Makasar, Univer-sitas Hasanuddin. Skripsi.

Paitung F, Wongkar MCP, Mandang V. (2014). Hubungan Status Gizi dengan CD4 pada Pasien TB Paru. Jurnal e-clinic, 2(2):1-7.

(14)

103 Safri FM, Sukartini T, Ulfiana E. (2014).

Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Minum Obat Pasi-en TB Paru berdasarkan Health Belief Model di Wilayah Kerja Puskesmas Umbulsari, Kabupaten Jember. Indo-nesian Journal of Community Health Nursing, 2 (2):12-20.

Sarwani D, Nurlaela S, Zahrotu I. (2012). Faktor Risiko Multidrug Resistant Tu-berculosis (MDR TB). Jurnal kese-hatan masyarakat, 8(1): 60-66.

Sihombing H. (2012). Pola Resistensi Pri-mer pada Penderita TB Paru Kategori I Di RSUP H Adam Malik Medan. Jurnal respirologi indonesia. 138-145. Syahrini H. (2008). Tuberkulosis Paru

Resistensi Ganda. Medan, Universitas Sumatera Utara. Tesis.

Wokas JAJ, Wongkar MCP, Surachmanto E. (2015). Hubungan antara Status gizi, Sputum BTA dengan Gambaran

Rontgen Paru pada Pasien Tuberku-losis. Jurnal e-clinic. 3 (1):298-305. World Health Organization. (2014). Global

tuberculosis report 2014. Retrieved from:http://apps.who.int/iris/bitstre m/10665/137094/1/9789241564809 _eng.pdf.

World Health Organization. (2015). Global tuberculosis report 2015. Retrieved from:http://apps.who.int/iris/bitstra m/10665/191102/1/9789241565059_ eng.pdf.

Zhao P, Li XJ, Zhang SF, Wang XS, Liu CY. (2012). Social Behaviour Risk Factors for Drug Resistant in Mainland China. The journal of international medical research. 40: 436-444.

Gambar

Tabel 1. Distribusi Subjek Penelitian MDR TB
Tabel 2. Distribusi subjek penelitian (tenaga kesehatan)
Gambar 1. Spesifikasi model analisis jalur
Tabel  3.  Hasil  analisis  jalur  faktor  risiko  kejadian  Multi  Drug  Resistant  Tuberculosis (MDR TB)

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang mengakibatkan peningkatan berpikir kritis yang diajar menggunakan pembelajaran kontekstual adalah karena adanya proses diskusi dan penyelidikan pada

Berdasarkan kondisi tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara umur, masa kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan

Pemilihan dan keputusan penggunaan rancangan sistem informasi keuangan daerah (SIKD) diharap dapat berguna bagi Kepala Daerah dan pimpinan SKPD dalam membuat keputusan

Polutan partikulat yang berasal dari kendaraan bermesin umumnya merupakan fasa padat yang terdispersi dalam udara dan membentuk asap. Fasa padatan tersebut berasal dari

The ‘Cell Attributes’ window (click Format, Cells) below includes other tabs for cell formatting (e.g. Fonts, Font Effects, Alignment, etc).. The function toolbar also contains

1) Guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan membaca dan menyimak dari berbagai sumber

[r]

Sejalan dengan hal tersebut, pada awal tahun 2011 pemerintah kembali meluncurkan sebuah kebijakan terobosan untuk meningkatkan persalinan yang ditolong oleh tenaga