1 | Hasil Penelitian Evaluasi Efektivitas Program Kemiskinan di 15 Kabupaten/Kota di Indonesia
PRESS RELEASE
Hasil Penelitian Evaluasi
Efektivitas Program Pengentasan Kemiskinan
di 15 Kabupaten/Kota di Indonesia
Terhitung sejak tahun 2004 hingga 2011, peningkatan anggaran pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan hampir 400%. Jika dihitung sejak tahun 2004 sampai 2010, angka kemiskinan hanya turun 3,37 %. Hal itu berarti hanya terjadi penurunan angka kemiskinan 0,56% per tahun. Jika penurunan angka kemiskinan masih berlangsung sama hingga tahun 2015 maka perkiraan angka kemiskinan di Indonesia masih 11,08%. Angka ini masih jauh dari target pencapaian MDGs sebesar 7,5% pertahun.
Bertolak dari isu itu, tinjauan terhadap efektivitas program pengentasan kemiskinan perlu dilakukan. Pertanyaan dasarnya adalah “Seberapa besar program pengentasan kemiskinan itu efektif dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan, yang mampu mengangkat kondisi orang miskin menjadi tidak miskin/sekurang kurangnya di atas garis kemiskinan?”
Penelitian yang berlangsung selama satu tahun—dari pertengahan 2011 sampai pertengahan 2012 ini menggunakan metode survei dan kualitatif dengan jumlah responden sebanyak 3.040 penerima manfaat yang tersebar di 15 Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah dampingan SAPA (Strategic Alliance for Poverty Alleviation). Kelimabelas wilayah itu meliputi: Kota Banda Aceh, Kab. Serdang Bedagai, Kab. Bandung, Kab. Garut, Kab. Sukabumi, Kab. Ciamis, Kota Tasikmalaya, Kab. Subang, Kab. Kebumen, Kota Surakarta, Kab. Gunung Kidul, Kab. Jembrana, Kab. Lombok Tengah, Kota Kupang dan Kota Makassar.
Analisis penelitian mengkaji setidaknya lima aspek kunci berikut: pertama, profil keluarga miskin; kedua, proses implementasi program pengentasan kemiskinan; ketiga,
penggunaan data kemiskinan; keempat, dinamika pengentasan kemiskinan di Indonesia sejak 2005 -2010; kelima, arah rekomendasi program pengentasan kemiskinan ke depan.
2 | Hasil Penelitian Evaluasi Efektivitas Program Kemiskinan di 15 Kabupaten/Kota di Indonesia
down. Minimnya ruang keterlibatan dalam perencanaan program ini menyebabkan masyarakat tidak termotivasi untuk berpartisipasi secara penuh.
Dari hasil temuan itu, riset ini mengajukan setidaknya tiga rekomendasi pokok berikut ini: pertama, pentingnya meredefinisikan konsep kemiskinan yang telah usang, yaitu dari “ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan” menjadi “suatu kondisi ketidakpastian seseorang untuk mengakses sumberdaya ekonomi produktif.” Fakta-fakta lapangan menunjukkan, seseorang itu miskin bukan karena ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, tetapi lebih pada terbatasnya akses mereka terhadap sumber-sumber ekonomi produktif. Itu berarti warga miskin masih cenderung menjadi denizen
daripada citizen, yaitu warga masyarakat yang diabaikan posisi haknya sebagai warga dalam relasinya dengan negara yang memiliki kewajiban untuk melakukan distribusi sumberdaya produktif. Kedua, guna menunjang partisipasi warga miskin dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi produktif tersebut, maka proses desentralisasi harus segera dilakukan. Proses desentralisasi itu mencakup: desentralisasi pengelolaan sumber-sumber ekonomi produktif di setiap daerah; desentralisasi program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah daerah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi produktif yang mereka miliki; desentralisasi pengelolaan data basis kemiskinan dengan memerhitungkan penjaringan data kemiskinan secara bottom-up, partisipatif, dan tidak bias elit.Ketiga, untuk agenda itu, Pemerintah Pusat perlu melakukan fungsi pengawasan terhadap seluruh proses desentralisasi tersebut dengan tetap menghormati prinsip-prinsip subsidiaritas.
Yogyakarta, 13 Maret 2013