• Tidak ada hasil yang ditemukan

Retorika Zaman Romawi dan Abad Pertengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Retorika Zaman Romawi dan Abad Pertengah"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Retorika

“Retorika Zaman Romawi dan Abad Pertengahan”

Disusun Oleh:

Irfan Farhani (1113051000057)

Laras Sekar Seruni (1113051000021)

Kelas : Jurnalistik 4-A

Dosen Pengajar: Rubiyanah S.Ag MA.

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

Retorika Zaman Romawi

Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komperhensif. Pada satu sisi, reorika telah memperoleh dasar teoritis yang kokoh. Namun pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.

Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya saja. Walaupun begitu, kehaisaran Romawi bukan hanya subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerak dan cara penyampaiannya.

Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena dibesarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang memberikan kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawanan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-46 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.

Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero. “Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi.”

Kira-kira 57 buah pidatornya sampai kepada kita sekarang ini. Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui penanya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah.1

Sebagai pemuka retorika, Cicero mengembangkan kecakapan retorika menjadi ilmu. Menurut Cicero sistematika retorika mencakup dua tujuan pokok yang bersifat “suasio” (anjuran) dan “dissuasio” (penolakan). Paduan dari kedua sifat itu seringkali dijumpai dalam pidato-pidato peradilan di muka Senat Romawi di Roma.

Orator termasyur itu mengatakan bahwa ketika mempengaruhi khalayak seorang orator harus meyakinkan mereka dengan mencerminkan kebenaran dan kesusilaan. Reotrika gaya Cicero meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

a. Investio

Investio berarti mencari bahan dan tema yang akan dibahas. Bahan yang telah diperoleh disertai bukti-bukti pada tahap ini dibahas secara singkat dengan menjurus kepada upaya-upaya:

1) Mendidik

(3)

2) Membangkitkan kepercayaan 3) Menggerakan perasaan

b. Ordo collocatio

Ordo collocatio berarti penyusunan pidato. Di sini sang orator dituntut kecakapan mengolah kata-kata mengenai aspek-aspek tertentu berdasarkan pilihan mana yang terpenting. Dalam hubungan ini susunan pidato secara sistematis terbagi menjadi:

1) Exordium (pendahuluan) 2) Narratio (pemaparan)

3) Conformatio (pertimbangan) 4) Peroratio (penutup)2

Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah reorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:

Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik . Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir. Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak nafas yang ia hirup pertama kalinya. Idak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam sau generasi. Calon orator hars mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnasik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membentuk gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak an kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.

Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi paada Cicero. The good man speaks well.3

Retorika Abad Pertengahan

Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: ‘talk it out’ (membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika

2 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, h.4-5

(4)

demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.4

Periode ini (400-1500 M) umumnya dibgai menjadi dua yakni zaman Patristik dan zaman Skolastik. Setelah berkembangnya agama Kristen di Barat, fokus pemikiran filsafat berpusat pada ajaran-ajaran agama kristen (tenntang Tuihan) sehingga disebut teosentris.5

Filsafat dan pengetahuan pada era ini hanya ditujukan sebagai alat untuk mengabdi pada teologi Kristen. Filsafat (dan Retorika) dijadikan sebagai alat untuk membenarkan/mengabdi pada teologi (ancila theologiae). Para filusuf (dan retorik) zaman ini umumnya percaya kebenaran sejati hanya ada pada kitab suci (Injil).6 Beberapa nama yang

terkenal adalah:

 Terrulianus, hidup di antara tahun 150-230.

 Lactantius, hidup sekitar tahun 260-320. Ia digelari Cicero-nya orang Kristen.

 Victorianus, yang hidup sekitar tahun 350, adalah seorang pembela dan guru ilmu retorika.

 Aurelius Agustinus, adalah profesor retorika di kota Milan. Agustinus adalah seorang pengkhotbah terkenal pada zamannya, baik di Afrika Utara maupun di seluruh kekaisaran Romawi.

 Hironimus dari Striden (348-420) adalah bapak gereja yang paling

terdidik. Dia juga berjasa dalam menerjemahkan Kitab Suci. Dia pada mulanya adalah pengagum Cicero, lalu menjadi petapa.

 Yohanes Christomus dari Konstatinopel (344-407), ia dijuluki ‘Mulut Emas’. Menurut dia, seni berbicara adalaah medium untuk merebut hati pendengar dan memengaruhi jiwa mereka. Ia mengatakan bahwa setiap khotbah adalah sama seperti aksi untuk mernduduki jiwa prendengar. Bagi Yohanes Christomus, seni berkhotbah sebenarnya adalah bentuk baru dari ilmu untuk menguasai massa.7

Pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi (khususnya Neo-Platonisme) mulai benar-benar masuk ke kalangan gereja. Sekolah-sekkolah teologi sebagaimana sekolah umum juga mempelajari Seven Liberal Arts, yaitu: Gramar, Rhetoric, Dialectic, Arithmetic, Geometry, Music, dan Astronomy.

4Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern Pendekatan Praktis (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), h. 10.

5Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 9.

6Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 9.

(5)

Akan tetapi sekolah yang berkembang di lingkungan gereja ini memunculkan pula dampak “negatif”, di mana pemimpin gereja semakin mendominasi seluruh pemikiran manusiaa di zaman itu. Ilmu pengetahuan/filsafat dipelajari di katedral justru untuk mendukung doktrin teologi.8

Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh oran-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memilik kemampuan untuk menyampaikan kebenaran. St.Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kkristen tahun 386, adalh kekecualian pada zaman itu.9

Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakan – yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkpajan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.10

Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka dan berbicaralah kepada mereka dengan peembicaraan yang menyentuh jiwa mereka”(Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”.11

Ia sendiri seorang pembicara yang fasih—dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memerhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan meraka. Ada ulama yang mmengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdued by his eloquence and valor”.Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).12

8Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, h. 9.

(6)

Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban islam. Kaum musllimin menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani, dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.13

Referensi

Dokumen terkait