Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
PEREMPUAN TABANAN
DALAM POLITIK LOKAL
Penulis:
Kurniawati Hastuti Dewi
Atika Nur Kusumaningtyas
Fathimah Fildzah Izzati
Esty Ekawati
R. Siti Zuhro
Editor: Kurniawati Hastuti Dewi Layout: Yusradi Usman al-Gayoni Design Cover: Zulham Kautsar
Katalog Dalam Terbitan
Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal.–/
Kurniawati Hastuti Dewi (ed.) .– Tangerang: Mahara Publishing, 2016. xiv, 187 hal.; 22 cm
ISBN 978-602-6914-23-1
1. Buku I. Judul
2. Majalah Ilmiah 3. Standar
ISBN 978-602-6914-23-1
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Diterbitkan atas kerjasama: Mahara Publishing (Anggota IKAPI) Jln. Garuda III B 33 F Pinang Griya Permai Kota Tangerang, Banten-15145
HP: 081361220435 (WA)
E-mail: [email protected] Website: www.maharapublishing.com Dengan
Pusat Penelitian Politik LIPI Gedung Widya Graha Lantai XI
Pengantar Editor
uku ini merupakan seri pertama kajian mengenai perempuan pemimpin politik lokal yang dimulai pertama kali pada tahun 2015. Rencananya dalam kurung waktu 2016-2019 akan menyusul empat seri kajian berikutnya. Kajian ini merupakan salah satu tema penelitian tim Gender dan Politik yang berada dalam kelompok penelitian politik lokal, Pusat Penelitian Politik LIPI.
Kajian mengenai perempuan pemimpin politik lokal ini lahir karena melihat semakin banyaknya perempuan pemimpin politik yang muncul dan mewarnai dinamika politik lokal, terutama sejak diperkenalkannya Pilkada langsung tahun 2005 (dengan UU No.32/2004 dan sekarang dalam konteks Pilkada serentak UU No. 8/2015), sementara kajian tentang hal tersebut masih sedikit.
Fenomena kemunculan dan kemenangan para perempuan dalam politik lokal ini menandakan adanya perkembangan baru mengenai gender, perempuan, agama, budaya, dan politik lokal di Indonesia paska-Suharto. Hal ini juga merupakan salah satu bagian penting demokratisasi politik yang harus didokumentasikan dan dianalisis secara utuh.
Selain didasari pentingnya memahami perkembangan empiris, kajian ini juga didasari oleh pemikiran kritis terhadap kecenderungan pengabaian pengalaman perempuan dalam analisis politik. Dengan mempergunakan perspektif gender dalam analisis politik, kajian ini berupaya untuk menghadirkan pemahaman baru dan empiris tidak saja mengenai faktor-faktor yang berperan penting dalam kemunculan dan kemenangan para perempuan dalam politik lokal, tetapi juga kemunculan ‘agency’ perempuan sebagaimana diperlihatkan oleh Ni Putu Eka Eka Wiryastuti dalam memenangkan Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010.
Besar harapan kami, buku ini dapat memberikan kontribusi praktis dan akademis untuk menyajikan secara utuh protret perempuan pemimpin politik lokal di Indonesia, agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan praktis maupun akademis di Indonesia dan masyarakat internasional.
Semoga, kehadiran buku ini dapat membuka wawasan dan pemahaman baru mengenai kontribusi penting perempuan dalam menentukan arah dan mengisi demokratisasi Indonesia, khususnya dalam politik lokal paska-Suharto. Selamat membaca.
Jakarta, 14 April 2016 Editor
Abstrak
elaksanaan Pilkada langsung telah membuka struktur kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk berkiprah dalam politik lokal, dibandingkan dengan ketika pemilihan masih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Salah satu dampak positif Pilkada langsung adalah bertambahnya perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah dalam berbagai seting sosial kemasyarakatan dan keagamaan baik mayoritas Islam, Kristen, maupun Hindu. Salah satu perempuan yang mampu memanfaatkan struktur kesempatan baru untuk muncul dan memenangkan Pilkada langsung dalam seting Hindu adalah Ni Putu Eka Wiryastuti. Eka Wiryastuti berhasil memenangkan Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010 sehingga menjadi Bupati perempuan pertama di Tabanan (2010-2015), memperoleh kemenangan kembali pada Pilkada langsung serentak 9 Desember 2015, dan menjadi Bupati Tabanan kedua kalinya (2015-2020). Fenomena kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti dalam sebuah seting sosial keagamaan Hindu Bali dan dalam struktur sosial kemasyarakatan patriarki sangat menarik untuk dikaji.
Buku ini mengkaji kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010. Kajian difokuskan tidak saja pada peran agensinya dalam mengolah, menegosiasikan atau menyiasati agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat untuk kemunculan dan kemenangan politiknya, tetapi juga untuk memahami kontribusi agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat yang membentuk pranata gender (gender arrangement) dalam struktur sosial masyarakat Bali dalam kemunculan dan kemenangan politiknya.
Buku ini menemukan adanya dualisme dalam melihat posisi perempuan dalam adat dan dalam politik di Bali. Dalam konteks adat Bali, kondisi sosial budaya yang menempatkan perempuan Bali bukan sebagai pengambil keputusan di banjar-banjar adat meskipun mereka berperan penting dalam upacara keagamanaa dan adat, menjadi alasan logis bagi kemunculan politik Eka Wiryastuti dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010. Meskipun struktur adat tidak memberi ruang bagi perempuan termasuk Eka Wiryastuti untuk memperoleh peran strategis, perempuan Bali diperbolehkan memiliki posisi strategis dalam struktur sosial politik lebih luas di luar adat istiadat, asalkan tidak mengganggu pranata adat dan tetap menjaga harmoni sosial masyarakat Bali.
Buku ini menunjukkan Eka Wiryastuti mampu menjalankan peran agensi dalam mengolah, menegosiasikan, atau menyiasati agama Hindu Bali, budaya, adat istiadat sejak proses persiapan awal kemunculannya dan kemenangannya. Hal itu dimungkinkan karena Eka Wiryastuti memiliki beberapa modal individu yang kuat sebagai anak dari I Nyoman Adi Wiryatama politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Bupati Tabanan selama dua periode (2000-2005, 2005-2010), bagian dari jaringan kekerabatan politik soroh Pasek, serta penguasaan berbagai sumber daya lokal Tabanan yang berbasis pertanian dan gender. Agama Hindu Bali sebagai bagian dari sebuah pranana gender dalam struktur sosial kemasyarakatan Bali menyediakan landasan relijius yang memadai bagi Eka Wiryastuti untuk muncul sebagai pemimpin perempuan lokal. Agama Hindu Bali tidak menghalangi perempuan untuk menjadi pemimpin politik.
Daftar Singkatan
BMI Banteng Muda Indonesia
BTI Barisan Tani Indonesia
DPC Dewan Pimpinan Cabang
DPP Dewan Pimpinan Pusat
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gerwani Gerakan Wanita Indonesia Golkar Golongan Karya
KB Keluarga Berencana
KPUD Komisi Pemilihan Umum Daerah KNPI Komite Nasional Pemuda Indonesia LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MDP Majelis Utama Desa Pakraman
PBS Poetri Bali Sadar
PDIP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PHDI Perhimpunan Hindu Dharma Indonesia PKI Partai Komunis Indonesia
PKK Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
UGM Universitas Gajah Mada
Daftar Isi
Pengantar Editor ... v
Abstrak ... vii
Daftar Singkatan ... ix
Daftar Isi ... xi
Daftar Tabel ... xii
Daftar Gambar ... xiii
Bab 1 Pendahuluan: Pilkada Langsung dan Kemunculan Perempuan Pemimpin Politik Lokal di Tabanan Oleh: Kurniawati Hastuti Dewi ... 1
Bab 2 Kondisi Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Politik di Tabanan Oleh: Fathimah Fildzah Izzati dan Kurniawati Hastuti Dewi ... 41
Bab 3 Perempuan Tabanan dalam Politik: Tinjauan Agama, Budaya, dan Adat Istiadat Oleh: Atika Nur Kusumaningtyas ... 69
Bab 4 Agensi Eka Wiryastuti dalam Mengolah/Menegosiasikan/ Menyiasati Agama Hindu Bali, Budaya dan Adat Istiadat untuk Kemunculan dan Kemenangan Politik pada Pilkada Langsung Tabanan 2010 Oleh: Kurniawati Hastuti Dewi ... 103
Bab 5 Catatan Penutup Oleh: Esty Ekawati dan R. Siti Zuhro ... 151
Daftar Pustaka ... 171
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Kondisi Sosial Tabanan dari Segi Pendidikan ... 46
Tabel 4.1 Pengertian Konsep Wangsa, Catur Warna, Kasta ... 108
Tabel 4.2 Profil Pasangan Calon Kepala Daerah dalam
Pilkada Langsung Tabanan 2010 ... 116
Tabel 4.3 Agensi Eka Wiryastuti (dan timnya) dalam
Menggunakan/Menegosiasikan/Menyiasati Agama, Budaya, dan Adat Istiadat dalam Kampanye pada
Daftar Gambar
Gambar 1.1 “Gender Arrangement” yang melingkupi Ni Putu
Eka Wiryastuti Sebagai Individu Yang Diteliti ... 16
Gambar 1.2 Ilustrasi mengenai Agama Hindu Bali, Budaya dan Adat Istiadat di Bali Yang dilingkupi Globalisasi dan Demokratisasi ... 30
Gambar 2.1 Peta Tabanan, Bali ... 44
Gambar 2.2 Grafik PDRB Kabupaten Tabanan ... 48
Gambar 2.3 Struktur Dadia ... 51
Gambar 2.4 Garis Raja Tabanan ... 53
Bab 1
Pendahuluan: Pilkada Langsung dan Kemunculan
Perempuan Pemimpin Politik Lokal di Tabanan
Oleh: Kurniawati Hastuti Dewi
1.1
Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.1
Mekanisme Pilkada langsung telah membuka peluang partisipasi politik yang lebih besar pada berbagai elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan untuk ikut mewarnai dan menentukan arah demokrasi lokal. Bersamaan dengan banyaknya pelaksanaan Pilkada langsung di berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 2005, bertambah pula jumlah perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan terpilih dalam Pilkada langsung. Sebagai ilustrasi, dalam 466 Pilkada langsung di provinsi/ kabupaten/kota dari tahun 2005-2008, terdapat 11 politisi perempuan yang terpilih (baik sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil kepala daerah) dalam Pilkada langsung di Pulau Jawa, dan 15 politisi perempuan terpilih di luar Pulau Jawa.2 Jika dikerucutkan pada perempuan terpilih pada posisi
kepala daerah saja, pada periode pemilihan 2005-2008, terdapat 6 perempuan terpilih sebagai kepala daerah di Pulau Jawa dan 4 terpilih di luar Pulau Jawa.3 Jumlah ini semakin meningkat, terlihat
dari akumulasi pada periode pemilihan 2005-2014 yaitu terdapat 26 perempuan terpilih sebagai kepala daerah: 18 terpilih di Pulau Jawa, dan 8 terpilih di luar Pulau Jawa.4 Fenomena kemunculan dan
1Lihat Undang-Undang No. 8/2015 tentang “Perubahan atas Undang
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang”, http://www.kpu-sumbarprov.go.id/pilkada 2015/UU-No-8-Tahun-2015-Pilkada.pdf (diakses 8 April 2015).
2Diolah dari data Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Daftar
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Yang Telah Diterbitkan Keputusannya Presiden Republik Indonesia Hasil Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005, 2006, 2007, dan Tahun 2008”, tanpa tahun.
3Terpilih dalam periode 2005-2008 di Pulau Jawa adalah Rustriningsih
Bupati Kebumen (2005-2010), Ratna Ani Lestari Bupati Banyuwangi (2005-2010), Haeny Relawati Rina Widyastuti Bupati Tuban (2006-2011), Siti Qomariyah Bupati Pekalongan (2006-2011), Rina Iriani Sri Ratnaningsih Bupati Karanganyar (2008-2013), Atut Chosiyah Gubernur Banten (2006-2016). Di luar Pulau Jawa adalah Vonny Anneke Panambunan Bupati Minahasa Utara (2005-2010), Hj. Marlina Mona Siahaan Bupati Bolaang Mongondow (2006-2011), Hj. Suryatati A Manan Walikota Tanjung Pinang (2008-2013) dan Telly Tjanggulung Bupati Minahasa Tenggara (2008-2013).
4Lihat Kurniawati Hastuti Dewi, “Profiles, Statuses and Performance of
kemenangan banyak perempuan politisi dalam kontestasi Pilkada langsung sejak tahun 2005 sampai dengan 2014 menandakan adanya perubahan baru tidak saja dalam potret partisipasi politik perempuan di tingkat lokal, tetapi juga perubahan menyangkut narasi agama, budaya, dan gender yang mengiringi munculnya fenomena tersebut. Akan tetapi, fenomena kemunculan para perempuan pemim-pin politik lokal dalam seting Pilkada langsung cenderung diabaikan oleh kalangan intelektual. Sejauh ini kajian politik lokal paska-Suharto lebih banyak menganalisis persoalan pembenahan kelem-bagaan dan kesiapan masyarakat dalam melaksanakan Pilkada langsung misalnya masalah konflik pada Pilkada langsung gubernur dan bupati,5 menelaah merebaknya politik uang dalam Pilkada
langsung,6 praktik pendanaan kampanye illegal yang marak,7
per-soalan munculnya fenomena penguatan identitas lokal di daerah-daerah,8 dampak kolusi antara kalangan pemodal dengan politisi
dalam Pilkada langsung yang menghasilkan “informal governance
system” seperti di Banten dan Jambi,9 dampak desentralisasi dalam
dinamika daerah dari berbagai aspek seperti hubungan pusat-daerah, pertumbuhan ekonomi, pelayanan publik, perkembangan kota-kota, pergerakan manusia, lingkungan dan sumber daya alam.10
5Lihat Moch. Nurhasim, M. Hamdan Basyar, R. Siti Zuhro, Wawan
Ichwanuddin, Asvi Warman Adam, Konflik Dalam Pilkada Langsung (2005-2008): Studi tentang Penyebab dan Dampak Konflik (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2009), hlm. 254.
6Lihat misalnya yang terjadi di Banten, Okamoto Masaaki and Abdul
Hamid, “Jawara in Power 1999-2007,” Indonesia 86 (October 2008): 23.
7Marcus Mietzner, “Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in
Indonesia’s Local Elections,” dalam The State and Illegality in Indonesia, ed.Edward Aspinall dan Gerry van Klinken (Leiden: KITLV Press, 2011), hlm. 133.
8Lihat misalnya Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed. Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Jakarta, 2007).
9Syarif Hidayat, “Pilkada, Money Politics and The Dangers of “Informal
Governance” Practices,” dalam Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), ed. Maribeth Erb and Priyamudi Sulistiyanto (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009), hlm. 125-46
10Hal Hill, ed. Regional Dynamics in a Decentralized Indonesia (Singapore:
Kajian yang menganalisis Pilkada langsung dengan melihat kemunculan para perempuan sebagai pemimpin politik lokal masih terbatas. Jikapun ada, kajian dilakukan belum secara mendalam. Sebagai contoh pada tahun 2007, salah satu tema kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia adalah mengenai Perempuan dan Pilkada langsung dengan mengemukakan angka-angka tingkat keter-pilihan perempuan dalam Pilkada langsung pada Juni 2005-Desember 2006,11 tetapi tidak secara mendalam mengungkap
faktor-faktor apa saja yang berperan penting di balik itu semua. Terdapat juga artikel Tri Ratnawati (2009) mengulas kemenangan awal Rustriningsih di Kebumen.12 Hana A. Satriyo (2010) mengkaji
ke-munculan para bupati dalam Pilkada langsung yang didasarkan pada data-data koran daripada observasi lapangan sehingga menimbulkan penarikan kesimpulan yang mengarah pada simplifaksi persoalan.13
Terdapat juga kajian yang dilakukan oleh Departemen Ilmu Politik FISIP UNAIR bekerjasama dengan Kemitraan dan AusAID (2011), tetapi sebatas kandidasi politisi perempuan dalam Pilkada langsung di Jawa Timur dan di Sulawesi Utara.14
Padahal, analisis secara mendalam kasus-kasus kemunculan para perempuan pemimpin daerah dalam Pilkada langsung akan dapat mengungkap tidak saja karakteristik para perempuan kepala daerah tersebut, tetapi juga dapat mengungkapkan faktor-faktor penting yang berperan di balik kemunculan dan kemenangan mereka. Jika dicermati dari segi sosial budaya, para perempuan kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada langsung muncul dari
11Lingkaran Survey Indonesia, “Perempuan dan Pilkada,” Kajian Bulanan,
edisi 01, Mei 2007, hlm. 1-9.
12Lihat misalnya Tri Ratnawati, “Gender and Reform in Indonesian politics:
the case of a Javanese Women Bupati,” dalam Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), ed. Maribeth Erb and Priyamudi Sulistiyanto (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009), hlm. 174-89.
13Hana A. Satriyo, “Pushing The Boundaries: Women in Direct Local
Elections And Local Government,” dalam Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society, ed. Edward Aspinall and Marcus Mietzner (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2010), hlm. 260.
daerah dengan kondisi sosial budaya dan agama yang beragam misalnya mayoritas agama Islam, Kristen, maupun Hindhu. Studi terdahulu yang dilakukan terhadap tiga perempuan yang memenang-kan kompetisi Pilkada langsung di daerah yang berbasis Islam di Jawa meliputi Ratna Ani Lestari di Banyuwangi (2005), Rustriningsih di Kebumen (2005), dan Siti Qomariyah di Pekalongan (2006) menemukan bahwa agama Islam memiliki pandangan yang men-dorong kepemimpinan perempuan di tingkat lokal, yang kemudian menjadi sumber legitimasi relijius para politisi tersebut untuk maju dan memenangkan Pilkada langsung.15 Studi tersebut juga
menemu-kan bahwa kemampuan ketiga perempuan tersebut dalam meng-gunakan dan memainkan ide-ide atau norma-norma mengenai kesalehan dalam Islam (Islamic piety) seperti memakai kerudung dikombinasikan dengan identitas gender mereka sebagai seorang “perempuan Muslim Jawa” pada gilirannya membuat mereka mampu menciptakan identitas politik yang unik diantara mayoritas kandidat laki-laki, selain dapat meningkatkan akseptabilitas mereka di dalam daerah dengan basis mayoritas Muslim.16 Meskipun sudah dapat
mengungkap berbagai faktor penting dibalik kemunculan dan kemenangan para perempuan dalam Pilkada langsung, kajian ter-sebut masih terbatas pada kemunculan perempuan sebagai pemim-pin politik di daerah mayoritas Islam saja.
Sejauh ini belum ada kajian yang mendalami faktor-faktor apa saja yang berperan dibalik kemunculan dan kemenangan seorang perempuan dalam Pilkada langsung dalam seting selain Islam. Padahal kajian mengenai para perempuan kepala daerah yang me-menangkan Pilkada langsung dalam seting selain Islam dari berbagai daerah di Indonesia penting dilakukan untuk memperoleh pema-haman empiris fenomena ini secara komprehensif. Terdapat be-berapa perempuan pemimpin politik yang berhasil memenangkan Pilkada langsung di daerah dengan basis sosial keagamaan Kristen misalnya Telly Tjanggulung Bupati Minahasa Tenggara (2008-2013),
15Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Netwoks in Post-Suharto Indonesia (Singapore: National University of Singapore Press and Kyoto University Press, 2015).
Christiany Eugenia Paruntu yang berhasil memenangkan Pilkada langsung di Kabupaten Minahasa Selatan (2010-2015) (2015-2020), dan Vonny Anneke Panambunan Bupati Minahasa Utara (2005-2010) (2015-2020).17
Selain muncul di daerah berbasis Islam dan Kristen, terdapat satu-satunya perempuan yaitu Ni Putu Eka Wiryastuti (selanjutnya kemudian disebut sebagai Eka Wiryastuti) yang berhasil memenang-kan Pilkada langsung di daerah mayoritas Hindu di Kabupaten Tabanan Bali pada tahun 2010 dengan perolehan suara sebesar 48,56%.18 Eka Wiryastuti kembali berhasil memenangkan Pilkada
langsung serentak 9 Desember 2015 dengan perolehan suara sebesar 64,35% dan menjadi Bupati Tabanan untuk yang kedua kalinya (2015-2020).19 Eka Wiryastuti adalah anak dari I Nyoman Adi
Wiryatama politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Bupati Tabanan selama dua periode (2000-2005, 2005-2010).
Sejauh ini belum ada kajian yang mengungkapkan faktor-faktor penting di balik kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010. Padahal kemun-culan dan kemenangan Eka Wiryastuti menarik untuk dikaji lebih mendalam karena: pertama, alasan strategis-empiris, bahwa sebagai bupati perempuan pertama di Tabanan dan dalam sejarah Bali, Eka Wiryastuti menunjukkan keberpihakan pada persoalan isu-isu perempuan. Eka Wiryastuti, dalam salah satu wawancara menyata-kan bahwa kesehatan ibu di Tabanan menjadi prioritas utamanya, ”Saya memiliki filosofi yang sederhana, yakni jika ibunya sehat maka anak-anak yang dihasilkan juga akan sehat. Karena dengan jiwa yang
17Christiany Eugenia Paruntu dan Vonny Anneke Panambunan berhasil
memenangkan Pilkada langsung serentak 9 Desember 2015 yang lalu dan menjabat sebagai bupati untuk yang kedua kalinya (2015-2020). Data dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, Perludem, Jakarta, 20 Desember 2015, tanpa halaman.
18Kadek Dwita Apriani, “Pengaruh Faktor Identifikasi Partai Politik dan
Faktor Kandidat terhadap perilaku memilih dalam pemilukada Kabupaten Tabanan”, (Thesis Master, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), hlm 98.
19Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan
sehat prestasi Tabanan akan dapat diraih”.20 Salah satu program
unggulan Eka Wiryastuti adalah pencegahan dan deteksi dini kanker serviks dengan target tahun 2016 atau 2020 Tabanan bebas dari kanker serviks,21 dengan mengintensifkan pelayanan di Puskesmas
seluruh Tabanan melalui pemeriksaan IVA (Inspeksi Asam Asetat) secara massal yang kemudian digalakkan sejak tahun 2010 ketika dirinya terpilih menjadi Bupati Tabanan.22 Setelah dirinya menjadi
Bupati, program ini membuahkan beberapa hasil positifnya di antaranya meningkatnya kesadaran para ibu di Tabanan untuk melakukan deteksi dini kanker serviks, semakin meningkatnya jumlah temuan kasus kanker serviks dari tahun 2009 sampai dengan 2013 yang terus ditangani,23 dan prestasi di Puskesmas Tabanan 3
Bali sebagai puskesmas percontohan di Indonesia yang aktif mem-berantas kanker serviks yang menarik perhatian Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningih meninjaunya pada Maret 2011.24
Kedua, kasus Eka Wiryastuti menarik untuk dikaji karena
alasan akademis untuk memberikan pemahaman keilmuan yang belum terungkap dari kajian terdahulu. Terdapat kajian yang di-lakukan oleh Kadek Dwita Apriani (2012) dengan metode survei menyimpulkan bahwa kandidat yang dinilai sebagai figur terbaik diantara keseluruhan figur yang ada adalah Eka Wiryastuti dengan skor 2,5 dimana Eka sebagai pemimpin perempuan yang memang diakui begitu cerdas dalam kampanye ini mengedepankan kejujuran dan perhatian pada masyarakat.25 Eka Wiryastuti merupakan
kandidat yang dinilai baik oleh lebih banyak responden pemilih di
20Kutipan perkataan Ni Putu Eka Wiryastuti yang dimuat dalam “Tabanan
Bebas Kanker Serviks 2016,” Tabanan Serasi, Edisi 28, Desember 2013, hlm. 30.
21“2020, Tabanan Ditargetkan Bebas Kanker Rahim,” Bali Post, Senin, 12
Februari 2011, http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita minggu&kid=24&id=48049 (diakses 16 September 2015)
22Kutipan perkataan Ni Putu Eka Wiryastuti yang dimuat dalam “Tabanan
Bebas Kanker Serviks 2016,” hlm. 30.
23Ibid.
24“Menkes Tinjau Puskesmas Layani Kanker Serviks,” 21 Maret 2011,
http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=5111 (diakses 16 September 2015).
25Kadek Dwita Apriani, “Pengaruh Faktor Identifikasi Partai Politik dan
Tabanan dalam tiga kriteria terpenting (perhatian dan peduli pada masyarakat, kemampuan menyelesaikan masalah dalam masyarakat, kejujuran) yang merupakan turunan faktor figur, disusul kandidat lainnya Wayan Sukaja dan Putra Wirasana.26 Dengan begitu dapat
dikatakan bahwa faktor kandidat juga mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Tabanan dalam Pilkada langsung tahun 2010 walaupun memang bukan faktor utama.
Meskipun kajian terdahulu tersebut telah berhasil meng-ungkapkan pentingnya faktor identifikasi terhadap partai politik dalam hal ini PDIP,27 faktor Eka Wiryastuti sendiri, yang dalam
penelitian terdahulu itu diidentifikasikan oleh pemilih di Tabanan sebagai figur yang terbaik di antara para kandidat lain, justru belum diungkap secara mendalam. Sejalan dengan hal ini, terdapat sebuah keingintahuan yang besar mengenai bagaimana seorang Eka Wiryastuti sebagai perempuan Tabanan yang hidup dalam seting masyarakat Hindu Bali didominasi oleh peran dan posisi laki-laki
(patriarki)28 karena laki-laki Bali lebih berkuasa dengan garis Purusa
(kemampuan untuk mengurus dan meneruskan Swadharma/ tanggung jawab),29 justru mampu muncul dan menang dalam politik
lokal Tabanan pada tahun 2010.
26Ibid., hlm. 94.
27Ibid., hlm. 80-81.
28Patriarki disini mengacu pada definisi Kate Millet (1972: 25) yang merujuk
pada keadaan baik di masyarakat maupun dalam institusi pemerintahan dimana laki-laki mendominasi dan mengontrol perempuan; patriarki sebagai sebuah ‘lembaga” (“an institution”) adalah sebuah keadaan sosial yang secara terus menerus melembagakan dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui berbagai cara politik, ekonomi, sosial di berbagai kelas, kasta, baik dalam sebuah sistim feudal maupun birokrasi, dan dapat ditemukan atau disebarkan dalam berbagai agama besar yang sangat bervariasi dari segi sejarah dan lokalitas. Lihat Kate Millet, Sexual Politics (London: Abacus, 1972), hlm. 25. Dalam nada yang mendukung Millet, Hester Eisenstein (1984) mengatakan patriaki yang merupakan dominasi laki-laki atas perempuan dapat ditemukan di berbagai masyarakat baik di negara barat maupun di negara-negara yang belum maju, sehingga dirinya menyebut adanya sebuah kondisi universal penindasan perempuan oleh laki-laki (“universal oppression of women by men”). Lihat Hester Eisenstein, Contemporary Feminist Thought (London, Sidney: Unwin Paperbacks, 1984), hlm. 5.
29Laporan Utama, “Agar Luh Tak Sekedar Peluh,” BaliSruti no. 1,
Oleh karena itulah, kajian ini diarahkan untuk menelaah persoalan ini secara mendalam, dengan dipandu oleh pertanyaan sebagai berikut: pertama, bagaimana Eka Wiryastuti menegosiasikan/ menyiasati agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat untuk kemunculan politiknya dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010?; kedua, bagaimana Eka Wiryastuti mengolah/menegosiasikan/ menyiasati agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat untuk kemenangan politiknya dalam Pilkada Langsung di Tabanan tahun 2010?; ketiga, bagaimana kontribusi agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat dalam kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010?
Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan ‘agency’ Eka Wiryastuti dalam mengolah/menegosiasikan/menyiasati agama, budaya dan adat-istiadat setempat, sebagai bagian upayanya muncul dan memenangkan Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010. Selain itu kajian ini bertujuan untuk memahami secara utuh posisi dan kontribusi agama Hindu Bali, budaya, dan adat istiadat, yang mem-bentuk sebuah pranata gender (gender arrangement) dalam sebuah struktur sosial keagamaan masyarakat Bali yang mutlak diperhitung-kan, di balik kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti.
1.2 Kerangka Pemikiran
Analisis Politik dengan Perspektif Gender
mendefinisikan ulang dan memperluas ruang lingkup politik.30
Kathleen B. Jones (1988: 11-12) menyatakan bahwa salah satu sebab terpenting perempuan dan kepentingan perempuan tidak nampak dalam pemikiran dan analisis ilmu politik tradisional di dunia barat adalah penerimaan konsep keterpisahan secara fundamental antara publik sebagai domain laki-laki dalam melakuan “political action” dalam sebuah polis, dengan ruang privat yang diasosiasikan dengan peran perempuan di ranah domestik.31 Feminis politik juga mencatat
kecenderungan pengabaian pengalaman perempuan dalam analisis politik disebabkan oleh struktur produksi pengetahuan dan referensi dalam studi politik yang masih didominasi oleh laki-laki sehingga perlunya pendekatan-pendekatan feminis dalam riset ilmu sosial dan politik seperti dikemukakan Sandra Harding, Ann Oakley, Mies, Vicky Randall.32
Kecenderungan pengabaian pengalaman dan kepentingan perempuan dalam analisis politik tidak hanya terjadi dalam analisis dan karya-karya politik di negara-negara barat. Meskipun konteks sosial, sejarah dan politik antara negara barat dengan negara-negara di Asia Tenggara berbeda, ternyata kecenderungan tidak adanya analisis gender dalam karya-karya ilmu politik juga terjadi di Asia Tenggara. Kritik terhadap studi politik di Asia Tenggara yang cenderung didominasi analisis politik an sich dan tidak menge-tengahkan analisis gender dalam studi politik, telah muncul sejak 1990an. Shelly Errington (1990) memberikan catatan bahwa tiada-nya analisis gender dalam kajian-kajian politik di Asia Tenggara bisa jadi disebabkan oleh fakta sosial berupa kondisi ekonomi yang relatif
30Lihat Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir, “Introduction: Gender
as an Analytic Category in Political Theory,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir (Great Britain: Sage Publication, 1988), hlm. 1-10.
31Kathleen B. Jones, “Towards the Revision of Politics,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir (Great Britain: Sage Publication, 1988), hlm. 1-10.
sejajar antara perempuan dan laki-laki di Asia Tenggara, sehingga sulit menemukan simbol-simbol perbedaan gender di Asia Tenggara.33
Beberapa ilmuwan seperti Barbara Ward (1963), dan Anthony Reid (1988) juga mencatat bahwa perempuan di Asia Tenggara memiliki posisi yang relatif tinggi di dalam masyarakat, kondisi ekonomi yang relatif sejajar dengan laki-laki dalam masyarakat dimana peran perempuan dan laki-laki saling melengkapi.34 Sejalan
dengan pemikiran Errington, Maila Stivens dan Susan Blackburn (1991) yang merangkum salah satu hasil konferensi internasional di Universitas Monash tahun 1987 juga mencatat kecenderungan tidak adanya perspektif gender dalam tulisan-tulisan politik di Asia Tenggara oleh para intelektual (1991).35
Kecenderungan minimnya analisis gender dalam karya-karya politik di Asia Tenggara tetap berlanjut sampai dengan tahun 2000an. Susan Blackburn (2009) dalam salah satu artikelnya ber-judul “Has Gender Analysis been Mainstreamed in the Study of Southeast Asian Politics?” masih mencatat bahwa secara umum buku-buku mengenai politik di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Vietnam) yang diterbitkan tahun 2000an menunjukkan kurangnya level analisis gender karena rata-rata hanya ada satu Bab di dalam sebuah kumpulan tulisan mengenai politik di Asia Tenggara dengan analisis gender; dan ini menunjukkan bahwa persoalan mengenai perempuan atau gender—meminjam istilah Blackburn sebagai
“political questions that exclude gender/women”—masih terjadi dalam
analisis-analisis politik di Asia Tenggara (2009: 53-72).36
33Shelly Errington, “Recasting Sex, Gender, and Power: A Theoretical and
Regional Overview,” dalam Power and Differences: Gender in Island Southeast Asia. ed. Jane Monnig Atkinson and Shelly Errington (Stanford, California: Stanford University Press, 1990).
34Lihat Barbara Ward, Women in the New Asia: The Changing Social Roles of Men and Women in South and South-East Asia (Netherlands: Unesco, 1963); Anthony Reid, “Females Roles in Pre-Colonial Southeast Asia”, Modern Asian Studies 22, no. 3 (1988): 629-45.
35 Maila Stivens, ed., Why Gender Matters in Southeast Asian Politics (Australia:
Centre of Southeast Asian Studies Monash University, Aristoc Press. 1991).
36Susan Blackburn, “Has Gender Analysis Been Mainstreamed in The Study
Kecenderungan masih kurangnya penggunaan analisis gender dalam mengurai berbagai persoalan politik juga terjadi dalam kajian politik lokal di Indonesia. Paska lengsernya Suharto pada Mei 1998, Indonesia memasuki Era Reformasi dengan berbagai pembenahan struktural kelembagaan termasuk penguatan kapasitas pemerintahan daerah dalam demokratisasi. Salah satunya adalah kebijakan desen-tralisasi seiring dengan pemberlakuan UU No. 22/1999, dan diikuti kemudian dengan pengenalan mekanisme Pilkada langsung melalui UU No. 32/2004. Perubahan signifikan di tingkat lokal ini diiringi dengan munculnya berbagai dinamika dan tantangan baru yang tercermin juga dari banyaknya karya-karya mengenai politik lokal paska-Suharto. Akan tetapi terdapat fenomena menarik berupa kemunculan banyak perempuan pemimpin politik lokal (bupati/ walikota/gubernur) yang terpilih melalui Pilkada langsung yang belum banyak dikaji dalam berbagai karya dan analisis politik. Analisis politik an sich tidak mampu menangkap, menyajikan, dan memahami fenomena baru ini secara mendalam. Dalam konteks inilah, kajian mengenai kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti diletakkan.
Kajian ini akan menggunakan analisis gender dalam melihat persoalan politik untuk menghasilkan analisis dan pemahaman yang utuh mengenai ‘agency’ seorang perempuan dan kemungkinan kontribusi faktor struktur sosial di sekitarnya yang harus diper-hatikan. Harus dipahami, Eka Wiryastuti sebagai seorang perempuan Tabanan Bali hidup dalam sebuah struktur sosial yang didalamnya terdapat pranata gender. Pranata gender atau “gender arrangement” atau “gender order” sebagaimana dikemukakan oleh R.W. Connel (2008:3-6) merupakan ide, gagasan, aturan, norma bagaimana seharusnya perilaku gender yang dapat diterima (“gender-appropriate
behaviour”) mengenai perempuan dan laki-laki di lingkungannya
dimana “gender-appropriate behaviour” ini secara terus menerus di-sosialisasikan oleh berbagai kalangan misalnya pemuka agama, orang tua, dan guru yang tentu berbeda-beda antar budaya.37
“Agency” Eka Wiryastuti
Untuk membingkai interaksi Eka Wiryastuti dengan konteks agama dan budaya yang melingkupinya, maka kajian ini meng-gunakan konsep ‘agency’. Menurut definisi feminis liberal yang berlatar belakang gerakan perempuan barat, ‘agency’ merupakan perlawanan terhadap perendahan atau penindasan (“resitance to
sub-ordination or oppression”) dimana penindasan terjadi karena dominasi
kaum laki-laki.38 Dalam konteks perempuan Muslim di Indonesia
‘agency’ dimaknai berbeda. Kajian Susan Blackburn, Bianca J. Smith and Siti Syamsiyatun (2008) mengenai agensi perempuan Muslim Indonesia dalam berbagai persoalan seperti poligami, pemakaian jilbab, rekonstruksi identitas perempuan dalam era baru desen-tralisasi, keberagamaan perempuan di desa-desa di Jawa, kepemim-pinan nyai di pesentren (istri kyai), menyimpulkan bahwa perempuan Muslim Indonesia merupakan “as cultural, social, political, and religious agents who actively interpret discourses on Islam, and Islamic discourses and practice, to shape their roles as women and their sense of self at the intersection of Indonesian society, culture, and Islam in local and national context”.39
Sementara itu dalam seting di Mesir, Saba Mahmood yang meneliti gerakan Muslim perempuan berbasis masjid (women’s mosque
movements) di Mesir pada pertengahan tahun 1990an yang
merupakan bagian perkembangan kebangkitan Islam. Mahmood mengeksplorasi bagaimana proses keberagamaan dalam mencapai kesalehan menurut Islam seperti selalu shabar, berperilaku dan bertutur kata sopan, menjaga sikap dan perasaan malu (untuk dapat mengendalikan diri) sebagai ekpressi kesalehan mereka sebagai individu; ketika dalam pandangan feminis liberal praktik-praktik tersebut ditafsirkan sebagai proses penaklukan perempuan Muslim
38Sebagaimana dikutip dari Kathryn Abrams, “From Autonomy to Agency:
Feminist Perspectives on Self-Direction,” William & Mary Law Review Vol. 40, no. 3 (1999): 807.
39Susan Blackburn, Bianca J Smith and Siti Syamsiyatun, “Introduction”,
ke dalam sistem patriarki, maka berdasarkan konteks dan penga-laman para perempuan Muslim yang ditelitinya maka Mahmood mengajak ilmuan untuk mempertimbangkan alasan dan maksud dari mereka yang melakukan praktik kesalehan tersebut dalam konteks budaya dan sejarah yang melekat pada masyarakat tersebut.40
Kemudian, Mahmood menentang interpretasi feminis liberal mengenai definisi ‘agency dan menurutnya “agency not as a synonym for resistance to relations of domination, but as a capacity for action….”41
Sejalan dengan Mahmood, kajian antropologi Sylva Frisk mengenai perempuan Muslim Malaysia di Kuala Lumpur dari tahun 1995 to 2000, menyimpulkan bahwa praktik kesalehan perempuan Muslim Malaysia yang berkembang sejalan dengan Islamisasi Malaysia tidak serta merta berarti menentang kewenangan laki-laki sebagaimana ditafsirkan dan difahami dalam wacana feminis, akan tetapi keinginan mereka untuk tunduk mengikuti keinginan Tuhan-nya--yang diekspressikan dengan keselehan individu—lebih penting bagi mereka daripada keperluan untuka menentang patriarki.42 Studi
dalam konteks Indonesia yang terinspirasi dari Mahmood adalah kajian etnografi oleh Eva F. Amrullah mengenai perempuan Muslim kelas menengah dan kelas atas anggota Jama’ah Tabligh (Tablighi Jama’at) di Jakarta. Dalam studinya Amrullah mengungkapkan bahwa Jama’ah Tabligh menyediakan nilai dan ruang bagi para perampuan ini untuk mencapai kesalehan dengan kembali pada jalan Islam yang sebenarnya untuk melarikan diri dan menyem-buhkan diri dari krisis individu dan krisis sosial yang melanda
40Saba Mahmood, “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents:
Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival,” Cultural Anthropology 16, no. 2 (May 2001): 225.
41Mahmood, “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some
Reflections on the Egyptian Islamic Revival,” hlm. 203. Lihat juga bukunya, Politics of Piety: the Islamic Revival and the Feminist Subject (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005).
42Sylva Frisk, Submitting to God: Women and Islam in Urban Malaysia
masyarakat.43 Lebih jauh, Amrullah menyimpulkan bahwa partisipasi
aktif para perempuan Muslim dalam Jama’ah Tabligh dalam menye-barkan dan merekrut anggota baru mengindikasilan bahwa mereka memerankan agensi mereka secara aktif, sehingga salah untuk me-nyimpulkan dan mengartikan bahwa keterlibatan para perempuan dalam Jama’ah Tabligh sebagai sebuah bentuk ketertundukan mereka atau bahwa mereka menjadi pihak yang tertindas.44
‘Agency’ yang dimaksud dalam kajian ini adalah bukan sebagai yang didefinisikan oleh feminis liberal sebagai perlawanan terhadap perendahan atau penindasan terhadap dominasi laki-laki. Kajian ini mendefinisikan ‘agency’ sebagai kapasitas Eka Wiryastuti sebagai subyek untuk menyadari (self-awareness) adanya ekspektasi normatif mengenai pranata gender ideal seorang perempuan Tabanan yang melekat dalam struktur sosial keagamaan agama Hindu Bali, budaya, dan adat-istiadatnya, untuk kemudian Eka Wiryastuti mampu mem-bangun identitas baru menggunakan modal individu yang dimiliki-nya dengan mengolah/menegosiasikan/menyiasati konsep-konsep dan pranata gender untuk kepentingan politiknya. Dengan ‘agency‘-nya, justru Eka Wiryastuti mampu memperluas ruang dan batas-batas mengenai kiprah politik seorang perempuan Tabanan dalam konteks kontemporer. Agency’ seperti ini berperan strategis dalam kemun-culan perempuan politik lokal yang berada dalam seting patriarkal, supaya kemunculan politiknya tidak mengalami penolakan frontal. Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini digambarkan dalam Gambar berikut ini.
43Eva F. Amrullah, “Seeking Sancturay in ‘the age of disroder’: Women in
Contemporary Tablighi Jama’at,” Contemporary Islam 5, (2011): 135-160.
Gambar 1.1
“Gender Arrangement” yang melingkupi Ni Putu Eka Wiryastuti Sebagai Individu Yang Diteliti
Sumber: dibuat oleh Kurniawati Hastuti Dewi
Sebagaimana digambarkan dalam Diagram 1, di atas, “gender
arrangement” di Tabanan Bali dilingkupi oleh konteks yang lebih
besar yaitu ideologi gender yang telah mengalami perubahan sejak Reformasi 1998. Julia Suryakusuma menyebut ideologi gender selama masa Orde Baru ini sebagai ”state ibuism” yang bertumpu pada faham paternalistik dan memposisikan laki-laki sebagai elemen inti dari negara, sementara perempuan merupakan elemen sekunder yang cukup berkiprah di dalam keluarga.45 Dalam konstruksi
ideologi gender sedemikian, suami diharapkan berperan politik aktif di luar rumah (dilambangkan oleh sosok Suharto) sementara istrinya (dicontohkan oleh peran Ibu Tien Suharto) menjadi pendamping dan penopang suami untuk menciptakan keluarga yang ’stabil’
45Julia I. Suryakusuma, “The State and Sexuality in New Order Indonesia,”
sebagai landasan bagi terwujudnya stabilitas politik dan negara yang kuat.46 Pada masa Orde Baru, perempuan diharapkan berperan dan
berkontribusi melalui ranah privat sebagai istri dan ibu untuk memastikan stabilitas keluarga, mendukung pengabdian suaminya pada rejim Orde Baru, dimana perempuan tidak seharusnya ikut campur dalam urusan politik dan ranah publik.
Dalam keadaan perempuan mengalami depolitisasi dan pe-minggiran politik selama Order Baru, maka dapat dipahami bahwa di bawah UU No. 5/1974 yaitu selama periode 1974-1998 dimana kepala daerah diusulkan oleh DPRD untuk disetujui Presiden Suharto, hanya ada dua perempuan yang terpilih sebagai pemimpin tertinggi di daerah yaitu: Tutty Hayati Anwar sebagai Bupati Majalengka (1998-2003) dan Molly Mulyahati Djubaedi sebagai Walikota Sukabumi (1998-2003). Dalam perkembangannya, sejak era Reformasi 1998, ideologi gender “state ibuism” telah mengalami de-konstruksi seiring dengan merebaknya wacana perluasan peran dan posisi perempuan Indonesia di ranah publik sejak pertengahan tahun 1990an, diadopsinya perspektif gender dalam Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada masa Reformasi, dimana dekon-struksi pada ranah struktural terlihat dari perubahan orientasi program Keluarga Berencana (KB) dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dari yang semula berorientasi pada kepentingan praktis gender (pratical gender interest) pada masa Orde Baru menjadi kepentingan strategis gender (strategic gender interest) pada masa Reformasi.47
46Latar belakang Suharto dan istrinya Ibu Tien yang berasal dari Jawa,
menurut beberapa ilmuwan mempengaruhi terbentuknya ideologi gender Orde Baru seperti diuraikan di atas. Untuk bacaan lebih lanjut mengenai pengaruh budaya Jawa dalam membentuk ideologi gender Orde Baru lihat Ratna Saptari. “Women, Family and Household: Tensions in Culture and Practice,” dalam Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices, ed. Juliette Koning, Marleen Nolten, Janet Rodenburg, Ratna Saptari (Great Britain: Curzon Press, 2000), hlm. 19; Sylvia Tiwon, “Reconstructing Boundaries and Beyond,” dalam Women and Households in Indonesia: Cultural, Notions and Social Practices, ed. Juliette Koning, Marleen Nolten, Janet Rodenburg, Ratna Saptari (Great Britain: Curzon Press, 2000), hlm. 71-4
47Analisis mendalam mengenai dekonstruksi ideologi jender Orde Baru lihat
Dilingkupi wacana perluasan peran dan posisi perempuan Indonesia dalam politik terutama dalam momentum demokratisasi sejak Mei 1998, dikuatkan dengan dekonstruksi ideologi gender Orde Baru, maka praktik perluasan peran dan posisi perempuan dalam politik lokal juga terjadi. Sebagaimana telah disinggung sedikit pada bagian Pendahuluan, bahwa munculnya kebijakan desentrali-sasi baru dalam demokratidesentrali-sasi lokal terutama Pilkada langsung dengan UU No. 32/2004, dilanjutkan dengan UU No.8/2015 telah membuka kesempatan bagi banyak perempuan untuk berkompetisi dan terpilih menjadi pemimpin politik lokal. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa Pilkada langsung telah membuka ruang kesempatan yang lebih besar untuk perempuan mencalonkan diri kemudian terpilih sebagai pemimpin politik daerah.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan--dengan meminjam istilah Pippa Noris mengenai “the structure of opportunities” ketika dia menjelaskan salah satu komponen penting dalam rekuritmen anggota legislatif48--bahwa “struktur kesempatan” bagi kaum
perem-puan Indonesia untuk dapat direkrut dan berkiprah secara aktif dalam politik di daerah lebih meningkat dengan berlakunya meka-nisme Pilkada langsung. Melalui mekameka-nisme Pilkada langsung, arena perempuan untuk bermanuver politik lebih besar mengingat kecen-derungan oligarki elit/oligarki partai di DPRD,49 serta dominasi
laki-laki dalam pengambilan keputusan strategis di DPRD maupun dalam internal partai-partai politik di Indonesia. Maka kemunculan Eka Wiryastuti, juga mesti dilihat dalam kerangka terbukanya kesem-patan politik bagi perempuan Tabanan Bali untuk berkiprah dan
48Pippa Noris, “Introduction: Theories of Recruitment,” dalam Passage to Power: Legislative Recruitment in Advanced Democracies, ed. Pippa Noris (United Kingdom: Cambridge University Press, 1997), hlm.11.
49Menurut tim peneliti Pemilu LIPI, sebenarnya Pilkada langsung
menentukan masa depan daerahnya secara aktif melalui mekanisme Pilkada langsung.
Dalam struktur kesempatan yang lebih besar yaitu Pilkada langsung ini, Eka Wiryastuti tetap berada dalam lingkup pranata gender (gender arrangement) yang mutlak mempengaruhinya sebagai-mana digambarkan dalam Diagram 1, di atas. Mesti difahami, bahwa interaksi antar individu maupun kelompok (perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan perempuan, sekelompok perempuan dan sekelompok perempuan, sekelompok laki-laki dengan sekelom-pok laki-laki) termasuk interaksi antara Eka Wiryastuti dengan orang-orang di sekitarnya terjadi di sekeliling pranata gender dalam sebuah struktur sosial,50 dimana dalam kasus Eka Wiryastuti adalah struktur
sosial-keagamaan masyarakat Hindu-Bali.
Oleh karena kajian ini berusaha mengungkap agensi seorang perempuan yang tentu akan menyentuh ke ranah kehidupan indi-vidualnya, maka pada konteks ini slogan dari gerakan perempuan gelombang kedua akhir tahun 1960an yang dipopularkan oleh Carol Hanisch “the personal is political” relevan.51 Slogan ini pada intinya
hendak menekankan bahwa pengalaman individual atau pribadi sangat terkait dengan struktur sosial dan politik yang lebih luas dalam masyarakat, dan menurut Kate Millet slogan ini dapat di-maknai bahwa hubungan dalam ranah privat antara laki-laki dengan perempuan sebenarnya sangat erat terkait dengan dimensi politik karena dalam ranah privat itu terjadi kontrol laki-laki terhadap perempuan yang kemudian merambah ke ranah yang lebih luas di arena publik.52
Dalam kasus Eka Wiryastuti, sebagaimana nanti akan di-ungkap lebih dalam, terlihat bahwa aspek dari ranah privatnya ini sangat penting dan menentukan karir politiknya. Misalnya, ayahnya adalah I Nyoman Adi Wiryatama Bupati Tabanan selama dua
50Mengenai pranata gender atau “gender arrangement” dalam sebuah
struktur sosial lihat R.W. Connell, Gender (Cambridge: Polity Press, 2008), hlm. 3-6, 9-10, 54-55. Lihat juga R.W. Connel, Gender and Power: Society, the Person and Sexual Politics, 6th ed. (United Kingdom: Polity Press, 1987); The Men and the Boys (Berkeley,
Los Angeles: University of California Press, 2000).
periode, petinggi penting PDIP di Tabanan, dan tokoh penting soroh
Pasek53 di Tabanan; yang dengan sendirinya melengkapi modal
individu yang telah dimilikinya (modal pendidikam, kecerdasan) sehingga memungkinkannya menyiasai berbagai pranata gender, agama dan budaya di sekelilingya. Termasuk hal privat adalah status Eka Wiryastuti yang pada awal kemunculannya secara resmi masih belum menikah namun terdapat rumor mengenai dirinya yang telah beberapa kali. Keadaan seperti ini kemudian mendorong Eka Wiryastuti pada pilihan untuk menciptakan dan membangun identitas baru mengenai dirinya supaya dapat diterima oleh publik Tabanan menjelang Pilkada tahun 2010.
Agama Hindu Bali dan Kepemimpinan Perempuan
Agama memiliki peran penting dan berpengaruh dalam me-lihat peran dan posisi perempuan. Agama menyediakan seperangkat tata nilai dan tuntunan bagi para pengikutnya untuk menjalani kehidupan dalam berhubungan dengan Tuhannya maupun dengan sesama manusia, dalam keluarga, dalam kehidupan publik, termasuk persoalan perempuan sebagai pemimpin politik.Topik mengenai peran agama di balik partisipasi politik perempuan telah menjadi perhatian para ilmuwan dari berbagai negara.Terdapat kajian yang cukup mapan mengenai pengaruh agama dalam kesetaraan gender di dunia. Sebagai contoh di Asia Selatan dan Asia Tenggara, buku yang diedit oleh Claudia Derichs dan Andrea Fleschencberg’s (2010) menelaah mengenai pengaruh fundamentalisme agama terhadap gender dan Hak Asasi perempuan termasuk dalam arena politik seperti dalam kasus fundamentalisme Katolik di Philippina, funda-mentalisme Buddha di Sri Lanka, dan konservatisme Muslim di Malaysia dan Indonesia; di mana mereka menemukan benang merah bahwa perempuan seringkali menjadi korban utama dari fundamen-talisme di agama apapun juga.54
53Klan atau hubungan kekerabatan yang berasal dari satu leluhur (kawitan)
yang sama. Soroh Pasek adalah klan terbesar di Bali dan sebagian besar berada/tinggal di Tabanan. Elaborasi lebih mendalam akan dilakukan di Bab 4.
Kajian Ronald Inglehart dan Pippa Norris (2003) mengenai kesetaraan gender juga menarik. Dengan menggunakan regresi multivariate untuk menganalisis pengaruh agama (delapan agama besar dunia yaitu Katolik, Muslim, Protestan, Orthodox, Budha, Hindu, Yahudi, dan lain-lain) dari 190 bangsa, mereka memperoleh temuan menarik: terdapat perilaku yang sangat berbeda mengenai kepantasan peran perempuan dan laki-laki di mana penganut Kristen dalam masyarakat post-industri menunjukkan pandangan yang paling egaliter mengenai keluarga, pekerjaan, dan politik. Sementara itu, Muslim yang relatif miskin dan hidup di negara berbasis per-tanian adalah kelompok yang paling tradisional mengenai perilaku menyangkut kesetaraan gender.55
Matthew Carlson dan Ola Listhaug (2006) menelaah lebih dalam berbagai agama di dunia, khususnya mengenai bagaimana peran agama dalam politik. Dengan menggunakan data dasar World
Values/European Values dari 63 negara, mereka berusaha
memper-oleh jawaban dua pertanyaan yaitu apakah seharunya pandangan agama digunakan sebagai kriteria untuk memilih pemimpin politik? Dan apakah seharusnya pemimpin agama menggunakan kedudukan mereka untuk pengaruh politik? Salah satu temuan menarik dari kajian mereka adalah, bahwa diantara negara mayoritas Muslim di dunia, Mesir dan Indonesia menunjukkan nilai tertinggi dalam hal pandangan bahwa paham agama penting dalam menyeleksi pemimpin.56 Fakta bahwa pandangan agama khususnya Islam sebagai
faktor yang menentukan kiprah perempuan Muslim dalam men-jalankan kepemimpinan politik juga terjadi di Pakistan,57 Arab,58
55Ronald Inglehart and Pippa Norris, Rising Tide: Gender Equality and Cultural Change Around the World (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2003), hlm. 68.
56Matthew Carlson and Ola Listhaug, “Public Opinion on the Role of
Religion in Political Leadership: A Multi-Level Analysis of Sixty-three Countries,” Japanese Journal of Political Science 7, no. 3 (2006): 256.
57Saeeda J. A. Shah, “Re-thinking Educational Leadership: Exploring the
dan juga di Malaysia.59 Dalam konteks agama manapun, KH. Husein
Muhammad, mencatat bahwa para agamawan kerap melihat perem-puan dengan pandangan yang ambigu yaitu peremperem-puan memiliki kehormatan dan martabat yang sama dengan laki-laki di hadapan Tuhan, tetapi pada saat bersamaan melalui tafsir patriakrhis teks-teks agama para agamawan mendiskriminasi perempuan.60
Ilustrasi hasil penelitian dari berbagai negara tersebut nai pengaruh agama dalam persoalan kesetaraan gender dan menge-nai kiprah perempuan dalam politik terjadi juga di Indonesia. Harus dimengerti kecenderungan Indonesia sebagai sebuah faith based
society dimana nilai dan norma agama menjadi rujukan dari sebagian
besar individu dalam berpikir dan berperilaku. Tidak terkecuali dalam persoalah menyangkut seorang perempuan menjadi pemimpin politik lokal termasuk dalam setting sosial di Bali dengan agama Hindu yang kuat.
Kondisi perempuan Bali memang lebih baik daripada perem-puan Hindu-India. Praktik agama Hindu di Bali tidak akan sama persis dengan praktik agama Hindu di India yang mensitir Tahira Basharat (2009), cenderung sangat male-dominated dan tidak mem-berikan penghargaan sama sekali terhadap perempuan,61 misalnya
praktik Sati (seorang istri membakar diri bersama dengan jenazah suaminya yang sedang dikremasi) sebagai perwujudan ketaatan perempuan India menurut ajaran agama Hindu yang masih ditemui sampai dengan akhir abad ke-19. Namun demikian, dalam sosial-kemasyarakatan Bali, perempuan Bali masih ditempatkan sebagai subyek yang tidak otonom oleh adat beragama Hindu yang dibatasi
58Asya Al-Lamky, “Feminizing Leadership in Arab Societies: The Perspectives
of Omani Female Leaders,” Women in Management Review 22, no. 1 (2007): 64.
59Maznah Mohamad, “Politicization of Islam in Indonesia and Malaysia:
Women’s Rights and Inter-Religious Relations,” dalam Gender Trends in Southeast Asia: Women Now, Women in the Future, ed. Theresa W. Devasahayam (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009), hlm. 96, 98, 106
60KH. Husein Muhammad, “Pendahuluan,” dalam Perempuan Dalam Relasi Agama dan Negara, Modul Komnas Perempuan dan NORAD, Jakarta, 2010, hlm. 10.
61Tahira Basharat, “The Contemporary Hindu Women of India: An
kebebasannya.62 Misalnya dalam tarian Sang Hyang Dedari, sebuah
tarian sakral untuk mengatur keseimbangan dalam kosmologi religi Hindu Bali, para penarinya adalah anak-anak perempuan berumur 10 tahun yang harus melewati berbagai fase dipingit untuk menghindari gangguan roh jahat atau penyucian sebelum melakukan tarian, dan ketika mencapai trance tubuh mereka “dipersembahkan” sebagai “media” para dewi-dewi turun memberi berkah pada desanya; dalam konteks ini tubuh perempuan menjadi “media” dalam hubungan vertikal maupun horizontal yaitu merawat struktur sosial masyarakat Bali.63
Diletakkan dalam konteks kuatnya patriarki di Bali, maka kemunculan Eka Wiryastuti yang berhasil memenangkan Pilkada langsung di daerah mayoritas Hindu di Kabupaten Tabanan Bali pada tahun 2010, menjadi sebuah anomali. Fenomena ini memun-culkan pertanyaan kritis mengenai kemungkinan kontribusi agama Hindu Bali di balik kemunculan dan kemenangan politik Eka Wiryastuti yaitu apakah perannya mendorong atau justru menjatuh-kan, dan bagaimana Eka Wiryastuti menyikapinya. Hal-hal inilah yang sangat menarik untuk diungkapkan dalam penelitian ini.
Budaya, Adat-Istiadat, dan Peran/Posisi Perempuan
Pembicaraan mengenai kemunculan para perempuan sebagai pemimpin politik dalam sebuah komunitas meniscayakan pema-haman tentang faktor budaya dan adat istiadat setempat. Setiap komunitas masyarakat memiliki budaya berupa seperangkat pemi-kiran, tata nilai, dan praktik yang bersumber dari kearifan lokal yang dipegang teguh dan dipercaya untuk mengatur kehidupan keluarga termasuk mengenai peran, posisi, dan kewenangan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Dalam kajian ini, sebagaimana pemikiran Georgia Duerst-Lahti and Rita Mae Kelly (1995: 15) budaya (culture) ditempatkan sebagai elemen dasar ter-penting dalam memahami gender, karena budaya memfasilitasi
62Saraswati Dewi, “Sang Hyang Dedari: Perempuan Bali dalam Pendekatan
Skizoanalitik,” Jurnal Perempuan 20, no. 1 (Februari 2015): 24-25.
bentukan atribut gender (menjadi laki-laki atau menjadi perempuan) karena pemahaman pengetahuan mengenai jenis kelamin (sex) terjadi dan dihantarkan dalam budaya.64 Jadi, budaya memediasi
pem-bentukan gender (females become women atau males become men). Meskipun memang setiap komunitas memiliki tata nilai atau budaya yang khas dalam merumuskan perilaku dan hubungan antara perempuan dan laki-laki, namun ada catatan penting yang dapat menjadi pijakan umum dalam melihat budaya, perempuan, dan komunitas. Catatan Michelle Zimbaalist Rosaldo (1974) mengenai “a
universal asymmetry in cultural evaluations of the sexes” sangat berguna
karena dalam kerangka itu mampu melihat bahwa meskipun mungkin perempuan penting, berkuasa, dan berpengaruh, tetapi nampaknya, jika dibandingkan dengan laki-laki yang seumur dan status sosial yang sama, perempuan di mana saja secara umum kurang diakui dan kurang memiliki kewenangan kuat mengakar pada budaya; laki selalu menjadi lokus nilai budaya di mana laki-laki memiliki kewenangan (“authority”) dan legitimasi budaya lebih dari perempuan.65
Dalam kajian terkini yang dilakukan oleh Ronald Inglehart dan Pippa Norris (2003) mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam kemunculan para pemimpin politik perempuan dunia, menyimpulkan pentingnya faktor budaya khususnya perilaku dan pandangan tradisional yang kental mengenai peran perempuan yang lebih layak di ranah domestik (misalnya di negara-negara dengan tradisi Islam yang ketat, negara-negara Katolik di Eropa Barat) ber-kontribusi pada lambatnya perempuan menduduki posisi politik, selain faktor struktural (perubahan ekonomi dan sosial dari masya-rakat/negara yang bersangkutan), institusional.66
64Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly, “On Governance, Leadership,
and Gender,” dalam Gender Power, Leadership, and Governance, ed. Georgia Duerst – Lahti and Rita Mae Kelly (USA: The University of Michigan Press, 1995), hlm. 5.
65Michelle Zimbaalist Rosaldo, “Woman, Culture, and Society: A
Theoretical Overview,” dalam Women, Culture & Society, ed. Michelle Zimbalist Rosaldo and Louise Lamphere (California: Stanford University Press, 1974), hlm. 17, 20-21.
Para aktivis perempuan dari lembaga donor internasional selalu melihat budaya sebagai unsur penting yang mesti diatasi untuk memperbaiki kesenjangan peran dan posisi perempuan dan laki-laki dalam sebuah komunitas. Di India sebagai contoh, Maitrayee Mukhopadhyay, seorang feminist berkebangsaan India yang telah menjadi praktisi pembangunan selama lebih kurang 15 tahun yang bekerja untuk menciptakan keadilan di India. Pada konteks ini Maitrayee Mukhopadhyay adalah seorang insider karena dia berasal dari India yang memahami bentuk budaya dan masyarakat India dan bekerja untuk komunitas yang sama; di mana dalam bukunya yang diterbitkan Oxfam, dirinya mengkritik model pembangunan di India yang bertentangan dengan kepentingan perempuan, termasuk masyarakat India yang tidak memperlakukan perempuan secara beradab seperti tecermin dari banyaknya kekerasan terhadap perempuan dalam pernikahan yang berujung pada bunuh diri; meskipun bukunya tersebut banyak memperoleh pertentangan dari kaum laki-laki India.67 Maitrayee Mukhopadhyay sampai pada satu
catatan penting bahwa dalam upaya memperbaiki peran dan posisi perempuan dalam sebuah komunitas mesti disadari bahwa budaya itu tidak selalu utuh, dan jangan sampai salah mengasumsikan bahwa dalam sebuah budaya tidak ada perlawanan internal mengenai ketidakadilan gender dalam budaya yang bersangkutan, dan sebaik-nya tidak melihat perempuan sebagai yang pasif dan menyerah saja; hal ini penting karena pada dasarnya budaya itu tidak selalu tetap; selalu terdapat pertarungan untuk memberi makna yang paling pas dari entitas sosial terjadi terus menerus yang kemudian mengubah praktik sosial.68
Di Guatemala, faktor budaya ini juga sangat penting. Guatemala sebagai negara demokrasi yang relatif baru keluar dari pemerintahan diktator menjadikan budaya sebagai hal penting dalam keseharian. Sayangnya orang-orang asli Guatemala merasa didiskrimi-nasikan dan tidak memperoleh perlakuan yang sama dengan orang Guatemala pada umumnya; dan lebih peliknya lagi perempuan
67Maitrayee Mukhopadhyay, “Gender Relations, Development Practice and
‘Culture,” Gender and Development vol. 3, no.1, (February 1995): 14.
suku asli Guatemala ini merasakan ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi di dalam komunitas mereka sendiri dan mengatakan bahwa adanya harmoni dan saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan yang sering dikatakan dalam komunitas mereka sebagai mitos belaka; mereka mengkritisi budaya mereka sendiri meskipun tidak secara keseluruhan.69
Beberapa ilustrasi tersebut menggambarkan bagaimana budaya dan adat-istiadat harus diperhitungkan secara jernih dalam mengurai persoalan peran dan posisi perempuan dalam sebuah komunitas. Memahami bahwa budaya menjadi media atau sarana pembentukan gender (females become women atau males become men). Pada titik ini, maka gender tidak lagi tepat jika hanya didefinisikan sebagai sebuah konstruksi sosial mengenai identitas laki-laki dan perempuan atas dasar perbedaan jenis kelamin; tetapi gender mesti dipahami sebagai hubungan gender (gender relations) yang merujuk pada aksi dan inter-aksi antara orang-orang dalam sebuah setting sosial dimana kelas sosial, etnisitas, dan orientasi sexual mempengaruhi pembentukan standar norma kepatutan (“properness”) individu dalam sebuah komunitas.70
Memang sebagaimana dikemukakan oleh R.W. Connel (2008: 8-10) gender yang semula dipahami sebagai perbedaan identitas kultural laki-laki dan perempuan atas dasar perbedaan jenis kelamin, tidak lagi tepat dan mesti difahami ulang sebagai gender sebagai sebuah struktur sosial (“sosial structure”) dimana individu maupun kelompok saling berinteraksi dalam sebuah struktur sosial dimana
“gender arrangement” diproduksi secara sosial dan berbeda-beda dalam
setiap budaya; jadi, gender adalah hubungan gender yang selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui bermacam media dan sarana dimana ide-ide mengenai “gender-appropriate behaviour” selalu terus menerus disosialisasikan melalui beragam aktor seperti tokoh agama, orang tua, guru, bintang iklan, dsb.71 Di dalam lingkup
69Liesbeth van der Hoogte and Koos Kingma, “Promoting Cultural Diversity
and the Rights of Women: the Dilemmas of ‘Intersectionality’ For Development Organizations,” Gender and Development vol. 12, no. 1, (May 2004): 53.
70Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly, “On Governance, Leadership,
and Gender,” hlm. 16-17.
budaya dan adat istiadat dalam sebuah komunitas itulah, hubungan gender menjadi aspek paling penting karena di dalamnya terdapat tata nilai, kepercayaan, perilaku dan praktik yang mengatur norma-norma kepantasan mengenai perempuan dan laki-laki dalam setting sosial komunitas tertentu.
Budaya memang harus dilihat dalam kajian ini karena sebagaimana Rita Mae Kelly dan Georgia Duerst-Lahti (1995:49) yang menulis gagasan tentang “a gender-expanded model of be(coming) a
public leader” menegaskan bahwa inti terdalam dalam model seperti
ini adalah bahwa setiap individu baik perempuan maupun laki-laki berada dalam konteks budaya dengan dimensi gender; jadi dalam model yang dibuat oleh Rita Mae Kelly dan Georgia Duerst-Lahti ini maka seseorang untuk menjadi pemimpin publik dilingkupi oleh konteks budaya dengan dimensi gender sebagai lingkaran terdalam, lalu lingkaran luar kedua adalah organizational culture misalnya dalam sebuah sekolah tentu berbeda dengan sebuah perusahaan konstruksi, sementara lingkaran luar terluar adalah national culture misalnya seorang perempuan di negara Arab tentu akan memiliki standar tata nilai, moral, kepercayaan, perilaku dan praktik yang tidak sama dengan perempuan di Amerika.72
Dalam masyarakat Hindu di Bali, terdapat hukum adat yang mengakar kuat untuk mengatur tatanan keluarga Hindu mengenai konsep Purusa atau sistem kekeluargaan patrilenial yang menarik keturunan dari garis laki-laki, karena hanya laki-laki yang dianggap mampu meneruskan Swadharma (tanggung jawab keluarga) yang ber-akibat perempuan tidak menerima warisan keluarga, dianggap tidak berguna dan seringkali diabaikan dalam segi pendidikan dan peran publik, dan tugasnya semata-mata mengurusi keluarga saja.73 Salah
satu hasil kajian mengenai peran perempuan dalam kehidupan demokrasi dan budaya di Bali yang dilakukan R. Siti Zuhro dkk, memperlihatkan perempuan Bali memiliki peran vital dalam upacara
72Rita Mae Kelly and Georgia Duerst-Lahti, “The Study of Gender Power
and Its Link to Governance and Leadership,” dalam Gender Power, Leadership, and Governance, Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly, eds (USA: The University of Michigan Press, 1995), hlm. 49-50.
73Gek Ela Kumala Perwita, “Diskriminasi Dibalik Hukum Adat,” BaliSruti,
keagamaan dan adat di Bali, tetapi mereka masih ditempatkan sebagai komunitas kelas dua karena perempuan tidak mendapat hak suara dalam paruman (musyawarah desa) yang pada umumnya di-hadiri para laki-laki, serta tidak memiliki hak waris dalam kelurga; meskipun tidak semua perempuan Bali merasa mengalami hambatan dari sistem adat-istiadat seperti itu, hal itu berdampak pada masih kecilnya peran perempuan Bali dalam politik.74
Jadi, kajian ini menempatkan budaya dan adat istiadat sebagai variabel penting dalam hubungan gender yang cenderung berperan dalam peminggiran perempuan. Dalam buku ini, budaya ditempat-kan sebagai bagian dari pranata gender yang melingkupi individu Eka Wiryastuti, dengan fokus pada konteks gender untuk menge-tahui tata nilai, norma dan praktik mengenai idealita perempuan Bali pada umumnya dan Tabanan pada khususnya. Budaya dalam kajian ini difahami sebagai sesuatu yang berubah/tidak statis seperti halnya relasi gender sebagai sebuah konstruksi sosial dan selalu berubah.75 Jadi, dalam menganalisis budaya, penting untuk melihat
dinamika perubahannya akibat interaksi dengan globalisasi dan demokratisasi yang memfasilitasi terjadinya perkembangan atau perlawanan internal misalnya: jika ada yang dilakukan baik oleh perempuan ataupun laki-laki ataupun oleh sekelompok orang dalam komunitas tersebut yang merasa memang sudah seharusnya terjadi perubahan khususnya dalam persoalan perilaku dan kewenangan perempuan dan laki-laki.76
74R. Siti Zuhro, Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal Di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009), hlm. 233-234.
75Liesbeth van der Hoogte and Koos Kingma, “Promoting Cultural Diversity
and the Rights of Women: the Dilemmas of ‘Intersectionality’ For Development Organizations,” hlm. 49.
76Di Bali telah ada gerakan dari kaum perempuan terpelajar sejak masa