• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan: Pilkada Langsung dan Kemunculan

Dalam dokumen Kebangkitan Perempuan Tabanan Dalam Poli (Halaman 15-46)

Pendahuluan: Pilkada Langsung dan Kemunculan

Perempuan Pemimpin Politik Lokal di Tabanan

Oleh: Kurniawati Hastuti Dewi

1.1 Pendahuluan

Indonesia memasuki era demokratisasi sejak lengsernya Suharto pada Mei 1998. Demokratisasi salah satunya ditandai dengan berbagai pembenahan struktural kelembagaan politik nasional maupun lokal. Demokratisasi di tingkat lokal dapat dilihat dalam pembenahan tata kelola pemerintahan daerah. Tata kelola pemerintahan daerah pada masa Orde Baru yang sangat sentralistik sesuai UU No. 5/1974, digantikan dengan UU No. 22/1999 yang dibangun dengan paradigma desentralistik dengan memberikan kewenangan kuat pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan mengurangi sedemikian rupa campur tangan presiden termasuk dalam memilih kepala daerah. Pada gilirannya UU No. 22/1999 di-gantikan dengan UU No. 32/2004 yang memperkenalkan mekanis-me pemilihan kepala daerah secara langsung, dimana rakyat mekanis-memilih secara langsung kepala daerahnya dan tidak lagi melalui DPRD. Pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai UU No. 32/2004 efektif berlaku sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2014. Setelah melalui serangkaian kontestasi politik, mekanisme pemilihan kepala daerah langsung (selanjutnya disingkat Pilkada langsung) tetap diberlakukan untuk mengatur pemilihan gubernur/ bupati/walikota sejak tahun 2015 sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No.8/2015 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.1

Mekanisme Pilkada langsung telah membuka peluang partisipasi politik yang lebih besar pada berbagai elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan untuk ikut mewarnai dan menentukan arah demokrasi lokal. Bersamaan dengan banyaknya pelaksanaan Pilkada langsung di berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 2005, bertambah pula jumlah perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan terpilih dalam Pilkada langsung. Sebagai ilustrasi, dalam 466 Pilkada langsung di provinsi/ kabupaten/kota dari tahun 2005-2008, terdapat 11 politisi perempuan yang terpilih (baik sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil kepala daerah) dalam Pilkada langsung di Pulau Jawa, dan 15 politisi perempuan terpilih di luar Pulau Jawa.2 Jika dikerucutkan pada perempuan terpilih pada posisi kepala daerah saja, pada periode pemilihan 2005-2008, terdapat 6 perempuan terpilih sebagai kepala daerah di Pulau Jawa dan 4 terpilih di luar Pulau Jawa.3 Jumlah ini semakin meningkat, terlihat dari akumulasi pada periode pemilihan 2005-2014 yaitu terdapat 26 perempuan terpilih sebagai kepala daerah: 18 terpilih di Pulau Jawa, dan 8 terpilih di luar Pulau Jawa.4 Fenomena kemunculan dan

1Lihat Undang-Undang No. 8/2015 tentang “Perubahan atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang”, http://www.kpu-sumbarprov.go.id/pilkada 2015/UU-No-8-Tahun-2015-Pilkada.pdf (diakses 8 April 2015).

2Diolah dari data Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Daftar Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Yang Telah Diterbitkan Keputusannya Presiden Republik Indonesia Hasil Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005, 2006, 2007, dan Tahun 2008”, tanpa tahun.

3Terpilih dalam periode 2005-2008 di Pulau Jawa adalah Rustriningsih Bupati Kebumen (2005-2010), Ratna Ani Lestari Bupati Banyuwangi (2005-2010), Haeny Relawati Rina Widyastuti Bupati Tuban (2006-2011), Siti Qomariyah Bupati Pekalongan (2006-2011), Rina Iriani Sri Ratnaningsih Bupati Karanganyar (2008-2013), Atut Chosiyah Gubernur Banten (2006-2016). Di luar Pulau Jawa adalah Vonny Anneke Panambunan Bupati Minahasa Utara (2005-2010), Hj. Marlina Mona Siahaan Bupati Bolaang Mongondow (2006-2011), Hj. Suryatati A Manan Walikota Tanjung Pinang (2008-2013) dan Telly Tjanggulung Bupati Minahasa Tenggara (2008-2013).

4Lihat Kurniawati Hastuti Dewi, “Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections, Indonesian Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015): 52.

kemenangan banyak perempuan politisi dalam kontestasi Pilkada langsung sejak tahun 2005 sampai dengan 2014 menandakan adanya perubahan baru tidak saja dalam potret partisipasi politik perempuan di tingkat lokal, tetapi juga perubahan menyangkut narasi agama, budaya, dan gender yang mengiringi munculnya fenomena tersebut. Akan tetapi, fenomena kemunculan para perempuan pemim-pin politik lokal dalam seting Pilkada langsung cenderung diabaikan oleh kalangan intelektual. Sejauh ini kajian politik lokal paska-Suharto lebih banyak menganalisis persoalan pembenahan kelem-bagaan dan kesiapan masyarakat dalam melaksanakan Pilkada langsung misalnya masalah konflik pada Pilkada langsung gubernur dan bupati,5 menelaah merebaknya politik uang dalam Pilkada langsung,6 praktik pendanaan kampanye illegal yang marak,7 per-soalan munculnya fenomena penguatan identitas lokal di daerah-daerah,8 dampak kolusi antara kalangan pemodal dengan politisi dalam Pilkada langsung yang menghasilkan “informal governance

system” seperti di Banten dan Jambi,9 dampak desentralisasi dalam

dinamika daerah dari berbagai aspek seperti hubungan pusat-daerah, pertumbuhan ekonomi, pelayanan publik, perkembangan kota-kota, pergerakan manusia, lingkungan dan sumber daya alam.10

5Lihat Moch. Nurhasim, M. Hamdan Basyar, R. Siti Zuhro, Wawan Ichwanuddin, Asvi Warman Adam, Konflik Dalam Pilkada Langsung (2005-2008): Studi tentang Penyebab dan Dampak Konflik (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2009), hlm. 254.

6Lihat misalnya yang terjadi di Banten, Okamoto Masaaki and Abdul Hamid, “Jawara in Power 1999-2007,” Indonesia 86 (October 2008): 23.

7Marcus Mietzner, “Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in Indonesia’s Local Elections,” dalam The State and Illegality in Indonesia, ed.Edward Aspinall dan Gerry van Klinken (Leiden: KITLV Press, 2011), hlm. 133.

8Lihat misalnya Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed. Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Jakarta, 2007).

9Syarif Hidayat, “Pilkada, Money Politics and The Dangers of “Informal Governance” Practices,” dalam Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), ed. Maribeth Erb and Priyamudi Sulistiyanto (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009), hlm. 125-46

10Hal Hill, ed. Regional Dynamics in a Decentralized Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2014)

Kajian yang menganalisis Pilkada langsung dengan melihat kemunculan para perempuan sebagai pemimpin politik lokal masih terbatas. Jikapun ada, kajian dilakukan belum secara mendalam. Sebagai contoh pada tahun 2007, salah satu tema kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia adalah mengenai Perempuan dan Pilkada langsung dengan mengemukakan angka-angka tingkat keter-pilihan perempuan dalam Pilkada langsung pada Juni 2005-Desember 2006,11 tetapi tidak secara mendalam mengungkap faktor-faktor apa saja yang berperan penting di balik itu semua. Terdapat juga artikel Tri Ratnawati (2009) mengulas kemenangan awal Rustriningsih di Kebumen.12 Hana A. Satriyo (2010) mengkaji ke-munculan para bupati dalam Pilkada langsung yang didasarkan pada data-data koran daripada observasi lapangan sehingga menimbulkan penarikan kesimpulan yang mengarah pada simplifaksi persoalan.13

Terdapat juga kajian yang dilakukan oleh Departemen Ilmu Politik FISIP UNAIR bekerjasama dengan Kemitraan dan AusAID (2011), tetapi sebatas kandidasi politisi perempuan dalam Pilkada langsung di Jawa Timur dan di Sulawesi Utara.14

Padahal, analisis secara mendalam kasus-kasus kemunculan para perempuan pemimpin daerah dalam Pilkada langsung akan dapat mengungkap tidak saja karakteristik para perempuan kepala daerah tersebut, tetapi juga dapat mengungkapkan faktor-faktor penting yang berperan di balik kemunculan dan kemenangan mereka. Jika dicermati dari segi sosial budaya, para perempuan kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada langsung muncul dari

11Lingkaran Survey Indonesia, “Perempuan dan Pilkada,” Kajian Bulanan, edisi 01, Mei 2007, hlm. 1-9.

12Lihat misalnya Tri Ratnawati, “Gender and Reform in Indonesian politics: the case of a Javanese Women Bupati,” dalam Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), ed. Maribeth Erb and Priyamudi Sulistiyanto (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009), hlm. 174-89.

13Hana A. Satriyo, “Pushing The Boundaries: Women in Direct Local Elections And Local Government,” dalam Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society, ed. Edward Aspinall and Marcus Mietzner (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2010), hlm. 260.

14Tim Peneliti Departemen Ilmu Politik FISIP UNAIR, Perempun dalam Pemilukada: Kajian Tentang Kandidasi Perempuan di Jawa Timur dan Sulawesi Utara (Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2011).

daerah dengan kondisi sosial budaya dan agama yang beragam misalnya mayoritas agama Islam, Kristen, maupun Hindhu. Studi terdahulu yang dilakukan terhadap tiga perempuan yang memenang-kan kompetisi Pilkada langsung di daerah yang berbasis Islam di Jawa meliputi Ratna Ani Lestari di Banyuwangi (2005), Rustriningsih di Kebumen (2005), dan Siti Qomariyah di Pekalongan (2006) menemukan bahwa agama Islam memiliki pandangan yang men-dorong kepemimpinan perempuan di tingkat lokal, yang kemudian menjadi sumber legitimasi relijius para politisi tersebut untuk maju dan memenangkan Pilkada langsung.15 Studi tersebut juga menemu-kan bahwa kemampuan ketiga perempuan tersebut dalam meng-gunakan dan memainkan ide-ide atau norma-norma mengenai kesalehan dalam Islam (Islamic piety) seperti memakai kerudung dikombinasikan dengan identitas gender mereka sebagai seorang “perempuan Muslim Jawa” pada gilirannya membuat mereka mampu menciptakan identitas politik yang unik diantara mayoritas kandidat laki-laki, selain dapat meningkatkan akseptabilitas mereka di dalam daerah dengan basis mayoritas Muslim.16 Meskipun sudah dapat mengungkap berbagai faktor penting dibalik kemunculan dan kemenangan para perempuan dalam Pilkada langsung, kajian ter-sebut masih terbatas pada kemunculan perempuan sebagai pemim-pin politik di daerah mayoritas Islam saja.

Sejauh ini belum ada kajian yang mendalami faktor-faktor apa saja yang berperan dibalik kemunculan dan kemenangan seorang perempuan dalam Pilkada langsung dalam seting selain Islam. Padahal kajian mengenai para perempuan kepala daerah yang me-menangkan Pilkada langsung dalam seting selain Islam dari berbagai daerah di Indonesia penting dilakukan untuk memperoleh pema-haman empiris fenomena ini secara komprehensif. Terdapat be-berapa perempuan pemimpin politik yang berhasil memenangkan Pilkada langsung di daerah dengan basis sosial keagamaan Kristen misalnya Telly Tjanggulung Bupati Minahasa Tenggara (2008-2013),

15Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Netwoks in Post-Suharto Indonesia (Singapore: National University of Singapore Press and Kyoto University Press, 2015).

Christiany Eugenia Paruntu yang berhasil memenangkan Pilkada langsung di Kabupaten Minahasa Selatan (2010-2015) (2015-2020), dan Vonny Anneke Panambunan Bupati Minahasa Utara (2005-2010) (2015-2020).17

Selain muncul di daerah berbasis Islam dan Kristen, terdapat satu-satunya perempuan yaitu Ni Putu Eka Wiryastuti (selanjutnya kemudian disebut sebagai Eka Wiryastuti) yang berhasil memenang-kan Pilkada langsung di daerah mayoritas Hindu di Kabupaten Tabanan Bali pada tahun 2010 dengan perolehan suara sebesar 48,56%.18 Eka Wiryastuti kembali berhasil memenangkan Pilkada langsung serentak 9 Desember 2015 dengan perolehan suara sebesar 64,35% dan menjadi Bupati Tabanan untuk yang kedua kalinya (2015-2020).19 Eka Wiryastuti adalah anak dari I Nyoman Adi Wiryatama politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Bupati Tabanan selama dua periode (2000-2005, 2005-2010).

Sejauh ini belum ada kajian yang mengungkapkan faktor-faktor penting di balik kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010. Padahal kemun-culan dan kemenangan Eka Wiryastuti menarik untuk dikaji lebih mendalam karena: pertama, alasan strategis-empiris, bahwa sebagai bupati perempuan pertama di Tabanan dan dalam sejarah Bali, Eka Wiryastuti menunjukkan keberpihakan pada persoalan isu-isu perempuan. Eka Wiryastuti, dalam salah satu wawancara menyata-kan bahwa kesehatan ibu di Tabanan menjadi prioritas utamanya, ”Saya memiliki filosofi yang sederhana, yakni jika ibunya sehat maka anak-anak yang dihasilkan juga akan sehat. Karena dengan jiwa yang

17Christiany Eugenia Paruntu dan Vonny Anneke Panambunan berhasil memenangkan Pilkada langsung serentak 9 Desember 2015 yang lalu dan menjabat sebagai bupati untuk yang kedua kalinya (2015-2020). Data dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, Perludem, Jakarta, 20 Desember 2015, tanpa halaman.

18Kadek Dwita Apriani, “Pengaruh Faktor Identifikasi Partai Politik dan Faktor Kandidat terhadap perilaku memilih dalam pemilukada Kabupaten Tabanan”, (Thesis Master, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), hlm 98.

19Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, tanpa halaman.

sehat prestasi Tabanan akan dapat diraih”.20 Salah satu program unggulan Eka Wiryastuti adalah pencegahan dan deteksi dini kanker serviks dengan target tahun 2016 atau 2020 Tabanan bebas dari kanker serviks,21 dengan mengintensifkan pelayanan di Puskesmas seluruh Tabanan melalui pemeriksaan IVA (Inspeksi Asam Asetat) secara massal yang kemudian digalakkan sejak tahun 2010 ketika dirinya terpilih menjadi Bupati Tabanan.22 Setelah dirinya menjadi Bupati, program ini membuahkan beberapa hasil positifnya di antaranya meningkatnya kesadaran para ibu di Tabanan untuk melakukan deteksi dini kanker serviks, semakin meningkatnya jumlah temuan kasus kanker serviks dari tahun 2009 sampai dengan 2013 yang terus ditangani,23 dan prestasi di Puskesmas Tabanan 3 Bali sebagai puskesmas percontohan di Indonesia yang aktif mem-berantas kanker serviks yang menarik perhatian Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningih meninjaunya pada Maret 2011.24

Kedua, kasus Eka Wiryastuti menarik untuk dikaji karena

alasan akademis untuk memberikan pemahaman keilmuan yang belum terungkap dari kajian terdahulu. Terdapat kajian yang di-lakukan oleh Kadek Dwita Apriani (2012) dengan metode survei menyimpulkan bahwa kandidat yang dinilai sebagai figur terbaik diantara keseluruhan figur yang ada adalah Eka Wiryastuti dengan skor 2,5 dimana Eka sebagai pemimpin perempuan yang memang diakui begitu cerdas dalam kampanye ini mengedepankan kejujuran dan perhatian pada masyarakat.25 Eka Wiryastuti merupakan kandidat yang dinilai baik oleh lebih banyak responden pemilih di

20Kutipan perkataan Ni Putu Eka Wiryastuti yang dimuat dalam “Tabanan Bebas Kanker Serviks 2016,” Tabanan Serasi, Edisi 28, Desember 2013, hlm. 30.

21“2020, Tabanan Ditargetkan Bebas Kanker Rahim,” Bali Post, Senin, 12 Februari 2011, http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita minggu&kid=24&id=48049 (diakses 16 September 2015)

22Kutipan perkataan Ni Putu Eka Wiryastuti yang dimuat dalam “Tabanan Bebas Kanker Serviks 2016,” hlm. 30.

23Ibid.

24“Menkes Tinjau Puskesmas Layani Kanker Serviks,” 21 Maret 2011, http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=5111 (diakses 16 September 2015).

25Kadek Dwita Apriani, “Pengaruh Faktor Identifikasi Partai Politik dan Faktor Kandidat terhadap perilaku memilih dalam pemilukada Kabupaten Tabanan”, hlm 97, dan 104.

Tabanan dalam tiga kriteria terpenting (perhatian dan peduli pada masyarakat, kemampuan menyelesaikan masalah dalam masyarakat, kejujuran) yang merupakan turunan faktor figur, disusul kandidat lainnya Wayan Sukaja dan Putra Wirasana.26 Dengan begitu dapat dikatakan bahwa faktor kandidat juga mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Tabanan dalam Pilkada langsung tahun 2010 walaupun memang bukan faktor utama.

Meskipun kajian terdahulu tersebut telah berhasil meng-ungkapkan pentingnya faktor identifikasi terhadap partai politik dalam hal ini PDIP,27 faktor Eka Wiryastuti sendiri, yang dalam penelitian terdahulu itu diidentifikasikan oleh pemilih di Tabanan sebagai figur yang terbaik di antara para kandidat lain, justru belum diungkap secara mendalam. Sejalan dengan hal ini, terdapat sebuah keingintahuan yang besar mengenai bagaimana seorang Eka Wiryastuti sebagai perempuan Tabanan yang hidup dalam seting masyarakat Hindu Bali didominasi oleh peran dan posisi laki-laki

(patriarki)28 karena laki-laki Bali lebih berkuasa dengan garis Purusa

(kemampuan untuk mengurus dan meneruskan Swadharma/ tanggung jawab),29 justru mampu muncul dan menang dalam politik lokal Tabanan pada tahun 2010.

26Ibid., hlm. 94.

27Ibid., hlm. 80-81.

28Patriarki disini mengacu pada definisi Kate Millet (1972: 25) yang merujuk pada keadaan baik di masyarakat maupun dalam institusi pemerintahan dimana laki-laki mendominasi dan mengontrol perempuan; patriarki sebagai sebuah ‘lembaga” (“an institution”) adalah sebuah keadaan sosial yang secara terus menerus melembagakan dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui berbagai cara politik, ekonomi, sosial di berbagai kelas, kasta, baik dalam sebuah sistim feudal maupun birokrasi, dan dapat ditemukan atau disebarkan dalam berbagai agama besar yang sangat bervariasi dari segi sejarah dan lokalitas. Lihat Kate Millet, Sexual Politics (London: Abacus, 1972), hlm. 25. Dalam nada yang mendukung Millet, Hester Eisenstein (1984) mengatakan patriaki yang merupakan dominasi laki-laki atas perempuan dapat ditemukan di berbagai masyarakat baik di negara barat maupun di negara-negara yang belum maju, sehingga dirinya menyebut adanya sebuah kondisi universal penindasan perempuan oleh laki-laki (“universal oppression of women by men”). Lihat Hester Eisenstein, Contemporary Feminist Thought (London, Sidney: Unwin Paperbacks, 1984), hlm. 5.

29Laporan Utama, “Agar Luh Tak Sekedar Peluh,” BaliSruti no. 1, (Januari-Maret 2011): 14.

Oleh karena itulah, kajian ini diarahkan untuk menelaah persoalan ini secara mendalam, dengan dipandu oleh pertanyaan sebagai berikut: pertama, bagaimana Eka Wiryastuti menegosiasikan/ menyiasati agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat untuk kemunculan politiknya dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010?; kedua, bagaimana Eka Wiryastuti mengolah/menegosiasikan/ menyiasati agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat untuk kemenangan politiknya dalam Pilkada Langsung di Tabanan tahun 2010?; ketiga, bagaimana kontribusi agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat dalam kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010?

Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan ‘agency’ Eka Wiryastuti dalam mengolah/menegosiasikan/menyiasati agama, budaya dan adat-istiadat setempat, sebagai bagian upayanya muncul dan memenangkan Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010. Selain itu kajian ini bertujuan untuk memahami secara utuh posisi dan kontribusi agama Hindu Bali, budaya, dan adat istiadat, yang mem-bentuk sebuah pranata gender (gender arrangement) dalam sebuah struktur sosial keagamaan masyarakat Bali yang mutlak diperhitung-kan, di balik kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti.

1.2 Kerangka Pemikiran

Analisis Politik dengan Perspektif Gender

Kajian ini akan menggunakan pisau analisis gender dan politik. Kritik terhadap kecenderungan analisis dan metode pene-litian politik yang tidak netral gender, dibangun dengan asumsi dasar yang mengabaikan pengalaman perempuan sebagai subyek telah muncul sejak 1970an. Kathleen B. Jones dan Anna G. Jonasdottir (1988: 1-10) bahkan dengan tajam mengatakan bahwa ada kecen-derungan “sexism” dalam disiplin ilmu politik dan perlunya per-ubahan dalam metodologi penelitian politik yang pada gilirannya mengkonseptualisasi arena politik dalam kacamata gender; gender harus dilihat sebagai kategori analitis dalam ilmu politik sehingga

mendefinisikan ulang dan memperluas ruang lingkup politik.30

Kathleen B. Jones (1988: 11-12) menyatakan bahwa salah satu sebab terpenting perempuan dan kepentingan perempuan tidak nampak dalam pemikiran dan analisis ilmu politik tradisional di dunia barat adalah penerimaan konsep keterpisahan secara fundamental antara publik sebagai domain laki-laki dalam melakuan “political action” dalam sebuah polis, dengan ruang privat yang diasosiasikan dengan peran perempuan di ranah domestik.31 Feminis politik juga mencatat kecenderungan pengabaian pengalaman perempuan dalam analisis politik disebabkan oleh struktur produksi pengetahuan dan referensi dalam studi politik yang masih didominasi oleh laki-laki sehingga perlunya pendekatan-pendekatan feminis dalam riset ilmu sosial dan politik seperti dikemukakan Sandra Harding, Ann Oakley, Mies, Vicky Randall.32

Kecenderungan pengabaian pengalaman dan kepentingan perempuan dalam analisis politik tidak hanya terjadi dalam analisis dan karya-karya politik di negara-negara barat. Meskipun konteks sosial, sejarah dan politik antara negara barat dengan negara-negara di Asia Tenggara berbeda, ternyata kecenderungan tidak adanya analisis gender dalam karya-karya ilmu politik juga terjadi di Asia Tenggara. Kritik terhadap studi politik di Asia Tenggara yang cenderung didominasi analisis politik an sich dan tidak menge-tengahkan analisis gender dalam studi politik, telah muncul sejak 1990an. Shelly Errington (1990) memberikan catatan bahwa tiada-nya analisis gender dalam kajian-kajian politik di Asia Tenggara bisa jadi disebabkan oleh fakta sosial berupa kondisi ekonomi yang relatif

30Lihat Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir, “Introduction: Gender as an Analytic Category in Political Theory,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir (Great Britain: Sage Publication, 1988), hlm. 1-10.

31Kathleen B. Jones, “Towards the Revision of Politics,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir (Great Britain: Sage Publication, 1988), hlm. 1-10.

32Lihat Vicky Randall, “Feminism and Political Analysis,” dalam Different Roles, Different Voices: Women and Politics in the United States and Europe, ed. Marianne Githens, Pippa Norris, Joni Lovenduski, (New York: Harper Collins College Publishers, 1994), hlm. 4-16.

sejajar antara perempuan dan laki-laki di Asia Tenggara, sehingga sulit menemukan simbol-simbol perbedaan gender di Asia Tenggara.33 Beberapa ilmuwan seperti Barbara Ward (1963), dan Anthony Reid (1988) juga mencatat bahwa perempuan di Asia Tenggara memiliki posisi yang relatif tinggi di dalam masyarakat, kondisi ekonomi yang relatif sejajar dengan laki-laki dalam masyarakat dimana peran perempuan dan laki-laki saling melengkapi.34 Sejalan dengan pemikiran Errington, Maila Stivens dan Susan Blackburn (1991) yang merangkum salah satu hasil konferensi internasional di Universitas Monash tahun 1987 juga mencatat kecenderungan tidak adanya perspektif gender dalam tulisan-tulisan politik di Asia Tenggara oleh para intelektual (1991).35

Kecenderungan minimnya analisis gender dalam karya-karya politik di Asia Tenggara tetap berlanjut sampai dengan tahun 2000an. Susan Blackburn (2009) dalam salah satu artikelnya ber-judul “Has Gender Analysis been Mainstreamed in the Study of Southeast Asian Politics?” masih mencatat bahwa secara umum buku-buku mengenai politik di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Vietnam) yang diterbitkan tahun 2000an menunjukkan kurangnya level analisis gender karena rata-rata hanya ada satu Bab di dalam sebuah kumpulan tulisan mengenai politik di Asia Tenggara dengan analisis gender; dan ini menunjukkan bahwa persoalan mengenai

Dalam dokumen Kebangkitan Perempuan Tabanan Dalam Poli (Halaman 15-46)

Dokumen terkait