• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legal Opinion Kekerasan Terhadap Istri S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Legal Opinion Kekerasan Terhadap Istri S"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

NAMA : FEBRINA TIURMA BR.SINAGA

NIM : 8111416060

MATA KULIAH : HUKUM & HAM

ROMBEL : 006

DOSEN : RIDWAN ARIFIN, S.H.,LI.m.

LEGAL OPINION

KEKERASAN TERHADAP ISTRI SIRI DALAM RUMAH TANGGA

PENDAHULUAN

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga sesuai dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan perempuan harus mendapat perlindungan dari negara dan masyarakat agar terbebas dari kekerasan penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Ketidakadilan gender dapat dipicu oleh pendapat yang memposisikan perempuan sebagai subordinat (bawahan) dan diasumsikan sebagai korban. Sebenarnya yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya perempuan tetapi dapat juga laki-laki (suami), anak-anak, pembantu rumah tangga, tetapi yang lebih sering menjadi korban adalah perempuan (istri). Bukan tanpa alasan bahwa perempuan lebih banyak menjadi korban dalam kekerasan. Namun pada kasus ini suami melakukan kekerasan terhadap istri sirinya, sedangkan istri siri tidak sah dimata hukum. Jadi menurut saya ini termasuk kekerasan terhadap perempuan. Banyak permasalahan kekerasan yang muncul terhadap perempuan, semua perbuatan kekerasan itu telah melanggar Undang-Undang No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia. Pada tahun 1993, deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan mengeluarkan definisi resmi pertama dari kekerasan berbasis gender. Pasal 1 menyatakan “Tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau mungkin mengakibatkan kerugian fisik, seksual, atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan termasuk ancaman dan tindak tersebut, pemaksaan atau perampasan sewenang-wenangnya, baik terjadi di publik ataupun dalam kehidupan pribadi.”

FAKTA HUKUM

(2)

- Pada tanggal 25 Juli 2017 telah terjadi kekerasan rumah tangga di daerah mengatakan, korban tewas karena mengalami luka lebam dan luka cakar di beberapa bagian tubuhnya. Seperti di kedua kelopak mata dan dagu serta punggung terdapat luka lebam, sementara dibagian paha dan betisnya terdapat luka cakar yang cukup panjang.

- Kemungkinan korban dianiaya dengan tangan kosong dilihat dari luka yang dialaminya. Meskipun begitu, petugas masih mencari alat bukti lainnya untuk mengungkap pelaku.

- Tanggal 26 siang polisi masih menggali keterangan E untuk mengungkap kematian istri sirinya. tersangka akhirnya mengakui telah menganiaya korban hingga meninggal. Dari keterangan yang ada motif penganiayaan tersebut karena terbakar api cemburu tersangkah terhadap korban yang bekerja sebagai pelayan kafe di daerah Cikarang.

- Pelaku dijerat Pasal 351 ayat 3 tentang penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang dengan hukuman penjara sampai 10 tahun.

ANALISIS ATURAN HUKUM

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat dikenakan Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (3) yaitu : - Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 23 menyatakan bahwa

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”

- Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

(3)

44 ayat (1) dan (3) tidak dapat digunakan. Jadi yang dapat digunakan dalam kasus ini adalah Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penganiayaan.

Dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan Perempuan yang diatur dalam Pasal 1 menyatakan bahwa, Deklarasi ini yang dimaksud dengan “Kekerasan terhadap perempuan” adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibatkan atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan-tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak-hak dan kebebasan-kebebasan mendasar bagi perempuan. Kesimpulan pada ayat 23 lampiran terhadap resolusi 1990/15 Dewan Ekonomi dan Sosial tertanggal 24 Mei 1990, yang menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga maupun masyarakattelah merajalela dan menembus batas tingkat penghasilan, kelas dan kebudayaan, dan harus diatasi dengan langkah-langkah segera dan efektif untuk menghapuskannya.

Dalam Pasal 3 menyatakan “Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar yang sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang-bidang lainnya. Hal tersebut, antara lain:

a. hak atas hidup

b. hak atas persamaan

c. hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi

d. hak atas perlindungan yang sama berdasarkan hukum e. hak untuk kebebasan dari segala bentuk diskriminasi

f. hak untuk mendapat pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaiknya

g. hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang abik

h. hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Unsur-unsur syarat dalam kasus ini:

 Dengan sengaja.

Maksudnya tindakan yang dilakukan oleh pelaku secara sadar dari dalam dirinya sendiri sehingga terdakwa bisa memperkirakan akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Sesuai dengan fakta terdapat luka lebam dan luka cakar pada tubuh korban, jadi bisa disimpulkan bahwa peristiwa penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa dengan menggunakan tanggannya sendiri, sehingga sadar akan apa yang dilakukannya.

 Melakukan penganiayaan.

(4)

punggung terdapat luka lebam, dibagian paha dan betisnya terdapat luka cakar yang cukup panjang itu yang menyebabkan meninggalnya korban Rosida.

Hal yang memberatkan:

- Pebuatan terdakwa adalah melanggar hukum - Perbuatan terdakwa mengakibatkan kematiaan Hak yang meringankan:

- Terdakwa menganiaya istri siri bukan istri sah. Istri siri tidaklah sah dimata hukum dan tidak bisa dikaitkan dengan Undang-Undang 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jadi kasus tersebut dimasukan kedalam Pasal 351 ayat (3) tentang Penganiayaan.

-Akibat hukum yang diterima pelaku dalam diatur pada Bab XX Tentang Penganiayaan mulai dari penganiayaan ringan sampai berat. Dalam kasus rosida, pelaku di jatuhkan hukuman pada Pasal 351 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Apabila penganiayaan yang dilakukan sudah direncanakan terlebih dahulu dan mengakibatkan kematian. Maka pelaku bisa dijerat pada Pasal 355 ayat (2) yang berbunyi “Jika perbuatan mengakibatkan kematian, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Yang dimaksud melakukan peganiayaan adalah timdakan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit, kurang enak, dan luka. Sesuai dengan fakta yang ada bahwa penganiayaan yang dilakukan oleh saudara E terhadap korban yaitu Rosida dengan memukul kedua kelopak mata dan dagu serta punggung, dan dibagian paha serta betisnya terdapat luka cakar yang cukup panjang. Dari keterangan pelaku, ia melakukan perbuatan penganiayaan terhadap istri sirinya karena timbul rasa cemburu yang berapi-api. Dari situ bisa dilihat bahwasannya penganiayaan itu dilakukan pelaku dalam keadaan sadar dan tidak ada paksaan dari pihak manapun.

UJI SYARAT

Dalam kasus penganiayaan Rosida sebagai istri siri yang dilakukan oleh suaminya hingga mengakibatkan tewasnya korban. Pidana penjara merupakan suatu hukuman bagi masyarakat yang melanggar hukum pidana, apabila melanggarnya maka mereka akan dicabut hak kebebasannya secara fisik dan dimasukan kedalam penjara dengan tujuan agar menjadi jera. Penganiayaan ini terjadi pada tanggal 25 Juni 2017 lalu, di kampung Bugel Selam RT 01/03, Desa Serta Jaya, Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi. Posisi mayat ditemukan tergeletak dilantai dengan luka lebam dan luka cakar di beberapa bagian tubuhnya.

(5)

dilatarbelakangi oleh rasa cemburuh suaminya yakni E yang timbul dan melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadapnya.

Undang-Undang yang menjerat pelaku dalam kasus ini yaitu Pasal 352 ayat (3). Dalam kasus ini menggunakan syarat sistem pidana tunggal karena hanya satu jenis pidana yang dikenakan kepada terpidana, misalnya seperti kasus ini dalam Pasal 352 KUHP ayat (3) hanya dikenakan pidana penjara saja. Yang menyatakan :

“Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

KESIMPULAN

(6)

Referensi:

 https://www.google.co.id/amp/wartakota.tribunnews.com/amp/2017/07/2 6/ibu-rumah-tangga-tewas-dengan-luka-lebam-di-kabupatn-bekasi

 Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Kekerasan Perempuan.

 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Perempuan Pasal 44 ayat (3).

 Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1).

(7)

Referensi

Dokumen terkait

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diharapkan semua pihak dapat memahami keberadaan undang-undang ini, khususnya kepada petugas penegak

Sedangkan yang menjadi isu permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1).Apakah yang menjadi faktor penyebab kekerasan dalam Rumah Tangga yang Dilakukan oleh suami Terhadap

Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terkait dengan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat

Diatur juga Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam hal pemberian hukuman

Pemaknaan jenis kekerasan ini mengakomodasi pengalaman perempuan yang mengalami kekerasan dan sejalan dengan definisi kekerasan dalam Pasal 1 Deklarasi Internasional

Penegakan hukum terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dapat ditanggulangi dan diminimalisir dengan cara pencegahan sesuai Pasal 4 UU Penghapusan

Tampaknya teori kedua yang dipandang dapat mengakomodir kesadaran perempuan tentang KTP dan dituangkan dalam Deklarasi PBB tahun 1994 menegaskan bahwa kekerasan

23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa: “Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang