• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Ana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Ana"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP

Kekerasan adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi siterancam atau mengagetkan yang dikerasi. Mengenai perluasannya, termuat dalam Pasal 89

KUHP yang berbunyi : “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan

dengan menggunakan kekerasan”. Suatu contoh tentang kekerasan antara lain

ialah seorang pria menarik wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tangannya dipegang kuat-kuat, dagunya ditekan lalu diinjak-injak oleh si-pria tersebut.25

Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terdapat kejahatan kekerasan yang pengaturannya tidak disatukan dalam satu bab khusus, akan tetapi terpisah-pisah dalam bab tertentu. Didalam KUHP kejahatan kekerasan dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain ( Pasal 338-350 KUHP )

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai suatu pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang

25

(2)

lain. Untuk menghilangkannya nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain.

Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu:

1) Atas dasar unsur kesalahan 2) Atas dasar objeknya (nyawa)

Atas dasar kesalahan ada 2 (dua) kelompok kejahatan terhadap nyawa, ialah: 1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven) 2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian (Culpose

misdrijven)

Berdasarkan atas objeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu:26

1. Kejahatan terhadap nyawa orang pada umunya, dimuat dalam Pasal: 338, 339, 340, 344, 345

2. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam Pasal: 341, 342, dan 343

3. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam Pasal: 346, 377, 348, dan 349.

Sedangkan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian adalah kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan:

“barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,

dipidana kurungan paling lama 1 tahun”.

26

(3)

2. Kejahatan penganiayaan ( Pasal 351-356 )

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh adalah pada KUHP disebut penganiayaan di bentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia ini di tunjukan bagi kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dapat dibedakan menjadi 6 macam, yakni:27

1. Penganiayaan biasa (pasal 351 KUHP); 2. Penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP); 3. Penganiayaan berencana (pasal 353 KUHP); 4. Penganiayaan berat (pasal 354 KUHP);

5. Penganiayaan berat berencana (pasal 355 KUHP);

6. Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu yang memberatkan (pasal 356 KUHP).

Pasal 356 KUHP ancaman pidana penjara yang ada dapat ditambah dengan sepertiga dari ancaman yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 KUHP yaitu bila:28

1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya;

2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;

3. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

3. Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan ( Pasal 365 KUHP ) Pasal 365 KUHP adalah pasal yang mengatur tentang pencurian yang di dahului dengan kekerasan. Kekerasan yang dimaksud yaitu dilakukan kepada

27

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, (Edisi Kedua), Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 25

28

(4)

Orang bukan barang dengan tujuan untuk menyiapkan atau mempermudah dalam menjalankan tindak pidana pencurian yang dilakukan.

Kejahatan pencurian dengan kekerasan oleh pembentuk undang-undang yang diatur dalam pasal 365 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:29

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.

2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;

2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, periniah palsu atau pakaian jabatan palsu.

4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjarapaling lama lima belas tuhun.

4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.

4. Kejahatan terhadap kesusilaan, khususnya ( Pasal 285 KUHP)

Delik pemerkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:30

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang

wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

29

R. Soesilo, Op.cit. hal.253

30

(5)

5. Kejahatan kekerasan terhadap ketertiban umum ( Pasal 170 KUHP )

Kekerasan terhadap ketertiban umum aturannya dapat dilihat dalam Pasal 170 KUHP yang bunyinya adalah:31

1) Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.

2) Tersalah dihukum:

1. dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka.

2. dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh

3. dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.

2. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di luar KUHP

Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pengaturan tentang kekerasan dapat juga kita lihat, di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Di dalam UU Penghapusan KDRT kekerasan adalah:32

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga”.

31

Ibid., hal. 146

32

(6)

Kekerasan didalam undang-undang ini lebih menekankan kepada tindak kekerasan yang dilakukan terhadap istri tetapi bukan hanya istri saja yang dapat dikatakan sebagai korban kekerasan. Semua orang yang berada didalam rumah tangga dapat juga dikatakan sebagai korban termasuk anak.

Rumah tangga dapat diartikan sebagai semua orang yang tinggal bersama di satu tempat kediaman. Rumah Tangga adalah suatu unit sosial yang berorientasi pada tugas, unit ini lebih besar dari individu tetapi lebih kecil daripada ketetanggaan atau komunitas. Dalam rumah tangga ada sejumlah aturan-aturan dan pembagian fungsi dan tanggung jawab setiap anggotanya. Anggota suatu rumah tangga bisa terdiri dari satu atau beberapa keluarga (family) atau juga keluarga dengan orang lain selam mereka hidup bersama, jadi jelas rumah tangga berbeda dengan keluarga.33

Pasal 2 UU PKDRT yang termasuk cakupan rumah tangga ialah: suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

33

(7)

Kekerasan didalam rumah tangga ini dapat dikatakan juga sebagai penganiayaan karena kekerasan ini juga menimbulkan tekanan mental maupun gangguan fisik dari seorang korban yang mengalami kekerasan, yang dimana bentuk-bentuk kekerasan tersebut berupa :34

a. Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat;

b. Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;

c. Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Selain itu kekerasan di luar KUHP juga terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Di dalam UU Perlindungan Anak kekerasan adalah:35

“Setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.”

Pengertian anak di dalam Pasal 1 UU Perlindungan Anak yakni:

“Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.”

34

Pasal 5-8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004

35

(8)

Larangan kekerasan dalam UU Perlindungan Anak ini terdapat dalam Pasal 76A, 76C, 76D, 76E yang berbunyi:

1. Pasal 76A

Setiap orang dilarang:

a. Memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau

b. Memperlakukan anak penyandang disabilitas secara diskriminatif. 2. Pasal 76C

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

3. Pasal 76D

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 4. Pasal 76E

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Mengenai Pasal 76D dan 76E tentang kekerasan seksual sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 81 telah diubah dalam

peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2016 tentang

perubahan kedua atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak, yang kini telah diundangkan menjadi undang-undang nomor

17 tahun 2016.

B. Tindak Pidana dan Sanksi Pidana Atas Kekerasan Yang Dilakukan Terhadap Anak

(9)

pidana terhadap pelaku tindak pidana. Secara sederhana, sanksi dapat diartikan sebagai suatu ganjaran yang bersifat negatif.

Dalam hal pemberian sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak di dalam keluarga, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak hak-hak tertentu sesuai dengan yang telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:

Pidana terdiri atas ; 1. Pidana Pokok

a. Pidana Mati b. Pidana Penjara c. Pidana Kurungan d. Pidana Denda 2. Pidana Tambahan

a. Pencabutan hak-hak tertentu b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman Putusan Pengadilan

(10)

ringannya pidana pokok yang tidak sejenis. Dengan demikian pidana pokok yang terberat adalah pidana mati.36

Pidana penjara merupakan pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dikenal pula dengan pidana pemasyarakatan. Dalam KUHP, jenis pidana ini digolongkan sebagai pidana pokok. Pada umumnya, hukuman penjara dijalani dalam suatu ruangan tertentu.37 Sama halnya dengan pidana kurungan yang juga bersifat membatasi kemerdekaan orang lain. Bedanya, pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang dewasa dan merupakan satu-satunya jenis pidana pokok berupa pembatasan kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana di atur dalam KUHP.38 Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pokok pidana ataupun sebagai pengganti dari pidana denda.39

Selain itu, dalam pidana pokok ketiga yaitu pidana denda. Menurut Andi Hamzah dalam buku Marlina, pidana denda merupakan bentuk pidana tertua lebih tua dari pidana penjara, dan mungkin setua pidana mati. Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitive.40

Selain tindak pidana pokok, KUHP memberikan tindak pidana yang bersifat tambahan seperti pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang dan

36

Ekaputra, Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, Medan: USU Press, 2010, hal. 21

37

Marlina, Hukum Penitensir, Bandung: PT. Refika Aditama, 2011, hal. 87

38

P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I : Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bandung: Bina Cipta, 1987, hal. 16

39

Marlina, Op.cit., hal. 111

40

(11)

lainnya. Biasanya, pidana tambahan sering digunakan kepada korporasi yang melakukan tindak pidana.

Dalam hal kasus kekerasan anak dalam keluarga, maka pidana tambahan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa pencabutan hak asuh atas seorang anak. Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak asuh yang dijatuhkan oleh hakim dalam pemidanaan terhadap orang tua (ayah atau ibu) sebagai pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam keluarga dilakukan dengan pertimbangan bahwa orang tua telah gagal atau tidak melaksanakan kewajibannya terhadap anak. Mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh atas anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku (orang tua) dalam kasus tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam keluarga, diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:

(1) Kekuasaan bapak kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas nama anak sendiri maupun atas orang lain, dapat dicabut dalam hal pemidanaan:

1. Orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan dengan bersama-sama dengan anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya;

(12)

C. Tindak Pidana dan Sanksi Atas Kekerasan yang dilakukan terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

UU No. 35 Tahun 2014, yaitu tentang Perlindungan Anak memberikan perlindungan hukum terhadap hak anak khususnya juga terhadap anak korban tindak pidana kekerasan. Pasal 1 UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak memberikan pengertian tentang Perlindungan Anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Di dalam UU No. 35 tahun 2014 juga telah mengatur sanksi terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak atau penyiksaan terhadap anak. Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3) sebagaimana tersebut di bawah ini:

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C yang berbunyi : Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(13)

ditambah 1/3 (sepertiga) dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah orang tuanya.

Adapun kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, ditegaskan dalam Pasal 21 sampai Pasal 25 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang meliputi kewajiban dan tanggungjawab:

1. Pasal 21

1) Menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental

2) Untuk menjamin pemenuhan Hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak

3) Untuk menjamin pemenuhan Hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan Anak

4) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak dan melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah

5) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun Kabupaten/Kota layak Anak.

2. Memberikan dukungan sarana, prasarana dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak (Pasal 22)

3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang tua, wali, atau orang lain. Dalam hal ini Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah mengawasi penyelenggaraan Perlindungan Anak (Pasal 23)

4. Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin Anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tinkat kecerdasan Anak (Pasal 24)

(14)

Di dalam Pasal 26 juga mengatur kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orang tua, yakni:

1. Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak

b. Menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak, dan

d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

2. Dalam hal Orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya, kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapt beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Orang tua sebagaimana dimaksud dalam UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 1 adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah

dan/atau ibu angkat”.

Selanjutnya dalam Pasal 33 Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juga mengatur mengenai pencabutan hak asuh bagi orang tua yang melakukan tindak pidana kekerasan anak dalam keluarga, yaitu:

1. Dalam hal Orang Tua dan Keluarga Anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai Wali dari Anak yang bersangkutan

2. Untuk menjadi Wali dari Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan

3. Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki kesamaan dengan agama yang dianut Anak

4. Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggungjawab terhadap diri Anak dan wajib mengelola harta milik Anak yang bersangkutan untuk kepentingan terbaik bagi Anak

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penunjukan Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(15)

pencabutan hak asuh anak tersebut, dengan kata lain orang tua mempunyai hak untuk memperoleh kembali hak asuh anak melalui penetapan pengadilan. Dan Penetapan pengadilan tentang kuasa asuh anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya dan/atau tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya.

Upaya perlindungan hukum terhadap anak perlu secara terus-menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa di kemudian hari. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa mengingat setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).

(16)

D. Tindak Pidana dan Sanksi Atas Kekerasan yang dilakukan terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

UU No. 23 Tahun 2004 memberikan pengertian tentang Kekerasan dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yakni di dalam Pasal 1 UU ini yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga Dan selanjutnya di dalam Pasal 2, yang dimaksud dengan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Korban menurut undang-undang ini yaitu mereka yang memilki kedudukan sosial yang lemah yang mengakibatkan ia menjadi korban.

Di dalam pasal 2 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004, lingkup rumah tangga meliputi:

a. Suami, istri, dan anak

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

(17)

Ketentuan tentang larangan KDRT tercantum dalam Pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 9 UU No.23 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 5 UU No.23 Tahun 2004

menyebutkan : “Setiap orang dilarang melakukan KDRT terhadap orang dalam

lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan fisik b. Kekerasan psikis c. Kekerasan seksual atau d. Penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang menyebabkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sedangkan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :

1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut

(18)

Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.23 Tahun 2004 ditentukan, sebagai berikut :

1. “Setiap orang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal

menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut

2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.”

Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak dalam keluarga merupakan bagian dari tindak kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga dan salah satu bagian dari suatu rumah tangga itu adalah seorang anak, maka penulis berpendapat bahwa lebih baik jika ketentuan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga adalah ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu dalam Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) dijelaskan mengenai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, yaitu:

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

3. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15

(19)

Selanjutnya dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatur mengenai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, yaitu:

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah

tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00

(sembilan juta rupiah)”.

Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami penderitaan/kerugian yang sangat beragam, seperti materiil, fisik maupun psikis sehingga perlindungan yang diberikan kepada korban pun harus beragam pula. Tidak sedikit korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami penderitaan secara beruntun pada waktu bersamaan. Oleh karena itu, guna mengurangi beban penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga, undang-undang memberikan hak kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, untuk mendapatkan:41

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan

2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis

3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban

4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan

5. Pelayanan bimbingan rohani.

41

(20)

Dalam UU KDRT, disebutkan juga: “Pemerintah bertanggung jawab

dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga” (Pasal 11). Upaya

pencegahan tersebut adalah:

(a) Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (b) Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan

dalam rumah tangga;

(c) Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 12).

Untuk tetap menjaga agar tidak terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga tersebut, tentu saja tetap dibutuhkan peran serta dari masyarakat, anggota keluarga itu sendiri, juga peran dari si korban yang bersangkutan, guna terungkapanya kasus tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Hal tersebut diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di mana disebutkan bahwa:

“Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua,

Referensi

Dokumen terkait

spiritual, sebagai pebisnis yang jujur dan uang yang dijalankan di usaha Baston food insyallah usaha ini akan berkah karena tidak diselingi dengan pengambilan

Aplikasi bakteri endofitik baik indigen maupun eksogen menghasilkan rerata kadar N total tanah lebih tinggi dengan kisaran 10–13% dibanding dengan kontrol (pupuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Kinerja Pegawai terhadap Kualitas Pelayanan Pada Kantor Camat Tapa Kabupaten Bone Bolango, dari Rumusan masalah

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas selesainya tugas akhir yang berjudul “ Penerapan Model General Finite Line Source (GFLS) untuk Memprediksi

Aspek terpenting untuk mengetahui dampak suatu komunikasi pemasaran adalah pemahaman terhadap proses respon ( response process ) dari penerima yang mungkin mengarah pada

HUBUNGAN PEMAKAIAN KONTASEPSI SUNTIK DENGAN PENINGKATAN BERAT BADAN DI KANAGARIAN.. DI PUSKESMAS

Data yang akan diproses untuk sistem pengelompokan potensi bahaya di PT Clariant Adsorbents Indonesia ini diperoleh dari hasil laporan form avoiding accidents yang dikumpulkan di